Samurah bin Jundud RA meriwayatkan, pada satu pagi seusai shalat Shubuh Rasulullah SAW menghadap pada jamaah seraya bertanya, “Adakah di antara kalian yang tadi malam bermimpi?” Kemudian seperti biasa beliau memberikan pelajaran kepada para sahabatnya.
Pada pagi berikutnya, Rasulullah SAW juga bertanya, “Adakah di antara kalian yang tadi malam bermimpi?” Kami semua menjawab: “Tidak ada.” Lalu, Rasulullah berkisah.
“Sungguh tadi malam aku bermimpi melihat dua orang. Keduanya mengajakku menuju tanah yang disucikan. Lalu kami pergi bersama-sama hingga sampailah di sebuah pantai. Di sana aku memandangi lautan darah. Di tengah-tengah lautan itu ada seorang laki-laki yang sedang bersusah payah mencoba menyelamatkan diri, dan di tepi laut itu juga ada seorang laki-laki yang memanggul batu sambil memperhatikan laki-laki yang tengah timbul tenggelam di dalam lautan darah itu. Anehnya, setiap kali laki-laki itu bersusah menepi hendak mengentaskan diri, laki-laki yang ditepi laut itu melemparkan batu yang dipanggulnya tepat pada mulut laki-laki yang di tengah laut itu, sehingga ia terjungkal kesakitan dan tenggelam lagi ke tengah-tengah laut. Bagitulah setiap kali ia berusaha menepi, pasti dilempar batu tepat pada mulutnya, sehingga selamanya ia berada di tengah lautan darah itu.
Menyaksikan peristiwa yang mengerikan itu, aku bertanya pada Malaikat Jibril, “Siapakah laki-laki yang di tengah laut itu?” Jawabnya, “Dialah pemakan riba!” (HR Bukhari).
Sungguh Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS al-Baqarah [2] : 275) Riba banyak terjadi pada jual beli, jika ada tambahan baik dari segi kuantitas dari barang yang diperjualbelikan ataupun karena penyerahan pembayaran yang ditunda. Riba juga terjadi dalam akad pinjam meminjam, apabila terdapat manfaat tambahan atas utang piutang pihak yang bersangkutan.
Sistem riba amat menyengsarakan dan mencekik leher kaun dhuafa (lemah). Kehidupan mereka yang serbakurang, justru semakin tercekik oleh pemberian utangan dari kaum yang kuat dan bermodal. Memang dengan prosedur yang tidak berbelit-belit, mereka dengan mudahnya dapat menerima pinjaman dari kaum pemilik modal. Tapi, pertama kali menerima uangnya saja sudah dipotong, sehingga mereka tidak dapat menerima sejumlah uang yang tertera pada perjanjian utang piutang.
Labih dari itu, baru sehari mereka berutang langsung didatangi oleh para penagih yang ditugaskan oleh pemilik modal. Utang bunga pun menjadi berlipat ganda besarnya dan si pengutang tidak diberi kesempatan untuk memutarkan uang pinjaman itu. Jika kita pikirkan dengan akal sehat, tentu kita akan berkata, “Betapa kejamnya para pengambil riba itu!”
Begitu kejinya praktik riba sehingga Rasulullah SAW melaknatinya. Tidak hanya si pemakan riba yang dilaknat, tetapi setiap orang yang terlibat perjanjian riba itu. Sebagaimana Abdullah bin Mas’ud ra telah berkata, “Rasulullah SAW melaknati pemakan riba, orang yang mewakili (perjanjian)-nya, kedua saksi (perjanjian)-nya dan pencatat.” (HR Muslim dan Tirmidzi).
Akhirnya, marilah kita bermuamalah, dengan senantiasa mengunakan cara-cara yang sesuai dengan syariat Islam, dalam praktik kehidupan sehari-hari kita. Raihlah kekayaan dengan cara yang dibenarkan dalam agama, dan dengan prinsip manusiawi. Sehingga kita terhindar dari laknat Rasulullah dan tidak tenggelam dalam lautan darah. Wallahu’alam
Oleh: Ahmad Agus Fitriawan