Begitu besar rahmat dan kasih sayang Allah pada orang shalih, hingga mendapat penjagaan anak cucunya hingga tujuh turunan
KONDISI zaman semakin lama semakin buruk menjadi momok menakutkan bagi orangtua. Berbagai maksiat yang merajalela, belum lagi pergaulan bebas membawa kerusakan generasi muda.
Berbagai upaya terus dilakukan orangtua untuk memproteksi anak-anak mereka. Namun, tentu saja perlu diingat, bahwa sebaik-baik penjaga adalah Allah Ta’ala.
Apabila Allah telah menjaga mahluknya, maka tidak akan ada yang luput. Maka menitipkan anak-anak kita kepada penjagaan Allah adalah cara terbaik kita di akhir zaman ini.
Karena tidak ada yang mampu melakukan penjagaan zahir dan batin terhadap mereka, melainkan Allah. Lantas bagaimana cara mendatangkan penjagaan dari Allah Ta’ala?
Perhatikan kisah Nabi Musa ‘alahissalam ketika ia menimba ilmu kepada hamba Allah Khidhir. Saat itu Khidhir bertemu dengan dua anak yatim dan memperbaiki dinding rumah mereka yang hampir roboh. Peristiwa itu diabadikan di dalam Al-Qur’an,
وَأَمَّا ٱلْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَٰمَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِى ٱلْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُۥ كَنزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَٰلِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن يَبْلُغَآ أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ ۚ وَمَا فَعَلْتُهُۥ عَنْ أَمْرِى ۚ ذَٰلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِع عَّلَيْهِ صَبْرًا
“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shalih, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.“ (QS. Al-Kahfi: 82).
Para mufassir mengungkapkan, ayat di atas menjadi dalil bahwa Allah Ta’ala akan memberikan penjagaan kepada orang shalih dan anak keturunannya. Al-Imam Al-Qurthubi menjelaskan ayat tersebut,
يحفظ الصالح في نفسه وفي ولده وإن بعدوا عنه. وقد روي أن الله تعالى يحفظ الصالح في سبعة من ذريته، وعلى هذا يدل قوله تعالى: إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ
Allah Ta’ala akan menjaga orang shalih, dirinya dan anak keturunannya, sekalipun jarak (waktunya) jauh. Diriwayatkan bahwa Allah Ta’ala akan menjaga orang shalih sampai tujuh keturunannya. Inilah yang ditunjukkan oleh firman Allah dalam surat Al-A’raf ayat 196, “Sesungguhnya pelindungku ialah Allah yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Dia melindungi orang-orang yang shalih.” (Al-Jami’ 11/38-39).
Demikian pula Al-Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan,
فيه دليل على أن الرجل الصالح يحفظ في ذريته، وتشمل بركة عبادته لهم في الدنيا والآخرة، بشفاعته فيهم ورفع درجتهم إلى أعلى درجة في الجنة لتقر عينه بهم، كما جاء في القرآن ووردت السنة به. قال سعيد بن جبير عن ابن عباس: حفظا بصلاح أبيهما، ولم يذكر لهما صلاح، وتقدم أنه كان الأب السابع
Dari ayat ini terdapat dalil bahwa seorang lelaki yang shalih dapat menyebabkan keturunannya terpelihara dan berkah ibadah yang dilakukannya menaungi mereka di dunia dan akhirat. Yaitu dengan memperoleh syafaat darinya dan derajat mereka ditinggikan ke tingkat yang tertinggi di dalam surga berkat orangtua mereka, agar orangtua mereka senang dengan kebersamaan mereka di dalam surga. Hal ini telah disebutkan di dalam Al-Qur’an, juga di dalam sunnah.
Sa’id ibnu Jubair telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa kedua anak itu terpelihara berkat keshalihan kedua orangtuanya, tetapi tidak ada kisah yang menyebutkan bahwa keduanya berlaku shalih. Dalam keterangan terdahulu disebutkan bahwa orangtua tersebut adalah kakek ketujuhnya. (dalam Tafsir Ibnu Katsir: V/187).
Dari penjelasan di atas dapat dipetik hikmah, begitu besar rahmat dan kasih sayang Allah bagi hambaNya yang shalih. Bukan hanya orang shalih yang mendapat penjagaan dari Allah, tetapi juga anak cucunya hingga tujuh turunan.
Kemudian, di antara cara menjadi pribadi yang shalih ada menunaikan hak-hak Allah dan anak Adam. Sebagaimana disampaikan Ibnu Hajar tentang definisi orang yang shalih,
الصالح أنه القائم بما يجب عليه من حقوق الله وحقوق عباده وتتفاوت درجاته
Orang shalih adalah orang yang menegakkan kewajibannya berupa hak-hak Allah dan hambaNya, sedangkan kedudukan orang shalih itu bertingkat-tingkat… (dalam Fathul Bari, II/314).
Adapun hak Allah atas hambanya bahwa ia satu-satunya Ilah yang berhak diibadahi. Maka perbanyaklah ibadah kepada Allah.
Sebab ibadah itu akan menaunginya, menjaganya di dunia dan akhirat. Hal ini sebagaimana dilakukan para salafus shalih. Sa’id bin Al-Musayyib pernah berkata pada anaknya,
لَأَزِيْدَنَّ فِيْ صَلَاتِيْ مِنْ أَجْلِكَ رَجَاءَ أَنْ أُحْفَظَ فِيْكَ
“Sungguh akan kutambahkan jumlah rakaat sholat sunnah yang kukerjakan demi dirimu agar dirimu terjaga karena sebab kebaikan yang kulakukan.” (dalam Jami’ al-Ulum wal Hikam, I/467).
Oleh sebab itu, para orangtua selain berikhtiar menjaga anak-anak mereka dengan memberikan perhatian, mendidik dengan adab/akhlak, ilmu agama dan lingkungan yang baik, maka selayaknya ia juga memperbaiki diri agar menjadi orangtua yang shalih. Sebab keshalihan orangtua bukan hanya berpengaruh pada pribadi anak-anaknya, tetapi juga menjadi sebab datangnya penjagaan dari Allah Ta’ala.*/ Widiyarto, pimpinan Unit media dan publikasi Pondok Pesantren Salman Al-Farisi