Menyucikan Jiwa

Salah satu penyakit jiwa manusia yang kadang-kadang muncul dalam nuraninya, kata al-Ghazali, adalah merasa paling besar, sombong (takabur), merasa diri paling kuat, paling berkuasa, paling kaya, dan paling berilmu, sehingga melahirkan sikap terhadap orang yang berada di sekelilingnya semuanya dianggap kecil, rendah, tidak berharga, kecuali dirinya sendiri yang hebat, mahasegala-galanya (superman).

Dalam hadis qudsi, Allah SWT ber firman menantang kepada tipe manu sia yang memiliki karakter takabur itu. Pertama, lilqawiy (kepada orang yang merasa paling kuat). Katakan, Mu ham mad, kepada orang yang merasa paling kuat (lilqawiy), jangan engkau merasa takjub dengan kekuatanmu, jika engkau merasa takjub dengan kekuatanmu, merasa paling kuat, maka larang datang kematian (almaut) dari dirimu (an-nafsika).

Tentu seseorang sekuat apa pun fisiknya atau memiliki kekuasaan yang besar pasti tidak ada yang bisa menghalangi atau melarang kematian dari dirinya. Setiap jiwa pasti mati (QS 3: 185) Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu kendati pun kamu dalam benteng yang tinggi lagi kokoh (QS 4: 78).

Kedua, lil’alim (kepada orang yang merasa paling berilmu). Katakan, Muhammad, kepada orang yang merasa paling berilmu, jangan engkau merasa takjub dengan kepintaranmu. Jika engkau merasa takjub dengan kepintaranmu maka coba terangkan kapan datang ajalmu. Tentu sepintar apa pun manusia, pasti tidak akan mampu menerangkan kapan akan datang kematian bagi dirinya.

Kematian adalah rahasia Allah SWT, kita tidak mengetahui kapan akan mati dan di mana tempat mati, dan semua manusia tidak bisa menghindar dari kematian di mana pun berada. Dan rahasia kematian itu rahasia Allah Yang Mahatahu. Ketiga, lilghaniyyi (kepada orang yang merasa paling kaya). Katakan, Muhammad, kepada orang yang me ra sa paling kaya. Jangan engkau takjub dengan harta kekayaanmu. Jika engkau merasa bangga (sombong) dengan harta yang engkau miliki, coba orang yang merasa paling kaya itu beri makan kepada semua makhluk Allah SWT yang ada di bumi ini untuk sehari saja. Tentu sekaya apa pun manusia tidak mungkin bisa memberi makan seluruh makhluk Allah SWT yang ber ada di bumi walaupun sehari saja. Se bab, sekaya apa pun, kekayaan ma nusia sangat terbatas dan Allahlah Yang Mahakaya.

Oleh karena itu, sangat tepat momentum bulan suci Ramadhan ini untuk dijadikan oleh kita semua kaum Muslimin sebagai madrasah muhasabah, mengevaluasi diri, menyucikan jiwa dari berbagai penyakit jiwa yang merusak sikap tauhidullah.

Karena itu, sewajarnya manusia bertakwa pasrah di waktu keheningan malam bulan Ramadhan dengan qiyamul lail, sambil meneteskan air mata, tawadhu, merendah di hadapan Allah SWT untuk memohon ampunan, maghfirah, taubat dari segala dosa takabur kepada Allah SWT, dan senantiasa beribadah kepada-Nya sehingga kita menghadap kepadanya ada dalam ridha-Nya. Amin. Wallahua’lam bishawab.

 

Oleh: Nanat Fatah Natsir

REPUBLIKA