Setiap manusia yang hidup sudah barang tentu pernah melakukan amalan baik yang disengaja ataupun tidak. Dan sudah seharusnya juga kita tidak perlu untuk terlalu larut dalam mengingat-ingat sesuatu tersebut.
Syekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari (w. 709 H) dalam kitabnya al-Hikam memulai penjelasan ini dengan mengucapkan basmalah :
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”
Adapun alasannya, menurut Syekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari, ini menjadi penting sebab merupakan sebuah bentuk pengamalan dari sebuah sabda Nabi SAW:
“Setiap perkara penting yang tidak dimulai dengan Bismillahirrahmanirrahim maka ia akan terputus”. (HR. Abu Dawud)
Dan sabdanya:
“Setiap perkara penting yang tidak dimulai dengan memuji Allah maka ia terputus”. (HR. Ibnu Hibban).
Makna “terputus” dalam redaksi ini bukanlah merujuk kepada tidak diterimanya sebuah amal kebaikan, melainkan hilangnya sebuah keberkahan yang terkandung di dalamnya. Keberkahan dalam sebuah amal kebaikan merupakan sesuatu yang penting. Sebab jikalau keberkahan ini kemudian hilang, menurut Syekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari, semua yang kita kerjakan menjadi sia-sia.
Selanjutnya Syekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari memberikan peringatan keras terhadap setiap muslim yang membangga-banggakan dan ataupun mengungkit setiap amal kebaikan yang pernah dikerjakan.
Terlebih apabila seorang muslim yang sudah melakukan banyak amal kebaikan tersebut kemudian beranggapan bahwa dengan amalan tersebut akan terselamatkan dari siksaan api neraka. Namun demikian, ini merupakan kesalahan besar menurut Syekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari.
Sebab ketika seorang muslim terlalu menggantungkan kepada amalan baik yang pernah dilakukan, pada saat yang bersamaan, rasa ketergantungan kepada Allah SWT menjadi berkurang. Dan tindakan yang seperti ini merupakan tindakan syirik.
Menurutnya, seorang muslim tidak akan pernah memasuki surga hanya dengan amalan-amalan kebaikannya saja. Melainkan Rahmat-Nya itulah yang sangat berpengaruh.
Dalam sebuah riwayat, Syekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari menjelaskan bahwa pernah ada seseorang yang sangat ahli dalam beribadah sedang menghadapi penghisaban dan ditanya oleh Allah SWT “Apakah engkau ingin masuk ke dalam surga dengan segala amal baikmu atau dengan Rahmat-Ku?”.
Dengan rasa percaya diri yang sangat tinggi, seorang ahli ibadah tersebut kemudian menjawab, “Dengan amalan-amalanku!”.
Namun takdir bertaka lain. Tatkala tiba masa penimbangan, amal baik seseorang ahli ibadah tersebut tidak mencapai batas tertentu untuk masuk ke dalam surga. Dilemparlah seoarang ahli ibadah tersebut untuk mendapatkan siksa api neraka yang sangat pedih.
Dalam sebuah periwayatan yang lain, Syekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari juga menjelaskan mengenai seorang pembunuh 99 jiwa yang kemudian dimasukkan kedalam surga-Nya meskipun semasa hidupnya belum sekalipun melakukan amalan baik. Begitu juga dengan seorang pelacur yang dimasukkan ke dalam surga-Nya hanya karena memberikan seekor anjing minum. Keduanya masuk ke dalam surga semata-mata atas Rahmat-Nya.
Sejatinya, sebagai seorang muslim yang mengenal Tuhannya agar selalu bergantung kepada Tuhannya, bukan kepada amalan-amalan yang pernah dibuatnya. Semoga kita termasuk orang-orang yang demikian. Amin.
Wallahu’alam…