Pertanyaan ini sering ditanyakan oleh sebagian kaum muslimin ketika tertimpa musibah. Mereka menanyakan, “Apakah musibah ini ujian yang dapat meningkatkan derajat, ataukah azab atas dosa-dosa selama ini?”
Jawabannya adalah, secara umum kita tidak bisa memastikan dengan benar-benar pasti bahwa apa yang Allah Ta’ala turunkan ini merupakan ujian yang meningkatkan derajat atau azab akibat dosa-dosa kita. Akan tetapi, kita bisa mengetahui dari indikasi-indikasi tertentu, yaitu bagaimana seorang hamba menghadapi musibah tersebut.
Tanda-tanda musibah ujian atau azab
Perhatikanlah hadis berikut, Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ، وَإِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ،
فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ
“Sesungguhnya pahala yang besar didapatkan melalui cobaan yang besar pula. Apabila Allah Ta’ala mencintai seseorang, maka Allah akan memberikan cobaan kepadanya. Barangsiapa yang rida, maka Allah akan meridainya. Dan barangsiapa yang murka (tidak menerimanya), maka Allah murka kepadanya” (HR. At-Tirmidzi).
Jadi indikasinya adalah bagaimanakah sikap hamba tersebut dalam menyikapi musibah yang dia hadapi. Apabila dia rida, maka Allah Ta’ala akan rida padanya. Apabila dia murka dan tidak terima dengan musibah yang merupakan takdir dan perbuatan Allah, maka Allah pun murka kepadanya.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani Rahimahullah berkata,
علامة الابتلاء على وجه العقوبة والمقابلة: عدم الصبر عند وجود البلاء، والجزع والشكوى إلى الخلق. وعلامة الابتلاء تكفيرا وتمحيصا للخطيئات: وجود الصبر الجميل من غير شكوى، ولا جزع ولا ضجر، ولا ثقل في أداء الأوامر والطاعات. وعلامة الابتلاء لارتفاع الدرجات: وجود الرضا والموافقة، وطمأنينة النفس، والسكون للأقدار حتى تنكشف
“Tanda bala (musibah) sebagai hukuman dan sebagai pembalasan adalah orang tersebut tidak bersabar, bahkan bersedih dan mengeluh kepada makhluk. Tanda bala (musibah) sebagai penebus dan penghapus kesalahan adalah kesabaran yang indah tanpa mengeluh, tidak bersedih dan tidak gelisah, serta tidak merasa berat ketika melaksanakan perintah dan ketaatan. Tanda bala (musibah) sebagai pengangkat derajat adalah adanya rida, merasa cocok/sesuai (atas takdir Allah), dan merasa tenang jiwanya serta tunduk patuh terhadap takdir hingga hilangnya musibah tersebut” (At Tabaqatul Kubra As-Sya’rani, hal. 193).
Selalu husnuzan kepada Allah dan mengambil pelajaran atas setiap musibah
Hendaknya kita husnuzan dengan Allah Ta’ala agar kita selalu rida dengan apa yang Allah takdirkan kepada kita. Apa yang Allah takdirkan, itulah yang terbaik bagi kita.
Dalam sebuah hadis qudsi, Allah Ta’ala berfirman,
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ
“Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku” (HR. Bukhari).
Salah satu cara agar kita selalu husnuzan kepada Allah bahwa musibah ini adalah takdir terbaik bagi kita yaitu dengan meyakini bahwa Allah akan memberikan ujian bagi hamba yang Allah cintai.
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,
وَإِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ
“Apabila Allah mencintai seseorang, maka Allah akan memberikan cobaan kepadanya. Barangsiapa yang rida (menerimanya), maka Allah akan meridainya. Dan barangsiapa yang murka (tidak menerimanya), maka Allah murka kepadanya” (HR. At-Tirmidzi).
Ujian yang disegerakan di dunia juga tanda kebaikan dari Allah Ta’ala.
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,
إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَفَّى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukuman di dunia. Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas dosa yang dia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak” (HR. Tirmidzi).
Renungkan pula perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berikut ini,
مصيبةٌ تُقبل بها على اللهِ، خيرٌ لكَ من نعمةٍ تُنسيك ذِكرَ الله
“Musibah yang mendekatkanmu kepada Allah lebih baik dari nikmat yang membuatmu lupa kepada Allah” (Tasliyah Ahlil Mashaa-ib, hal. 227).
Demikian, semoga tulisan ini bermanfaat.
Penyusun: Raehanul Bahraen