LAHIRNYA sebuah negara – atau kota – biasanya dikenang oleh warganya, seperti Indonesia dan Malaysia, misalnya, yang diperingati pada setiap bulan Agustus (masing-masing pada tanggal 17 dan 31). Dibandingkan negara modern yang umumnya lahir belakangan, banyak kota-kota di dalamnya yang memiliki usia jauh lebih tua, bahkan ada yang tidak diketahui kapan persisnya kota itu lahir. Di antaranya adalah kota Makkah.
Walaupun tahun kelahiran Makkah tidak disebutkan di dalam sejarah, kita mengetahui kisah kemunculan kota itu dari beberapa hadits. Tentu saja tempat itu tidak langsung terbentuk menjadi sebuah kota, tetapi bermula dari sebuah pemukiman yang sangat sederhana.
Karenanya, tulisan kali ini hendak mendiskusikan tentang formasi awal Makkah dan kaitannya dengan kemunculan peradaban, di samping juga tentang generasi Arab (Musta’ribah) yang dilahirkan oleh Nabi Ismail alaihis salam, sebagaimana yang disebutkan di dalam sejarah Islam dan juga di dalam Perjanjian Lama.
Mengikuti narasi hadits, Makkah mulai terbentuk menjadi sebuah pemukiman ketika Nabi Ibrahim alaihis salam membawa istrinya Hajar dan puteranya Ismail yang masih dalam usia menyusui ke lembah Bakkah/Makkah. Kisah tentang ini antara lain disebutkan dalam dua hadits yang panjang di dalam Sahih Bukhari, yang dapat diringkas seperti berikut:
Nabi Ibrahim membawa Hajar dan Ismail ke lembah Makkah yang ketika itu tidak berpenghuni dan tidak memiliki sumber air. Nabi Ibrahim alaihis salam kemudian berbalik pulang (ke Palestina), meninggalkan istri dan anaknya di lembah yang terasing di tengah gurun pasir itu.
Walaupun sangat berat, Hajar menerima hal itu sebagai sebuah ketetapan dari Tuhan-nya dan ia percaya Allah akan menjaga dirinya dan anaknya. Saat bekalnya habis, ia berlari bolak-balik tujuh kali di antara bukit Safa dan Marwa, berharap ada manusia di sekitar tempat itu, tetapi tidak jua dijumpainya. Kemudian ia melihat malaikat Jibril berdiri dan menggali dengan kaki atau sayapnya di tempat keluarnya sumur Zamzam, sehingga Hajar dan Ismail dapat minum dari mata air yang baru keluar itu.
Beberapa waktu kemudian, sekumpulan Bani Jurhum lewat di kawasan itu. Saat mengetahui adanya mata air di lembah itu, mereka pun meminta izin untuk menetap. Maka lahirlah Makkah sebagai sebuah pemukiman atau desa. Ismail tumbuh besar, belajar bahasa Arab, dan menikah dengan suku Jurhum.
Ayahnya Ibrahim, dalam beberapa kesempatan datang ke Makkah, dan pada suatu ketika mengajak Ismail untuk membangun Ka’bah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah. Ka’bah sebelum itu hanyalah berupa sebuah bukit kecil di lembah Makkah. Setelah Ka’bah selesai dibangun, keduanya pun berdoa kepada Allah (al-Bukhāri, 1997: IV/351-359; Hadits No. 3364 & 3365).
Sejak saat itu, dimulailah ibadah haji yang menarik orang-orang berdatangan setiap tahunnya ke Makkah. Hal ini menjadikan pemukiman itu terus berkembang pada masa-masa berikutnya.
Ada beberapa hal terkait kelahiran Makkah yang hendak didiskusikan di sini. Pertama, tentang munculnya sumur Zamzam. Hadits di atas menyebutkan bahwa ketika air mulai mengalir keluar dari tempat itu, Hajar membuat cekungan di sekitar air untuk membatasi alirannya (menjadikannya kolam kecil).
Nabi ﷺ mengomentari hal ini dengan sabdanya, “Kalau saja ia membiarkan Zamzam (mengalir tanpa dibatasi atau dibendung alirannya) … Zamzam akan menjadi air yang mengalir di permukaan bumi (law tarakat zamzam … lakānat zamzam ᶜaynan maᶜīnan/law tarakathu kāna al-mā’ ẓāhiran).”
Ibn Hajar al-Asqalani (2002: XVII/361-361) mengutip Ibn al-Jawzī yang berkomentar tentang hal ini, bahwa “Munculnya Zamzam merupakan nikmat dari Allah secara murni tanpa ada campur tangan manusia. Ketika dicampuri oleh perbuatan Hajar, maka berarti telah dimasuki oleh usaha manusia, sehingga air pun dicukupkan pada yang demikian.”
Sabda Nabi di atas membuat kita berfikir tentang apa yang sebenarnya Nabi ﷺ maksudkan. Apakah ini bermakna Zamzam sebenarnya berpotensi menjadi aliran sungai yang besar, tetapi tidak menjadi sungai dengan ketentuan Allah, lewat peranan Hajar yang tidak disengaja olehnya untuk itu?
Terlepas dari sabda Nabi di atas, kita tetap dapat mengandaikan bahwa mungkin saja Allah menjadikan dari mata air Zamzam sebuah sungai di Jazirah Arab. Jika ini yang terjadi, maka sejarah kawasan itu dapat menjadi sangat berbeda. Sungai itu akan menarik lebih banyak manusia yang dapat menjadikannya pusat peradaban kuno yang penting, sebagaimana Mespotamia dan Mesir Kuno.
Tapi takdir berbicara lain, dan Makkah menunggu waktu yang lebih panjang sebelum nantinya menjadi pusat kemunculan Islam. Tentu ada makna di balik realita ini, yang tidak dapat kami diskusikan dalam tulisan yang terbatas ini.
Poin berikutnya adalah tentang unsur-unsur peradaban. Kisah di atas secara tidak langsung menunjuk kepada elemen-elemen dasar yang berpotensi melahirkan sebuah peradaban – setidaknya suatu pemukiman urban yang merupakan basis bagi peradaban – yaitu adanya manusia, air dan agama.
Ini mengingatkan kita pada persamaan yang dibuat oleh Malik Bennabi, tetapi dengan rumusan yang sedikit berbeda. Menurut Bennabi, peradaban dibentuk oleh elemen manusia, tanah, dan waktu. Tetapi ketiga elemen ini baru dapat menjadi peradaban dengan adanya pemikiran keagamaan sebagai katalisator (Bennabi, 1998, 31; Bin Nabi, 1987, 50).
Dalam konteks kelahiran Makkah ini, persamaan itu disederhanakan menjadi manusia, air, dan agama. Elemen waktu tidak dimasukkan karena manusia dan sejarah memang selalu berada di dalam waktu. Air merupakan elemen yang lebih ditekankan daripada tanah, mengingat posisinya yang lebih sentral bagi peradaban.
Manusia dan masyarakatnya selalu menjadi penggerak utama peradaban. Hajar dan Ismail dalam hal ini menjadi manusia-manusia pertama yang memulai pemukiman di Makkah. Jumlah manusia yang sedikit tentunya tidak dapat membawa pada munculnya kota atau peradaban. Hal itu baru dapat terwujud dengan adanya sumber air yang berlimpah yang menarik lebih banyak manusia untuk menetap dan mengubahnya menjadi pemukiman besar yang permanen.
Air (mata air dan sungai) selalu menjadi pusat penting yang memungkinkan munculnya peradaban-peradaban lama. Dengan air yang berlimpah, pertanian menjadi mungkin untuk diupayakan, dan seterusnya masyarakat akan berkembang menuju susunan yang lebih kompleks.
Kemunculan mata air Zamzam di Makkah telah menarik kehadiran lebih banyak orang untuk menetap. Hanya saja, mata air yang ada di lembah itu tidak membawa pada wujudnya pertanian dan perkebunan. Diet penduduknya terutama adalah dengan daging dan air, di samping buah-buahan dan biji-bijian (gandum) yang datang dari luar tempat itu. Ini sebagaimana yang diisyaratkan oleh doa Nabi Ibrahim di dalam al-Qurán, “… sesungguhnya aku menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman …” (QS 14: 37,) dan di dalam hadits Bukhari di atas, “Ya Allah! Berkahilah daging dan air mereka” (Allāhumma bārik lahum fī-l-laḥm wa-l-mā’).
Walaupun Makkah tidak menawarkan pertanian, ritual keagamaan yang berkembang di sekitar Ka’bah ikut memberikan implikasi bagi tumbuhnya perekonomian di sana. Ka’bah dalam hal ini mewakili elemen peradaban yang ketiga, yaitu agama.
Agama merupakan penggerak penting bagi muncul dan berkembangnya peradaban-peradaban kuno, yang peranannya tidak berhenti hanya pada aspek ritual dan sosial belaka, tetapi juga merambah ke aspek ekonomi dan politik kenegaraan.
Ka’bah di Makkah juga memberi stimulus bagi berkembangnya perdagangan yang berskala regional. Hal ini memungkinkan masyarakatnya tumbuh secara gradual menjadi masyarakat yang bersifat urban, yang lebih padat populasinya sekaligus memimpin kawasan di sekitarnya. Ka’bah juga mempersiapkan kota Makkah untuk nantinya menjadi tempat kemunculan agama Islam, sekaligus menjadi pusat spiritual peradaban Islam yang menyatukan banyak manusia dari berbagai suku bangsa di dunia, hingga ke masa sekarang ini.
Walaupun ada rentang waktu yang panjang di antara era Nabi Ismail dan Nabi Muhammad, keduanya menjadi mata rantai yang solid di dalam sejarah awal bangsa Arab. Orang-orang Arab sendiri mengenal detail-detail sejarah nenek moyang mereka yang terdahulu secara samar-samar, kadang dengan sokongan riwayat dari sepupu mereka: Bani Israil.
Nabi Ismail tentu saja bukan orang Arab yang pertama. Bani Jurhum yang hadir ke tempat Hajar dan Ismail di Makkah ketika itu adalah bagian dari orang-orang Arab yang asli. Buku-buku sejarah biasanya membagi masyarakat Arab kepada tiga bagian: Ba’idah, ‘Aribah, dan Musta’ribah. Yang pertama sudah pupus dari sejarah. Adapun Bani Jurhum dan beberapa kabilah Arab lainnya yang berasal dari Yaman termasuk dalam kategori yang kedua (‘Aribah). Sementara Nabi Ismail dan keturunannya merupakan orang orang yang terarabkan atau disebut juga Musta’ribah (al-Mubarakfury, 2004: 13).
Nabi Ismail memiliki dua belas orang putera, yaitu – mengikuti versi nama Arab/Perjanjian Lama – Nabit/Nebayot, Qaidar/Kedar, Adba’il/Adbeel, Mibsyam/Mibsam, Misyma’/Mishma, Duma/Duma, Misya/Masa, Hidad/Hadad, Yutma/Tema, Yathur/Yetur, Nafis/Nafish, dan Qaidaman/Kedma (al-Mubarakfury, 2004: 18; Kitab Kejadian 25: 13-15). Namun di antara kedua belas anak ini, menurut al-Tabari (1987: II/132), Nabit dan Qaidar-lah yang menjadi nenek moyang bagi orang-orang Arab keturunan Ismail.
Menurut al-Mubarakfury (2004: 18-19), anak cucu Nabit tersebar di utara Hijaz, sementara keturunan Qaidar menetap di Makkah hingga nantinya muncul Adnan yang merupakan kakek Nabi Muhammad ﷺyang kedua puluh satu.
Berangkat dari fakta-fakta di atas, tidak mengherankan jika Muslim yang mendalami kristologi berpandangan bahwa “nyanyian baru bagi Tuhan” yang disebut di dalam Alkitab Yesaya 42: 10-11 adalah berkenaan dengan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad, yaitu Islam. Teks itu lebih lengkapnya berbunyi demikian:
“Nyanyikanlah nyanyian baru bagi Tuhan dan pujilah Dia dari ujung bumi! Baiklah laut bergemuruh serta segala isinya dan pulau-pulau dengan segala penduduknya. Baiklah padang gurun menyaringkan suara dengan kota-kotanya dan dengan desa-desa yang didiami Kedar! Baiklah bersorak-sorai penduduk Bukit Batu, baiklah mereka berseru-seru dari puncak gunung-gunung!”
Di mana lagi ada tempat yang memberikan referensi bagi “nyanyian baru” yang melibatkan Kedar dan padang pasir dengan kota dan desanya selain daripada Makkah dan sekitarnya? Terlebih jika merujuk pada versi bahasa Inggris dari Alkitab, di mana perkataan “penduduk Bukit Batu” pada ayat di atas merupakan terjemahan dari “the people of Sela”. Dan di kota Madinah terdapat sebuah gunung dengan nama Sela (Silaᶜ).
Jika Kedar di atas mengacu pada orang-orang Quraisy yang berada di Makkah, maka Nabi Muhammad juga adalah keturunan Kedar (Qaidar) dan Quraisy. Begitu pula beliau ﷺ dan para pengikutnya di Makkah yang umumnya keturunan Quraisy kemudian berhijrah dan menetap di kota Madinah, yang padanya terdapat gunung bernama Sela.
Apakah memang ini yang dimaksud oleh Alkitab? Mungkin saja.
Orang-orang Yahudi dan Kristen tentu akan sulit untuk menerima penafsiran di atas. Ismail dan keturunannya (orang-orang Arab) bukan tokoh dan bangsa yang dinilai tinggi dalam tradisi kedua agama ini. Ismail dan bangsa Arab digambarkan secara kurang positif di dalam Alkitab. Kitab Kejadian 16: 12, misalnya, saat menubuatkan kelahiran Ismail (alaihis salam), menulis seperti berikut:
“Seorang laki-laki yang lakunya seperti keledai liar, demikianlah nanti anak itu; tangannya akan melawan tiap-tiap orang dan tangan tiap-tiap orang akan melawan dia, dan di tempat kediamannya ia akan menentang semua saudaranya.”
Teks di atas diambil dari Alkitab yang dikeluarkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (https://www.alkitab.or.id/alkitab/alkitab-digital) dan maknanya sejalan dengan versi Inggris New International Version (NIV), versi yang lebih baru dibandingkan King James Version (KJV).
Teks bahasa Inggris (NIV) dari ayat ini juga menyebut bahwa Ismail “will be a wild donkey of a man” dan tangannya “will be against everyone”. Dengan kata lain, teks Alkitab pada Lembaga Alkitab Indonesia kurang lebih merupakan terjemahan dari New International Version (NIV), setidaknya untuk ayat yang tengah dibahas ini.
Tidak akan terlalu mengherankan jika kalangan Yahudi dan Kristen yang membaca ayat di atas akan tersugesti untuk memiliki pandangan yang sangat negatif terhadap orang-orang Arab: bahwa mereka cenderung biadab (a wild donkey) dan suka bermusuhan dan saling berperang (against everyone … live in hostility toward all his brothers).
Namun, halnya menjadi menarik ketika teks di atas diperbandingkan dengan terjemahan Inggris dari teks Taurat Masoretik, yaitu teks kitab suci ortodoks (resmi) dalam agama Yahudi. Walaupun masih bersifat negatif, bunyinya sedikit berbeda:
“And he will be a wild man, his hand [will be] against every man, and every man’s hand against him, and he shall dwell in the presence of all his brethren.”
Kata keledai (donkey) tidak muncul di situ. Perkataan “manusia liar” tidak mesti bermakna negatif, karena itu bisa berarti orang yang tinggal di kawasan gurun pasir di tengah orang-orang Arab Badui. Perkataan yang bermakna “tangannya akan melawan tiap-tiap orang” masih sama seperti teks sebelumnya. Namun, frase yang terakhir tidak bersifat negatif seperti pada versi sebelumnya (“he shall dwell”, dan bukan “he will live in hostility”).
Teks pada King James Version (KJV) semakna dengan teks Masoretic Torah dan berbeda dengan teks New International Version (NIV). Mengingat NIV merupakan versi yang lebih baru – dirumuskan oleh kalangan Evangelis dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1978 (https://www.thenivbible.com/about-the-niv/history-of-the-niv/) – maka menjadi satu tanda tanya tentang bagaimana, misalnya, perkataan “keledai liar” (a wild donkey) bisa muncul di dalam teks NIV, berbeda dengan beberapa versi lain Alkitab (Bible) yang lebih dulu beredar.
Perbandingan teks menjadi semakin menarik jika merujuk kepada terjemahan Inggris dari teks Taurat Yahudi non-ortodoks, yaitu teks Samaritan yang menjadi pegangan sekte Yahudi Samaritan. Bunyi ayat pada Kejadian (Genesis) 16: 12 ternyata sangat positif.
Ismail (alaihis salam) bukan lagi “a wild man” (seorang manusia liar), melainkan “fertile of man” (manusia yang subur). Tangannya tidak lagi menentang semua orang, tetapi “bersama” setiap orang (“His hand will be with everyone. And everyone’s hand will be with him”). Dan akhirnya, ia tidak hidup dalam permusuhan terhadap semua saudaranya, tetapi hidup di tengah semua saudaranya (“And he will live among all his brothers”) (Tsedaka, 2013: 34).
Perbandingan Teks Alkitab (huruf tebal dari penulis) | |||
Samaritan Torah | Masoretic Torah (dan KJV) | New International Version (NIV) | |
Genesis 16: 12(Kejadian 16: 12) | He will be fertile of man. His hand will be with everyone. And everyone’s hand will be with him. And he will live among all his brothers. | And he will be a wild man, his hand [will be] against every man, and every man’s hand against him, and he shall dwell in the presence of all his brethren. | He will be a wild donkey of a man; his hand will be against everyone and everyone’s hand against him, and he will live in hostility toward all his brothers. |
Terjemah Bahasa Indonesia | Dia akan menjadi manusia subur. Tangannya akan bersama semua orang. Dan tangan semua orang akan bersamanya. Dan dia akan tinggal di antara semua saudaranya. | Dan dia akan menjadi manusia liar, tangannya akan melawan setiap orang, dan tangan setiap orang melawan dia, dan dia akan tinggal di tengah semua saudaranya. | Dia akan menjadi keledai liar manusia; tangannya akan melawan setiap orang dan tangan setiap orang melawan dia, dan dia akan hidup dalam permusuhan terhadap semua saudaranya. |
Entah bagaimana teks-teks di atas dapat saling berbeda. Bukan hanya berbeda, tetapi secara signifikan bertentangan satu sama lain. Perbedaan teks ini akan memberikan pengaruh yang tidak kecil bagi para pembacanya.
Seorang Nabi tentu lebih layak untuk menerima gambaran yang positif. Nabi Ismail alahis salam memang seorang yang subur, banyak keturunannya, sebagaimana diakui juga oleh Alkitab saat menubuatkan keturunan Hajar/Hagar (“Aku akan membuat sangat banyak keturunanmu, sehingga tidak dapat dihitung karena banyaknya”; Kejadian 16: 10). Ayat ini terletak sebelum ayat yang telah didiskusikan sebelumnya, menjadikannya lebih sejalan dengan versi teks yang menggambarkan Ismail sebagai “fertile of man” ketimbang “a wild man”, apalagi “a wild donkey”.
Begitu pula ungkapan yang positif bahwa tangannya akan bersama setiap orang dan tangan setiap orang akan bersamanya. Hal ini tergambar di kemudian hari, ketika dari Makkah bermula suatu revolusi yang akan membawa agama Islam ke berbagai belahan dunia, merangkul berbagai suku bangsa dalam membangun satu peradaban yang baru, yang, meminjam istilah Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud (2018), dapat disebut sebagai a virtuous civilization.
Kebersamaan ini juga tampak saat menyaksikan beragam manusia berhimpun dan beribadah di sekeliling Ka’bah, bangunan suci yang pertama kali didirikan oleh Ismail bersama ayahnya Ibrahim. Seolah mereka semua berangkulan dan bergandengan tangan, sebagai sesama saudara yang sama-sama menghadapkan wajah kepada Sang Pencipta. Wallahu a’lam.* (Kuala Lumpur, 21 Muharram 1443/30 Agustus 2021)
Penulis adalah staf pengajar di bidang Sejarah dan Peradaban pada International Islamic University Malaysia (IIUM)
Daftar Pustaka
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 2002. Fathul Baari: Penjelasan Kitab Shahih Al Bukhari, Vol. XVII. Jakarta: Pustaka Azzam.
Bennabi, Malik. 1998. On the Origins of Human Society. Translator: Mohamed Tahir El-Mesawi. London: The Open Press.
Bin Nabi, Mālik. 1987. Shurūṭ al-Nahḍah. Damaskus: Dār al-Fikr.
Al-Bukhāri. 1997. The Translation of the Meanings of Sahīh al-Bukhāri, Vol. IV. Riyadh: Darussalam.
Al-Tabari. 1987. The History of al-Ṭabarī, Vol. II: Prophets and Patriarchs. Trans. William M. Brinner. New York: State University of New York Press.
Tsedaka, Benyamin (Ed. & Trans.). 2013. The Israelite Samaritan Version of the Torah: First English Translation Compared with the Masoretic Version. Michigan: William B. Eerdmans Publishing.
Wan Daud, Wan Mohd Nor. 2018. “The Timelessness of Prophet Muhammad and the Nature of the Virtuous Civilization,” Tafhim, 1-38.
Oleh: Alwi Alatas