Ketua Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Asrorun Niam Sholeh mengapresiasi langkah Mahkamah Agung yang menerbitkan aturan larangan pencatatan perkawinan beda agama.
Hari Selasa (18/7/2023) Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2/2023 tentang Indikasi bagi Hakim dalam Mengadili Permohonan Catatan Perkawinan Antar Orang yang Berbeda Agama dan Kepercayaan.
“Penerbitan SEMA ini sangat tepat untuk memberikan kepastian hukum dalam perkawinan dan untuk menutup celah bagi para pelaku perkawinan beda agama yang selama ini bermain-main dan berusaha menyiasati hukum,” kata Niam di Jakarta, Selasa.
Niam menjelaskan UU Perkawinan telah memperjelas bahwa perkawinan itu sah jika dilakukan sesuai dengan ajaran agama.
Dengan demikian, kata dia, acara pernikahan itu sebenarnya adalah acara keagamaan. Sementara negara hadir untuk menyelenggarakan acara keagamaan tersebut demi mencapai status melalui catatan.
“Pencatatan perkawinan merupakan wilayah administratif sebagai bukti legalitas perkawinan. Jika Islam menyatakan pernikahan tidak sah, maka tidak mungkin untuk mencatat,” katanya. Namun, menurut Niam, ada orang yang telah menghindari hukum dengan mengajukan keputusan pengadilan, dengan dalih Undang-Undang Administrasi Kependudukan membuat ruang.
Sementara itu, dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 secara eksplisit mengatur perkawinan adalah sah, bila dilakukan sesuai dengan hukum masing-masing agama dan keyakinannya.
Selanjutnya, Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan mengatur larangan perkawinan antara dua orang yang memiliki hubungan yang, menurut agamanya atau aturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Dalam Islam, kata Niam, pernikahan dilarang.
Islam melarang, dan hukum melarang. SE bersikeras pada larangan untuk melayani sebagai panduan hakim. Oleh karena itu, pelaku, fasilitator, dan penyelenggara perkawinan dari berbagai agama melanggar hukum,” kata Niam.
Sebelumnya, dalam proses penyusunan SEMA, MA mengundang perwakilan lembaga keagamaan untuk dimintai pendapatnya. Niam hadir dalam pertemuan tersebut untuk membahas berbagai isu seperti pernikahan agama, kasus putusan pengadilan yang beragam, dan pentingnya memberikan bimbingan bagi para hakim.
“Aturan ini wajib dipatuhi oleh semua pihak, terutama bagi hakim yang belum mengerti atau pura-pura tidak memahami hukum perkawinan,” katanya.* (ant)