Hidup di dunia ini ibarat sebuah perjalanan, yang setiap orang pasti akan bertemu dengan tantangan. Misalnya, bertemu dengan laut yang tenang dan terempas oleh ombak yang bergelombang. Menjelajah hingga ke atas bukit dan kadang terperosok hingga ke lembah curam. Semua silih berganti dan akan menghampiri.
Sebagai seorang pengembara (musafir) dan penakluk kehidupan, manusia pasti sangat membutuhkan perbekalan. Tujuannya supaya siap jika seandainya kehidupan langsung berhadap-hadapan dengan ombak yang bergelombang. Atau tetap tenang kalau jalan yang dilalui menuju turunan lembah yang curam.
Seseorang yang mempersiapkan bekal, jauh lebih siap dan tentu akan lebih tegar seandainya keadaan yang tidak diinginkan menyergapnya lebih pagi. Ia sadar, masih ada proses kehidupan yang akan berlangsung. Kehidupannya saat ini dengan berbagai riaknya tersebut hanya keadaan transit. Bukan akhir dan hanya sementara.
Sayangnya, kehidupan yang memesona ini kerap membuat seseorang lupa akan hakikat hidup di dunia. Ia lalai bahwa hidup di dunia ini bukan sebenarnya tujuan. “Dunia dengan segala isinya ini tak lebih hanya permainan dan senda gurau belaka.” (QS Muhammad [47]: 36).
Tak heran bila kemudian Rasulullah SAW selalu mengingatkan umatnya untuk menyikapi hidup di dunia ini sebagai ladang berbekal. “Dan, sebaik-baiknya bekal adalah takwa kepada Allah SWT.” (QS al-Baqarah [2]: 197).
Ibnu Umar RA meriwayatkan wasiat Rasulullah tentang pentingnya perbekalan. ”Jika kamu berada pada masa sore, jangan menunggu waktu pagi. Dan jika kamu berada di waktu pagi, jangan menunggu masa sore. Manfaatkanlah masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu, dan masa hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR Bukhari).
Menjadikan hidup di dunia hanya sebagai ladang berbekal akan menimbulkan perasaan bahwa hakikat manusia adalah asing di dunia dan tidak mungkin menetap selamanya. Durasi dunia teramat singkat. Karena itu, Muslim yang beriman akan memanfaatkan setiap waktunya sebagai upaya mengumpulkan perbekalan sebanyak-banyaknya.
Coba simak dengan iman pesan Nabi SAW berikut. ”Aku tidak memiliki kecenderungan (kecintaan) terhadap dunia. Keberadaanku di dalam dunia seperti seorang musafir yang berteduh di bawah pohon, kemudian pergi dan meninggalkan pohon tersebut.” (HR Tirmidzi).
Oleh karena itu, bersegeralah melakukan kebaikan sebelum tidak lagi mampu melakukannya, baik karena sakit atau karena kematian yang menjemput. Karena nanti yang ada hanya penyesalan. ”Hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka (orang-orang kafir), dia berkata, ‘Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia). Agar aku berbuat amal saleh terhadap apa yang telah aku tinggalkan.’ Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan, di hadapan mereka ada dinding hingga hari mereka dibangkitkan.” (QS al-Mukminun [23]: 99-100).
Oleh: M Arifin Ilham