Ketika Lisan Menyelisi Hati

Fenomena penjual agama di akhir zaman ini sudah nampak, bahkan secara terang benderang, banyak lisan sudah menyelisihi hati

DI AKHIR ZAMAN akan didapati suatu fenomena di mana lisan orang-orang akan menyelisih hatinya sendiri. Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ  bersabda,

يَخْرُجُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ رِجَالٌ يَخْتِلُوْنَ الدُّنْيَا بِالدِّينِ يَلْبَسُوْنَ لِلنَّاسِ جُلُوْدَ الضَّأْنِ مِنَ اللِّينِ، أَلْسِنَتُهُمْ أَحْلَى مِنَ السُّكَّرِ، وَقُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الذِّئَابِ، يَقُوْلُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: أَبِي يَغْتَرُّوْنَ، أَمْ عَلَيَّ يَجْتَرِئُوْنَ؟ فَبِي حَلَفْتُ لَأَبْعَثَنَّ عَلَى أُولَئِكَ مِنْهُمْ فِتْنَةً تَدَعُ الحَلِيْمَ مِنْهُمْ حَيْرَانًا

“Akan keluar di akhir zaman nanti beberapa orang yang mencari dunia dengan amalan din, mereka mengenakan pakaian di tengah-tengah manusia dengan kulit kambing yang lembut, lisan mereka lebih manis dari pada gula, tetapi hati mereka adalah hati srigala. Allah Azza wa Jalla berfirman, “Apakah terhadap-Ku mereka berani menipu ataukah mereka berani melawan Aku? Maka dengan Kebesaran-Ku, Aku bersumpah, Aku benar-benar akan mengirim kepada mereka fitnah yang mengakibatkan ulama yang teguh hati pun menjadi bingung.”  (HR .At-Tirmidzi, Kitab Az-Zuhd, no. 2515).

Hadits ini, jika ditinjau dari semua jalan periwayatannya maka termasuk hadits dha‘if (lemah), akan tetapi masing-masing darinya menguatkan yang lain. At-Tirmidzi menetapkan bahwa hadits Ibnu Umar  itu berderajat hasan.

Al-Mundziri menukilkan penetapan hasan oleh At-Tirmidzi ini dan mengakui kebenarannya. Oleh karena itulah kedudukan hadits-hadits ini adalah hasan li ghairihi atau dha‘if yang dikuatkan.

Bersegeralah dalam beramal sebelum datangnya fitnah akhir zaman

Rasulullah ﷺ menggambarkan bahwa fitnah akhir zaman itu bagai sepotong malam yang gelap. Seperti bila kita berada di tengah hutan pada waktu malam, tanpa lampu penerang, tanpa rembulan dan bintang, bahkan sekedar cahaya kunang-kunang.

Kegelapan yang membuat seseorang bahkan tidak mampu untuk melihat tangannya sendiri, apalagi benda-benda di sekitarnya. 

Kondisi hidup yang semacam ini sangat berpotensi untuk menggelincirkan siapapun. Efek fatal fitnah yang gelap gulita ini dapat membuat seseorang yang di pagi hari masih beriman namun di sore hari menjadi kafir.

Atau di sore hari beriman namun pada pagi harinya kafir. Karenanya Rasulullah  ﷺ memerintahkan agar seorang hamba tidak menunda kebaikan dan amal shalih yang dapat dikerjakannya:

“Bersegeralah kalian melakukan amal shalih sebelum datangnya berbagai fitnah yang seperti potongan-potongan malam yang gelap gulita. Pada waktu pagi seorang masih beriman, tetapi di sore hari sudah menjadi kafir; dan pada waktu sore hari seseorang masih beriman, kemudian di pagi harinya sudah menjadi kafir. Dia menjual agamanya dengan sekeping dunia.”  (HR. Muslim no. 169, Tirmidzi no. 2121, dan Ahmad no. 7687).

Fenomena penjual agama di akhir zaman ini sudah nampak, bahkan secara terang benderang.

Nubuwat  tentang  keharusan untuk bersegera beramal shalih mengisyaratkan tentang datangnya masa di mana manusia akan dengan sangat mudah menjual agamanya dengan dunia.

Fenomena ulama su’ adalah gambaran yang paling mewakili kondisi di atas. Iming-iming harta, tahta, wanita dan popularitas dunia telah banyak menggelincirkan para ulama su’.

Di antara mereka ada yang berkedok sebagai ilmuan atau cendekiawan muslim, padahal sejatinya adalah para pengasong agama yang profesinya sebagai “tukang permak ayat dan hadits” sesuai tuntutan dan selera tuan besarnya.

Ada juga yang awalnya da’i atau mubaligh yang proses kemunculannya melalui semacam audisi atau ajang pencarian bakat.  Mereka tiba-tiba tenar karena skenario opera pemilik industri media.

Niat berdakwah sudah bergeser. Perannya di masyarakat bukan lagi sebagai pembimbing  umat, namun sudah selevel dengan para selebritis papan atas; penghibur dan menjadi tontonan yang mengasyikkan, yang setiap kali manggung ada tawar-menawar tarif.

Pada momen tertentu menjadi ladang yang menggiurkan. Da’i-da’i selebritis ini melihat peluang yang besar untuk meraup keuntungan. Sebab, saat semacam itu media televisi memang berlomba untuk menaikkan rating iklannya dengan acara-acara hiburan yang berbau spiritual dan mereka mendadak menjadi tokoh utama.

Namun ada juga yang memang dari awal sudah didesain oleh suatu kelompok atau lembaga tertentu agar tokoh tersebut menjadi mascot produknya. Dengan bekal gelar doktor, profesor atau pakar ahli, para tokoh itu dengan sangat mudah untuk melegalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

Mereka menebar fitnah, memusuhi pembela syariah dan tiada henti menyesatkan manusia dari jalan Allah Azza wa Jalla setelah pekerjaan pokoknya.Tentu saja dengan imbalan dan bayaran yang sangat menggiurkan. Bahkan para ulama yang jujur pun akan dibuatnya bingung.

Dr. Al-Mubayyadh mengomentari hadits di atas; “Hadits ini menunjukkan sekelompok manusia yang menampakkan dirinya sebagai ahli ibadah, zuhud, dan lembut tutur katanya serta menyenangkan. Padahal mereka ini pada hakikatnya pencari dunia. Dunia adalah cita-cita terbesar mereka atau menjadi sesembahan mereka yang pertama.”

Keadaan lahiriah mereka berlawanan dengan kondisi bathiniyah mereka. Lisan mereka menyelisih hati mereka sendiri.

Mereka mencari dunia dengan mengerjakan amalan akhirat. Kelompok manusia seperti inilah yang menjadi penyebab fitnah di masyarakat.

Fitnah apalagi yang lebih besar daripada orang-orang yang tampak sebagai ahli ibadah secara lahiriah, atau tampak sebagai pencari akhirat dalam pandangan orang, tetapi mereka sebenarnya adalah penyembah dunia?

Arahan yang benar (menurut mereka) macam apakah yang akan didapatkan masyarakat umum dari orang-orang seperti ini?

Hadits ini juga mengisyaratkan bahwa adanya kelompok manusia berhati “srigala berbulu domba” ini di tengah masyarakat merupakan sebab utama terjatuhnya masyarakat ke dalam fitnah yang menyesatkan.

Saking gelap dan dahsyatnya fitnah itu sehingga menjadikan orang yang paling pantas mengetahui kebenaran pun menjadi bingung dalam mengurusi urusannya.

Jika para ulama dan orang-orang jujur saja dibuat bingung menghadapi fenomena srperti itu, lalu bagaimana dengan kita yang awam?

Semoga Allah Azza wa Jalla  mengaruniakan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita tetap istiqamah, senantiasa menghindari fitnah akhir zaman, lisan kita tidak menyelisihi hati kita untuk meraih ridha-Nya.Aamiin Ya Rabb. Wallahua’lam bishawab.*/ Bagya Agung Prabowo, dosen hukum di UII

HIDAYATULLAH

Bolehkah Mengafani Jenazah dengan Baju Gamis?

Dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

لَمَّا تُوُفِّيَ عَبْدُ اللهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ جَاءَ ابْنُهُ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبْدِ اللهِ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلَهُ أَنْ يُعْطِيَهُ قَمِيصَهُ أَنْ يُكَفِّنَ فِيهِ أَبَاهُ، فَأَعْطَاهُ

Ketika ‘Abdullah bin Ubay bin Salul meninggal dunia, anak laki-lakinya -yaitu ‘Abdulah bin ‘Abdullah- datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya memohon kepada beIiau agar sudi memberikan baju beliau kepada Abdullah untuk kain kafan ayahnya, ‘Abdullah bin Ubay bin Salul. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan bajunya kepada Abdullah.” (HR. Bukhari no. 1269 dan Muslim no. 2400)

Hadis di atas menunjukkan bolehnya mengafani jenazah dengan baju gamis ketika ada tujuan syar’i. Jika tidak ada, maka yang lebih baik adalah meninggalkannya karena baju gamis itu memiliki lengan baju. Hal ini karena jenazah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah dikafani dengan baju gamis.

Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أُبَيٍّ بَعْدَ مَا دُفِنَ، فَأَخْرَجَهُ، فَنَفَثَ فِيهِ مِنْ رِيقِهِ، وَأَلْبَسَهُ قَمِيصَهُ

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi (jenazah) ‘Abdullah bin Ubay setelah dimasukkan ke dalam kubur, lalu beliau mengeluarkannya, memberkahi dengan ludahnya, dan memakaikan baju beliau kepadanya.” (HR. Bukhari no. 1270)

Zahir hadis ini tampaknya bertentangan dengan hadis dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Hal ini karena hadis Ibnu ‘Umar menunjukkan bahwa ‘Abdullah bin ‘Abdullah bin Ubay bin Salul meminta gamis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar dapat digunakan untuk mengafani jenazah bapaknya (‘Abdullah bin Ubay bin Salul). Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun memberikan baju gamis beliau kepadanya. Sedangkan hadis Jabir menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memakaikan gamis beliau kepada jenazah ‘Abdullah bin Ubay bin Salul setelah menggali kuburnya, memberkahi dengan ludahnya, kemudian baru memakaikan baju gamis beliau ke jenazahnya.

Penjelasan atas hal yang tampaknya kontradiktif ini adalah sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar rahimahullah. Beliau menjelaskan bahwa maksud perkataan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,

فَأَعْطَاهُ

Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan bajunya kepada Abdullah.” adalah “beliau mengiyakan permintaannya.” Artinya, beliau berjanji akan memberikan baju gamisnya, tetapi tidak langsung diberikan pada saat itu juga.

Demikian pula, perkataan Jabir radhiyallahu ‘anhu,

بَعْدَ مَا دُفِنَ

setelah dimasukkan ke dalam kubur … “ adalah “tunjukkan kepadaku makamnya”. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan para sahabat untuk mengeluarkan jenazah ‘Abdullah bin Ubay bin Salul agar dapat memenuhi janji beliau untuk mengafani jenazahnya dengan baju gamis beliau.

Ada juga ulama yang memberikan penjelasan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada awalnya sudah memberikan salah satu baju gamisnya. Kemudian setelah jenazah dimakamkan, beliau memberikan lagi baju gamis kedua karena permintaan dari anaknya. (Lihat Fathul Baari, 3: 139)

Sebab mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan baju gamis beliau untuk mengafani jenazah ‘Abdullah bin Ubay bin Salul adalah sebagaimana diceritakan oleh sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu,

لَمَّا كَانَ يَوْمَ بَدْرٍ أُتِيَ بِأُسَارَى، وَأُتِيَ بِالعَبَّاسِ وَلَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ ثَوْبٌ، فَنَظَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهُ قَمِيصًا، فَوَجَدُوا قَمِيصَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُبَيٍّ يَقْدُرُ عَلَيْهِ، فَكَسَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِيَّاهُ، فَلِذَلِكَ نَزَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَمِيصَهُ الَّذِي أَلْبَسَهُ

Ketika terjadi perang Badar, tawanan-tawanan perang didatangkan dan di antaranya adalah Al-‘Abbas yang tidak mengenakan pakaian. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memandang perlu dicarikan baginya gamis (baju). Lalu mereka mendapatkan gamis ‘Abdullah bin Ubay yang cocok buat ukuran badannya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan gamis itu kepada Al-‘Abbas. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melepas gamis yang dipakaikannya (kepada ‘Abdullah bin Ubay saat pemakamannya di kemudian hari).

Ibnu ‘Uyainah berkata,

كَانَتْ لَهُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدٌ فَأَحَبَّ أَنْ يُكَافِئَهُ

Abdullah bin Ubay pernah punya jasa kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga beliau suka untuk membalasnya.” (HR. Bukhari no. 3008)

Berdasarkan penjelasan di atas, maka di antara maksud (tujuan) syar’i untuk mengafani dengan baju gamis adalah:

Pertama, untuk membalas jasa ‘Abdullah bin Ubay bin Salul yang telah berbuat baik dengan memberikan baju gamis kepada kepada paman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu Al-‘Abbas ketika perang Badar.

Kedua, untuk menentramkan atau melegakan hati anaknya, yaitu sahabat yang mulia ‘Abdullah bin ‘Abdullah bin Ubay, yang telah mengajukan permintaan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena meskipun bapaknya adalah gembong orang munafik, anaknya (‘Abdullah bin ‘Abdullah bin Ubay bin Salul) adalah seorang sahabat yang saleh.

Perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut juga menunjukkan kemuliaan akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika beliau tidak membalas keburukan dengan keburukan. Bahkan beliau membalas dengan kebaikan. Hal ini menunjukkan kemuliaan akhlak beliau yang bersedia memberikan baju gamisnya untuk seorang gembong munafik yang menjadi musuhnya dan telah menyakiti beliau shallallahu ‘alaihi wasallam semasa hidupnya. (Lihat Tashilum Ilmam, 3: 31)

An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

والافضل ان لا يكون في الكفن قميص ولا عمامة فان كانا لم يكره لكنه خلاف الاولى

Yang lebih baik adalah tidak mengafani jenazah dengan baju gamis atau serban (imamah atau tutup kepala), meskipun keduanya tidaklah dimakruhkan. Akan tetapi, hal itu (mengafani dengan baju gamis) menyelisihi yang lebih utama (yaitu dengan tiga lapis kain kafan, pent.).” (Al-Majmu’, 5: 194)

Sebagaimana yang disebutkan oleh An-Nawawi rahimahullah di atas, yang lebih baik adalah mengafani jenazah dengan tiga lapis kain, sebagaimana yang disebutkan oleh ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُفِّنَ فِي ثَلاَثَةِ أَثْوَابٍ يَمَانِيَةٍ بِيضٍ، سَحُولِيَّةٍ مِنْ كُرْسُفٍ لَيْسَ فِيهِنَّ قَمِيصٌ وَلاَ عِمَامَةٌ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (ketika wafat) dikafani jasadnya dengan tiga helai kain yang sangat putih terbuat dari katun yang berasal dari negeri Yaman. Dan tidak dikenakan kepada (jenazah) beliau baju gamis dan serban (tutup kepala).” (HR. Bukhari no. 1264 dan Muslim no. 941)

Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Dalam hadis (Ibnu ‘Umar) di atas, terdapat dalil bolehnya mengafani jenazah dengan baju gamis yang berjahit. Seandainya jenazah dikafani dengan kain berjahit, hal itu sudah mencukupi. Akan tetapi, hendaknya mengafani dengan kain kafan yang telah disebutkan di hadis sebelumnya (yaitu hadis Aisyah, pent.) sebagaimana kain kafan jenazah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, itulah yang lebih baik (lebih afdal). Akan tetapi, jika dikafani dengan baju sesuai kebiasaan, yaitu yang memiliki lengan baju dan saku, atau memakaikannya dengan baju sebagaimana kondisinya ketika masih hidup, hal itu sudah mencukupi (boleh). Inilah dalil yang ditunjukkan oleh hadis Ibnu Umar tersebut.” (Tashilum Ilmam, 3: 31)

Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin.

***

@Rumah Kasongan, 9 Syawal 1444/ 30 April 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 267-268) dan Tashilul Ilmam (3: 30-31).

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84702-bolehkah-mengafani-jenazah-dengan-baju-gamis.html

Khutbah Jumat: Pelajaran dan Sikap Seorang Muslim Menghadapi Cuaca Panas

Cuaca panas yang melanda sejumlah daerah di Tanah Air tengah kita rasakan dalam beberapa pekan terakhir. Menurut BMKG, cuaca panas yang terjadi tidak masuk kategori gelombang panas seperti yang terjadi di negara-negara lain. BMKG menyebut bahwa cuaca panas ini sebagai fenomena adanya gerak semu matahari yang menjadi siklus yang biasa dan terjadi di setiap tahun.

Selain itu, BMKG memprediksi Indonesia akan mengalami musim kemarau yang lebih panjang di 2023 ini. Terjadi dari akhir Mei sampai September mendatang.

Islam telah mengajarkan kepada kita tentang menyikapi fenomena cuaca, khususnya cuaca panas seperti sekarang.

Khutbah Pertama

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن

عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى: يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

Saudara-saudara yang Dimuliakan Allah

Pertama, panasnya cuaca yang kita rasakan akhir-akhir ini harus membuat kita ingat tentang panasnya Hari Kiamat. Apa yang tengah kita rasakan sekarang ini, tidak sebanding dengan apa yang akan kita hadapi di hari akhir. Panasnya hari kiamat jauh lebih panas, jauh lebih mendidih, dan jauh lebih menyengat.

Di Hari Kiamat kelak, jarak matahari dengan kita teramat dekat. Hanya sejengkal dari kepala kita. Keringat pastinya akan bercucuran deras. Tergantung dari amal kita. Ada yang keringatnya hanya sampai ke kedua mata kaki, ada yang sampai lutut, ada yang sampai ke leher, bahkan sampai menenggelamkan. Sekali lagi tergantung dari amal perbuatan kita di dunia.

Rasul SAW bersabda, seperti diriwayatkan oleh Imam Muslim :

“Matahari akan didekatkan kepada makhluk kelak pada hari kiamat, sampai ada di antara mereka yang jaraknya sejauh satu mil.” Rasulullah meneruskan, “Adapun keringat mereka maka sesuai dengan amalan yang ia kerjakan ketika di dunia, di antara mereka ada yang sampai lututnya, ada yang sampai betisnya, ada yang sampai di pinggangnya, bahkan ada yang sampai ke mulutnya.” Dan Rasulullah mengisyaratkan dengan tangan ke mulutnya.”

Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits yang mengingatkan kita tentang dahsyatnya keadaan Hari Kiamat. Rasul SAW bersabda :

يَعْرَقُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَذْهَبَ عَرَقُهُمْ فِي الْأَرْضِ سَبْعِينَ ذِرَاعًا وَيُلْجِمُهُمْ حَتَّى يَبْلُغَ آذَانَهُمْ

“Kelak pada hari kiamat seluruh manusia mengucurkan keringat, sampai-sampai ada yang keringatnya membasahi bumi sebanyak tujuh puluh dzira’, sehingga menutupi mereka sampai ke telinganya”. (HR Bukhari)

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

Kedua, cuaca yang tengah kita hadapi hendaknya kita sikapi dengan mengingat betapa panasnya api neraka jahanam. Allah SWT berfirman :

وَقَالُوْا لَا تَنْفِرُوْا فِى الْحَرِّۗ قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ اَشَدُّ حَرًّاۗ لَوْ كَانُوْا يَفْقَهُوْنَ

“Dan mereka berkata, ‘Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.’ Katakanlah (Muhammad), “Api neraka Jahanam lebih panas,” jika mereka mengetahui.” (QS. At-Taubah : 81)

Neraka jahanam, panasnya jauh lebih terik dan pastinya lebih membakar. Panasnya mendidih. Jangan sampai kita sekadar sibuk dengan cuaca panas di dunia tapi lupa bahwa di akhirat, neraka jahanam jauh lebih panas dari yang tengah kita rasakan.

Disebutkan bahwa panasnya cuaca di dunia adalah bagian dari hembusan neraka jahanam. Rasul SAW bersabda :

“Neraka mengadu –akibat panasnya yang begitu mendidih- kepada Rabb-Penciptanya, ‘Wahai Rabb, sebagian diriku saling membakar satu dengan yang lain.’ Maka Allah pun menghendaki neraka memiliki dua nafas; nafas di musim dingin dan nafas di musim panas. Kalian dapati dahsyatnya dingin yang menggigil adalah bagian dari zamharir-nya neraka (hembusan dingin menusuk tulang), sedangkan yang kalian dapati dari sengatan panas di musim panas adalah bagian dari gejolak mendidihnya neraka.” (HR. Bukhari-Muslim)

Kaum Muslimin yang Berbahagia

Sejumlah amalan bisa kita laksanakan dalam menghadapi cuaca yang terik. Selain usaha lahir seperti banyak minum air, merendam kaki di air dingin, menggunakan alat penyejuk udara, atau menghindari paparan langsung dengan matahari, jangan lupa untuk melakukan usaha pengamalan batin.

Pertama, perbanyak doa permohonan kepada Allah SWT agar dilindungi dari siksa neraka. Rasul SAW bersabda :

“Siapa yang minta surga kepada Allah sebanyak tiga kali, maka surga akan berkata; ‘Ya Allah, masukkanlah ia ke dalam surga.’ Dan siapa yang minta agar dijauhkan dari neraka sebanyak tiga kali, maka neraka akan berkata; ‘Ya Allah, jauhkanlah ia dari neraka’.”
(HR. An-Nasa’i)

Di antara sifat Ibadurrahman adalah senantiasa meminta kepada Allah agar dijauhkan dari siksa neraka. Allah SWT berfirman :

وَالَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَۖ اِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا ۖ

“Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, jauhkanlah azab Jahanam dari kami, karena sesungguhnya azabnya itu membuat kebinasaan yang kekal.” (QS. Al-Furqan : 65)

Kedua, melaksanakan puasa di hari-hari yang panas. Dengan puasa di cuaca panas, tentu memiliki tingkat rintangan yang lebih rumit, maka pahala yang didapat jauh lebih banyak, selaras dengan kesulitan yang dihadapi dalam mengamalkannya.

Puasa seperti ini disebut oleh para salaf sebagai ظمأ الهواجر (puasa di musim panas). Sayidina Umar bin Khattab ra. berkata kepada putranya Abdullah untuk menguatkan iman, salah satunya, dengan berpuasa di cuaca panas di musim panas.

Abu Darda’ ra. berkata, “Laksanakan puasa di hari yang panasnya sangat terik sebagai persiapan menghadapi panasnya hari kebangkitan dan tunaikan salat dua rakaat di tengah kegelapan malam sebagai persiapan menghadapi kegelapan alam kubur.”

Jemaah Salat Jumat yang Dirahmati Allah

Ketiga, bersedekah. Yang paling utama dalam konteks cuaca panas ini adalah sedekah berupa memberi minum. Diriwayatkan bahwa Sa’ad bin Ubadah ra. baru saja ditinggal wafat oleh ibunya dan ia ingin bersedekah yang pahalanya dihadiahkan untuk sang bunda. Lalu, ia berkonsultasi kepada Rasul SAW tentang hal ini. Beliau merespon positif. Dan saat ditanya sedekah apa yang paling utama di antara bentuk sedekah yang ada selama ini, beliau menjawab, “Memberi minum.” (HR. Ahmad)

Imam Al-Qurtubi mengatakan dalam kitab tafsirnya, “Memberi minum adalah amalan yang paling agung untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, sampai-sampai sebagian tabi’in menegaskan, ‘Siapa yang banyak berbuat dosa hendaknya ia bersedekah dengan memberi minum. Allah SWT telah berkenan mengampuni dosa-dosa orang memberi minum seekor anjing, bagaimana tidak berkenan mengampuni seseorang yang memberi minum seorang mukmin yang bertauhid.’”

Demikianlah khutbah Jumat pada saat-saat yang mulia penuh berkah ini. Semoga Allah SWT menyelamatkan kita, keluarga kita, dan kaum muslimin, dari sengatan panas matahari di hari akhir, selamat dari siksa neraka jahanam, dan menjadikan kita sebagai ahli surga-Nya yang penuh dengan kesejukan, kedamaian, serta kenyamanan.

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فيِ القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنيِ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنيِّ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ َإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْليِ هذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ ليِ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah Kedua

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى سيدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن. اَمَّا بَعْدُ :

فَيَا اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ تَعَالىَ وَذَرُوا الْفَوَاحِشَ مَاظَهَرَ وَمَا بَطَنْ، وَحَافِظُوْاعَلىَ الطَّاعَةِ وَحُضُوْرِ الْجُمْعَةِ وَالْجَمَاعَةِ.

وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهَ اَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَّى بِمَلاَئِكَةِ قُدْسِهِ، فَقَالَ تَعَالىَ وَلَمْ يَزَلْ قَائِلاً عَلِيْمًا: اِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِىْ يَاَ يُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سيدنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سيدنا إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سيدنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سيدنا إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمسْلِمَاتِ وَالمؤْمِنِيْنَ وَالمؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ،
اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنَ البَرَصِ وَالجُنُونِ والجُذَامِ وَسَيِّيءِ الأسْقَامِ

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا, اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى والتُّقَى والعَفَافَ والغِنَى، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ و َمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Ali Akbar bin Muhammad bin Aqil

HIDAYATULLAH

Sembilan Hal yang Haram Dilakukan saat Ihram

Sejumlah hal dilarang dilakukan saat ihram.

Larangan-larangan ihram adalah perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dikerjakan oleh orang yang sedang ihram, dan perbuatan-perbuatan yang jika dilakukan oleh seorang Mukmin maka ia wajib membayar dam.

Syekh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam kitab Minhajul Muslim menjabarkan sejumlah larangan-larangan bagi umat Muslim yang telah masuk dalam ihram.

Berikut larangan-larangan dalam ihram:

Pertama, menutup kepala dengan penutup apapun.

Kedua, mencukur rambut atau memotongnya walaupun sedikit, baik rambut kepala maupun rambut lainnya.

Ketiga, memotong kuku. Baik kuku tangan maupun kuku kaki.

Keempat, menyentuh wewangian.

Kelima, mengenakan pakaian yang berjahit dalam bentuk apapun.

Keenam, membunuh binatang buruan darat. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Alquran Surah Al-Maidah ayat 95, “Ya ayyuhalladzina aamanu laa taqtulu as-shaida wa antum hurum,”. Yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian membunuh binatang buruan ketika kalian sedang ihram,”.

Ketujuh, melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengarah pada hubungan suami-istri. Seperti ciuman dan sejenisnya.

Hal ini berdasarkan firman Allah dalam Alquran Surah A-Baqarah ayat 197, “Falaa rafatsa wa laa fusuqa wa laa jidaala fil-hajji,”. Yang artinya, “Maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji,”.

Yang dimaksud dengan rafats di dalam ayat tersebut dapat diartikan sebagai perbuatan-perbuatan yang dapat mengarah pada hubungan suami-istri.

Kedelapan, melaksanakan akad nikah atau melamar. Hal ini sebagaimana sabda Nabi, “Laa yankihu al-muhrimu wa laa yunkihu wa laa yakhthubu,”. Yang artinya, “Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah dan tidak boleh pula menikahkan serta tidak boleh melamar,”.

Kesembilan, melakukan hubungan suami istri. 

IHRAM

KBIHU Sepakati Tujuh Komitmen Dukung Kebijakan Haji Ramah Lansia

Kementerian Agama (Kemenag) mengusung tagline ‘Haji Ramah Lansia’ dalam penyelenggaraan ibadah haji 1444 H/2023 M. Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU) menegaskan komitmennya untuk mendukung kebijakan Kementerian Agama.

Komitmen Pelayanan KBIHU dalam Pelaksanaan Haji Ramah Lansia ini ditandatangani para Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Forum Komunikasi KBIHU seluruh provinsi di Kantor Kementerian Agama. Penandatanganan berlangsung secara hybrid, daring dan luring, dipusatkan di Ruang Rapat Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Jakarta.

Ikut bertanda tangan sebagai saksi, Kepala Kantor Wilayah Kemenag dan Kepala Bidang Haji pada masing-masing provinsi. Penandaranganan ini disaksikan juga oleh Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Hilman Latief, Direktur Bina Haji Arsad Hidayat, dan para pejabat eselon II lainnya pada Ditjen PHU.

Tahun ini, ada lebih dari 67.000 jemaah haji yang berusia 65 tahun ke atas. Jumlah ini berkisar 30 persen dari total kuota haji reguler Indonesia yang mencapai 203.320. Jumlah ini akan bertambah seiring adanya 8.000 tambahan kuota yang ditawarkan Arab saudi.

“Alhamdulillah, hari ini FK KBIHU dari seluruh provinsi di Indonesia telah menegaskan komitmennya untuk mendukung dan ikut menyukseskan Haji Ramah Lansia,” kata Dirjen PHU Hilman Latief dalam keterangan yang didapat Republika.co.id, Kamis (11/5/2023).

Ia menyebut peran KBIHU sangat penting. Sebab, mereka berada pada garda terdepan dalam pembinaan manasik jamaah haji, termasuk jamaah haji lansia.

Hal senada disampaikan Direktur Bina Haji Arsad Hidayat, yang mana komitmen ini menunjukkan adanya kesamaan persepsi antara Kemenag dan KBIHU. Hal ini penting karena akan berdampak pada pendekatan pembelajaran manasik haji.

“Proses manasik haji di Kantor Urusan Agama (KUA) dan Kankemenag Kabupaten/Kota dimulai sejak hari ini. Para jamaah di pulau jawa akan mendapat delapan kali manasik sedang di luar pulau jawa mendapat 10 kali manasik,” ujar dia

Menurutnya, penandatanganan komitmen ini sangat penting, agar proses manasik ke depan didesain dalam semangat menyukseskan Haji Ramah Lansia.

Tujuh komitmen yang dimaksud adalah:

1. Mendukung kebijakan Pemerintah Indonesia kaitannya dengan pelaksanaan program Haji Ramah Lansia pada tahun 1444 H/2023 M;

2. Membuat program manasik haji dan umrah yang mendukung terhadap kenyamanan dan kesahihan pelaksanaan Ibadah Jemaah haji lansia;

3. Melakukan pembinaan manasik haji dan umrah yang menekankan sisi-sisi kemudahan (rukhsah) kepada Jemaah haji lansia;

4. Membantu dan memfasilitasi pelaksanaan ibadah haji Jemaah lansia baik di tanah air, perjalanan maupun di Arab Saudi;

5. Meniadakan segala aktifitas yang menyebabkan kelelahan dan memperburuk kondisi kesehatan Jemaah haji lansia;

6. Menanamkan kesadaran kepada seluruh Jemaah haji KBIHU pentingnya memiliki sifat kepedulian dan empati kepada Jemaah haji lansia;

7. Mensosialisasikan butir-butir komitmen layanan Jemaah haji lansia kepada seluruh KBIHU yang berada di wilayah kami.  

IHRAM

Hadis: Pahala Mengiringi Jenazah sampai Selesai Dimakamkan

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ شَهِدَ الجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلِّيَ، فَلَهُ قِيرَاطٌ، وَمَنْ شَهِدَ حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ ، قِيلَ: وَمَا القِيرَاطَانِ؟ قَالَ: مِثْلُ الجَبَلَيْنِ العَظِيمَيْنِ

Barangsiapa yang menyaksikan jenazah hingga ikut menyalatkannya, maka baginya pahala satu qirath. Dan barangsiapa yang menyaksikan jenazah hingga ikut menguburkannya, maka baginya pahala dua qirath.” Ditanyakan kepada beliau, “Apa yang dimaksud dengan dua qirath?” Beliau menjawab, “Seperti dua gunung yang besar.” (HR. Bukhari no. 1325 dan Muslim no. 945)

Juga dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنِ اتَّبَعَ جَنَازَةَ مُسْلِمٍ، إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، وَكَانَ مَعَهُ حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهَا وَيَفْرُغَ مِنْ دَفْنِهَا، فَإِنَّهُ يَرْجِعُ مِنَ الأَجْرِ بِقِيرَاطَيْنِ، كُلُّ قِيرَاطٍ مِثْلُ أُحُدٍ، وَمَنْ صَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ رَجَعَ قَبْلَ أَنْ تُدْفَنَ، فَإِنَّهُ يَرْجِعُ بِقِيرَاطٍ

Barangsiapa mengiringi jenazah muslim karena iman dan mengharapkan balasan (pahala) dan dia selalu bersama jenazah tersebut sampai disalatkan dan selesai dari penguburannya, maka dia pulang dengan membawa dua qirath. Setiap qirath setara dengan gunung Uhud. Dan barangsiapa menyalatkannya dan pulang sebelum dikuburkan, maka dia pulang membawa satu qirath.” (HR. Bukhari no. 47)

Dari dua hadis di atas, terdapat beberapa faedah yang dapat kita simpulkan.

Faedah pertama

Hadis di atas menunjukkan keutamaan mengiringi dan menyalatkan jenazah, serta menghadiri pemakamannya. Zahir hadis menunjukkan bahwa pahala yang akan didapatkan itu dengan syarat “karena iman dan mengharapkan balasan (dari Allah Ta’ala).” Oleh karena itu, siapa saja yang mengiringi jenazah hanya karena merasa ingin balas budi atau semata-mata agar tidak dijadikan bahan pembicaraan oleh masyarakat sekitar atau niat semisal itu, maka dia tidak akan mendapatkan pahala sebagaimana yang disebutkan di dalam hadis.

Sehingga terdapat beberapa manfaat yang agung ketika kita mengiringi jenazah sampai jenazah tersebut selesai dimakamkan, di antaranya:

Pertama, mendapatkan pahala yang sangat agung ini.

Kedua, bisa menunaikan hak-hak mayit, di antaranya mendoakan dan menyalatkannya.

Ketiga, menunaikan hak-hak anggota keluarga (kerabat) si mayit, yaitu dengan menguatkan, membersamai, dan mendampingi keluarga si mayit ketika sedang mendapatkan musibah. Tentu saja hal itu memiliki pengaruh yang besar bagi keluarga yang ditinggalkan.

Keempat, membantu keluarga si mayit untuk menyiapkan pemakaman sampai menguburkan si mayit.

Kelima, mendapatkan nasihat dan pelajaran ketika melihat jenazah dan pemakaman, sehingga dapat melembutkan hati dan mengingatkan tentang negeri akhirat.

Oleh karena itu, sudah selayaknya seorang muslim itu bersemangat dan termotivasi untuk mengiringi jenazah siapa saja, baik dia mengenal jenazah tersebut ataupun tidak. Hal ini karena kebanyakan manusia di zaman ini hanya mau mengiringi jenazah ketika dia mengenalnya saja, baik karena jenazah tersebut adalah teman atau kerabatnya.

Faedah kedua

Hadis tersebut adalah dalil bahwa siapa saja yang mengiringi jenazah sampai menyalatkan saja, maka dia mendapatkan pahala satu qirath. Sedangkan jika dia mengiringi sampai selesai dimakamkan, maka dia mendapatkan tambahan satu qirath lagi. Dalam riwayat Bukhari di atas, terdapat kalimat,

وَيَفْرُغَ مِنْ دَفْنِهَا

Sampai selesai dimakamkan.

Hal ini menunjukkan bahwa pahala satu qirath tambahan tersebut dengan syarat dia mengiringi dan menyaksikan pemakaman sampai selesai, yaitu ketika kubur sudah diratakan. Pendapat ini dikuatkan oleh An-Nawawi rahimahullah, dan juga oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah.

An-Nawawi rahimahullah berkata, “Derajat paling tinggi untuk pulang dari mengiringi jenazah adalah diam sejenak setelah pemakaman selesai, memohon ampunan untuk si mayit dan mendoakannya, dan memohon agar si mayit diberikan keteguhan (dalam menjawab pertanyaan malaikat, pent.).” (Al-Majmu’, 5: 278)

Faedah ketiga

Dalam riwayat Bukhari disebutkan,

…مَنِ اتَّبَعَ جَنَازَةَ مُسْلِمٍ، إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، وَكَانَ مَعَهُ حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهَا 

Barangsiapa mengiringi jenazah muslim karena iman dan mengharapkan balasan (pahala) dan dia selalu bersama jenazah tersebut sampai disalatkan …

Sedangkan dalam riwayat Muslim disebutkan,

مَنْ خَرَجَ مَعَ جَنَازَةٍ مِنْ بَيْتِهَا، وَصَلَّى عَلَيْهَا، ثُمَّ تَبِعَهَا حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ مِنْ أَجْرٍ، كُلُّ قِيرَاطٍ مِثْلُ أُحُدٍ …

Barangsiapa yang keluar (mengiringi) jenazah dari rumahnya, lalu dia menyalatkannya, dan turut mengantarkannya hingga jenazah itu dikuburkan, maka baginya dua qirath pahala. Setiap qirath adalah seperti gunung Uhud … “ (HR. Muslim no. 945)

Zahir dari dua riwayat di atas menunjukkan bahwa pahala satu qirath itu khusus bagi yang mengiringi jenazah sejak jenazah tersebut keluar dari rumah dan kemudian menyalatkan jenazah di tempat jenazah tersebut disalatkan, misalnya di masjid.

Akan tetapi, terdapat riwayat lain dalam Shahih Muslim, dari jalan Suhail, dari bapaknya, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ صَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ وَلَمْ يَتْبَعْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ، فَإِنْ تَبِعَهَا فَلَهُ قِيرَاطَانِ ، قِيلَ: وَمَا الْقِيرَاطَانِ؟ قَالَ: أَصْغَرُهُمَا مِثْلُ أُحُدٍ

Barangsiapa yang menyalatkan jenazah, namun ia tidak sampai ikut mengantarnya, maka baginya pahala satu qirath. Dan jika ia turut mengantarnya, maka baginya pahala dua qirath.” Kemudian ditanyakanlah, “Seperti apakah dua qirath itu?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Yang paling kecil di antaranya adalah seperti gunung Uhud.” (HR. Muslim no. 945)

Riwayat terakhir di atas menunjukkan bahwa pahala satu qirath itu didapatkan dengan semata-mata menyalatkan jenazah saja, meskipun dia tidak ikut mengiringi jenazah sebelum jenazah itu sampai di tempat disalatkan. Inilah yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin saat ini, yaitu mereka langsung ke masjid tempat jenazah tersebut disalatkan, kemudian baru mengiringi ke pemakaman dari masjid, bukan dari rumah si mayit.

Jawaban atas permasalahan ini adalah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Mulaqqin (Al-I’lam, 4: 533) dan Al-Hafidz Ibnu Hajar (Fathul Baari, 3: 197) bahwa pahala satu qirath itu didapatkan ketika seseorang itu menyalatkan saja, meskipun dia tidak ikut mengiringi jenazah ketika keluar dari rumahnya menuju masjid tempat jenazah tersebut disalatkan. Akan tetapi, pahala satu qirath yang didapatkan oleh orang yang ikut mengiringi jenazah dari rumahnya sampai tempat disalatkan, kemudian dia pun ikut menyalatkan jenazah tersebut, itulah satu qirath yang paling sempurna. Hal ini karena satu qirath itu bertingkat-tingkat sebagaimana disebutkan dalam riwayat Muslim yang telah disebutkan di atas,

أَصْغَرُهُمَا مِثْلُ أُحُدٍ

Yang paling kecil di antaranya adalah seperti gunung Uhud.

Faedah keempat

Dalil di atas menunjukkan bahwa pahala satu qirath yang kedua itu dengan syarat bagi siapa saja yang mengiringi jenazah di perjalanan sampai ke pemakaman, sampai jenazah tersebut selesai dimakamkan. Hal ini berdasarkan kalimat,

وَكَانَ مَعَهُ

Dan dia membersamai jenazah tersebut … “

An-Nawawi rahimahullah berkata, “Seandainya seseorang itu salat jenazah dan pergi ke pemakaman sendirian, dia menunggu sampai jenazah tersebut datang setelah itu, dia pun menghadiri pemakaman, maka dia tidak mendapatkan pahala satu qirath yang kedua. Demikian pula, seandainya dia menghadiri pemakaman saja, namun tidak ikut menyalatkan; atau dia mengiringi jenazah saja namun tidak ikut menyalatkan, maka dia tidak mendapatkan pahala satu qirath sebagaimana yang disebutkan dalam hadis. Pahala satu qirath kedua itu hanyalah didapatkan bagi siapa saja yang mengiringinya (sampai dimakamkan) setelah menyalatkan, akan tetapi dia tetap mendapatkan pahala secara umum.” (Syarh Shahih Bukhari, hal. 327)

Akan tetapi, perkataan An-Nawawi rahimahullah yang menyebutkan bahwa seandainya seseorang itu salat jenazah dan pergi ke pemakaman sendirian, maka dia tidak mendapatkan pahala satu qirath yang kedua, perkataan ini perlu ditinjau kembali. Yang lebih mendekati adalah dia tetap mendapatkan pahala satu qirath yang kedua. Hal ini karena dia tetap dihitung menghadiri pemakaman jenazah. At-Tirmidzi rahimahullah menyebutkan bahwa sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan selainnya mendahului berangkat ke pemakaman sebelum jenazah dibawa ke pemakaman. Selain itu, telah disebutkan sebelumnya bahwa pahala satu qirath itu bertingkat-tingkat. Ada yang satu qirath sempurna. Ada yang kurang dari itu.

Faedah kelima

Hadis-hadis di atas menunjukkan betapa agungnya kemurahan dari Allah Ta’ala dan pemuliaan-Nya terhadap kaum muslimin, yaitu ketika Allah Ta’ala memberikan pahala yang besar kepada orang yang mengiringi jenazah, menyalatkan, dan menghadiri pemakamannya sampai selesai. Dan tidak dibedakan antara jenazah laki-laki atau perempuan karena cakupan makna umum dari hadis tersebut.

Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat dan dapat diamalkan oleh kaum muslimin.

***

@Rumah Kasongan, 8 Syawal 1444/ 29 April 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 322-326). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84682-hadis-pahala-mengiringi-jenazah-sampai-selesai-dimakamkan.html

Bolehkah Istinja’ dengan Tisu Pengganti Batu?

Dalam literatur fikih klasik, alat yang dipakai untuk istinja’ adalah air dan batu sebagai medium menghilangkan najis setelah buang air kecil atau air besar. Suatu proses menghilangkan najis dari badan sebagai syarat sah untuk melakukan ibadah seperti shalat.

Menjadi persoalan ketika di tempat buang air seperti di toilet tidak tersedia air dan batu, hanya ada tisu. Atau, buang air saat melakukan perjalanan, sementara di kendaraan yang kita tumpangi tidak ada persediaan air, batu juga sulit ditemukan, yang ada hanya tisu. Apakah tisu bisa dijadikan alat untuk istinja’ sebagai ganti batu?

Dalam kitab-kitab fikih, seperti Fathul Qarib, istinja’  hukumnya wajib. Setelah buang air kecil atau air besar seseorang wajib membersihkan sisa najis yang ada di lubang tempat keluarnya air kencing atau kotoran. Sisa najis tersebut disucikan menggunakan air yang “suci dan mensucikan”. Sebab tidak semua air bisa digunakan untuk istinja’, harus air yang suci mensucikan.

Jika tidak menemukan air alternatif berikutnya menggunakan batu atau benda padat lainnya memiliki kesamaan dengan batu. Sebagaimana air, benda-benda padat tersebut harus suci, ditambah syarat-syarat lain yang akan dijelaskan selanjutnya.

Persoalannya, apabila air dan batu serta benda padat yang mirip dengan batu tidak ditemukan. Hanya ada tisu, misalnya. Apakah tisu bisa dikategorikan benda yang semakna dengan batu?

Benda padat yang dikategorikan memiliki kesamaan dengan batu disyaratkan harus suci dan bukan merupakan benda yang dimuliakan oleh syari’at Islam. Melihat definisi ini, tisu termasuk benda padat bukan benda cair.

Dengan demikian, tisu masuk kategori benda padat yang semakna dengan batu (fi ma’nahu). Dengan syarat tisu tersebut suci, bisa membersihkan dan tidak termasuk benda terhormat dalam pandangan syari’at Islam.

Lebih jelas, dalam kitab Bughyah al Mustarsyidin, boleh istinja’ menggunakan kertas-kertas putih yang tidak ada tulisan asma Allah, sebagaimana keterangan yang ada dalam kitab Al I’ab.

Dalam kitab Al Fiqh ‘ala Madzahib al Arba’ah, dijelaskan, tidak makruh beristinja’ menggunakan kertas yang tidak terdapat tulisan, atau tidak layak dijadikan media untuk menulis.

Kesimpulannya, boleh istinja’ menggunakan tisu manakala seseorang tidak menjumpai air atau batu. Namun, karena tisu dikategorikan benda yang semakna dengan batu, maka syarat-syarat istinja’ dengan batu juga berlaku ketika istinja’ menggunakan tisu.

Yakni, istinja’ harus dilakukan sebelum kotoran atau najis mengering dan kotoran tersebut tidak merembet pada tempat selain tempat keluarnya. Maka, kalau kotorannya telah mengering atau mengenai tempat selain tempat keluarnya, tidak sah istinja’ menggunakan tisu, wajib menggunakan air.

ISLAM KAFFAH

Pantaskah Muslim Nyanyikan Lagu Havenu Shalom Alaechim?

Umat Islam seharusnya tidak boleh menyanyikan lagu Havenu Shalom Alaechim. Pemerhati Agama Semit Etika Noor menjelaskan bahwa viralnya lagu tersebut membuat banyak warganet yang awam berkomentar tanpa dasar. Etika yang memang telah mendalami ilmu perbandingan agama baik Islam, Kristen maupun Yahudi menjelaskan mengenai lagu tersebut.

“Lagu ini merujuk pada kalimat shalom alaechim, maknanya sama atau tidak jauh beda dengan Assalammualaikum yang berarti semoga keselamatan terlimpah padamu,”ujar Etika yang mempelajari bahasa ibrani dengan Rabbi Tovia Singer seorang advokat Yahudi Ortodoks di Indonesia, Selasa (9/5/2023).

Terkait masalah fikih boleh atau tidaknya digunakan sebagai salam. Ini harus ditanyakan kepada ahlinya.

Namun secara pribadi, Etika yang juga aktif sebagai Koordinator Mualaf Center AYA SOFYA Wilayah Jabodetabek menjelaskan tidak masalah jika hanya sekadar untuk menyapa atau mengucapkan salam. Penganut agama Yahudi, memang mengunakan kalimat ini untuk mengucapkan salam dalam bahasa ibrani.

“Namun saya belum pernah dan sulit sekali mencari orang Yahudi Muslim atau mualaf dari Yahudi sehingga belum mengetahui apakah mereka tetap menggunakan kalimat ini untuk mengucapkan salam,”ujar dia.

Sama halnya ketika seseorang mempelajari bahasa, maka dalam konteks untuk mempraktikkan bahasa ibrani dengan kalimat ini maka sah-sah saja diucapkan. Namun masalah terjadi ketika kalimat ini tidak pada tempatnya.

Menurut Etika, menggunakan bahasa ini tidak sesuai di Indonesia karena mayoritas agama Islam dengan bahasa arab sebagai bahas utamanya. Begitu juga dengan agama lain, nasrani yang menggunakan bahasa Indonesia.

“Tidak pas menurut saya, menggunakan bahasa ini di Indonesia, apalagi minimnya orang Yahudi di Indonesia, kecuali sedang berada di Israel”ujar dia.

Etika yang juga Ketua Annisa, Yayasan Pembina Mualaf At Tauhid menjelaskan beberapa komentar tentang lagu ini menjadi viral karena pendengarnya merasa lagu ini enak didengar. Sebenarnya lagu ini adalah miliki penganut Yahudi sebagai lagu pujian untuk Tuhan atau Allah yang Maha Esa.

Hanya saja lagu ini kemudian diadopsi oleh agama samawi lain untuk memuji kelahiran Yesus. Dan digunakan pula sebagai lagu rohani mereka baik dengan bahasa ibrani maupun diterjemahkan.

“Dalam konteks teologis, tidak perlu mengurusi materi agama lain, sebelum mendalami Alquran secara menyeluruh,”jelas dia.

Boleh saja mempelajari agama lain, tetapi harus lebih dahulu memiliki aqidah Islam yang kuat. Seperti yang disebutkan dalam Alquran surat At Nahl ayat 125

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk.

KHAZANAH REPUBLIKA

Shalom Alaichem Dinyanyikan Panji Gumilang Al Zaytun, In Penjelasan Aktivis Yudaisme  

Shalom Alaichem diklaim mempunyai kesamaan dengan salam ala Islam

Viralnya lagu rohani nasrani di pengajian Pesantren Al Zaytun menarik banyak orang untuk berkomentar.

Salah satu influencer yang sering membahas agama yudaisme Eko Etika Noor menjelaskan lagu “Hanevu Shalom Alaichem” memang sering dinyanyikan sebagai lagu pembuka saat ibadah umat nasrani. 

Salah satu klip dibagikan Etika mengenai lagu pembuka rohani dengan bahasa ibrani oleh umat nasrani, https://youtu.be/KGGOIFzyO3k.

Etika juga membagikan klip lagu kedua yang pernah menyanyikan shalawat dengan bahasa ibrani berjudul shalawat global di kajian kyai kanjeng, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), https://youtu.be/N0zHKFPG4jQ.

Etika yang mendalami agama Yahudi langsung dengan Rabbi Tovia Singer menjelaskan bahwa keduanya berbahasa ibrani dan berarti sama dengan kalimat Assalammualaikum, sehingga menurut Etika tidak masalah jika kalimat tersebut digunakan Muslim sebagai sapaan berbahasa Ibrani.

“Lain halnya jika kalimat tersebut digunakan sebagai lagu rohani atau puji-pujian pada klip video youtube umat Nasrani. Karena hal tersebut sudah masuk ranah teologi,” ujar dia kepada republika.co.id, Selasa (9/5/2023).

Selain itu Etika yang sering berkolaborasi dengan Yayasan Pembinaan Muslim At Tauhid (YPMA) juga menjelaskan mengenai umat Yahudi yang memiliki kesamaan ketauhidan dengan Islam. Yahudi juga hanya meyakini satu tuhan yang sama dengan Islam yakni Allah SWT.

Hanya saja mereka tidak memercayai kitab lain selain Taurat. Karena bagi mereka kitab terakhir yang diturunkan tuhan adalah Taurat.

Sedangkan Muslim memiliki keyakinan dengan semua kitab yang diturunkan kepada nabi dan rasul, termasuk Taurat. 

Baca juga: 7 Daftar Kontroversi Panji Gumilang Pimpinan Al Zaytun yang tak Pernah Tersentuh

Demikian juga dengan ibadah, umat Yahudi hanya bersedia beribadah di masjid atau mushala jika tidak ada sinagog.

“Saya sering dimintai tolong untuk menemani ibadah umat Yahudi di masjid atau mushala, karena khawatir dicurigai orang lain karena tata cara ibadah yang berbeda,” ujar dia.

Umat Yahudi pun sangat mengutamakan kesucian tempat ibadah, sehingga tidak mungkin Yahudi memiliki kedekatan dengan umat agama paganisme karena keyakinan keduanya berbeda, baik keyakinan akan Tuhan maupun dalam hal kesucian ibadah.  

KHAZANAH REPUBLIKA

Enam Ribu Jamaah Haji Israel Berangkat ke Tanah Suci Setiap Tahun

Sekitar 18 persen orang Israel adalah Muslim. Ada sekitar 6.000 orang Israel melakukan haji setiap tahun.

Karena itu, Israel berharap agar Kerajaan Arab Saudi mengizinkan penerbangan langsung bagi warga Muslim Israel yang akan segera menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Israel telah mengajukan permintaan penerbangan dan sedang menunggu tanggapan Riyadh.

Menteri Luar Negeri Israel, Eli Cohen mengatakan, persoalan penerbangan langsung ke Saudi bagi warga Muslim Israel untuk melaksanakan ibadah haji masih dalam pembahasan. Dia pun tidak bisa memberi tahu seperti apa progres pembahasannya.

“Masalah ini sedang dibahas. Saya tidak bisa memberi tahu Anda apakah ada kemajuan. Tapi dengan itu, saya optimis kita bisa memajukan perdamaian dengan Arab Saudi,” kata Cohen, sebagaimana dilansir di laman JNS, Senin (8/5/2023).

Persetujuan Saudi untuk penerbangan langsung dari Israel ke Saudi, yang saat ini masih dalam pertimbangan, disebut-sebut akan menjadi langkah maju lainnya dalam normalisasi hubungan antara Israel dan Saudi.

Pejabat Israel mencatat bahwa izin bisa datang pada jam kesebelas, tepat sebelum ziarah 26 Juni-1 Juli dimulai. Arab Saudi telah mengizinkan maskapai Israel untuk terbang melintasi wilayahnya sejak Juli 2022.

Seorang juru bicara Kedutaan Besar AS di Yerusalem menolak mengomentari masalah tersebut. Saat ini, orang Arab Israel yang menunaikan ibadah haji tidak bisa berangkat langsung ke Saudi melalui penerbangan udara.

Mereka harus melakukan perjalanan melalui negara ketiga seperti Yordania untuk sampai ke Arab Saudi. Hal tersebut menimbulkan biaya tambahan baik untuk perjalanan keluar maupun pulang.

Sebelumnya, mantan Perdana Menteri Israel, Yair Lapid mengatakan, pada prinsipnya dia telah mendapatkan persetujuan Riyadh untuk penerbangan tersebut. Pejabat administrasi Biden juga memperkirakan, penerbangan semacam itu akan diatur.

Namun, dengan ketegangan hubungan AS-Saudi, hingga saat ini belum ada konfirmasi dari Riyadh. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah berulang kali menyuarakan harapan untuk mencapai kesepakatan damai bersejarah dengan Arab Saudi.

Juli 2022 lalu, Esawi Freij, yang saat itu menjabat Menteri Kerja Sama Regional Israel, mengatakan pihaknya telah berupaya agar Muslim Israel bisa melakukan penerbangan langsung ke Jeddah untuk melakukan ibadah haji.

“Saya ingin melihat hari ketika saya dapat berangkat dari Ben-Gurion (bandara dekat Tel Aviv) ke Jeddah untuk memenuhi kewajiban agama saya haji ke Makkah,” kata Freij yang merupakan seorang anggota minoritas Muslim Israel.

Selama ini Arab Saudi telah lama menerima jamaah haji dari Israel, tetapi mereka harus melakukan perjalanan melalui negara ketiga. Itu berakhir dengan biaya sekitar 11.500 dolar AS untuk tinggal selama sepekan. Adapun jamaah haji dari negara-negara Arab tetangga membayar sekitar setengahnya di bawah itu.

IHRAM