Nilai-nilai dalam Shalat: Sudahkah Anda Mempraktikannya?

Ada banyak nilai-nilai dalam shalat yang dipahami sebagai sebuah perintah suci yang harus dilaksanakan sebagai tanda atau bukti kepatuhan seorang hamba dengan Sang Pencipta yakni Allah Swt.

Shalat tidak hanya bernilai esoteris yakni ketuhanan di mana seorang manusia berusaha membangun hubungan dengan Allah Swt. Selain esoteris, shalat juga memiliki nilai eksoteris yakni kemanusian di mana seorang manusia berusaha untuk mewujudkan kesejahteraan diri dan masyarakat.

Nilai-nilai dalam shalat tersebut mengisyaratkan bahwa shalat mengajarkan bagaimana seorang hamba mesti memiliki kepatuhan dan ketaatan kepada Allah Swt. Selain itu, juga shalat  mengajarkan kepatuhan, persatuan dan kesatuan kepada sesama manusia.

Jika dilihat dari sisi syariat, shalat adalah medium paling efektik untuk “mengingat” dan “mendekatkan” antara “hamba” dengan “Khaliq”. Allah Swt, berfirman dalam QS. Thaha (20) ayat 14 sebagai berikut:

“Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.” (QS. Thaha : 14)

Shalat dan Nilai-Nilai Kehidupan

Saat ada pertanyaan tentang mengapa banyak orang taat dalam melaksanakan shalat tapi dalam kehidupannya tidak mencerminkan perilaku yang baik, maka di situlah letak permasalahan sesungguhnya. Tak banyak orang yang memahami bahwa nilai-nilai dalam shalat semestinya sudah terpatri dalam diri sebelum da sesudah melaksanakan shalat.

Quran Surat Al-‘Ankabut Ayat 45

 ٱتْلُ مَآ أُوحِىَ إِلَيْكَ مِنَ ٱلْكِتَٰبِ وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ ۖ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

Utlu mā ụḥiya ilaika minal-kitābi wa aqimiṣ-ṣalāh, innaṣ-ṣalāta tan-hā ‘anil-faḥsyā`i wal-mungkar, walażikrullāhi akbar, wallāhu ya’lamu mā taṣna’ụn

Artinya: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Ankabut, 29: 45)

Ayat tersebut mengindikasikan bahwa apabila seorang Muslim melaksanakan shalat, maka ia dituntut shalat harus mampu mengaktualisasikan ibadah shalatnya dalam bentuk tindakan yang positif. Nilai-nilai dalam shalat mesti dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Jika nilai-nilai ini diterapkan diluar shalat, maka secara otomatis prilaku yang dilarang Agama tidak akan terjadi. Nilai-nilai yang di maksud seperti yang tercantum dalam buku Quraish Shihab yang berjudul Menjawab Seputar Shalat, 1001 Soal KeIslaman Yang Patut Anda Ketahui (2008) sebagai berikut:

Pertama, nilai kebersihan.

Meninjau shalat dari ilmu fiqih, maka siapa pun yang melaksanakan shalat maka akan dituntut untuk bersih secara badan, pakaian dan tempat. Apabila seorang Muslim yang melaksanakan shalat tidak melaksanakan hal tersebut, maka secara otomatis shalat yang dilaksanakan pun menjadi tidak sah.

Hal tersebut membuktikan bahwa seyogiyanya shalat mengajarkan setiap Muslim untuk menjaga kebersihan. Menjaga kebersihan tidak hanya dilakukan pada saat shalat, tapi juga harus bisa diterjemahkan dalam diri, lingkungan sosial, dan masyarakat secara umum.

Kedua, nilai kedisiplinan.

Kedisiplinan dalam shalat mengajarkan umat Islam untuk disiplin juga dalam menjalani hidupnya. Jika dikulik lebih jauh, shalat memiliki nilai plus apabila dilaksanakannya di awal waktu.

Ada ancaman dengan neraka “wail” apabila lalai dalam shalat. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, seorang Muslim dituntut untuk mampu menerapkan kedisiplinan dalam diri dan masyarakat secara umum.

Ketiga, nilai keadilan.

Pelaksanaan shalat adalah wujud dari keadilan. Orang kaya yang menjadi makmum shalat berada pada barisan di belakang imam yang bisa saja bukan orang kaya. Begitu juga dengan orang yang biasa-biasa saja, mereka akan berada di belakang imam, siapa pun orangnya.

Imam shalat tidak ditentukan bahwa hanya pemimpin pemerintahan dan pejabat saja yang boleh jadi imam dan berada dalam barisan paling depan. Imam shalat adalah orang yang kompeten dan dipercaya oleh masyarakat. Dalam konsep tersebut, shalat sesungguhnya mengajarkan tentang keadilan baik dalam diri maupun sosial politik.

Keempat, nilai kesejahteraan.

Shalat mengajarkan pertemuan sesama Muslim dalam lima kali sehari dan pertemuan satu kali seminggu dalam ruang lingkup yang lebih besar pada hari Jumat. Pertemuan tersebut mengajarkan persatuan dan kesatuan, perdamaian, kesejahteraan sosial-politik, keselamatan dan kerukunan.

Kelima, nilai kepemimpinan.

Dalam melaksanakan shalat, pihak yang berhak bertindak menjadi Imam adalah orang yang memiliki kualifikasi ilmu dalam Fiqih. Hal tersebut berarti bahwa imam shalat adalah imam yang terpilih setelah melakukan sebuah seleksi yang ketat.

Imam shalat juga mesti tercatat sebagai orang yang paling berilmu yakni memliliki pengetahuan agama yang memadai. Sebab, seorang imam adalah pemimpin dalam membawa makmum ke arah satu tujuan yang sakral yani menyembah Allah Swt.

Karena itulah, seorang Imam Shalat harus memiliki jiwa kepemimpinan yang dituntut untuk melaksanakan rukun shalat dengan tertib, mulai dari syarat yang pertama yakni bahwa seseorang yang ditujuk menjadi Imam Shalat adalah orang berilmu, fasih bacaannya dan seterusnya.

Selain itu, Imam Shalat juga dituntut untuk adil dalam semua gerakan shalat dan bacaan shalat. Apabila seoang imam tidak melakukan salah satu dari syarat tersebut, maka imam akan diancam dengan dosa makmum yang akan turut diembannya.

Maka, imam yang adil dan jujur mustahil akan mengurangi rakaat dalam shalat termasuk membaca bacaan yang lain saat tidak terdengar oleh makmum. Begitu juga sebaliknya, jika makmum memiliki sifat adil dan jujur maka ia akan patuh kepada aturan yang sudah ditetapakan.

Imam dan makmum pada shalat berjamaah terlihat sangat teratur dan rapi. Pada waktu imam memberikan aba-aba untuk mulai shalat dengan kalimat takbir, makmum mengikuti dibelakang dengan taat.

Keadilan dan kejujuran antara Imam dan Makmum terlihat ketika dalam gerakan dan bacaan shalat. Imam dan makmum tidak berani untuk tidak membaca Surah al-Fatihah meskipun tidak terdengar.

Hal tersebut membuat keduanya mustahil untuk melakukan korupsi ata mengurangi rakaat dalam shalat, termasuk membaca bacaan yang lain selain Surah al-Fatihah.

Sampai di sini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa jika keadilan dan kejujuran dalam shalat tersebut mampu diterapkan dalam kehidupan, baik dalam konteks masyarakat dan pemerintahan, maka seyogiyanya perilaku yang dilarang agama mustahil akan dikerjakan.

Ada banyak kasus yang terjadi setelah melakukan shalat, setelah turun dari masjid sering terjadi kehilangan entah sengaja ataupun tidak sengaja. Ada pula perilaku korupsi yang merajalela. Korupsi terjadi karena kejujuran dalam shalat tidak bisa diterjemahkan dalam konteks sosial-politik.

Dalam ranah sosial-politik, jika kepemimpinan dalam shalat dilaksanakan dalam diri dan sosial pemerintahan dengan baik, maka bisa dipastikan seorang Muslim akan mencapai puncak keberhasilan yang tidak bisa dipungkiri.

Contoh nyata adalah kepemimpinan yang dipraktikkan oleh Rasulullah Saw. pada saat hidup di negara Madinah. Di Madinah, Nabi Muhammad Saw. dikenal sebagai seorang pemimpin agama dan negara yang mampu membawa kemaslahatan dalam semua aspek.

Pada waktu itu, beliau tidak hanya membawa kemaslahatan di Madinah, tapi juga diluar Madihah. Pada akhirnya, ajaran agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw. pun tidak hanya mengajarkan satu sisi saja, tapi berbagai sisi pun Rasulullah Saw. mampu melaksanakannya.

Sisi-sisi yang dimaksud adalah mulai dari tata cara pendekatan kepada Tuhan melalui shalat dan pendekatan kepada sesama dengan akhlak sebagaimana banyak diajarkan dalam shalat seperti jujur, adil, toleransi dan lain sebagainya.

Keenam, nilai tawadhu’.

Seperti yang kita ketahui bersama, sifat tawaddu’ adalah lawan dari sifat sombong. Kesombongan adalah sebuah sifat yang paling buruk sebab pelakunya diancam akan masuk neraka. Kesombongan jugalah yang  menyebabkan iblis diusir dari surga oleh Allah Swt.

Kenapa sifat sombong sangat dilarang?

Rasulullah Saw. menjawab: alkibru batarul haqqi waghamtunnasi yang atinya adalah: “Kesombongan menolak kebenaran dan meremehkan orang lain”. Sifat meremehkan dan menolak kebenaran, meskipun mutlak dibenarkan syariat, tertolak dikarenakan ada kesombangan sekalipun hanya terlintas dalam hati.

Rasulullah SAW. kemudian mengancamnya: “La yadkhulul jannata mangkanafi qalbihi misqalujarratin mingkibri” tidak masuk surga orang ada dalam hati kesombongan walaupun itu dalam ukuran palingkecil.

Kesombongan, keangkuhan dan kebanggaan diri akan bisa teratasi dan dihilangkan dalam pelaksanaan shalat sebab seyogiyanya shalat adalah ibadah rutin yang mengajarkan rendah diri, mulai dari Takbiratul Ihram yang pertama sampai dengan salam.

Shalat menekankan seorang Muslim untuk selalu merendah di hadapan Sang Maha Besar, sebab kekuatan, kecerdasan dan kemampuan yang dimiliki semata-mata kekuatan dari yang Maha Kuasa.

Hal tersebut memiliki makna bahwa jika kita mampu menerapkan nilai-nilai dalam shalat di kehidupan sehari-hari, maka tidak akan ada lagi manusia yang saling meremehkan, saling menjatuhkan, dan saling memfitnah.

Tak akan ada lagi orang yang merasa paling kuat. Sehingga, peperangan pun tidak akan terjadi. Tidak ada lagi orang yang merasa paling pintar kemudian meremehkan orang lain.

Mari kita belajar tawaddu’ dalam shalat untuk melawan kesombongan dalam diri dan kelompok yang akan menjerumuskan kepada tempat yang paling mengerikan yakni neraka jahannam.[]

BINCANG SYARIAH.com