Dalam kondisi tertentu, terkadang orangtua bernazar dengan menjanjikan membelikan sesuatu pada anaknya. Misalnya, orangtuanya bernazar bahwa jika anaknya berhasil rangking 1 di kelasnya, maka dia akan membelikan sepeda motor untuk anaknya. Jika orangtua terlanjur bernazar demikian, apakah boleh baginya membatalkan dan mencabut nazar tersebut? (Baca: Hukum Makan Daging Akikah Nazar)
Para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan orangtua membatalkan dan mencabut nazar yang dijanjikan pada anaknya. Dalam kitab Al-Fatawa Al-Fiqhiyah Al-Kubra, Imam Ibnu Hajar Al-Haitami menyebutkan dua pendapat ulama dalam masalah ini.
Pertama, boleh bagi orangtua membatalkan dan mencabut nazar yang telah diucapkan pada anaknya. Ini karena nazar disamakan dengan status sedekah orangtua kepada anak. Sebagaimana orangtua boleh mengambil kembali sedekah yang telah diberikan pada anaknya, maka dia juga boleh membatalkan dan mencabut nazar yang telah diucapkan pada anaknya.
Oleh karena itu, berdasarkan pendapat ini, ketika orangtua bernazar ingin membelikan sepeda motor jika anaknya berhasil rangking 1 di kelasnya, maka dia boleh membatalkan dan mencabut nazar tersebut, dan tidak memenuhi nazarnya tanpa harus membayar kafarah nazar.
Kedua, tidak boleh bagi orangtua membatalkan dan mencabut nazar yang telah diucapkan pada anaknya. Oleh karena itu, jika orangtua terlanjur bernazar kepada anaknya, maka dia wajib memenuhi nazar tersebut, dan jika dia tidak memenuhi, maka dia harus membayar kafarah nazar.
Pendapat kedua ini adalah pendapat yang diunggulkan oleh Imam Ibnu Hajar sendiri. Menurut beliau, nazar yang diucapkan oleh orangtua kepada anaknya statusnya menjadi wajib sehingga orangtua harus memenuhinya. Nazar orangtua pada anaknya tidak bisa dibatalkan dan dicabut sebagaimana halnya sedekah biasa. Ini karena sedekah sifatnya sunnah, sementara nazar sifatnya wajib, meskipun nazar orangtua terhadap anaknya.
Berdasarkan pendapat kedua ini, jika ada orangtua yang bernazar ingin membelikan sepeda motor jika anaknya berhasil rangking 1 di kelasnya, maka dia harus memenuhi nazar tersebut, dan jika tidak memenuhinya, maka ia harus membayar kafarah nazar.
Dalam kitab Al-Fatawa Al-Fiqhiyah Al-Kubra, Imam Ibnu Hajar Al-Haitami berkata sebagai berikut;
لَكِنْ أَوْجَهُ مِنْهُ مُفَارَقَةُ النَّذْرِ لِلصَّدَقَةِ مِنْ حَيْثُ الْوُجُوبُ بِالنَّذْرِ فَالرَّاجِحُ مَنَعَ مِنْهُ الرُّجُوعَ فِيهِ حَيْثُ وُجِدَتْ صِيغَةُ نَذْرٍ صَحِيحَةٍ
Pendapat yang lebih kuat adalah adanya perbedaan antara nazar dan sedekah dari sisi kewajiban memenuhi nazar. Maka yang lebih unggul adalah tidak boleh mencabut nazar yang sudah diucapkan secara sah.