SANG guru malam ini banyak diam. Sepertinya sedang terlarut dalam tafakkur, berpikir mendalam memahami hakikat hidup. Tak berani saya mengganggunya walau hanya sebatas sapa.
Mengganggu kekhusyukan orang beribadah adalah dosa. Saya tunggu saja perkenan beliau untuk memerintah, melarang atau mendiamkan saya. Murid yang baik adalah murid yang ‘sami’na wa atha’na.’
Setelah tertunduk lama beliau menatap saya dan berkata: “Tak usah jauh-jauh kau cari bahagia. Bahagia itu ada dalam dirimu sendiri.” Beliau terdiam lagi. Saya terus menunggu lanjutan dawuhnya. Ilmu hakikat hidup adalah ilmu termahal. Karena itu maka tak banyak yang membeli. Sayapun tak mampu membeli, karenanya terus menunggu perkenan dan kemurahan hati sang guru.
Beliau memandang saya lagi, dan berkata dalam bahasa Arab yang fasih yang artinya “Bahagia itu ditemukan di dua tempat: hati yang menerima dengan rasa cukup akan pemberian dan jiwa yang tenang dengan ketetapan.”
Iya, hanya hati yang merasa cukup dengan apapun yang Allah berikan yang akan merasa nyaman. Hati yang selalu metasa kurang akan menjadi hati yang gelisah. Iya, hanya jiwa yang menerima segala ketetapan Allah dengan tenang yang akan bahagia. Mereka yang senang protes dan mengeluh pasti jiwanya tersiksa.
Beliau lalu menjelaskan cara hati bisa qana’ah dan jiwa bisa menerima semua ketetapan Allah dengan penuh ridla. Sayang, dalam tulisan ini saya tak bisa berpanjang tulisan. Karena juga ingin tafakkur seperti beliau.