Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat.
Dalam rukun ibadah, niat selalu menjadi urutan yang pertama. Saat berwudhu, menegakkan shalat, melaksanakan puasa, berzakat hingga pergi haji, selalu ada kata niat sebagai tonggak fondasi agar tujuan yang dilaksanakan sesuai dengan apa yang digariskan.
Niat menjadi faktor penting seseorang untuk mendapatkan apa yang hendak dituju. Dalam hal ibadah, niat menjadi garis demarkasi untuk membedakan apakah pelakunya mendapatkan pahala atau bahkan justru berdosa. Orang yang pergi berhaji dengan niat pamer tentu mendapat ganjaran berbeda dengan orang yang berhaji dengan niat untuk Allah.
Tak sekadar itu, niat juga yang membedakan jenis ibadah seseorang meski ritualnya sama. Orang yang puasa wajib pada Ramadhan, puasa sunnah, puasa qadha (bayar utang puasa) dan puasa nazar dibedakan berdasarkan niatnya. Begitupula shalat apakah dia hendak shalat fardhu dan shalat sunnah juga untuk membedakan zakat dengan sedekah.
Bila ditilik dari bahasa, niat dikatakan sebagai menyengaja, menuju (al-qashd). Menurut istilah, niat adalah kemauan hati untuk mengerjakan sesuatu dan bertekad melaksanakannya tanpa ragu. Terkadang, niat juga diartikan sebagai al-azm atau keinginan.
Dalam bahasa syara’, niat adalah keinginan untuk melakukan sesuatu yang diikuti dengan perbuatan. Para ulama menjelaskan, niat adalah keinginan yang disertai dengan perbuatan yang akan dilaksanakan pada masa mendatang.
Di dalam Alquran, niat terkait erat dengan keikhlasan. Beberapa ayat yang menjelaskan niat, yakni QS al-Baqarah ayat 139, QS al-A’raf ayat 29, QS Yunus ayat 22, QS al-Ankabut ayat 65, QS az-Zumar ayat 2, 11 dan 14, QS Luqman ayat 32, serta QS al-Bayyinah ayat 5.
Tidak hanya itu, banyak hadis yang mengulas tentang niat. Salah satunya yang berasal dari Umar Ibnu Khattab yang termasuk dalam hadis Arba’in karya Imam Nawawi. Redaksi lengkapnya yakni, “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ada beberapa kisah yang melatarbelakangi lahirnya hadis ini. Salah satunya berasal dari kisah Ibnu Mas’ud tentang adanya seseorang yang hendak melamar perempuan. Dia bernama Ummu Qais.
Syahdan, Ummu Qais enggan untuk menikahi lelaki tersebut. Dia pun berhijrah hingga menikahi Ummu Qais. Ibnu Mas’ud pun mengatakan, “Siapa yang berhijrah karena sesuatu, fahuwa lahu (maka ia akan mendapatkannya).”
Kisah lainnya bersumber dari Abu Yazid Ma’an bin Yazid bin Al Akhnas Ra. Keluarga ini termasuk sahabat Rasulullah SAW. Satu waktu, Ma’an pernah berkata jika ayahnya yakni Yazid pernah mengeluarkan beberapa dinar yang diniatkan untuk sedekah.
Ayahnya meletakkan uang itu di sisi seseorang yang ada di masjid (agar sedekah tersebut diambil salah satu jamaah). Ma’an justru mengambil uang tadi. Yazid berkata kepada Ma’an, “Sedekah itu sebenarnya bukan kutujukan kepadamu.”
Ma’an lalu mengadukan masalah itu kepada Rasulullah SAW. Lantas, beliau SAW bersabda, “Engkau dapati apa yang engkau niatkan wahai Yazid. Sedangkan, wahai Ma’an, engkau boleh mengambil apa yang engkau dapati.” (HR Bukhari).
Hadis ini mengandung hikmah yang amat besar karena menunjukkan betapa penting suatu keinginan dan ikhtiar ketimbang hasil. Selama niat itu dilandasi tujuan untuk mendapat ridha Allah SWT, maka akan diganjar pahala. Yang luar biasa adalah hal tersebut tak berlaku bagi niat untuk perilaku maksiat. Saat berniat buruk kemudian kita gagal melakukannya, justru dicatat sebagai satu kebaikan sempurna.
Dari Ibnu ‘Abbâs Ra dari Nabi SAW tentang hadis yang beliau riwayatkan dari Rabb-nya Azza wa Jalla. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah menulis kebaikan-kebaikan dan kesalahan-kesalahan kemudian menjelaskannya. Barangsiapa berniat melakukan kebaikan tapi dia tidak (jadi) melakukannya, Allâh tetap menuliskannya sebagai satu kebaikan sempurna di sisi-Nya.
Jika ia berniat berbuat kebaikan kemudian mengerjakannya, maka Allah menulisnya di sisi-Nya sebagai sepuluh kebaikan hingga 700 kali lipat sampai kelipatan yang banyak. Barangsiapa berniat berbuat buruk tapi dia tidak jadi melakukannya, maka Allah menulisnya di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna. Dan barangsiapa berniat berbuat kesalahan kemudian mengerjakannya, maka Allah menuliskannya sebagai satu kesalahan.” (HR al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahiih mereka).
Meski demikian, Imam Al-Ghazali memberi catatan menarik dalam Ihya Ulumuddin. Syekh Jamaluddin al-Qasimi dalam Saripati Ihya Ulumuddin Imam Al-Ghazali menjelaskan, kemaksiatan tidak akan berpindah dari tempatnya dengan sebab niat. Maksudnya, kemaksiatan tidak dapat berubah menjadi ketaatan hanya dengan niat.
Sebagai contoh, saat kita membangun masjid dengan harta haram. Hal tersebut dinilai sebagai sebuah kebodohan sehingga niatnya tidak mempengaruhinya untuk mengeluarkannya dari kemaksiatan.
OLEH A SYALABY ICHSAN