3 Perbedaan Ujian Orang Kaya dan Miskin Menurut Shaqiq Al-Balkhi

Berikut ini adakah tiga perbedaan ujian orang kaya dan miskin menurut Shaqiq Al-Balkhi. Seorang hamba yang dianugerahi kekayaan oleh Allah, bukan berarti ia disayangi oleh Allah. Kekayaan yang ia miliki tidak serta-merta menunjukkan bahwa Allah lebih sayang kepada dirinya dibandingkan dengan orang lain. 

Sebaliknya, jika seorang hamba tertimpa kefakiran atau kemiskinan, maka hendaklah ia bersabar dan rela dengan takdir Allah, tidaklah Allah menganugerahi kekayaan atau kefakiran melainkan hanya untuk menguji hambanya. 

Syekh Husain bin Nasir Ibnu Khamis dalam karyanya Munakib Al-Abrar Wa Muhasini Al-Ahyar Fi Tabaqat As-Sufiyyah, Juz 1, halaman 90, mengutip ungkapan ulama sufi, yaitu, Syekh Shaqiq Al-Balkhi terkait perbedaan ujian orang kaya dan orang fakir. Adapun kutipannya sebagai berikut;

الفقير تقارنه ثلاثة أشياء: فراغ القلب، وخفة الحساب، وراحة النفس، والغني تُقارنه ثلاثة أشياء: تَعَبُ النَّفْسِ، وشغل القلب، وشدَّةُ الحساب

Artinya: Ada tiga perkara yang menyertai orang fakir, yaitu, kosongnya hati, ringannya hisab, dan santainya jiwa. Dan ada tiga perkara yang menyertai orang kaya, yaitu, payahnya jiwa, sibuknya hati dan beratnya hisab.

Menurut penuturan Syekh Shaqiq Al-Balkhi di atas, bahwa kekayaan dan kemiskinan itu adalah ujian. Namun keduanya berbeda dalam mengalami ujiannya, ada tiga perkara yang membedakannya. Pertama, orang fakir kosong hatinya, dalam artian ia lebih tenang hatinya dibandingkan orang yang kaya, dan lebih fokus untuk melakukan ibadah atau pengabdian kepada Allah, karena ia tidak direpotkan dengan masalah harta. 

Kedua, hisabnya lebih ringan dari pada orang kaya, karena ia tidak memiliki harta, dan tidak terlalu banyak pertanyaan yang diajukan malaikat kepadanya. Bahkan ia lebih didahulukan dari orang kaya untuk memasuki surga. Ketiga, jiwanya lebih tenang dan santai, karena ia tidak disibukkan dengan memikirkan atau menjaga harta.

Sedangkan orang kaya juga diuji dengan tiga perkara. Pertama, ia disibukkan untuk menjaga hartanya, bahkan ia menyewa orang untuk menjaganya, supaya hartanya tidak di curi oleh orang lain. Disamping itu, orang kaya lebih sibuk mengatur waktunya, karena baginya waktu adalah uang. 

Kedua, hatinya tidak akan tenang dan selalu gelisah. Terkadang ia sampai melalaikan kewajibannya untuk menginfakkan dan mengeluarkan zakat dari hartanya.

Ketiga, hisabnya lama sekali, karena banyak pertanyaan yang ditanyakan kepadanya. Dari mana harta yang didapatkan, dan dibelanjakan atau dikeluarkan untuk keperluan apa saja. Dengan banyaknya pertanyaan, sehingga orang kaya lama atau terakhir untuk dimasukkan ke surga.

Demikian penjelasan terkait 3 perbedaan ujian orang kaya dan miskin menurut Shaqiq Al-Balkhi. Semoga bemanfaat. Wallahu A’lam Bissawab.

BINCANG SYARIAH

Inilah Tiga Orang yang Selamat dari Laknat Dunia Menurut Rasulullah

Dalam sebuah hadis Rasulullah menyatakan ada tiga golongan orang yang selamat dari laknat dunia. Tentu hal ini menjadi hal yang sangat baik dan membahagiakan. Sebab mempersiapkan diri untuk bekal menuju kebahagiaan yang hakiki kelak di akhirat.

Di dunialah kita banyak diuji dengan fitnah dunia itu sendiri, dan kita akan bisa menjadi orang yang beruntung ketika berhasil lulus dari setiap ujian fitnah dunia. Karena kesenangan di dunia hanyalah tipu daya belaka sebagaimana firman Allah Swt di dalam Al-Qur`an surat Ali Imran ayat 185;

وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ

Artinya; “Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (QS. Ali Imran ayat 185).

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa dunia juga bisa melaknat para penduduknya dengan kesenangan-kesenangan yang bersifat sementara dan penuh tipu daya. Maka dari itu mari simak pesan Baginda Nabi Muhammad Saw tentang orang-orang yang terbebas dari laknat dunia.

Inilah Tiga Orang yang Terbebas dari Laknat Dunia Menurut Rasulullah

Rasulullah Saw sebagai pembawa risalah tentu memiliki tugas besar untuk senantiasa mengingatkan dan mengajak para umat manusia menuju jalan Allah Swt. Sebagaiman firman Allah Swt kepada Rasulullah Saw di dalam Al-Qur`an surat Al-Ghasyiyah ayat 21;

فَذَكِّرْۗ اِنَّمَآ اَنْتَ مُذَكِّرٌۙ

Artinya; “Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya engkau (Muhammad) hanyalah pemberi peringatan.”. (QS. Al-Ghasyiyah ayat 21).

Maka dari itu Rasulullah Saw mengingatkan kepada kita melalui sabdanya tentang tiga orang yang selamat dari laknat dunia.

عن أبي هُريرةَ، عن النبيِّ – صلى الله عليه وسلم – قال: “‌ألا ‌إنَّ ‌الدُّنيا ‌مَلْعونَةٌ، مَلْعونٌ ما فيها، إلا ذكرَ الله وما وَالَاهُ، وعالِمًا أو مُتَعلِّمًا”.

Artinya; “Dari Abu Hurairah Ra dari Nabi Saw beliau bersabda; ‘Ingatlah! Sesungguhnya dunia dilaknat dan apa yang ada didalamnya juga dilaknat, kecuali mengingat dan yang membantu untuk mengingat Allah, dan orang yang alim atau pelajar.” (HR. Imam Tirmidzi).

Maka dari sabda Rasulullah Saw tersebut dapat dipahami bahwa orang yang selamat dari laknat dunia adalah orang yang senantisa mengingat Allah Swt hal ini bisa dicapai dengan beribadah dan berzikir, kemudian orang alim, dan yang ketiga adalah orang yang menuntut ilmu atau pelajar. Maka perlulah bagi kita untuk mengupayakan diri menjadi salah satu dari tiga orang tersebut, syukur-syukur apabila bisa menjadi semuanya. 

Demikian penjelasan mengenai tiga orang yang selamat dari laknat dunia menurut Rasulullah Saw. Semoga bermanfaat, Wallahu a`lam.

BINCANG SYARIAH

Jangan Mudah Berhutang!

Sebagian kita ada yang senang dengan perilaku hutang, walaupun terkadang dia mampu. Adapula yang memang menjadikan hutang itu sebagai gaya hidupnya.

Padahal yang demikian itu tidak baik, karena hutang termasuk perilaku buruk, yang akan membuat orang berakhlak tidak baik. Maksudnya dapat menimbulkan perilaku yang buruk bagi orang yang suka (hobi) berhutang, seperti suka berdusta dan ingkar janji.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas mengingkari” (HR. Al-Bukhari).

Lebih dari itu, hutang akan menyebabkan kesedihan di malam hari, dan kehinaan di siang hari.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menolak untuk menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya.

Dan dosa orang yang memiliki hutang tidak terhapuskan walaupun dia mati syahid. Dijelaskan dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiallah ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

يغفر للشهيد كل ذنب إلا الدَّين

Akan diampuni seluruh dosa orang yang mati syahid kecuali hutang” (HR. Muslim).

Oleh karena itu, jangan mudah berhutang jika memang tidak mendesak.

Penulis: Ustadz Fuad Hamzah Baraba, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/29545-jangan-mudah-berhutang.html

Adakah Kebenaran Absolut?

Melihat fenomena yang terjadi di tengah-tengah kehidupan mayarakat, kita dapat memperhatikan bahwa era ini memang merupakan masa pasca kebenaran. Pasca kebenaran adalah sebuah frasa populer yang berarti sulitnya mencari dan menemukan kebenaran sejati dari sebuah kejadian. Kita bahkan sering mendengar istilah “tidak ada yang benar atau salah, tergantung sudut pandang”.

Sekilas, ungkapan tersebut terlihat sederhana dan mungkin ada benarnya. Tetapi, apa jadinya jika istilah tersebut kemudian disangkutpautkan dengan persoalan yang menyentuh syariat Islam dan membutuhkan hukum benar atau salah?

Kekeliruan yang dibela

Isu sosial yang viral terjadi pada sebuah lembaga pendidikan yang dipimpin oleh seorang tokoh dengan pemahaman dan praktik agama yang membuat kami berani berkata bahwa jangankan menilainya dari indikator syariat yang lurus, bahkan dari kelaziman pemahaman dan praktik yang dilaksanakan oleh awam pun sangat bertentangan. Sebut saja ucapan salam yang diganti dengan kalimat-kalimat populer bagi agama yahudi, praktik salat dengan mencampuradukkan saf laki-laki dan perempuan, mengganti kalimat syahadat, menganggap bolehnya melaksanakan ibadah haji di Indramayu, hingga kalimat azan dengan redaksi sendiri. Wal ‘iyadzu billah.

Namun, meskipun demikian, tetap saja ada yang membela, bahkan dari mereka yang mengaku tokoh dan cendekiawan Islam. Pembelaan mereka bahkan memaksakan untuk mengambil pembenaran dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan penafsiran dan pemahaman mereka sendiri.

Saudaraku, bayangkan apa dampaknya pada umat Islam yang awam dengan ilmu agama atau mereka yang sudah mulai condong hatinya untuk memeluk agama Islam. Bagaimana mereka menyikapi hal ini? Terlebih yang membela adalah orang-orang yang dianggap intelektual muslim? Bukankah potensi penyimpangan itu akan semakin merajalela?

Menguak kebenaran absolut

Diskursus ini dimaksudkan untuk membawa kita untuk menemukan jawaban dari sebuah pertanyaan:

Apakah ada kebenaran yang absolut?”

Kebenaran di mana dengannya kita dapat berpegang teguh dan menjadikannya sebagai rujukan permanen dalam menyikapi segala isu dan problematika kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara?

Jawabannya adalah “Ya! Tentu saja, ada.” Kebenaran absolut itu adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Pemahaman paling dasar sebagai seorang muslim yang beriman. Jelas, dalam rukun iman, sebagai komitmen mukmin kita wajib beriman kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah (beriman kepada Rasul).

Terhadap persoalan kebenaran absolut ini, sangat jelas. Allah Ta’ala pada awal surah Al-Baqarah menegaskan bahwa tidak ada keraguan yang patut dipersoalkan lagi dalam Al-Qur’an.

Allah Ta’ala berfirman,

ذَ ٰ⁠لِكَ ٱلۡكِتَـٰبُ لَا رَیۡبَۛ فِیهِۛ هُدࣰى لِّلۡمُتَّقِینَ

“Kitab (Al-Qur`ān) tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 2)

Lebih lanjut, terhadap kebenaran risalah As-Sunnah yang telah sempurna disampaikan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah Ta’ala pun menegaskan bahwa segala apa yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah wahyu dari Allah yang wajib kita imani dan laksanakan.

وَمَا یَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰۤ ○ إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡیࣱ یُوحَىٰ

“Dan yang diucapkannya itu bukanlah menurut keinginannya. Tidak lain (Al-Qur`ān itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3 – 4)

Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan,

“Allah bersumpah dengan bintang ketika terbenam. Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyimpang dari jalan hidayah dan kebenaran, tetap istikamah dan berada dalam kebenaran. Ucapannya tidak berasal dari kemauan hawa nafsunya. Al Qur’an dan sunnah itu tiada lain hanyalah wahyu dari Allah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Tafsir Al-Muyassar)

Oleh karenanya, pemahaman prinsip yang sangat mendasar ini seharusnya terpatri dengan kokoh pada hati dan jiwa seorang muslim. Sehingga, tidak mudah bagi siapapun menggoyahkan keimanannya yang kokoh.

Buah dari iman yang kokoh

Kembali pada persoalan penyimpangan pemahaman dan praktik agama di atas, mungkin membingungkan bagi sebagian orang. Tapi, tidak untuk seorang mukmin yang berilmu. Persoalan penyimpangan pemahaman dan praktik agama tersebut adalah masalah pokok yang tidak perlu diperbaharui.

Syariat telah dengan jelas dan paripurna menuntun kita untuk urusan ukhrawi, kita hanya tinggal mengikuti saja. Namun, orang-orang jahil tetap saja membuat masalah pokok yang tidak membutuhkan perdebatan itu muncul ke permukaan.

Entah apa maksudnya, apakah memang disengaja untuk mencari jalan memperoleh keuntungan duniawi, atau memang benar-benar tidak mengetahui bagaimana seharusnya memilih jalan yang benar dalam kehidupan beragama.

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata,

العلم نقطة كثرها الجاهلون

“Ilmu syariat dahulu hanya satu titik saja (sedikit), namun diperbanyak oleh orang-orang tidak berilmu.” (Lihat Mu’jam A’lamul Jazair karya Adil Nuhaid, hal 98)

Sebagai seorang mukmin, sepatutnya kita tunduk dan patuh pada apa yang telah diajarkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Perintah dikerjakan, larangan ditinggalkan. Pada prinsipnya, sesederhana itu.

Karena kebinasaan umat terdahulu tidak lain disebabkan oleh banyaknya pertanyaan yang diajukan kepada nabi-nabi mereka yang berkaitan dengan perkara agama ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ

“Apa yang aku larang, hendaklah kalian menghindarinya. Dan apa yang aku perintahkan, hendaklah kalian laksanakan semampu kalian. Sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian adalah karena banyaknya pertanyaan mereka (yang tidak berguna) dan penentangan mereka terhadap nabi-nabi mereka.” (HR. Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337)

Jika tidak punya Ilmu agama, bagaimana kita bisa membedakan salah benarnya?

Syarat mutlak pada kebenaran absolut

Saudaraku, memang kebenaran absolut itu tidak ada, kecuali yang bersumber dari Al-qur’an dan As-Sunnah. Namun, akan sangat berpotensi pada penyimpangan dan salah kaprah dalam pemahaman ketika jalan yang kita ambil dan cara kita memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak berpegang teguh pada sebuah metode (manhaj). Adapun manhaj yang telah dikenalkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kita adalah manhaj para sahabat radhiyallahu ‘anhum.

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap ajaranku dan ajaran khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah (genggamlah dengan kuat) dengan geraham.” (HR. Abu Dawud no. 4607 dan Tirmidzi dan dia berkata hasan sahih)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.” 

Oleh karenanya, sudah sepatutnya kita memahami bahwa kebenaran absolut itu adalah hanya ada pada Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu Ta’ala a’lam.

***

Penulis: Fauzan Hidayat

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/86897-adakah-kebenaran-absolut.html

Menjadi Ayah yang Hadir dalam Pendidikan Anak

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du.

Dalam pendidikan anak, selain keteladanan, anak juga membutuhkan teman dalam melakukan kebaikan dan ketaatan. Orang tua hendaknya melibatkan anak dalam aktivitas ibadah dan aktivitas amal salehnya, yang memang memungkinkan untuk diikuti sang anak. Oleh karena itu, para orang tua dituntut menjadi orang tua yang hadir dalam pendidikan anak, jangan sampai terlalu sibuk sehingga tidak menjadi figur yang hadir dalam mendidik mereka. Terutama para bapak, sibuknya aktivitas mencari nafkah membuat mereka kurang memiliki waktu untuk anak-anaknya.

Menjadi Suami yang Hadir

Bagi para laki-laki, untuk menjadi ayah yang hadir, semestinya dimulai dengan menjadi suami yang hadir bagi keluarganya. Dari Fathimah bintu Qais radhiyallahu’anha, ia berkata:

أتيت النبي صلى الله عليه وسلم، فقلت‏:‏ إن أبا الجهم ومعاوية خطباني‏؟‏ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم‏:‏ ‏أما معاوية، فصعلوك لا مال له ، وأما أبوالجهم، فلا يضع العصا عن عاتقه‏

Aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu aku berkata, “Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku”. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Adapun Mu’awiyah adalah orang fakir, ia tidak mempunyai harta. Adapun Abul Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya”” (HR. Muslim no.1480).

Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merekomendasikan Abul Jahm kepada Fathimah bintu Qais, karena Abul Jahm tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.

Ada dua makna dari “tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya” sebagaimana penjelasan Imam An-Nawawi rahimahullah:

قوله صلى الله عليه وسلم : أما أبو الجهم فلا يضع العصا عن عاتقه ، فيه تأويلان مشهوران أحدهما أنه كثير الأسفار ، والثاني أنه كثير الضرب للنساء

“Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam [Adapun Abul Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya] ada dua tafsiran yang masyhur dari para ulama: pertama, maknanya ia sering pergi safar. Kedua, ia sering memukul wanita” (Syarah Shahih Muslim, 10/74).

Maka, berdasarkan tafsiran yang pertama dari makna ucapan hadits ini, menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merekomendasikan Fathimah bintu Qais untuk menikah dengan lelaki yang akan sering meninggalkannya untuk bersafar. Sehingga yang ideal, hendaknya seorang suami menjadi suami yang hadir untuk keluarganya.

Demikian juga banyak sunnah-sunnah dalam rumah tangga yang hanya dapat diamalkan ketika suami berada di tengah keluarganya:

  • memberi nafkah biologis
  • memberi nasehat
  • memberi pengajaran agama
  • membantu pekerjaan istri
  • bermain-main dengan istri
  • mengajak istri jalan-jalan
  • mengajak istri safar

Oleh karena itu, sebisa mungkin, suami istri itu hendaknya tinggal bersama dan tidak berpisah tempat tinggal. Karena ini yang lebih sesuai dengan perintah Al-Qur’an dan Sunnah, serta lebih melanggengkan rumah tangga juga masing-masing suami dan istri lebih dapat menjalankan tugas-tugas dan kewajibannya dengan sempurna.

Para Nabi Membersamai Anak dalam Ibadah

Banyak contoh dari para Nabi ‘alaihimussalam bahwa mereka mengajak anak mereka dalam melakukan ketaatan. Di antaranya, Nabi Ibrahim mengajak anak beliau, yaitu Nabi Ismail, untuk membangun Ka’bah. Allah ta’ala berfirman:

وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui“” (QS. Al-Baqarah: 127).

Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggendong cucu beliau ketika sedang berkhutbah. Dari Abdullah bin Buraidah radhiyallahu ’anhu, ia berkata:

خطبنا رسول الله صلى الله عليه وسلم، فأقبل الحسن والحسين رضي الله عنهما عليهما قميصان أحمران يعثران ويقومان، فنزل فأخذهما فصعد بهما المنبر، ثم قال: “صدق الله، إنما أموالكم وأولادكم فتنة، رأيت هذين فلم أصبر”، ثم أخذ في الخطبة

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan kami. Lalu Hasan dan Husain radhiyallahu ’anhuma datang ke masjid dengan memakai gamis berwarna merah, berjalan dengan sempoyongan jatuh bangun (karena masih kecil). Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam turun dari mimbar masjid dan menggendong kedua cucu tersebut, dan membawanya naik ke mimbar. Lalu beliau bersabda, “Maha Benar Allah, bahwa harta dan anak-anak itu adalah fitnah (ujian), aku melihat kedua cucuku ini aku tidak bisa bersabar”. Lalu Rasulullah kembali melanjutkan khutbahnya” (HR. Abu Daud no. 1109, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud).

Dari Abu Qatadah radhiyallahu ’anhu, ia berkata:

رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وأمامة بنت العاص -ابنة زينب بنت الرسول صلى الله عليه وسلم- على عاتقه، فإذا ركع وضعها وإذا رفع من السجود أعادها

“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggendong Umamah bintu al-Ash, putrinya Zainab bintu Rasulullah, di pundak beliau. Apabila beliau shalat maka ketika rukuk, Rasulullah meletakkan Umamah di lantai, dan apabila bangun dari sujud maka beliau kembali menggendong Umamah” (HR. Bukhari no. 516, Muslim no. 543).

Para Salaf dalam Mengajak Anak dalam Ibadah

Demikian juga para salaf, mereka mengajak anak-anak mereka untuk beribadah dan melibatkan mereka dalam amalan-amalan saleh. Di antara contohnya, Amr bin Salamah didapuk menjadi imam shalat ketika usia beliau 7 tahun. Dari Amr bin Salamah radhiyallahu’anhu, ia berkata:

لَمَّا رَجَعَ قَوْمِي مِنْ عِنْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا إِنَّهُ قَالَ : لِيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قِرَاءَةً لِلْقُرْآنِ . قَالَ : فَدَعَوْنِي فَعَلَّمُونِي الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ ، فَكُنْتُ أُصَلِّي بِهِمْ

“Ketika kaumku kembali dari sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menyampaikan sabda Nabi: hendaknya yang mengimami suatu kaum adalah yang paling banyak hafalan Qur’annya. Maka mereka pun memanggilku dan mengajarkan aku rukuk dan sujud, kemudian aku mengimami mereka” (HR. Al-Bukhari no. 4302).

Dalam sebuah hadits, seorang shahabiyah di zaman Nabi membawa serta anaknya ketika berhaji. Dari Kuraib pembantu Ibnu Abbas mengatakan:

أنَّ امْرَأَةً رَفَعَتْ صَبِيًّا، فَقالَتْ: يا رَسولَ اللهِ، أَلِهذا حَجٌّ؟ قالَ: نَعَمْ، وَلَكِ أَجْرٌ

“Ada seorang wanita ia mengangkat anaknya lalu berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apakah haji anak ini sah?. Nabi menjawab, “Ya, dan engkau juga mendapat pahala.” (HR. Muslim no.1336).

Para salaf mereka membersamai anak-anak mereka dalam berpuasa. Dari Ar-Rubayyi’ binti Al-Mu’awwidz radhiyallahu’anha, ia berkata:

أَرْسَلَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إلى قُرَى الأنْصَارِ: مَن أصْبَحَ مُفْطِرًا، فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَومِهِ ومَن أصْبَحَ صَائِمًا، فَليَصُمْ، قالَتْ: فَكُنَّا نَصُومُهُ بَعْدُ، ونُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا، ونَجْعَلُ لهمُ اللُّعْبَةَ مِنَ العِهْنِ، فَإِذَا بَكَى أحَدُهُمْ علَى الطَّعَامِ أعْطَيْنَاهُ ذَاكَ حتَّى يَكونَ عِنْدَ الإفْطَارِ

“Bahwa di pagi hari Asyura, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus beberapa sahabat ke kampung-kampung Anshar (ketika puasa diwajibkan). Untuk menyampaikan: “Siapa yang hari ini sudah sarapan, hendaknya dia puasa di sisa harinya. Dan siapa yang berpuasa, hendaknya dia lanjutkan puasanya”. Ar-Rubayyi’ berkata, “Kami pun berpuasa setelah itu, dan kami mengajak anak-anak kami untuk berpuasa. Kami membuatkan untuk mereka boneka dari kapas. Jika mereka menangis karena minta makan, kami berikan boneka tersebut. Demikian terus sampai datang waktu berbuka” (HR. Bukhari no. 1960).

Menjadi Orang Tua yang Hadir 

Dalam kisah Nabi Ibrahim ‘alahissalam yang diperintahkan untuk menyembelih Nabi Ismail, terdapat pelajaran berharga. Allah ta’ala berfirman:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ

“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”” (QS. Ash-Shaffat: 102).

Dalam perkataan, “Bagaimana pendapatmu?”, Al-Baghawi dalam Tafsirnya mengatakan bahwa di sini Nabi Ibrahim mengajak musyawarah anaknya. Lihat bagaimana dekatnya hubungan antara ayah dan anak sehingga seorang ayah mengajak anaknya bermusyawarah dalam membahas perkara yang begitu penting.

Di dalam ayat yang lain, 

إِذْ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَٰٓأَبَتِ إِنِّى رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَٱلشَّمْسَ وَٱلْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِى سَٰجِدِينَ

“(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku” (QS. Yusuf: 4).

Lihatlah bagaimana Nabi Yusuf ‘alaihissalam menceritakan masalah yang dihadapinya kepada ayahnya, Nabi Ya’qub. Hubungan seperti ini tidak didapatkan dengan instan, namun dari kehadiran ayah di tengah keluarganya dalam mendidik anaknya. 

Oleh karena itu nasehat kami untuk para orang tua sekalian, terutama para ayah agar menghabiskan lebih banyak waktu untuk mendidik anak-anak dan menjadi orang tua yang hadir di tengah keluarga. Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa sallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.

Referensi: https://konsultasisyariah.com/42661-menjadi-ayah-yang-hadir-dalam-pendidikan-anak.html

Ini Dia Alasan Diharamkannya Rokok

Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah

Soal:

Apa alasan dari pendapat yang mengharamkan rokok dalam syariat?

Jawab:

Alasannya adalah karena ia berbahaya dan terkadang bersifat adiktif, serta terkadang bersifat memabukkan. Namun asalnya ia secara umum berbahaya. Sedangkan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لاضرر ولا ضرار

tidak boleh menimbulkan bahaya dan tidak boleh membahayakan” (HR. Ibnu Majah, Ad Daruquthni, di-hasan-kan An Nawawi dalam Al Ar’bain).

Maknanya, setiap hal yang membahayakan seseorang baik membahayakan agamanya atau dunianya hukumnya haram untuk mengkonsumsinya, baik itu racun, rokok, atau semisalnya yang bisa membahayakan. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

Dan janganlah jatuhkan dirimu dalam kebinasaan” (QS. Al Baqarah: 195).

Dan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

لاضرر ولا ضرار

tidak boleh menimbulkan bahaya dan tidak boleh membahayakan

Oleh karena itulah para ilmuwan dan para ulama mengharamkan rokok. Yaitu karena di dalamnya terdapat bahaya yang besar, yang ini diketahui sendiri oleh para perokok. Serta diketahui oleh para ahli kesehatan dan juga diketahui oleh setiap orang yang bergaul dengan para perokok.

Terkadang rokok itu juga menyebabkan kematian mendadak dan penyakit lainnya, menyebabkan batuk, menyebabkan penyakit yang permanen, semua itu telah kita ketahui bersama. Dan kita telah ketahui bersama berbagai kabar yang banyak akan fakta ini mengenai para perokok atau penghisap sisha dan jenis-jenis rokok yang semisalnya. Semuanya berbahaya, wajib untuk melarangnya dan wajib bagi para ahli kesehatan untuk menasehati para perokok, dan wajib pula bagi para dokter dan para guru untuk meninggalkan rokok, karena para dokter dan guru biasanya diteladani.

Sumber: http://www.binbaz.org.sa/fatawa/242

Penerjemah: Yulian Purnama

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/32090-ini-dia-alasan-diharamkannya-rokok.html

Belajar dari QS Al-Kahfi: Kejar Impianmu! 

Oleh: Desi Fitriyani
Mahasiswi STEI SEBI
desifitriyani237@gmail.com

SETIAP pekan kita diingatkan oleh sebuah ayat yang disunnahkan untuk dibaca saat hari Jum’at. Yakni Surah Al-Kahfi, atau surah cahaya. Ada sebuah ayat yang patut kita renungi dalam surah ini: “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya: Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua laut; atau aku akan berjalan (terus sampai) bertahun-tahun.”( Q.S Al-Kahfi :60)

Sahabat, Tak peduli apa yang akan terjadi dalam hidupmu, dalam ayat ini Allah mendidik kita agar memiliki keteguhan seperti Nabi Musa. Teruslah berjalan hingga engkau menggapai apa yang kau cita-citakan. Teruslah berusaha agar saat kematian tiba engkau tetap berada di atas jalan dalam meraih impian-impianmu.

Ayat itu berkisah tentang keinginan luar biasa Nabi Musa as. untuk bertemu dengan Nabi Khidhir yang akan ingin ia jadikan sebagai guru. Nabi Musa bertemu dengan Nabi Khidir ditempat bertemunya dua lautan.

“Dan (Ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya; ‘Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai kepertemuan dua lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.’” (QS Al-Kahfi: 60)

Bisa saja… dalam perjalanan, kematian itu datang menemui Nabi Musa sebelum ia sempat bertemu Nabi Khidir. Lantas apa hikmah yang bisa kita ambil dari ayat ini?

1. Saat kita sudah merencanakan sebuah cita-cita, maka teguhlah seperti Nabi Musa. Dan teruslah berjalan!

Laa abrakhu Khattaa Abluga
Iwill not stop until I reach

Aku tak akan berhenti sampai aku sampai
Bahkan jika hal itu memakan waktu yang sangat lama.
Au Amdhiya huqubaa..

Atau aku akan terus berjalan sampai bertahun-tahun.

Sebagian ahli tafsir mengatakan yang dimaksud dengan ‘huquba’ حُقُبٗا adalah 80 tahun. Maka Nabi Musa rela menghabiskan waktunya selama 80 tahun hanya untuk berjalan mencapai cita-citanya. Maka apabila usia kita telah habis, kita akan mati di atas jalan meraih impian kita. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan langkah kita selama itu adalah jalan yang diridhaiNya.

Lantas bagaimana jika cita-cita yang ingin kita raih adalah cita-cita yang sangat mulia? Seperti pergi haji, ingin hafal Al-Quran 30 Juz. Menuntut ilmu, ingin hijrah menjadi pribadi yang baik dan cita-cita mulia lainnya? Ingatlah ayat yang satu ini:

“Dan barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang luas dan (rezeki) yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayan.” (Q.S An Nisa : 100)

Selamat bergerak meraih impian sampai mau memisahkan dirimu dengan impianmu, dan yang tersisa hanyalah pahala dari Rabbmu, Semogga Sang Rabbi memudahkan Langkahmu. []

RENUNGAN adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim tulisan Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari RENUNGAN di luar tanggung jawab redaksi Islampos.

ISLAMPOS

Inilah Sosok Habib Umar bin Hafidz, Ulama Terkemuka yang Mempunyai Jutaan Jamaah di Dunia

SELASA (22/8/2023) hari ini, Habib Umar bin Hafidz akan mengisi tabligh akbar di Gelora Joko Samudro, Jalan Veteran Gresik. Tabligh akbar tersebut akan dimulai pada pukul 19.00 WIB. Namun panitia dan tim gabungan keamanan menyarankan agar para jamaah hadir sebelum sore.

Nama Habib Umar bin Hafidz sudah tak asing bagi muslim Tanah Air bahkan di seluruh dunia. Berikut ini sekilas mengenai sang Habib, mulai profil hingga perjalanan dakwahnya.

Ini bukan pertama kali Habib Umar bin Hafidz datang ke kota santri, Gresik. Sebelumnya, Habib Umar bin Hafidz juga datang ke salah satu pondok pesantren di sana.

Habib Umar bin Hafidz atau nama aslinya adalah Al Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz. Yang merupakan seorang ulama terkenal, guru, dan pembaru Islam di Yaman.

Habib Umar bin Hafidz lahir pada hari Senin, 27 Mei 1963 di Tarim, Hadramaut, Yaman. Dan sampai saat ini, beliau tinggal di Tarim, Yaman.

Dalam kesehariannya, Habib Umar mengawasi perkembangan di Darul Musthafa. Ia juga memiliki beberapa sekolah lainnya yang telah dibangun di bawah manajemennya.

Habib Umar sudah diajarkan untuk menghafal Al-Qur’an sedari dirinya kecil, dengan berbagai inti teks fikih, hadis, dan bahasa Arab. Selain itu, Habib Umar juga banyak menguasai ilmu-ilmu keagamaan yang banyak dipegang teguh oleh ulama lain seperti Muhammad bin Alawi bin Shihab dan Al-Shaikh Fadl Baa Fadhl serta ulama lain yang mengajar di Ribat, Tarim.

Ayahnya yang bernama Al-Habib Muhammad bin Salim pun sangat menyayangi dan selalu berada di sisi Umar kecil. Sejak kecil, Habib Umar bin Hafidz juga selalu diajarkan oleh ayahnya untuk memperdalam ilmu-ilmu agama dan zikir.

Namun ada tragedi ketika Habib Umar masih kecil, saat sedang menemani sang ayah salat jumat. Ayahnya diculik golongan para komunis. Dan akhirnya Habib Umar pulang sendirian ke rumah dengan membawa syal milik ayahnya.

Dan sejak saat itu, ayahnya hilang tanpa kabar dan tidak pernah kembali lagi. Menginjak usia muda, Habib Umar memiliki semangat untuk meneruskan tanggung jawab ayahnya di bidang dakwah, dan hanya berbekalkan syal milik sang ayah yang menjadi bendera untuk semangat hidupnya.

Selanjutnya Habib Umar bin Hafidz mengumpulkan orang-orang dengan membentuk beberapa majelis dan dakwah. Usaha dan perjuangannya yang keras demi dakwah Islam membuahkan hasil.

Banyak kelas yang dibuka bagi anak muda atau orang tua, di masjid-masjid setempat dengan penawaran berbagai kesempatan. Ada untuk penghafal Al-Qur’an dan untuk belajar ilmu-ilmu tradisional .[]

REDAKTUR: SYIFA MIFTAHUL RAHMA | SUMBER: JATIM.TIRBUNNEWS.COM | DETIK.COM

Bioskop di Arab Saudi Menyumbang Pendapatan Sebesar Rp 2,1 triliun

Ekonomi Arab Saudi tahun lalu tumbuh 8,7 persen.

Komisi Umum Media Audiovisual (GCAM) Arab Saudi mengumumkan, hingga saat ini pendapatan Arab Saudi dari bioskop telah melampaui 535 juta riyal Saudi atau setara Rp 2,1 triliun. Ini terhitung sejak dimulainya kembali aktivitas bioskop di Arab Saudi.

Badan pemerintah Arab Saudi itu juga menyampaikan, sejauh ini, lebih dari 10 juta tiket telah terjual. Sektor sinema Saudi adalah pendapatan yang terbesar di Arab Saudi saat ini, sebagaimana dilansir Saudi Gazette, Ahad (3/9/2023).

Hal itu karena sektor tersebut bergerak dengan akselerasi tinggi dalam mencapai tujuan Visi Saudi 2030. Jumlah kursi di 69 bioskop di Saudi telah melampaui 64 ribu dan masih banyak lagi dari tujuh operator, di lebih dari 20 kota di Saudi.

Adapun bioskop yang paling menonjol di antaranya adalah Vox Cinemas dan Muvi Cinemas. Bioskop-bioskop Saudi telah membuktikan kehadirannya yang kuat dan efektif, dengan jumlah film yang diputar mencapai lebih dari 33.

GCAM mengungkapkan, film terlaris di box office adalah film drama aksi Amerika “Top Gun: Maverick,”. Tiket film ini telah terjual lebih dari 1,2 juta dan menyumbang pendapatan mencapai 84 juta riyal Saudi atau setara Rp 339 miliar.

Sektor sinema Saudi mencatat pertumbuhan sebesar 28 persen selama kuartal kedua tahun 2023. Menurut buletin sektor bisnis Kementerian Perdagangan baru-baru ini, terdapat lonjakan catatan komersial dari sektor-sektor yang menjanjikan di Kerajaan, seperti bioskop, hiburan dan seni.

Buletin tersebut menyatakan bahwa catatan komersial sektor produksi film mencapai lebih dari 1.700 catatan komersial, dibandingkan dengan lebih dari 1.300 catatan komersial pada akhir kuartal kedua tahun 2022.

Mei 2023 lalu, pemerintah Arab Saudi merilis perkiraan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) kerajaan kuartal pertama 2023. Perekonomian Arab Saudi tumbuh 3,9 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.

Dalam laporan Otoritas Umum Statistik Arab Saudi yang dirilis Ahad (7/5/2023) aktivitas nonminyak tumbuh 5,8 persen pada kuartal pertama dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara aktivitas minyak tumbuh 1,3 persen.

IMF mengatakan, ekonomi Arab Saudi tahun lalu tumbuh 8,7 persen. Tapi proyeksi pertumbuhan PDB Arab Saudi tahun ini akan mencapai lebih dari 3,1 persen. Bulan lalu Riyadh mengatakan, mulai bulan Mei ini Arab Saudi akan memangkas produksi minyaknya menjadi 500 ribu barel per hari. Kelanjutan dari pemangkasan yang dilakukan negara-negara minyak, OPEC+ sebesar 1,16 juta barel per hari.

IHRAM

Hukum Istri Memandikan Jenazah Suami dalam Islam

Bolehkan seorang istri memandaikan jenazah suami? Apa pandangan ulama mahzah terkait masalah ini?

ASSALAMU’ALAIKUM. Apa hukumnya jika seorang perempuan memandikan jenazah suaminya, sadangkan terkadang ada situasi di mana tidak ada kaum lelaki yang memandikan jenazahnya? Nisa | Jakarta

***

Walaikumussalam warahmatullah wabarakatuh. Syari`at Islam memberi penghormatan dan pemuliaan kepada manusia. Salah satu dari perkara syari`at yang berkenaan dengan itu adalah kewajiban bagi umat Islam untuk membersihakan dan memandikan jenazah.

Memandikan jenazah hukumnya fardhu kifayah menurut kesepakatan umat Islam. Yakni jika ada pihak yang melaskanakannya maka gugurlah kewajiban bagi pihak lain. Namun jika semuanya tidak melaksanakan, maka semuanya berdosa. (Al Majmu` Syarh Al Muhadzdzab, 5/128).

Hukum asal, bahwasanya pihak yang memandikan jenazah memiliki jenis kelamin yang sama dengan jenazah. Imam Al Kasani dari Madzhab Hanafi menyatakan, ”Jenis kelamin tertentu memandikan jenis yang sama, lelaki memandikan lelaki, perempuan memandikan perempuan. Hal itu karena dibolehkan menyentuh tanpa syahwat bagi sesamaa jenis di saat dalam kondisi hidup, maka demikian pula dalam kondisi setelah wafat.” (Badai` Ash Shanai`, 1/304).

Kesepakatan Ulama Dibolehkan Istri Memandikan Suami

Adapun hukum seorang istri memandikan jenazah suaminya, maka para ulama pun sepakat membolehkannya, tanpa melihat kondisi darurat atau tidak.

Imam Ibnu Al Mundzir menyatakan; ”Dan para ulama bersepakat bahwa seorang perempuan boleh memandikan suaminya jika sang suami sudah meninggal.” (Al Ijma` li Ibni Al Mundzir, 44/78).

Dalil dari Hadits dan Amalan Para Sahabat

Para ulama juga berhujjah dengan hadits:

عَن عَائِشَة رَضِيَ اللَّهُ عَنْها قَالَت: لَو اسْتقْبلتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرت مَا غَسَّلَ رَسُولَ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إِلَّا نِسَاؤُهُ (أخرجه الحاكم وقال: صحيح على شرط مسلم).

“Artinya: Dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata,”Kalau sekiranya aku saat ini bertemu dengan persoalan yang telah lalu, tidak ada yang memandikan Rasulullah kecuali para istri beliau.” (Riwayat Al Hakim dan ia berkata, ”Shahih sesuai dengan syarat Muslim”, 3/61).

Para ulama juga berhujjah dengan perbuatan para sahabat, bahwasannya Abu Bakr Ash Shiddiq dimandikan oleh istrinya, yakni Asma` bint Umais. Demikian pula Abu Musa Al Asy`ari, dimandikan oleh istrinya yang bernama Umm Abdillah (Riwayat Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf, 3/409).

Para ulama empat madzhab juga menegaskan, bahwasannya istri boleh memandikan jenazah suaminya.

Madzhab Hanafi

As Samarqandi Al Hanafi menyatakan: ”Adapun jika keduanya suami istri, maka istri yang masih menjalani masa iddah karena kematian suami, maka dibolehkan baginya memandikan suaminya menurut ijma`.” (Tuhfah Al Fuqaha`, 1/240).

Madzhab Maliki

Imam Ibnu Rusyd mengutip pendapat Imam Ibnu Al Qasim: ”Adapun perempuan ia boleh memandikan suaminya, dan suami boleh memandikan istrinya, baik dalam kondisi bermukim maupun sedang melakukan safar.” (Al Bayan wa At Tahsil, 2/262).

Madzhab Syafi`i

Imam An-Nawawi berkata:  ”Bagi perempuan boleh memandikan jenazah suaminya. Namun jika suaminya mentalaknya dengan talak raj`i (talak yang memungkinkan untuk rujuk), sedangkan salah satu dari keduanya wafat di masa iddah, maka satu sama lain tidak boleh memandikan, karena diharamkan melihat ketika masih hidup.” (Raudhah Ath Thalibin, 2/104).

Madzhab Hanbali

Az-Zarkasyi menyatakan:  ”Perempuan boleh memandikan istrinya. Ini adalah pendapat yang masyhur di kalangan para ulama madzhab, dan Imam Ahmad, Ibnu Al Mundzir, serta Ibnu Abdi Al-Barr bahwa perkara itu merupakan ijma`.” (Syarh Az Zarkasyi, 2/336).

Dari paparan di atas bisa diambil kesimpulan bahwasannya dibolehkan bagi istri untuk memandikan suaminya, baik ada laki-laki yang memandikannya maupun tidak ada. Wallahu a`lam bish shawab.*/Thoriq, LC, MA, redaktur rubrik fikihMajalah Suara Hidayatullah

HIDAYATULLAH