Banyak orang dalam konteks cara beragama, masih sebatas formalitas saja meneladani baginda Nabi. Misalnya sekadar pakaian, jenggot, atribut dan aksesoris semata. Secara begitu, sangat miris bila kita tidak menirukan cara berpikir Nabi sebagai sunnah; menduplikasi kecerdasan nabawi beliau menjadi kurikulum di sekolah-sekolah, khususnya lembaga pendidikan Islam. Nabi mengenalkan Islam dengan pendekatan secara manusiawi.
Dakwah Islam Nabi, seringkali (banyak) disalahpahami dengan identitas perang dan pedang. Padahal Nabi adalah sosok manusia Agung yang mengenalkan Islam sebagai agama dialog, agama cinta, dan agama yang memanusiakan manusia. Sosoknya yang cerdas nan lemah lembut itu dihadirkan dalam buku “Nabi Muhammad Bukan Orang Arab?”. Buku kumpulan essai itu mengandung pesan teduh dan pastinya memberikan stimulus pada pembaca supaya mampu merenung-insafi cara beragama dan bernegara secara santun sebagaimana yang dicontohkan oleh baginda Nabi.
Dalam buku yang ditulis oleh Ach. Dhofir Zuhry atau biasa disapa Gus Dhofir ini menarasikan sikap dan cara pandang keagamaan Nabi untuk tidak rasis terhadap penganut Agama lain. Terlebih sesama muslim ada yang masih menghujat satu dengan yang lainnya.
Ironi kebangkitan gerakan-gerakan yang mengatasnamakan agama menjadikan Islam dangkal. Barangkali,” menjadikan diri sebagai Arab” seakan lebih penting daripada menjadi Islam, menjadi corak Indonesia. Sepertinya tepat apa yang telah disinyalir dalam buku terbitan Quanta Elexmedia Komputindo ini, bahwa tidak harus menjadi Arab karena Indonesialah identitas kita sebenarnya. Dan hal ini juga sudah dicontohkan Nabi, betapa pentingnya rasa nasionalisme dalam diri. Kita tetap dapat berislam dengan berindonesia, tetap menjalankan nilai-nilai sembari menjaga tradisi leluhur.
Baginda Rasul merupakan pemikir besar yang dibekali sifat Fathonah dalam dirinya. Isinya bukan semata-mata untuk bersujud secara pribadi. Seperti para Rasul lainnya, baginda Nabi adalah perancang “peradaban sujud” itu sendiri.
Sangat menyayangkan apabila sifat Fathonah Nabi tercemarkan oleh kaum cuti nalar dengan sekedar menggunakan atribut jahiliyah, memonopoli kebenaran dan kerap menyerang tradisi Islam Nusantara. Narasi serampangan yang mereka gaungkan, hanya semata untuk menggulingkan kaum sarungan, yang terus menjaga tradisi keilslaman leluhur. Mereka yang tak begitu ramah terhadap keindonesiaan adalah dalih mereka untuk memurnikan Islam dari Tahayyul, Bid’ah, Khurafat dan amar makruf nahi mungkar.
Nabi kita mengajari untuk tidak gampang gegabah menghakimi siapapun yang berbeda. Membangun interaksi dan hidup memebaur dengan mereka yang liyan memang tidak dilarang oleh kitab suci (Q.S. Al-Mumtahanah:8-9).
Bukankah Nabi sudah mencontohkan dengan hidup membaur di tengah-tengah masyarakat nonmuslim, ahli kitab, Yahudi, Nasrani, kaum pagan? Bahkan, mertua Nabi sendiri Huyay, ayahandan dari Sayyidah Shafiyah adalah seorang Yahudi! (hal:75).
Menghayati manusia dan kemanusiaan adalah perkara yang krusial sebelum mempelajari Tuhan dan Agama. Karena, bila suatu saat kita hendak membela Agama, maka sadarkan diri kita bahwa kita bukanlah Tuhan yang memiliki otoritas benar-salah dan dapat dengan mudah mengkafir-kafirkan manusia lain.
Al-Quran akan begitu kering makna saat kita tak lagi merentangkan pikiran dan merendahkan hati untuk menyelami maknanya. Mengkaji tafsir-tafsir terpecah (mu’tabarah) adalah cara untuk terus memperbarui keimanan dan pemahaman kita. Pun begitu, baginda Nabi hanyalah bagian dari sekedar dari masa lalu usang tentang agama ketika kita enggan menggali makna, mempelajari dengan tekun terhadap pemimpin Agung ini.
Maka sebuah keanehan, bahwa, ternyata saudara kita sendiri banyak yang ingin menjadi Arab maupun Eropa dengan cara mencaci keindonesiaan mereka sendiri. Lagipula untuk apa membangga-banggakan asal-usul jika yang dibutuhkan umat adalah pendidikan dan keteladanan.
Setiap orang bertakwa adalah keluarga Nabi. Ukuran kemuliaan setiap orang bukanlah dari suku, pangkat, jabatan, gelimang harta yang banyak, namun ketakwaannya kepada Allah Swt. Siapa pun saja yang memenuhi kualifikasi takwa, menjalankan perintah dan menjauhi larangan agama, otomatis adalah keluarga Nabi. Bahkan yang mampu menjalankan nilai-nilai Al-Quran adalah keluarga Allah Swt.
Ada seruan yang disampaikan Gus Dhofir dalam bukunya ini, bahwa orang yang ingin meraih kebahagiaan dengan cara menolak Indonesia, anti Pancasila, membenarkan teroris, berlagak sok Arab hanya akan membuat orang itu semakin tidak bahagia. Justru sebaliknya dia sendirilah yang ujung-ujungnya gila dan mati berdiri.
Lazimmnya, tempat terbaik untuk memulai hidup yang berkualitas adalah tempat di mana Anda tinggal sekarang. Jika demikian, setiap kali Anda berandai-andai untuk tinggal atau berada di tempat lain demi menghindari keadaan saat ini, pada saat yang sama Anda telah menjauhkan diri dengan kebahagiaan Anda sendiri. (Hal:95-96).
Buku setebal 207 halaman ini memiliki bahasa yang ringan untuk dibaca. Bahasa yang interaktif seolah Gus Dhofir mengajak pembaca untuk diajak saling berdialog dan mendiskusikan sebuah problema. Penuh akan sarat makna dan hikmah di setiap babnya, yang membuat pembaca terus merenungi akan realita keagamaan yang terjadi di saat ini.
Identitas Buku:
Judul: Nabi Muhammad Bukan Orang Arab?
Penulis: Ach Dhofir Zuhry
Tebal: xi+207
Tahun:2020
Penerbit: Quanta Elexmedia Komputindo
ISBN978-623-00-1301-0