Berdoa dan Berserah Diri

UNTUK apa kita berdoa? Bukankah dengan demikian, kita tidak pasrah dan tak sanggup menerima takdir yang sudah digariskan Tuhan? Bukankah sebagian sufi menyatakan, bahwa rela terhadap takdir Tuhan justru lebih utama, ketimbang kita melawan ketetapan sang waktu?

Dalam aktivitas berdoa, tersirat adanya keangkuhan lantaran seorang hamba menuntut disegerakan “takdir kebaikan” untuknya. Doa yang seharusnya merupakan wujud penghambaan, kemudian menjelma menjadi penentangan terhadap iradah dan ketentuan Tuhan. Barangkali di situlah alasan sebagian berpendapat, bahwa diam dan rela dengan takdir yang telah digariskan lebih utama ketimbang manusia menyibukkan diri dengan berdoa dan meminta pada Tuhan.

Sementara itu, Abul Qasim bin al-Qusyairi menegaskan dalam kata-katanya yang bersayap: “Doa adalah etika penghambaan pada waktu tertentu. Dalam kondisi yang lain, bisa jadi diam lebih baik daripada berdoa. Karena, setiap kondisi dapat diketahui oleh seorang hamba yang berhubungan langsung dengan Tuhannya. Dalam setiap kondisi, ketika seorang hamba memiliki isyarat untuk berdoa, sebaiknya ia berdoa dengan khusyuk. Akan tetapi, ketika kondisi lain ia mendapat isyarat untuk diam, lebih baik ia memilih diam.”

Al-Qusyairi menjelaskan secara mendetil, bahwa ketika kita punya obsesi yang didorong oleh kepentingan nafsu pribadi, lebih baik kita memilih diam dan tak usah berdoa. Tapi, jika di dalam hati terbersit hak Tuhan sebagai tujuan untuk berdoa, maka sebaiknya kita berdoa. Dengan demikian, terkandung kesenyawaan antara niat, doa dan kepentingan yang dituju oleh si pemohon dan pendoa.

Suatu kali, saudagar kaya-raya Abdurrahman bin Auf berdoa, agar dirinya dimiskinkan oleh Allah Swt. Karena, ia merasa khawatir dengan kekayaan yang melimpah justru akan mempersulitnya menyeberangi tangga-tangga hisab yang harus dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Tetapi kemudian, apakah doa agar dimiskinkan itu diijabah oleh Allah? Justru tak lama kemudian, Allah menambah dan menambah kembali kekayaan dunia yang dimiliki sahabat Nabi tersebut.

Rupanya dulu ia pernah memiliki tekad, bahwa jika Allah memberinya kekayaan yang melimpah, ia berjanji pada dirinya untuk menanggung biaya dan kesejahteraan hidup bagi mantan istri-istri Rasulullah setelah beliau wafat. Jadi, Allah Maha Tahu kepentingan dan kebutuhan hidup bagi hamba-hamba-Nya yang bertakwa, ketimbang si hamba itu sendiri. Di sini, terdapat konteks yang harmoni dengan petuah Al-Qusyairi di atas, bahwa berdoa maupun tidak, tetap Allah akan menambahkan pundi-pundi kekayaan Abdurrahman bin Auf, lantaran kebutuhan hidup yang melimpah, serta karakteristiknya yang betul-betul amanah.

Dari perspektif umum, aktivitas berdoa identik dengan pengukuhan ketidakmampuan diri serta kebutuhan seorang hamba akan Tuhannya. Ia menetapkan bahwa kekuasaan mutlak hanya berada di tangan Allah, sebagai implementasi kalimat tauhid. Namun di sisi lain, misalnya dalam kasus Abdurrahman bin Auf tadi menunjukkan, bahwa berdoa pada suasana hati yang tidak tepat, dapat membawa hamba pada suatu perasaan yang keliru dalam menyikapi kehendak Tuhannya.

Dalam hadits yang diriwayatkan Tirmidzi, Rasulullah menyatakan bahwa doa adalah inti dari ibadah (mukhul ibadah). Ia laksana pedang bagi seorang mukmin yang dapat menembus perisai takdir kehidupan. Sebagian ulama juga menerjemahkan makna “salat” sebagai aktivitas berdoa. Begitu pentingnya doa dalam menjalin hubungan hamba kepada Tuhannya, hingga setiap ajaran agama yang berkaitan dengan ibadah ketauhidan memiliki esensi yang sama, yakni aktivitas berdoa.

Kita mengenal tabiat Nabi Ibrahim, sebagai nabi yang banyak berdoa, tetapi seperti dikisahkan dalam Tafsir at-Thabari, di saat-saat menentukan ketika ia harus pasrah pada ketentuan Allah, Nabi Ibrahim justru memilih diam. Karena baginya, hanya Allah-lah Yang Maha Tahu keputusan apapun yang akan diberikan kepadanya.

Ketika api unggun besar itu berkobar-kobar, dan saatnya Ibrahim akan dilemparkan ke tengah bara api, Malaikat Jibril menampakkan diri seraya menawarkan, “Apa yang bisa aku bantu, wahai Ibrahim.”

“Jika kepadamu, aku tak butuh bantuan,” jawab Ibrahim dengan tenang.

“Lalu, kepada siapa kau butuh bantuan?”

“Cukuplah Allah yang menjadi Penolong bagiku.”

Ternyata dalam keadaan mendesak, Nabi Ibrahim justru memilih untuk tidak berdoa, melainkan berpasrah sepenuhnya pada ketentuan Allah Swt. Hanya Dia Yang Tahu segalanya, dan hanya Dia Yang berhak menolong hamba-hamba yang perlu ditolong dan dikasihi-Nya. Tak ada kekuatan apapun, baik jutaan jin dan manusia yang sanggup menghentikan keputusan-Nya. Juga tak ada kekuatan apapun yang bisa menolong dan memuluskan rencana seorang hamba, jika Allah menolak dan menghentikannya.

Terkait dengan ini, seringkali diperingatkan dalam Alquran, bagi hamba-hamba yang beriman, hendaknya memperbanyak rasa syukur yang dipanjatkan kepada Allah Swt. Sebab, banyak orang yang giat berdoa di kala jatuh dan terpuruk, namun mereka lupa untuk mensyukuri nikmat di kala makmur dan lapang. Mereka semestinya menyadari, bahwa anugerah hidup adalah nikmat yang harus disyukuri. Sebab, dengan rasa syukur, Allah menjamin kenikmatan hidup (rizki) akan senantiasa ditambah dan ditambah terus.

Sedangkan, kesibukan menggiatkan doa, belum tentu diijabah oleh Allah, lantaran diselubungi oleh hijab (dosa-dosa) yang sering dilakukan manusia. Untuk itu, jika pun doa itu dipentingkan dan diutamakan, hendaknya seorang hamba (terlebih di era hiper modern ini) lebih memperbanyak istighfar agar diampuni dulu dosa-dosa yang menimbun, barulah hijab untuk dibukannya doa-doa akan terkabulkan.

“Kenapa sedikit sekali manusia bersyukur?” (qalilamma tasykurun). Teguran yang berkali-kali disampaikan Tuhan itu hendaknya diindahkan. Dengan kata lain, manusia seringkali rewel dalam meminta dan berdoa (tangan di bawah) tetapi sedikit sekali memberi dan memuji kebesaran Tuhan (tangan di atas). Kita seringkali ingin banyak diberi oleh Allah, tetapi sedikit sekali memberi untuk fakir-miskin, beristighfar, juga sedikit sekali memuji dan membesarkan keagungan Allah.

Bukankah rizki sebanyak apapun takkan terasa kenikmatannya jika tidak disyukuri? Bahkan, Ali bin Abi Thalib, sahabat dan menantu Rasulullah pernah menandaskan bahwa kualitas salat yang baik justru sebagai manifestasi rasa syukur. Jadi, mensyukuri nikmat Allah identik dengan ibadah yang paling berkualitas.

Sebagai penutup, ingin saya tegaskan, bahwa para kandidat Presiden RI yang akan melenggang di ajang kontestasi pemilu 2024, hendaknya memperbanyak rasa syukur hingga Allah berwenang memberi kekuasaan kepada figur yang terbaik menurut kehendak-Nya. Rakyat Indonesia hendaknya bukan hanya menyibukkan diri berdoa agar kandidatnya terpilih, tetapi juga memperbanyak rasa syukur.

Meskipun secara ekonomi sangat terbatas. Kita tak memiliki saldo miliaran di ATM dan rekening, tetapi untuk apa uang satu-dua miliar, jika pengeluaran hidup kita bernilai puluhan miliar? Mampukah kita membeli jantung, pankreas, dan hati anak-anak kita jika harus dioperasi dan ditransplantasi? Mampukah kita membeli ketenangan dan ketentraman hidup, jika Allah menentukan diri kita sakit, terpuruk dan terhinakan?

Untuk apa para kandidat dan calon penguasa itu sibuk wara-wiri bersandar pada kekuatan makhluk dan tuhan-tuhan palsu (dukun dan orang pintar)? Selalu saja mereka mementingkan yang instan, lalu melupakan bahwa hanya Allah Yang Memberi pertolongan lahir dan batin? Ya, hanya Dia Yang Berwenang mengangkat hamba-hamba-Nya di tampuk kekuasaan? Bahkan, Dia pula Yang Berwenang memuliakan dan melanggengkan kedudukan, juga Yang Menentukan siapapun dari mereka, yang akhirnya terjengkang dari kursi kekuasaan.

Lalu, kepada tuhan yang mana lagi kalian hendak meminta pertolongan? []

ISLAMPOS

5 Pondasi Tauhid Menurut Syekh Ali Al-Husri

Artikel ini akan menjelaskan lima pondasi atau dasar-dasar ilmu tauhid menurut Syekh Ali Al-Husri. Nama lengkap beliau adalah Abul Hasan Ali bin Ibrahim Al-Husri. Beliau adalah ulama sunni yang hidup di abad ke empat Hijriah, dilahirkan di kota Basrah dan pindah ke kota Baghdad. Meninggal di kota Baghdad pada tahun 371 Hijriah.

Syekh Fariduddin Attar dalam karyanya Tadzkiratul Auliya’ Juz II, halaman 719, mengutip ungkapan Syekh Ali Al-Husri terkait pondasi atau dasar-dasar ilmu tauhid. Adapun kutipannya tertera sebagai berikut:

أصول التوحيد خمسة أشياء: رفع الحدث، وثبات القدم، والمهاجرة عن الوطن، والمفارقة عن الإخوان، ونسيان ما تعلم وما لا تعلم

Artinya: Dasar tauhid itu ada lima perkara, yaitu, menghilangkan hadas, menetapkan langkah, hijrah dari tanah air, berpisah dari saudara, dan melupakan apa yang telah kamu ketahui maupun apa yang belum kamu ketahui.

Ungkapan Syekh Ali Al-Husri yang telah disebutkan di atas, dikomentari oleh Syekh Fariduddin Attar. Adapun komentar dari Syekh Fariduddin Attar terperinci sebagai berikut:

Pertama, suci dari hadas. Hadas terbagi menjadi dua bagian, hadas kecil dan hadas besar. Yang dimaksud dengan hadas kecil adalah menjauhi dari perbuatan-perbuatan dosa kecil. Sedangkan yang dimaksud hadas besar adalah menjauhi dari dosa besar seperti, kekafiran, kesyirikan dan kemunafikan.

Kedua, menetapkan langkah. Artinya bersabar dan berusaha menjauhi larangan Allah, supaya tidak terjerumus kepada dosa kecil atau dosa besar.

Ketiga, hijrah dari tanah air. Artinya hijrah dari mencintai gemerlapnya kemewahan harta benda, kepada memikirkan dan mengamalkan urusan ukhrawi (urusan akhirat) Karena yang hidup di dunia ini, pasti akan kembali menghadap kepada Allah. 

Keempat, berpisah dari saudara. Artinya menyendiri atau uzlah untuk menghindari fitnah dan kejelekan orang lain. kesendirian lebih tenang dan lebih tentram untuk menjalankan berbagai kegiatan ibadah dan pengabdian kepada Allah. Berbeda dengan orang yang suka bergaul, ia tidak akan sempat melakukan berbagai kegiatan ibadah, karena ia disibukkan dengan berbagai urusan atau masalah.

Kelima, melupakan apa yang telah diketahui dan apa yang belum diketahui. Artinya harus percaya kepada ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah. Bahwa apa yang telah terjadi dan belum terjadi, itu semua karena qada’ dan qadar Allah, yang terpenting terus berdoa dan berusaha, pasrahkan semua yang terjadi atau yang belum terjadi kepada Allah.

Demikian penjelasan terkait 5 pondasi tauhid menurut Syekh Ali Al-Husri. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam Bissawab.

BINCANG SYARIAH

Bagaimana Bermuamalah dengan Kaum LGBT Menurut Fatwa Ulama?

Pertanyaan:

Saya tinggal di Kanada bersama suami. Saya berinteraksi dengan nonmuslim dengan lemah lembut sebagaimana yang Allah perintahkan, dengan harapan agar mereka mendapatkan pemahaman yang benar tentang Islam dan ajarannya. Namun, seperti yang Anda ketahui, di sini jumlah orang LGBT meningkat –wal’iyadzu billah– dan pernikahan mereka adalah sah menurut hukum (yang berlaku di Kanada -pen.). Ketika saya bertemu dengan orang-orang seperti mereka, saya tidak tahu bagaimana cara berinteraksi dengan mereka. Saya takut jika saya berinteraksi dengan lemah lembut, maka akan dipahami bahwa saya mendukung tindakan keji mereka. Namun jika saya berinteraksi dengan keras, mereka akan memiliki persepsi yang salah tentang Islam dan umat muslim. Mohon nasihat Anda tentang cara berinteraksi dengan mereka jika saya harus bekerja bersama mereka di satu tempat, sebagai contoh?”

Jawaban:

Anda telah berupaya bermuamalah dan bersikap baik dan menampilkan citra yang benar tentang Islam kepada mereka. Adapun yang kami sarankan kepada Anda tentang orang-orang homoseksual dan orang-orang kafir lainnya adalah berusaha untuk membimbing mereka agar masuk dalam agama Islam terlebih dahulu. Karena tauhid (keyakinan kepada keesaan Allah) adalah hal terpenting yang harus didakwahi, seperti dalam hadis-hadis sahih yang menyebutkan bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau berkata kepadanya,

فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدًا رسول الله

‘Hendaknya yang pertama kali engkau ajak mereka adalah untuk bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.’

Dan dalam riwayat Bukhari,

فليكن أول ما تدعوهم إليه أن يوحدوا الله

“Hendaknya yang pertama kali engkau ajak mereka adalah untuk menyembah Allah dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.’ (Muttafaqun ‘alaih, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu)

Tidak masalah untuk menjelaskan kepada mereka tentang bahaya perilaku yang buruk ini dan bagaimana perilaku tersebut bertentangan dengan fitrah (sifat bawaan manusia), serta memperingatkan mereka darinya. Juga, penting untuk menjelaskan kepada mereka tentang pentingnya pernikahan yang sesuai dengan fitrah. Wallahu a’lam

***

Penerjemah: Fauzan Hidayat

Artikel: Muslim.or.id

Sumber:

https://www.islamweb.net

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/86830-bermuamalah-dengan-kaum-lgbt.html

Empat Kiat agar Hidup Tenang

بسم الله , الحمد لله، والصلاة والسلام على رسوله، نبينا محمد وآله وصحبه

Manusia hidup di dunia tidak akan pernah terlepas dari musibah. Banyak hal yang terjadi di luar keinginan dan harapan manusia. Segala usaha dan rencana yang telah dilakukan bukan jaminan akan terwujud sebagaimana mestinya. Kehidupan ini Allah ciptakan penuh dengan kesulitan-kesulitan yang harus dilalui. Himpitan ekonomi, pasangan yang zalim, putus kerja, dikhianati teman, utang yang tidak dibayar, dan bermacam-macam bentuk kepahitan hidup yang setiap orang pernah merasakannya. Maka, tidak akan ada yang bisa menghadapi segala ketetapan takdir tersebut dengan tenang, kecuali dia memiliki kekuatan hati dalam meyakini beberapa perkara di bawah ini.

Segala sesuatu, baik suka atau duka, terjadi dengan takdir Allah

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗوَمَنْ يُّؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ يَهْدِ قَلْبَهٗ ۗوَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ

Tidak ada sesuatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taghabun: 11)

Makna “kecuali dengan izin Allah” adalah atas qada dan qadar Allah. (Tafsir Ath-Thabari)

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya.” Maksudnya adalah barangsiapa yang yakin dan percaya pada Allah, maka dia akan paham bahwa tidak ada satu pun musibah yang menimpanya, kecuali atas izin Allah. Oleh karena itu, Allah beri petunjuk hatinya. (Tafsir Qurthubi)

‘Alqamah rahimahullah ditanya tentang ayat tersebut, beliau berkata,

الرَّجُل تُصِيبهُ الْمُصِيبَة فَيَعْلَم أَنَّهَا مِنْ عِنْد اللَّه فَيَرْضَى وَيُسَلِّم

Seseorang yang ditimpa musibah, kemudian dia menyadari bahwa musibah ini datang dari sisi Allah, lalu dia rida dan menerimanya.” (Tafsir Ibnu Katsir)

Dari Ali bin Abi Thalhah, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

يَهْدِ قَلْبه لِلْيَقِينِ فَيَعْلَم أَنَّ مَا أَصَابَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَهُ وَمَا أَخْطَأَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَهُ

Allah beri petunjuk hatinya untuk yakin. Sehingga dia paham bahwa apa saja yang akan menimpanya, tidak akan luput. Dan apa yang luput darinya tidak pernah menimpanya.” (Tafsir Ibnu Katsir)

Maka, orang yang ditimpa berbagai macam musibah atau segala sesuatu yang tidak disenangi, sesuatu yang berat, kesulitan, kegundahan, dia akan senantiasa tenang jika dia yakin semua datang dari sisi Allah. Dengan keyakinannya tersebut, Allah tuntun hatinya untuk menyadari bahwa takdir yang telah ditetapkan tidak akan pernah meleset. Pasti akan menimpanya walau dia mencoba menghindarinya.

Allah akhiri ayat tersebut dengan, “Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”, untuk menegaskan bahwa musibah tersebut diturunkan oleh Zat yang paling mengetahui kadar musibah dan mengetahui kondisi manusia yang menerima musibah. Sehingga ketetapan tersebut sangat terukur dan presisi. Semuanya pas, tidak akan kurang atau lebih.

Dalil kedua adalah firman Allah,

مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِيْٓ اَنْفُسِكُمْ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مِّنْ قَبْلِ اَنْ نَّبْرَاَهَا ۗاِنَّ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌۖ

Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauhulmahfuz) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah.” (QS Al-Hadid: 22)

Makna مِّنْ قَبْلِ اَنْ نَّبْرَاَهَا, yaitu قَبْل أَنْ خَلَقَهَا مِن artinya ‘sebelum Allah menciptakan bumi dan manusia‘. (Tafsir Ath-Thabari).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

قَدَّرَ اللَّه الْمَقَادِير قَبْل أَنْ يَخْلُق السَّمَوَات وَالْأَرْض بِخَمْسِينَ أَلْف سَنَة

Allah telah menakdirkan ketetapan-ketetapan 50.000 tahun sebelum Dia ciptakan langit dan bumi.” (HR. Muslim)

Ketika seseorang meyakini hal tersebut, maka hatinya akan tenang. Karena semua itu adalah ketetapan Penciptanya yang Mahaadil sejak 50.000 tahun sebelum segala sesuatu di alam ini ada. Apa yang hendak dikhawatirkan atas segala rencana-Nya? Dia yang mencipta apa yang Dia kehendaki. Dialah Yang Mahatahu dan Mahaadil.

Setelah kesulitan pasti ada kemudahan

Dalil pertama adalah firman Allah,

فَاِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۙ اِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۗ

Maka, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Asy-Syarh: 5-6)

Setelah kesulitan pasti ada kemudahan. Kepastian adanya kemudahan disampaikan dalam ayat di atas dalam 4 sisi:

Pertama: Allah awali ayat dengan إنَّ (inna) yang artinya “sesungguhnya”, yang memiliki makna penekanan. Artinya, benar-benar setelah kesulitan pasti ada kemudahan.

Kedua: Allah mengulangi 2 kali yang juga menunjukkan penekanan.

Ketiga: Allah sebutkan kesulitan sekali, adapun kemudahan dua kali. Dan satu kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan. Sebagaimana hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, لن يغلب عسر يسرين, artinya ‘satu kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan‘.

Bagaimana bisa kesulitan hanya disebut sekali? Sedangkan dalam ayat disebut dua kali. Maka, dalam kaidah bahasa Arab, kesulitan العسر, disebut dalam bentuk ma’rifat atau kata benda definitif. Sedangkan kemudahan يُسْرًا dalam bentuk nakirah atau umum. Sehingga maknanya, kesulitan pada ayat 5 dan 6 itu sama, sedangkan kemudahan yang datang setelahnya akan datang dalam kemudahan-kemudahan yang berbeda.

Keempat: Allah gunakan kata مَعَ (bersama), yang artinya sangat dekat. Kedekatan itu seperti kata Ibnu Ma’sud radhiyallahu ‘anhu,

والذي نفسي بيده ، لو كان العسر في حجر ، لطلبه اليسر حتى يدخل عليه

Demi Zat yang jiwaku di genggaman-Nya, seandainya kesulitan itu ada di suatu lubang, sungguh kemudahan akan mencarinya dan masuk ke dalamnya.” (Tafsir Al-Qurthubi)

Maka, setiap kesulitan dan kehimpitan hidup yang dirasakan seseorang dalam hidup ini datang pula bersamanya kemudahan. Kesulitan akan selalu beriringan dengan kemudahan setelahnya. Keyakinan akan hal ini akan menenangkan jiwa. Menentramkan setiap orang yang dilanda kesulitan karena selalu ada harapan indah setelah kesulitan.

Dalil kedua adalah firman Allah,

سَيَجْعَلُ اللّٰهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًا

Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.” (QS. Al-Hadid: 7)

Ayat ini menunjukkan kemudahan itu sangat dekat dengan kesempitan. Tidak lama setelah kesulitan tersebut pasti ada kemudahan. Syaratnya, dia harus senantiasa bertakwa kepada Allah, tidak boleh bermaksiat. Tidak boleh mencela takdir, berkeluh kesah, tidak rida, lalai dari berzikir. Karena jalan keluar itu Allah kaitkan dengan ketakwaan, Allah berfirman,

وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا ۙ

Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya.” (QS. Al-Hadid: 2)

Sebagaimana sebab turunnya surah Asy-Syarh ayat 5-6 berkenaan dengan kondisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat menghadapi kaum musyrikin di Makkah, kondisi yang sangat sulit. Namun, Allah berikan kemenangan dakwah beliau setelah kesulitan tersebut. Dan Rasulullah senantiasa bertakwa dan berserah diri pada Allah di tengah kesulitan tersebut.

Baca juga: Ilmu Bekal Hidup Bahagia

Tidak ada yang bisa mengangkat musibah, kecuali Allah

Ada beberapa solusi agar musibah segera diangkat oleh Allah, di antaranya,

Bertobat

Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu berkata,

ما نزل بلاء إلا بذنب، ولا رفع إلا بتوبة

Tidaklah musibah turun, kecuali disebabkan dosa. Tidak akan diangkat, kecuali dengan tobat.”

Musibah datang bisa bertujuan 2 hal: pertama, ujian keimanan; kedua, menghapus dosa. Yang pertama adalah musibah yang diturunkan kepada rasul dan para nabi. Adapun kita adalah yang kedua. Kita adalah manusia yang tidak luput dari dosa. Sedangkan musibah erat kaitannya dengan dosa yang dilakukan manusia. Allah berfirman,

وَمَآ اَصَابَكُمْ مِّنْ مُّصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ اَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍۗ

Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30)

Meningkatkan ketakwaan

Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Hadid,

وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا

Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya.” (QS. Al-Hadid: 2)

Ketika ditimpa masalah, yang perlu dilakukan adalah bertakwa pada Allah. Jangan melakukan pelanggaran-pelanggaran syariat, jangan maksiat, jangan pilih jalan-jalan maksiat dalam mencari jalan keluar masalah. Minum khamar, menggunakan obat-obatan terlarang, keluh kesah di medsos, meninggalkan salat dan lainnya. Karena jalan keluar itu ada ketika seseorang bertakwa.

Rezeki seluruh makhluk berada di tangan Allah

Sebagaimana ajal yang ada di tangan Allah, maka rezeki manusia juga demikian. Seluruhnya berasal dari sisi Allah. Dalil hal ini sangat banyak, di antaranya,

قُلْ اِنَّ رَبِّيْ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ وَيَقْدِرُ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ ࣖ

Katakanlah, ‘Sungguh, Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasinya (bagi siapa yang Dia kehendaki), tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. As-Saba: 36)

اِنَّ اللّٰهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِيْنُ

Sungguh Allah, Dialah Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS. Adz-Dzariyat: 58)

Namun, jangan pernah menyempitkan makna rezeki. Rezeki tidak selalu dimaknai dengan kekayaan, harta, perhiasan, atau jabatan. Karena rezeki ada dua macam sebagaimana perkataan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah,

والرزق يعم كل ما ينتفع به المرتزق ؛ فالإنسان يرزق الطعام والشراب واللباس ، وما ينتفع بسمعه وبصره وشمه .

ويرزق ما ينتفع به باطنه من علم وإيمان وفرح وسرور وقوة ونور وتأييد وغير ذلك

Rezeki mencakup seluruh hal yang bermanfaat untuk penerima rezeki. Seorang manusia diberi rezeki berupa makanan, minuman, pakaian, dan segala hal yang bermanfaat dengan (menggunakan) pendengarannya, penglihatannya, dan penciumannya. (Ini rezeki yang pertama, pent).

Dan diberi rezeki juga yang bermanfaat bagi batinnya berupa ilmu, iman, kegembiraan, kekuatan, cahaya, dukungan, dan lainnya. (Ini rezeki yang kedua).” (Majmu’ Fatawa, 10: 555).

Sehingga rezeki tidak selalu berbicara tentang harta, mobil mewah, rumah yang megah, jabatan yang tinggi, atau gaji yang besar. Akan tetapi, rezeki bisa berupa ilmu yang bermanfaat, keimanan yang kuat, salat lima waktu di masjid, kelapangan waktu sehingga dapat berkumpul bersama keluarga, kemudahan dalam setiap masalah dan bentuk rezeki lainnya.

Semuanya rezeki ada di tangan Allah. Diraih dengan ikhtiar. Salah satunya dengan doa sebagaimana doa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا

Ya Allah sesungguhnya aku memohon ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik dan amal yang diterima.” (HR. Ibnu Majah)

Demikian. Semoga bermanfaat.

***

Penulis: dr. Abdiyat Sakrie, Sp.JP, FIHA

Sumber:

Materi dirangkum dan di-takhrij dengan sedikit penambahan dari kajian yang disampaikan oleh Ustaz Dr. Firanda Andirja, MA : https://www.youtube.com/watch?v=F3bGC3USXVA

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/86832-kiat-agar-hidup-tenang.html

Memahami Sifat Allah Wahdaniyat

Salah satu sifat Allah swt yang harus diketahui dan diimani oleh umat Islam adalah sifat Wahdaniyat. Sifat Wahdaniyat termasuk salah satu dari kelima sifat Salbiyah, yang artinya sifat ini hanya dimiliki oleh Allah swt dan tidak di dapat pada selain Allah swt. Adapun dasar dari sifat ini ialah surat al Ikhlash ayat 1 yang berbunyi:

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ

Artinya: “Katakanlah, dia adalah Allah yang esa” (QS. Al Ikhlash: 1)

Dari segi bahasa, Wahdaniyat memiliki makna tunggal, esa atau satu sebagaimana dipahami dari ayat tersebut. Keesaan Allah swt dalam hal ini meliputi kepada seluruh yang berkaitan dengan Allah swt, mulai dzat, sifat dan af’alnya. Syeikh Abu Hasan Al Shafaqisi di dalam kitab Taqribul Ba’id berkata:

فَالْوَحْدَةُ فِي حَقِّهِ تَعَالَى عِبَارَةٌ عَنْ نَفْيِ الْكَثْرَةِ فِي الذَّاتِ وَالصِّفَاتِ وَالْأَفْعَالِ

Artinya: “Keesaan pada hak Allah ta’ala merupakan ungkapan kepada ketidak adaan banya pada dzatnya, sifatnya dan af’alnya”

Yang dimaksud dengan esa dalam aspek dzat yaitu Allah swt tidak terbentuk dari beberapa elemen sebagaimana makhluknya. Allah swt maha suci dari terbentuk dari susunan beberapa komponen. Hal ini tidak sama dengan keesaan makhluk seperti manusia. Sekalipun Zaid, misal, tidak ada lagi sosok yang persisa sama dengan Zaid yang berada, tetapi Zaid tetaplah dzat yang tersusun dari beberapa komponen, seperti darah, daging, urat, tulang dan sebagainya. Maka hakikat dzat Zaid tidak lah tunggal, melainkan murokkab yang tersusun dari beberapa elemen lainnya.

Mengapa Allah swt harus Wahdaniyat ? Sebab dengan sifat wahdaniyat pada dzat Allah swt akan menolak bahwa Allah swt adalah dzat yang berjisim yang bisa dibagi-bagikan, sebagaimana diyakini kelompok Mujassimah dan Salafi Wahhabi. Abu Hasan As Shafaqisi berkata:

فَنَفْيُ الْكَثْرَةِ فِي الذَّاتِ يَسْتَلْزِمُ أَنْ لَا يَكُوْنَ جِسْمًا يَقْبَلُ الْاِنْقِسَامَ، وَيَسْتَلْزِمُ نَفْيَ نَظِيْرٍ لَهُ فِي الْأُلُوْهِيَةِ

Artinya: “Menolak sifat banyak pada dzat Allah swt akan menetapkan bahwa Allah swt tidak berjisim yang dapat dibagi-bagi. Dan akan menetapkan kepada adanya sekutu dalam sifat ketuhanan Allah swt”

Begitu juga yang dimaksud dengan tunggal dalam sifat. Artinya hanya satu-satunya Allah swt yang memiliki sifat ketuhanan, seperti sifat qudrat, iradat, qadim dan baqa’. Selain Allah swt tidak ada yang memiliki sifat-sifat seperti di atas. Oleh karena itu, seandainya ada dzat lain yang juga memiliki sifat sama dengan sifat-sifat uluhiyah Allah swt, maka Allah swt tidak lagi wahdaniyat atau tunggal dalam hal sifatnya. Dan ini mustahil terjadi.

Selanjutnya, yang dimaksud sifat tunggal dari aspek af’alnya yaitu Allah swt tidak butuh teman atau kawan dalam menciptakan sesuatu sesuai kehendaknya. Di dalam al Qur’an dijelaskan:

إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّّّ الْعَالَمِينَ * لَا شَرِيكَ لَهُ

Artinya: “Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah milik Allah, Tuhan semesta alam, yang tidak ada teman baginya” (QS. Al An’am: 162-163)

Sifat wahdaniyat dalam tiga aspek ini tidak akan muncul dalam makhluknya. Sebab itu, sifat wahdaniyat masuk ke dalam daftar sifat Salbiyah karena tidak akan ada dalam diri manusia dan makhluk lainnya.

wallahu a’lam

ISLAMKAFFAH

Merdeka Itu Rangkul Perbedaan, Tolak Intoleransi, dan Lawan Radikalisme

Jalan berliku telah dilalui oleh para pendiri bangsa dalam mengantarkan Indonesia pada kemerdekaan. Merdeka dalam berpikir dan bersikap menjadi buah manis yang kini bisa dinikmati oleh semua putra-putri Indonesia. Karena itu seluruh anak bangsa selayaknya dapat memaknai kemerdekaan dengan semangat kebersamaan yang merangkul semua perbedaan.

Mantan Ketua Umum DPP PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), Dr. KH. Anwar Sanusi, SH., S.Pel., MM., menyatakan bahwa kemerdekaan yang dirayakan bangsa Indonesia adalah untuk mengingat lepasnya Indonesia dari penjajahan negara asing. Jika mengacu kepada asal katanya, “merdeka” berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “mahardhika.”

“Mahardhika itu artinya merdeka, telah bebas dari pengaruh dan intervensi pihak lain. Kalau bagi Indonesia, merdeka artinya sudah bebas dari pengaruh pihak asing yang pernah menjajah kita,” ujar Anwar Sanusi di Jakarta, Jumat (18/8/2023).

Ia menjelaskan, bahwa menghayati semangat kemerdekaan yang menjadi hak bagi seluruh manusia di muka bumi, tentunya tidak bisa lepas dari sifat keterbukaan yang dapat merangkul semua. Hal ini sering juga disebut dengan toleransi, yang menjadi antitesis dari pemikiran radikal yang intoleran dan bisa merusak keragaman Indonesia yang kaya.

“Intoleransi itu lawan katanya toleransi. Arti toleransi itu kan banyak ya. Kalau kita kaitkan ke isu SARA misalnya, ada toleransi beragama, ras, suku, dan antar golongan. Hakikatnya, toleransi adalah sikap yang saling menghormati, menghargai, dan tidak memaksakan kehendaknya kepada orang lain yang punya pandangan berbeda,” imbuh Anwar Sanusi.

Dirinya menambahkan, jika bisa menerapkan kejujuran dan keadilan, baik dalam ucapan maupun tindakan, Indonesia akan berhasil menjadi bangsa yang besar. Memaknai kemerdekaan dengan memperjuangkan kemajuan bangsa Indonesia adalah prinsip yang sangat mulia. Selain itu, harus selalu diingatkan kepada seluruh anak bangsa agar mampu saling menghormati, mengakui, dan bisa objektif dalam melihat persoalan. Dengan begitu, segala perbedaan pendapat akan bisa disikapi dengan santai.

“Saya yakin, kalau memang masyarakat Indonesia ini, mulai dari rakyatnya, pemimpinnya, serta para tokoh agama dan tokoh masyarakatnya, bisa bersatu padu dalam bingkai iman dan takwa, maka bangsa kita bisa mendapatkan keberkahan dari Allah subhanahu wa ta’ala,” ungkapnya.

Menurutnya, hal itu sesuai dengan bunyi surat Al-A’raf ayat 96 pada Al-Quran, yang berbunyi ‘jika penduduk suatu negeri itu beriman dan bertakwa kepada Allah, maka negara itu akan mendapat keberkahan dari langit dan bumi’. Itu sudah ada di dalam Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional di pasal 31, sudah dicantumkan semua, bahwa harus memiliki iman, takwa, dan akhlak mulia,

Anggota DPR RI periode 1997-2014 dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan ini pun menjelaskan, kemajuan dan kebaikan suatu negara sebenarnya tergantung dari masyarakatnya sendiri.

“Kalau kita menyitir ayat Qur’an, bahwa Allah itu tidak akan merubah nasib suatu kaum, kalau kaum itu tidak mengubah nasibnya sendiri. Innallaha laa yughoyyiru maa bi qaumin, hatta yughoyyiru maa bi anfusihim,” tambahnya.

Ia berharap kondisi yang aman dan damai serta kebersamaan anak bangsa janganlah dirusak oleh kepentingan sesaat. Termasuk yang berkaitan dengan politik praktis untuk memperebutkan kekuasaan. Oleh karena itu, menghadapi tahun politik yang tinggal beberapa bulan lagi, sebaiknya tidak memakai prinsip politik machiavelis.

“Politik machiavelis adalah prinsip politik yang menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Cara yang dihalalkan misalnya menjelek-jelekan, memfitnah, atau menuduh lawan politiknya. Ini tidak boleh terjadi. Penggunaan isu politik identitas sebenarnya merupakan terapan dari prinsip politik machiavelis. Hal yang seperti ini seharusnya dihentikan karena tidak sesuai jati diri bangsa yang justru merangkul segala perbedaan agama, ras, dan golongan,” tegas Anwar Sanusi.

Untuk itu, Anwar Sanusi berpesan agar kemerdekaan yang diperoleh bisa dimaknai secara positif. Merdeka tidak hanya dari penjajah, namun juga merdeka dari intoleransi, radikalisme dan terorisme. Menurutnya, kita semua sama-sama Indonesia, mempersoalkan isu SARA justru akan melemahkan bangsa kita sendiri.

“Mari kita hayati semangat kemerdekaan Indonesia dan pesta demokrasi 2024 dengan bekal iman, takwa, dan akhlak yang mulia. Hapus intoleransi, radikalisme, dan terorisme,” pungkas Anwar Sanusi.

ISLAMKAFFAH

Doa Menghilangkan Rasa Takut di Waktu Tidur

Ketika kita hendak tidur dan kita merasakan ketakutan dari gangguan orang lain atau dari makhluk halus, maka hendaknya kita membaca doa menghilangkan rasa takut di waktu tidur. 

Nah berikut bacaan doa tersebut;

سُبْحَانَ مَن لاَ اِلَهَ اِلاَّ اَنْتَ الاَمَانَ خَلِّصْناَ مِنَ النَّارِ يا مَنْ لا يُرْجَى إلَّا فَضْلُهُ يا مَنْ لا يُسْأَلُ إلَّا عَفْوُهُ يا مَنْ لا يُنْظَرُ إلَّا بِرُّهُ يا مَنْ لا يُخافُ إلَّا عَدْلُهُ يا مَنْ لا يَدُومُ إلَّا مُلْكُهُ يا مَنْ لا سُلْطانَ إلَّا سُلْطانُهُ يا مَنْ وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَتُهُ يا مَنْ سَبَقَتْ رَحْمَتُهُ غَضَبَهُ يا مَنْ أَحاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمُهُ  سُبْحَانَكَ يَا لاَ اِلَهَ اِلاَّ اَنْتَ الاَمَانَ الاَمَانَ خَلِّصْناَ مِنَ النَّارِ

Subhaana man laa ilaaha illaa anta, al-amaana, khollishnaa minannaar. Yaa man laa yurjaa illaa fadhluhuu, yaa man laa yus-alu illaa a’afwuhuu, yaa man laa yunzhoru illaa birruhuu, yaa man laa yukhoofu illaa ‘adluhuu, yaa man laa yaduumu illaa mulkuhuu, yaa man laa sulthoona illaa sulthoonuhuu, yaa man wasi’at rohmatuhuu, yaa man sabaqot rohmatuhuu ghadhobahuu, yaa man ahaatho bikulli syai-in ‘ilmuhuu. Subhaanaka yaa laa ilaaha illaa anta, al-amaana, al-amaana, khollishnaa minannaar.

Maha Suci Dzat yang tiada Tuhan selain Engkau. Berilah keamaan, selamatkan kami dari api neraka. Wahai Dzat yang tidak diharapkan kecuali karunia-Nya, wahai Dzat yang tidak diminta kecuali ampunan-Nya, wahai Dzat yang tidak dilihat kecuali kebaikan-Nya, wahai Dzat yang tidak ditakuti kecuali keadilan-Nya,

wahai Dzat yang tidak abadi kecuali kerajaan-Nya, wahai Dzat yang tidak ada kekuasaan kecuali kekuasaan-Nya, wahai Dzat yang rahmat-Nya meliputi segala sesuatu, wahai Dzat yang rahmat-Nya mendahului murka-Nya, wahai Dzat yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Maha Suci Engkau, wahai yang tiada Tuhan selain Engkau. Berilah keamanan, berilah keamanan, selamatkan kami dari api neraka. 

Doa menghilangkan rasa takut ini disebutkan dalam kitab Majmu’ah Ahzab wa Awrod Al-Syaikh Al-Akbar Ibnu ‘Arabi.  Menurut Ibnu Arabi, keutamaan doa tersebut dapat menghilangkan rasa takut di waktu tidur.

BINCANG SYARIAH

Kisah Syekh As-Syibli Saat Dituduh Gila

Artikel di bawah ini akan mengisahkan tentang kisah Syekh As-Syibli saat dituduh gila oleh orang lain. Syekh Fariduddin Attar dalam karyanya Tadzkiratul Auliya’ Juz I, halaman 533, mengisahkan kisah tersebut.

Syekh As-Syibli keluar rumah untuk menghilangkan kejenuhannya. Ketika ia telah sampai pada suatu tempat, ia menulis lafadz Allah pada tempat yang disinggahinya. Tiba-tiba ia mendengar suara, “Wahai As-Syibli sampai kapan kamu mencari lafadz itu, kalau kamu ingin menemukan lafadz yang kamu tulis, datanglah ke gurun pasir”.

Tanpa pikir panjang Syekh As-Syibli mendatangi gurun pasir untuk mencari keberadaan lafadz Allah, yang telah ditunjukkan oleh suara misterius itu. Ungkapan suara misterius itu, menusuk relung hati Syekh As-Syibli, sehingga ia tenggelam dalam kerinduannya kepada Allah.

Ketika kerinduan Syekh As-Syibli kepada Allah memuncak, ia melemparkan tubuhnya ke sungai namun ombak menghempaskan tubuh Syekh As-Syibli ke tepi pantai. Kemudian tubuh Syekh As-Syibli masuk ke kobaran api yang membara, namun tubuhnya tidak terbakar, bahkan tidak merasakan kepanasan.

Syekh As-Syibli mendatangi hewan yang buas, dan mencoba mendekatinya supaya tubuhnya di terkam, tetapi tidak ada satu hewanpun yang mendekati tubuhnya, hewan-hewan yang buas menghindari tubuhnya bahkan menjauhinya.

Terakhir Syekh As-Syibli pergi ke gunung yang sangat tinggi, ia melompat dari gunung yang tinggi tersebut, namun angin yang kencang membawa tubuh Syekh As-Syibli, sehingga tubuhnya jatuh ke bumi dengan selamat tanpa ada yang lecet sedikitpun.

Setelah itu, Syekh As-Syibli menjerit, seraya berkata, “Celakalah orang yang tidak diterima oleh air, api, hewan buas, dan gunung”. Tiba-tiba ada suara misterius yang menyatakan: 

من كان مقبول الحق لا يقبله غيره

Artinya: Barangsiapa yang keberadaanya diterima oleh yang haq, maka ia tidak diterima oleh yang lainnya.

Setelah kejadian itu, Syekh As-Syibli dituduh gila oleh orang sekitarnya, ia diikat dengan rantai besi. Dan ia dimasukkan ke rumah sakit jiwa, setiap orang yang lewat di depannya, mereka berujar, “Ini orang gila”. Syekh As-Syibli menjawab, “Aku orang gila, kalian orang waras, semoga Allah menambahkan kegilaanku”.

Sekelompok orang pernah menjenguk Syekh As-Syibli ke rumah sakit jiwa, kemudian Syekh As-Syibli berujar, “Siapa kalian”. Mereka menjawab, “Kami adalah temanmu dan orang yang mencintaimu”. Tiba-tiba Syekh As-Syibli mengambil batu dan melemparnya, mereka lari karena takut terkena lemparannya. 

Lalu Syekh As-Syibli berujar, “Kalian semua pembohong, kalau kalian temanku dan mencintaiku, kalian tidak akan lari dari cobaanku, kalian mencintai kalian sendiri, dan kalian tidak mencintaiku”.

Demikian penjelasan terkait kisah Syekh As-Syibli saat dituduh gila. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Pentingnya Memahami Kondisi Riil dan Tantangan dalam Manasik Haji: Program Sertifikasi Kemenag

Pelaksanaan ibadah haji dipandu oleh para pembimbing yang memiliki peran sentral. Oleh karena itu, Kementerian Agama (Kemenag) telah meluncurkan program sertifikasi guna memastikan kompetensi para pembimbing dalam menghadapi tantangan nyata dalam manasik haji.

Pentingnya Peran Pembimbing dalam Ibadah Haji

Pembimbing haji memiliki peran kunci dalam memandu jamaah dalam melaksanakan ibadah haji. Dalam upaya meningkatkan kualitas pemandu ini, Kemenag menggelar program sertifikasi yang bertujuan untuk memastikan mereka memiliki kualifikasi dan pemahaman yang diperlukan.

Mengatasi Tantangan Nyata dalam Manasik Haji

Proses sertifikasi yang diadakan Kemenag tidak hanya mengandalkan metode klasikal dan pemahaman teoritis semata. Menurut Arsad Hidayat, Direktur Bina Haji Kemenag, program sertifikasi juga mengintegrasikan praktik lapangan sebagai bagian penting dari proses pembelajaran.

Tujuan dari pendekatan ini adalah agar para pembimbing haji mampu memahami secara menyeluruh proses manasik haji, baik dari sisi teori maupun praktik. Lebih dari itu, mereka juga diharapkan memahami kondisi sebenarnya di lapangan serta dinamika permasalahan yang mungkin muncul. Hal ini bertujuan untuk memungkinkan para pembimbing memberikan pemahaman yang mendalam kepada para jamaah.

Arsad Hidayat menjelaskan, “Sertifikasi tidak hanya sekadar teori. Para peserta sebenarnya akan diajak untuk memahami dan menerapkan secara praktis, sehingga mereka dapat menjelaskan dengan lengkap mengenai manasik haji kepada para jamaah. Ini termasuk pemahaman mengenai kondisi sebenarnya dan berbagai permasalahan yang mungkin timbul di Makkah dan Madinah.”

Program Sertifikasi dalam Praktek

Saat ini, Kemenag sedang menyelenggarakan Program Sertifikasi Pembimbing di Bandung. Kegiatan ini melibatkan 100 ASN Kementerian Agama dari berbagai daerah.

Kegiatan tersebut diatur oleh Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, bekerja sama dengan UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Dalam jadwal yang telah ditetapkan, program sertifikasi berlangsung dari tanggal 14 Agustus hingga 18 Agustus 2023.

Khalilurrahman, Kasubdit Bimbingan Jamaah, menjelaskan bahwa proses sertifikasi berlangsung selama lima hari. Setelah tiga hari penuh dengan pembelajaran teori, peserta akan mengikuti sesi praktik lapangan.

Peserta sertifikasi akan terlibat dalam praktik manasik haji di Masjid Al Jabar Bandung. Kegiatan ini melibatkan para peserta yang akan mengenakan pakaian ihram dan menjalankan langkah-langkah yang sesuai dengan ibadah haji.

Selain praktik, para peserta juga akan mendapatkan penjelasan mengenai skenario pelaksanaan manasik haji oleh KH. Adam Anhari. Mereka juga akan membentuk kelompok kloter yang terdiri dari berbagai regu dan rombongan, yang dipimpin oleh ketua ragu atau ketua rombongan.

“Selain materi teori, peserta sertifikasi juga akan diberikan pengalaman langsung dalam praktik dan simulasi. Hal ini bertujuan agar peserta dapat lebih memahami kondisi lapangan beserta segala tantangan yang mungkin muncul,” jelas Arif Rahman, Ketua Panitia Manasik.

sumber IHRAM

Hikmah Penciptaan Jin dan Manusia Menurut Fatwa Ulama

Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin: Mengungkap Hikmah Penciptaan Jin dan Manusia

Pertanyaan dan Jawaban tentang Hikmah Penciptaan Jin dan Manusia menurut Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin

Pertanyaan:

Mengapa Allah menciptakan jin dan manusia?

Jawaban:

Sebelum menjawab pertanyaan ini, penting untuk mengingat prinsip umum tentang ciptaan dan ketetapan Allah.

Kaidah ini diambil dari firman Allah Ta’ala,

وَهُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

Dan Dia Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (QS. At-Tahrim: 2)

Dan juga firman Allah Ta’ala,

إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيماً حَكِيماً

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (QS. An-Nisa’: 24)

Prinsip ini diterapkan pada banyak ayat lain yang menunjukkan hikmah dalam ciptaan Allah, baik dalam tatanan alam dan syariat. Tidak ada yang diciptakan Allah yang tidak memiliki hikmah, baik dalam manifestasi fisiknya maupun tidak. Demikian pula, tidak ada perintah atau larangan yang Allah tetapkan tanpa hikmah. Meskipun kita tidak selalu paham sepenuhnya tentang hikmah ini, Allah memberikan pemahaman kepada sebagian hamba-Nya.

Berdasarkan kaidah tersebut, maka kita katakan bahwa Allah menciptakan jin dan manusia karena hikmah yang agung dan tujuan yang terpuji, yaitu untuk beribadah kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Allah Ta’ala berfirman,

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثاً وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ

Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al-Mu’minun: 115)

Allah Ta’ala berfirman,

أَيَحْسَبُ الْإِنسَانُ أَن يُتْرَكَ سُدًى

Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (QS. Al-Qiyamah: 36)

Dan ayat-ayat lainnya yang menunjukkan bahwa Allah memiliki hikmah yang agung ketika menciptakan jin dan manusia, yaitu untuk beribadah kepada-Nya. Sedangkan definisi ibadah adalah,

التذلل لله عزوجل محبة وتعظيما بفعل أوامره واجتناب نواهيه على الوجه الذى جاءت به شرائعه

Merendahkan diri (tunduk) kepada Allah diiringi rasa cinta dan pengagungan dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, sesuai dengan aturan syariat-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء

Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Inilah hikmah dibalik penciptaan jin dan manusia. Dengan pemahaman ini, mereka yang mendurhakai Allah dan enggan beribadah menunjukkan bahwa mereka acuh tak acuh pada hikmah penciptaan ini. Tindakan seperti itu mengindikasikan bahwa mereka menganggap penciptaan makhluk ini sia-sia dan tak bermakna. Meskipun mereka tidak mengatakannya secara eksplisit, sikap ini merupakan konsekuensi dari durhaka dan kesombongan dalam taat kepada Allah.”

MUSLIMorid