“TIDAK perlu menjadi feminis demi meraih derajat kemuliaan tertinggi, karena Islam telah menempatkan perempuanpada singgasana kemuliaannya jauh sebelum feminisme lahir.”
Ketika mendengar kata feminisme, yang terlintas dalam benak penulis adalah sebuah ideologi atau gerakan menuntut hak dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan; yang dianggap sebagai sebuah solusi agar perempuanmendapatkan posisi yang “layak” di masyarakat. Namun, ketika kata feminisme disematkan pada diri seorang Muslimah sehingga muncul istilah Muslimah feminis, seperti ada yang mengganjal. Bagaimana mungkin ideologi feminisme dan Islam yang jelas-jelas bertolak belakang dipaksa untuk sejalan?
Belum lama ini isu tentang feminisme kembali digaungkan secara masif oleh para pengusungnya. Tagar #lawanbersama, #bebasbersuara, serta kampanye lainnya yang bertujuan menuntut hak dan persamaan perempuanaktif menghiasi laman instagram dan media sosial lainnya.
Sebelum ini, para pengusung feminis berupaya mendorong pemerintah untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang masih menuai pro-kontra, bahkan salah satu fraksi di DPR RI dengan tegas menolak Rancangan Undang-undang tersebut. Mau tidak mau, para feminis harus bekerja lebih keras untuk mencari dukungan sana-sini. Puncaknya adalah agenda tahunan para feminis (Women’s March) yang diselenggarakan secara serentak di beberapa daerah, dengan tema besar: Kekerasan Berbasis Seksualitas dan Gender.
Mirisnya, beberapa Muslimah yang melabeli diri mereka sebagai Muslimah feminis turut berpartisipasi dalam gerakan tersebut. Mereka ikut melebur dalam barisan, serta dengan bangganya mengkampanyekan berbagai tuntutan. Misalnya, “Bukan salah baju atau tubuhku, tapi kamu yang melanggar otoritas tubuhku”, “Menjadi perempuan tidak sama dengan tunduk terhadap patriarki”, dan tuntutan lain yang dinilai agak “menggelitik” jika ditinjau dari sudut pandang seorang Muslimah yang benar-benar mempelajari Islam secara kaffah.
Islam yang menganjurkan pemeluknya untuk saling menasihati dalam kebaikan–termasuk mengingatkan tentang kewajiban berhijab, dibantah para feminis dengan dalih melanggar otoritas tubuh. Islam yang mengharuskan seorang istri taat terhadap suaminya, juga dibantah dengan alasan sistem keluarga semacam itu merupakan budaya patriarki. Dari sini saja sudah terlihat perbedaannya, bukan?
Islam yang mengharuskan para pemeluknya tunduk dan patuh pada syariat, sangat bertolak belakang dengan pandangan feminisme yang tidak ingin serba diatur alias “terserah gue”.
Saat ini, berbagai akun media sosial yang membahas hubungan antara Islam dan feminisme kian bermunculan. Tidak jarang mereka menafsirkan dan memotong ayat alquran sesuai kehendak hawa nafsunya. Jika cocok dengan ideologi mereka maka diambil sebagai referensi, jika tidak cocok maka mereka tinggalkan.
Begitu pula dengan sejarah Islam–entah dari mana mereka belajar dan mengambil sumber; mereka memaparkan tentang jejak feminis Rasulullah ﷺ, juga mengklaim bahwa Ibunda Khadijah, Ibunda ‘Aisyah serta beberapa Shahabiyah lainnya sebagai tokoh feminisme. Tentu saja, ini merupakan sebuah pemikiran yang sangat menyesatkan sekaligus mencederai sejarah Islam. Sebab, Rasulullah ﷺ dan perempuan-perempuan mulia tersebut sama sekali tidak mengenal feminisme. Adapun kesuksesan mereka dalam berbagai bidang bukan karena mereka mengusung feminisme, melainkan karena mereka mendapatkan pendidikan yang luar biasa.
Jadi, Muslimah tidak perlu ikut-ikutan mengusung ide-ide feminisme hanya untuk mendapat tempat terhormat atau hanya kepinhin diakui toleran. Tidak perlu meneladani tokoh-tokoh feminisme hanya untuk mempelajari bagaimana caranya menjadi seorang perempuan hebat yang mampu bersaing dengan kaum laki-laki, karena Islam memiliki “segudang” teladan nyata.
Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, yang mampu membawa kita menuju tempat yang sangat layak di sisi Allah. Jika kita mau tunduk dan patuh pada setiap aturan yang telah ditetapkan. Islam sudah sangat memanjakan perempuandengan menjadikan kaum laki-laki sebagai qawwam (pemimpin, pelindung) bagi perempuan, memberikan beban dan tanggung jawab yang lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Lantas, mengapa masih menuntut untuk disetarakan justru ketika Allah telah meringankan beban di pundak kita, wahai Muslimah?
Oleh: Septiana Mahmudah, Penulis peminat masalah sosial
Penulis peminat masalah sosial