Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyatakan “Presiden boleh kampanye dan boleh memihak”.
Menurut PP Muhammadiyah, dari sudut pandang normative apa yang disampaikan Presiden Jokowi benar, sesuai Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu. Hanya saja, pelaksanaan kampanye harus dipandang bukan hanya sekedar ajang memperkenalkan peserta kontestasi politik, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 267 ayat (1) UU Pemilu.
“Bagaimana mungkin pendidikan politik masyarakat akan tercapai jika Presiden dan Wakil Presiden (yang aktif menjabat) kemudian mempromosikan salah satu kontestan, dengan (sangat mungkin) menegasi kontestan lainnya?,” demikian pernyataan Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang ditandatangani yang ditandatangani Dr. Trisno Raharjo, S.H, M.Hum (Ketua) dan Muhammad Alfian Dj (Sekretaris), yang diterima redaksi hidayatullah.com, hari Sabtu (27/1/202).
Selain itu, menurut PP Muhammadiyah, dari sudut pandang filosofis, Presiden sebagai kepala Negara adalah pemimpin seluruh rakyat. Pada dirinya ada tanggung jawab moral dan hukum dalam segala aspek kehidupan bernegara, termasuk Pemilu.
“Secara filosofis posisi Presiden adalah pejabat publik yang terikat sumpah jabatan dan harus berdiri di atas dan untuk semua kontestan. Dengan demikian, secara filosofis, aktivitas untuk kampanye sekalipun dilakukan saat cuti adalah tidak tepat,” demikian pernyataan Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Ketiga, menurut PP Muhammadiyah, dari sudut pandang etis (dan teknis), sumpah jabatan penyelenggara negara, termasuk presiden, adalah setia pada Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Kesetiaan ini harus diwujudkan dalam segala aktivitasnya.
“Meskipun Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, saat dirinya menjabat menjadi Presiden, dirinya wajib tunduk pada rakyat bukan pada partai politik pengusung. Di luar itu, Joko Widodo, selalu akan dipersonifikasi sebagai presiden dalam aktivitas apapun,” demikian pernyataan PP Muhammadiyah.
“Bahkan aktivitas keseharian yang tidak ada kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan sekalipun,” tambah pernyataan tersebut.
Oleh karenanya, penyelenggaraan pemerintahan seperti pembagian bantuan sosial akan secara langsung maupun tidak langsung “dianggap” oleh sebagian masyarakat sebagai “bantuan Jokowi”.
Faktanya, kondisi ini diperparah dengan adanya kesengajaan dari Presiden dan sebagian menterinya untuk memposisikan “bantuan sosial” ini sebagai “bantuan Jokowi”.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo sempat membuat pernyaan kontroversial. Dalam pernyataannya tanggal 24 Januari 2024 Presiden Jokowi menyebut bahwa presiden dan menteri boleh kampanye dan boleh berpihak.
“Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja. Presiden itu boleh loh kampanye, boleh lho memihak,” demikian pernyataan presiden di Pangkalan TNI AU Halim, Jakarta, Rabu (24/1/2024), yang langsung menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Di bawah ini pernyataan lengkap Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah menanggapi Presiden Joko Widodo:
1. Mendesak Presiden Joko Widodo untuk mencabut semua pernyataannya yang menjurus pada ketidaknetralan institusi kepresidenan, terlebih soal pernyataan bahwa Presiden boleh kampanye dan boleh berpihak.
2. Meminta kepada Presiden untuk menjadi teladan yang baik dengan selalu taat hukum dan menjunjung tinggi etika dalam penyelenggaraan negara. Presiden harus menghindarkan diri dari segala bentuk pernyataan dan tindakan yang berpotensi menjadi pemicu fragmentasi sosial, terlebih dalam penyelenggaraan Pemilu yang tensinya semakin meninggi.
3. Meminta kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk meningkatkan sensitifitasnya dalam melakukan pengawasan, terlebih terhadap dugaan digunakannya fasilitas negara (baik langsung maupun tidak langsung) untuk mendukung salah satu kontestan Pemilu.
4. Menuntut kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memperkuat peran pengawasan penyelenggaraan Pemilu, utamanya terhadap dugaan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pemenangan satu kontestan tertentu.
5. Meminta kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mencatat setiap perilaku penyelenggara negara dan penyelenggara pemilu yang terindikasi ada kecurangan untuk dijadikan sebagai bahan/referensi memutus perselisihan hasil Pemilu.
Sikap ini penting dilakukan oleh MK agar putusannya kelak yang bukan sekedar mengkalkulasi suara (karena MK bukan Mahkamah Kalkulator) tetapi lebih jauh dari itu untuk memastikan penyelenggaraan Pemilu telah berlangsung dengan segala kesuciannya.
Tidak dinodai oleh pemburu kekuasaan yang menghalalkan segala cara.
6. Mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama mengawasi penyelenggaraan pemilu, penyelenggara pemilu, dan utamanya penyelenggara negara. Pengawasan semesta ini diperlukan untuk memastikan Pemilu berlangsung secara jujur, adil, dan berintegritas agar diperoleh pimpinan yang legitimated dan berintegritas serta memastikan tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan dan fasilitas negara oleh penyelenggara negara.
Demikian pernyataan sikap Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini disampaikan. Pernyataan sikap ini sekaligus sebagai upaya Muhammadiyah untuk senantiasa memberi solusi untuk negeri, sebagaimana disampaikan oleh KH. Ahmad Dahlan:
“Aku berdoa, berkah dan keridhoan serta limpahan rahmat karunia ilahi, agar Muhammadiyah tetap maju dan bisa memberikan manfaat bagi seluruh umat sepanjang sejarah dari zaman ke zaman”.
Semoga pernyataan sikap ini dapat menjadi perhatian bagi pihak-pihak yang dituju.*
Ketua
Dr. Trisno Raharjo, S.H, M.Hum
Sekretaris
Muhammad Alfian Dj