Musthalah Hadits, Produk Islam Paling Valid Menerima Berita

Musthalah Hadits, Produk Islam Paling Valid Menerima Berita

Melalui musthalah hadits, terbuktilah bahwa kaum Muslimin memiliki metodologi yang sangat valid dalam menerima sebuah berita atau informasi.

Hidayatullah.com | Salah satu harta ilmu peninggalan Islam yang dinamis dan terus berkembang adalah ilmu musthalah hadits. Saat ini, kajian tentang ilmu ini menjadi semakin intensif dan luas.

Meskipun istilah musthalah hadits muncul pada abad ke-4 Hijriyah, konsep dasarnya sudah ada sejak zaman Rasulullah ﷺ. Dalam Surat al-Hujurat ayat 6, Allah memerintahkan umat Islam untuk menguji dan menyelidiki berita dari orang-orang munafik.

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan cermat agar kalian tidak menimpakan suatu bencana kepada sekelompok orang karena kebodohanmu, lalu kalian menyesali perbuatanmu itu.” (QS: Al-Hujurat: 6).

Rasulullah ﷺ juga menjelaskan bahwa Allah akan mencerahkan wajah seseorang yang mendengar Hadis dan menyampaikan berita tersebut sebagaimana yang didengar, dan mungkin saja orang yang menerima berita tersebut memiliki pemahaman yang lebih baik daripada yang mendengar langsung. (HR: Ibnu Majah).

Dalam upaya untuk mematuhi perintah Allah dan Rasul-Nya, para sahabat telah mengembangkan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan menyampaikan dan menerima berita, terutama ketika mereka meragukan kejujuran pengirim berita.

Di pendahuluan kitab Shahih Muslim, diberitahukan oleh Ibnu Sirin bahwa awalnya para sahabat tidak menanyakan tentang isnad (rantai periwayatan), tetapi setelah terjadi fitnah, seperti pembunuhan Khalifah Utsman, mereka mulai menanyakan siapa yang meriwayatkan hadits.

Namun, perkembangan ilmu musthalah hadits mulai pesat pada awal abad ke-3 Hijriyah. Meskipun demikian, perkembangannya masih berkaitan dengan upaya mengenali periwayatan hadits yang dapat diterima dan yang harus ditolak.

Muhammad Ibnu Shihab Al Juhri (wafat tahun 124 H), salah satu tabi’in junior yang mendengarkan banyak hadits dari sahabat dan tabi’in senior, adalah salah satu ulama pertama yang mengumpulkan ilmu riwayat ini. Pada masa itu, Khalifah Umar ibn Abdul Aziz memerintahkan Abu Bakr ibn Muhammad ibn Abi Bakr ibn Hazm (wafat tahun 117 H), gubernur Madinah, untuk menghimpun Hadits Rasulullah ﷺ agar bisa dipelajari oleh umat Islam.

Gubernur tersebut menugaskan Al-Zuhri untuk menghimpun dan mencatat Hadits Rasulullah ﷺ. Setelah itu, banyak ulama lain yang melanjutkan usaha serupa, seperti Ibnu Juraij (wafat tahun 150 H), Ibnu Ishaq (wafat tahun 151 H), Imam Malik (wafat tahun 179 H), Sufyan at Tsury (wafat tahun 116 H), Imam al Auza’I (wafat tahun 156 H), dan lainnya.

Pada masa ini, para ulama mulai menulis riwayat yang mereka hafal, baik dari Rasulullah ﷺ maupun para sahabat. Namun, belum ada metodologi yang konsisten untuk memisahkan antara ucapan Rasulullah ﷺ dan para sahabat.

Pada generasi selanjutnya, dimulailah proses pemisahan antara Hadits Rasulullah ﷺ dan fatwa-fatwa sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Ulama- ulama perintis dalam fase ini termasuk Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, dan lainnya.

Sebelumnya, Imam Syafi’i telah memberikan dasar atau kriteria mengenai kelayakan periwayatan seorang perawi. Hal ini terdapat dalam karyanya “al-Umm” dan “al-Risalah”.

Ulama- ulama setelahnya kemudian mengadopsi metode dalam menerima dan menolak perawi. Setelah memiliki metodologi yang kokoh dalam menentukan kelayakan periwayatan hadits, berbagai kitab hadits bermunculan dalam bentuk musnad (berdasarkan perawi) dan berdasarkan urutan dalam ilmu fiqih.

Kitab hadits musnad tidak mengikuti urutan tertentu dan berisi masalah-masalah yang disajikan secara berurutan. Fokus utama pada perawi, seperti Asiyah, Abdullah bin Umar, Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas, dan lainnya.

Salah satu contoh yang terkenal adalah musnad Imam Syafi’i, musnad Imam Ahmad, dan lain-lain.

Selanjutnya, setelah berbagai kitab hadits ditulis oleh ulama, baik dalam bentuk musnad atau lainnya, generasi berikutnya berlomba-lomba menghafal Hadits dengan sanad (rantai perawinya) dan mengkaji kesahihannya.

Kitab-kitab terkenal dalam fase ini termasuk mu’jam Imam at Thabrani, Sunan Abi Daud, Sahih Abi Awanah, dan Sahih Ibnu Khuzaimah. Ini terjadi pada abad ke-4 Hijriyah.

Kemudian, pada abad ke-5 Hijriyah, para ulama banyak menulis kitab-kitab hadits tematik dan merangkum kitab-kitab hadits yang sebelumnya telah disusun oleh ulama, seperti Sunan al Kubra al Baihaqi, Muntaqal Akhbar al Harani, dan Nailul Authar as Syaukani.

Ilmu musthalah hadits ini juga mencakup hadits dirayah, yang membahas cara transmisi lisan berita. Meskipun pembahasan ini telah dimulai sejak abad kedua Hijriyah, tetapi baru dalam beberapa abad berikutnya disusun menjadi kitab khusus dan menjadi disiplin ilmu sendiri.

Dengan lahirnya ilmu musthalah hadits ini, terbukti bahwa umat Muslim memiliki metodologi yang sangat valid dalam menerima berita atau informasi. Metodologi ini merupakan kekayaan unik dari Islam. */Bahrul Ulum, dari majalah Suara Hidayatullah”

HIDAYATULLAH