Yang Perlu Diperhatikan saat Berbuka Puasa

Ada beberapa hal yang sebaiknya dihindari saat buka puasa.

Ada beberapa hal yang dianjurkan untuk dihindari atau dilarang, untuk menjaga keberkahan dan kesucian ibadah puasa. 

Ada beberapa hal yang sebaiknya dihindari saat buka puasa, di antaranya tidak boleh berlebihan dalam makan dan minum. Disarankan untuk buka puasa dengan makanan yang ringan terlebih dahulu, seperti kurma dan air putih, dan tidak langsung makan berat dalam jumlah banyak agar tidak memberatkan lambung.

Intinya, jangan berlebihan saat berbuka puasa. Perbuatan berlebihan yang melampaui batas selain merusak dan merugikan, Allah juga tidak menyukainya. Setiap pekerjaan yang tidak disukai Allah, kalau dikerjakan juga, tentu akan mendatangkan bahaya.

Dalam surat al-A’raf ayat 31, Allah SWT berfirman: 

 يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ ࣖ

Artinya: “Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang indah pada setiap (memasuki) masjid dan makan serta minumlah, tetapi janganlah berlebihan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.” (QS Al-A‘raf [7]:31)

Menukil Tafsir Tahlili Kemenag, dalam ayat ini, Allah mengatur urusan makan dan minum. Dengan turunnya ayat ini, makanan dan minuman itu harus disempurnakan gizinya dan diatur waktu menyantapnya dengan terpelihara kesehatannya. Dengan begitu manusia lebih kuat mengerjakan ibadah. 

Makanan dan minuman yang berlebihan berakibat terganggunya kesehatan. Karena itu, Allah melarang berlebihan dalam makan dan minum.

Larangan berlebihan itu juga mengandung beberapa arti. Di antaranya sebagai berikut:

Arti pertama, janganlah berlebihan dalam porsi makan dan minum itu sendiri. Sebab, makan dan minum dengan porsi yang berlebihan dan melampaui batas akan mendatangkan penyakit. 

Kedua, jangan berlebihan dalam berbelanja untuk membeli makanan atau minuman, karena akan mendatangkan kerugian. Kalau pengeluaran lebih besar dari pendapatan, akan menyebabkan hutang yang banyak. Oleh sebab itu, setiap orang harus berusaha agar jangan besar pasak dari tiang.

Dalam buku “Ramadhan antara Syariat dan Tradisi”, 

Ustadz Ahmad Sarawat mengatakan, menghidangkan makanan yang terlalu banyak sehingga sampai jatuh pada sikap tabdzir dan israf, juga tidak dianjurkan dalam berbuka. Allah SWT tidak suka kepada orang-orang yang bersikap tabdzir, sebagaimana firman Allah di dalam Alquran surah Al-Isra’: 26-27:

وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيْرًا. اِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْٓا اِخْوَانَ الشَّيٰطِيْنِ ۗوَكَانَ الشَّيْطٰنُ لِرَبِّهٖ كَفُوْرًا

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”

Menurut Ustadz Ahamad, esensi puasa itu adalah menahan diri dan mengekang hawa nafsu. Karena itu, jangan merusak ibadah berbuka puasa dengan makan secara berlebihan.

“Jangan sampai begitu waktu habis, orang kemudian langsung saja mengumbar hawa nafsunya seenaknya,” katanya.

Dalam berbuka juga dilarang mengkonsumsi makanan dan minuman yang diharamkan Allah. Karena itu, saat berbuka puasa pastikan makanan dan minuman yang dikonsumsi adalah halal dan baik menurut syariat Islam. Sebaiknya memilih makanan yang bergizi dan baik untuk kesehatan, serta menghindari makanan yang terlalu banyak gula, lemak, atau pengawet.

Dianjurkan untuk segera buka puasa setelah masuk waktu Maghrib tanpa penundaan yang tidak perlu. Dan jangan lupa, berdoalah sebelum makan sebagai tanda syukur atas nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT. 

IHRAM

Beberapa Mitos Membatalkan Puasa yang Beredar di Masyarakat

Puasa di Bulan Ramadhan adalah salah satu ibadah wajib yang harus dilaksanakan oleh umat Islam. Ibadah ini pun memiliki aturan soal hal-hal yang dilarang dilakukan selama pelaksanaannya. Seperti dilarang makan dan minum, memiliki nafsu syahwat, keluarnya darah karena haid dan nifas, dan lain sebagainya.

Meskipun sudah ada aturan umum yang jelas, namun masih ada pula mitos yang membatalkan puasa yang membuat banyak orang bingung. Penasaran apa saja mitosnya? Yuk, simak beberapa Mitos yang Membatalkan Puasa, Benarkah?

Menangis

Mitos yang membatalkan puasa yang pertama adalah menangis. Menangis adalah respon tubuh ketika mendapatkan rangsangan emosional (sedih atau bahagia), maupun rangsangan zat tertentu seperti saat memotong bawang. Proses keluarnya cairan bening seperti air dari mata ini kerap dianggap membuat puasa kita batal. tidak sedikit orang yang percaya dengan mitos yang membatalkan puasa ini.

Faktanya, menangis tidak membatalkan puasa karena cairan yang keluar bukanlah kotoran yang masuk ke kategori najis. Kecuali jika Mama dengan sengaja menelan air mata saat menangis, barulah puasa yang dijalankan akan batal.

Keramas

Banyak orang yang mempercayainya lantaran keramas dianggap menjadi upaya menyegarkan diri saat lelah menjalankan puasa. Juga, karena masuknya air ke sela-sela pori-pori kepala. Sehingga aktivitas mencuci rambut ini dianggap membuat ibadah puasa tidak sah.

Kenyataannya, tidak ada hadist maupun ajaran yang membenarkan hal ini. Sebab, Allah SWT justru mewajibkan umatnya untuk senantiasa menjaga kebersihan. Keramas yang dilakukan saat puasa tidak akan membatalkan puasamu selama niatnya adalah untuk membersihkan diri.

Kumur-Kumur

Masih tentang kegiatan yang berkaitan dengan air, kumur-kumur juga masuk ke dalam daftar mitos yang membatalkan puasa. Saat puasa, tentu kita tetap wajib menjalankan ibadah sholat lima waktu, bahkan mengusahakan ibadah sholat sunnah lainnya. Nah, banyak orang yang ragu untuk berkumur saat wudhu sebelum menunaikan sholat, lantaran hal ini dianggap membatalkan puasa. Tentu saja ini adalah mitos. Karena berkumur hanya mencuci area mulut, tidak masuk ke kerongkongan.

Dan sama seperti keramas, berkumur juga tindakan untuk menjaga kebersihan. Sehingga hal ini diperkenankan selama menjunjung niat untuk membersihkan diri, dan air tidak tertelan dengan sengaja.

Gosok Gigi

Kita pasti sering merasa kurang nyaman dengan bau mulut yang diakibatkan dari berpuasa. Untuk mengatasinya, kita bisa menggosok gigi dengan sikat dan pasta gigi. Tapi, apakah kegiatan ini membatalkan puasa?

Jawabannya, tidak. Sebab, gosok gigi juga merupakan tindakan untuk membersihkan diri di area mulut tanpa masuk ke kerongkongan. Meskipun begitu, rasa dan sensasi segar yang ditimbulkan dari pemakaian pasta gigi memang dianggap makruh. Jadi, lebih baik jika Mama menggosok gigi setelah sahur, dan setelah berbuka puasa.

Donor Darah

Donoh darah biasanya dilakukan sebagai kegiatan rutin untuk menyumbangkan darah ke orang yang membutuhkan. Di bulan Ramadhan, Mama ternyata tetap bisa melakukannya karena mitos yang membatalkan puasa ini tidak benar.

Ya, donor darah atau tindakan pengambilan darah untuk sampel tidak akan membatalkan puasa. Sebab, darah yang keluar adalah darah bersih, dan tidak ada cairan yang disuntik masuk ke aliran darah saat proses pengambilan darah terjadi.

Meneteskan Obat Tetes Mata

Buat seseorang yang rentan mengalami iritasi ringan pada mata atau terbiasa menggunakan softlens, obat tetes mata pasti selalu digunakan. Ini juga menjadi mitos yang membatalkan puasa, karena masuknya cairan melalui mata. Apakah itu benar? Jawabannya, salah. Sebab, cairan obat tetes mata hanya masuk melalui mata yang bukan merupakan sarana untuk makan dan minum. Pada kondisi yang penting serta darurat, meneteskan obat tetes mata saat puasa diperbolehkan.

Berbohong

Segala tindakan tercela sudah seharusnya kita hindari kapan saja. Berbohong dianggap sebagai mitos yang membatalkan puasa, karena sebenarnya tindakan ini bukan benar-benar membuat puasa batal, melainkan mengurangi pahala puasa yang sudah ditunaikan.

Setelah seharian berpuasa dengan letih menahan makan dan minum serta hawa nafsu lainnya, kita pasti tidak mau pahala yang didapat akan berkurang karena berbohong? Makanya, sudah sepatutnya kita menjaga sifat jujur dimana pun dan kapan pun.

Tidak Sengaja Makan atau Minum

Mitos yang membatalkan puasa ini sering bikin banyak orang ragu untuk meneruskan puasanya. Padahal, puasa yang dijalani tidak akan batal, asalkan Mama segera berhenti makan dan minum begitu teringat sedang berpuasa. Kemudian, Mama diperbolehkan melanjutkan kembali ibadah puasa tersebut sampai waktu berbuka yang ditentukan.

Kentut

Tidak diketahui bermula dari mana, namun mitos yang satu ini meluas di berbagai daerah dan tidak sedikit orang yang mempercayainya. Kentut tentu saja tidak membatalkan puasa. Tidak ada ajaran sah yang menyebutkan bahwa kentut adalah hal yang membuat puasa batal. Jadi, kita tidak perlu menahan kentut sampai maghrib.

ISLAMKAFFAH

Tips Istiqomah Beribadah di Bulan Ramadhan!

Berikut materi Kultum Ramadhan singkat tentang tips istiqomah semangat beribadah di bulan Suci Ramadhan.  Bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh berkah dan ampunan. Di bulan ini, umat Islam di seluruh dunia diwajibkan untuk berpuasa dari terbit hingga terbenamnya matahari. Selain itu, bulan Ramadhan juga menjadi momen yang tepat untuk meningkatkan ibadah kepada Allah SWT.

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ أَهْلِ الْوَفَا أَمَّا بَعْدُ.

Alhamdulillah kita telah memasuki awal Ramadhan. Bulan yang teramat dinanti-nantikan umat muslim seluruh dunia, karena dipenuhi dengan limpahan pahala dan keberkahan dari Allah SWT. Ketika diumpamakan, bulan Ramadhan laksana hamparan ladang yang ditumbuhi aneka pohon berbuah lebat. Kita bisa memanennya sesuka dan sebanyak mungkin. 

Jamaah Pendengar Kultum Ramadhan Singkat yang berbahagia

Semakin rajin kita memetiknya maka semakin banyak pula buah-buahan yang diperoleh. Saat Ramadhan, buah-buah itu adalah limpahan pahala yang bisa diraih dengan amal ibadah. Semakin giat ibadah yang dilakukan seseorang maka semakin banyak pula pahala yang ia peroleh. 

Namun perlu diingat, perihal ibadah adalah persoalan iman. Tentu saja bisa naik dan di saat yang lain akan melandai. Sering kali ketika memasuki awal bulan Ramadhan semangat ibadah masih aman. Masjid dan mushala masih ramai dipenuhi jamaah shalat tarawih, suara tadarus Al-Qur’an masih lantang terdengar dimana-mana, dan sejumlah ritual keagamaan lainnya masih riuh-ramai, terutama yang khas Ramadhan. 

Jamaah Pendengar Kultum Ramadhan Singkat yang berbahagia

Sayangnya begitu memasuki separuh bulan terakhir, semangat ibadah tidak lagi sebesar di fase awal. Jamaah tarawih mulai berguguran satu persatu, semangat tadarus Al-Qur’an mulai menurun, dan sebagainya. Sebab itu, berikut adalah tips-trik yang bisa kita lakukan agar semangat ibadah tetap terawat selama Ramadhan. 

Pertama Jangan Makan Terlalu Kenyang 

Ajaran Islam, ketika Ramadhan umat Muslim diwajibkan untuk berpuasa sejak waktu imsak sampai maghrib tiba, namun momen berbuka kadang menjadi semacam kesempatan untuk balas dendam. Segala macam hidangan disajikan di meja makan. Akibatnya perut terlalu kenyang. Padahal, Allah swt menegaskan bahwa berlebihan dalam konsumsi makanan tidak baik. Dalam Al-Qur’an disebutkan;

يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّه لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ 

Artinya, “Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang indah pada setiap (memasuki) masjid dan makan serta minumlah, tetapi janganlah berlebihan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.” (QS Al-A’raf: 31). 

Ayat ini secara tegas melarang kita untuk bertindak berlebihan. Sesuatu yang baik akan mengundang petaka jika dilakukan melampaui batas. Dalam konteks Ramadhan, makan terlalu berlebihan bisa menyebabkan kita tertinggal banyak kesempatan ibadah yang balasan pahalanya berkali-kali lipat dibanding pada bulan-bulan lainnya.

Terkait batas konsumsi makanan yang ideal, Rasulullah saw juga pernah bersabda;

مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ، بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ، فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ 

Artinya, “Tiada tempat yang manusia isi yang lebih buruk daripada perut. Cukuplah bagi anak Adam memakan beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya. Namun, jika ia harus (melebihinya), hendaknya sepertiga perutnya (diisi) untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk bernapas.” (HR At-Tirmidzi). 

Jamaah Pendengar Kultum Ramadhan Singkat yang berbahagia


Menguatkan hadits di atas, Imam As-Syafi’i juga pernah menyampaikan;

الشَّبْعُ يُثْقِلُ الْبَدَنَ، وَيُقْسِي الْقَلْبَ، وَيُزِيْلُ الْفِطْنَةَ، وَيُجْلِبُ النَّوْمَ، وَيُضْعِفُ صَاحِبَهُ عَنِ الْعِبَادَةِ 

Artinya, “Makan terlalu kenyang membuat berat badan naik, menjadikan hati keras, menghilangkan kecerdasan, menyebabkan kantuk, dan menjadikan malas beribadah.” (Abu Nu’aim Al-Ashfihani, Ḥilyatul Auliyā, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1988], juz IX, halaman 127). 

Kedua Hindari Perbuatan Maksiat 


Dosa yang diperbuat oleh seorang Muslim akan mempengaruhi kualitas spiritualnya, yaitu dengan menyebabkan pelakunya malas beribadah. Tentu kita tidak berharap kesempatan memperbanyak ibadah selama Ramadhan terlewat begitu saja sebab pengaruh dosa yang kita perbuat. Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Abbas pernah berkata;

إِنَّ لِلْحَسَنَةِ ضِيَاءً فِي الْوَجْهِ، وَنُوْرًا فِي الْقَلْبِ، وَسَعَةً فِي الرِّزْقِ، وَقُوَّةً فِي الْبَدَنِ، وَمَحَبَّةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَإِنَّ لِلسَّيِّئَةِ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ، وَظُلْمَةً فِي الْقَبْرِ وَالْقَلْبِ، وَوَهْنًا فِي الْبَدَنِ، وَنَقْصًا فِي الرِّزْقِ، وَبُغْضَةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ 

Artinya, “Sesungguhnya pada kebaikan terdapat sinar pada wajah, cahaya dalam hati, kelapangan dalam rezeki, kekuatan pada badan, dan kecintaan pada hati makhluk. Sesungguhnya pada kejelekan terdapat kegelapan pada wajah, gulita pada alam kubur dan hati, kelemahan pada badan (untuk beribadah), kekurangan dalam rezeki, dan kebencian pada hati makhluk.” (Abdul Majid Kisyk, Fi Riḥābit Tafsīr, juz XIV, halaman 3316). 

Jamaah Pendengar Kultum Ramadhan Singkat yang berbahagia

Ketiga Jangan Berlebihan dalam Beribadah 

Ingat sesuatu yang berlebihan tidak baik, sekalipun dalam hal beribadah. Dalam melakukan amalan-amalan sunnah selama Ramadhan, kita perlu melakukannya secara proporsional dengan mengukur sejauhmana kemampuan yang kita miliki.

 Jangan sampai karena terlalu banyak porsi ibadah yang dilakukan, akhirnya memberatkan diri sendiri sehingga merasa ‘kapok’ untuk meneruskannya. Rasulullah saw pernah bersabda;

خُذُوا مِنْ الْعَمَلِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوْا وَأَحَبُّ الصَّلَاةِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا دُووِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّتْ وَكَانَ إِذَا صَلَّى صَلَاةً دَاوَمَ عَلَيْهَا 

Artinya, “Lakukanlah amal-amal yang kalian sanggup melaksanakannya, karena Allah tidak akan berpaling (dalam memberikan pahala) sampai kalian yang lebih dahulu berpaling (dari mengerjakan amal).” Dan shalat yang paling Nabi saw cintai adalah shalat yang dijaga kesinambungannya sekalipun sedikit. Dan Beliau bila sudah biasa melaksanakan shalat (sunnah) akan melakukannya dengan konsisten.” (HR Al-Bukhari). 

Terdapat suatu hadits riwayat Al-Bukhari pernah dikisahkan bahwa Rasulullah saw memarahi sekelompok sahabat yang memiliki semangat ibadah berlebihan sehingga dikhawatirkan membahayakan pengamalnya. Saat itu mereka ada yang bertekad menghabiskan seluruh malamnya untuk beribadah, berpuasa setiap hari, bahkan ada yang berniat membujang seumur hidup demi fokus beribadah. Nabi yang mendengar kabar ini segera menegur mereka dengan tegas. 

Jamaah Pendengar Kultum Ramadhan Singkat yang berbahagia

Semoga di bulan Ramadhan ini senantiasa kita penuhi dengan semangat ibadah yang terawat sampai bulan suci berpamit. Ingat tak hanya banyak ibadah yang kita lakukan, tapi akan jauh lebih baik jika kita mampu menjalaninya dengan konsisten dan penuh penghayatan. Demikian semoga bermanfaat. 

BINCANG SYARIAH

Doa Awal Ramadhan

Sungguh gembira, kita telah memasuki bulan suci Ramadhan. Tepatnya hari Selasa, 12 Maret 2024 Pemerintah Indonesia telah menetapkannya sebagai awal 1 Ramadhan 1445 Hijriah. Dalam rangka menyambut bulan suci ini umat muslim diharapkan untuk menyambutnya dengan suka cita. Nah berikut doa awal Ramadhan.

Sebagaimana dengan firman Allah SWT dalam QS Yunus: 58 berikut ini.

قُلْ بِفَضْلِ اللّٰهِ وَبِرَحْمَتِهٖ فَبِذٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوْاۗ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ

Artinya: Sampaikanlah wahai Nabi Muhammad, bersama karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaknya bersama itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan dari harta benda, (Q.S Yunus: 58).

Bahkan perlu kita ketahui, sejak zaman Rasulullah SAW, para sahabat dan ulama pun menyambut kehadiran bulan Ramadhan dengan penuh suka cita, dan melepasnya dengan tangisan. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadis Dorrutun Nasihin yang berbunyi:

Artinya: “Siapa yang bergembira dengan masuknya bulan Ramadhan, Allah akan mengharamkan jasadnya masuk neraka.”

Selain itu, umat muslim juga bisa mengamalkan doa-doa menyambut datangnya Ramadhan. Berikut ini doa-doa untuk menyambut Ramadhan sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW.

Doa Awal Bulan Ramadhan Sesuai Sunnah

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam At-Thabrani dan Imam Ad-Dailami, Nabi Muhammad SAW mengamalkan doa berikut:

اللَّهُمَّ سَلِّمْنِيْ لِرَمَضَانَ وَسَلِّمْ رَمَضَانَ لِيْ وَسَلِّمْهُ مِنِّيْ

Allahumma sallimni li Ramadhana, wa sallim Ramadhana li, wa sallimhu minni.

Artinya: “Ya Allah, selamatkanlah aku (dari penyakit dan uzur lain) demi (ibadah) bulan Ramadhan, selamatkanlah (penampakan Hilal) ramadhan untukku, dan selamatkanlah aku (dari maksiat) di bulan Ramadhan.”

Doa Agar Di Bulan Ramadan Mendapat Keberkahan

Sebagian umat Islam juga dapat membaca doa sambil meminta keberkahan dan bimbingan. Doa ini diriwayatkan oleh HR Tirmidzi, yang berbunyi:

اللَّهُمَّ أَهْلُهُ عَلَيْنَا بِالْيُمْنِ وَ الْإِيْمَانِ وَ السَّلَامِ وَ الْإِسْلَامِ وَالتَّوْفِيقِ لِمَا تُحِبُّ وَ ارْضَى رَبِّي وَ رَبُّكَ اللَّهُ

Allahumma ahluhu ‘alayna bil-yumni wal-īmāni was-salāmi wal-Islāmi wa at-tawfīqi limā tuhibbu wa ardā, rabbi wa rabbuka Allāh.

Artinya: “Ya Allah hadirkanlah kepada kami bulan (Ramadhan) ini dengan keberkatan dan keimanan dan dengan damai dan Islam, serta bimbingan dan keberhasilan melakukan apa yang Engkau senangi. Tuhanku dan Tuhanmu (wahai bulan) adalah Allah.” (HR Tirmidzi).

Semoga di bulan suci Ramadhan ini, kita senantiasa dilimpahkan pahala dan keberkahan dari Allah SWT. Demikian, semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Mengapa Puasa Ramadhan Wajib Bagi Umat Islam?

Umat Islam wajib melaksanakan puasa Ramadhan.

Perintah puasa Ramadhan dari Allah SWT turun setelah umat Islam diwajibkan melaksanakan sholat lima waktu. Hingga saat ini bulan puasa Ramadhan tahun 2024, umat Islam tetap taat melaksanakan perintah puasa.

Mengenai perintah puasa Ramadhan, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

Yā ayyuhal-lażīna āmanū kutiba ‘alaikumuṣ-ṣiyāmu kamā kutiba ‘alal-lażīna min qablikum la‘allakum tattaqūn(a).

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS Al-Baqarah Ayat 183)

Para ulama banyak memberikan uraian tentang hikmah berpuasa. Misalnya untuk mempertinggi budi pekerti, menimbulkan kesadaran dan kasih sayang terhadap orang-orang miskin, orang-orang lemah yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, melatih jiwa dan jasmani, menambah kesehatan dan lain sebagainya. Uraian seperti di atas tentu ada benarnya, walaupun tidak mudah dirasakan oleh setiap orang.

Karena, lapar, haus dan lain-lain akibat berpuasa tidak selalu mengingatkan kepada penderitaan orang lain, malah bisa mendorongnya untuk mencari dan mempersiapkan bermacam-macam makanan pada siang hari untuk melepaskan lapar dan dahaganya di kala berbuka pada malam harinya. 

Begitu juga tidak akan mudah dirasakan oleh setiap orang berpuasa, bahwa puasa itu membantu kesehatan, walaupun para dokter telah memberikan penjelasan secara ilmiah, bahwa berpuasa memang benar-benar dapat menyembuhkan sebagian penyakit, tetapi ada pula penyakit yang tidak membolehkan berpuasa. 

Kalau diperhatikan perintah berpuasa bulan Ramadhan ini, maka pada permulaan ayat 183 secara langsung Allah menunjukkan perintah wajib itu kepada orang yang beriman. Orang yang beriman akan patuh melaksanakan perintah berpuasa dengan sepenuh hati, karena ia merasa kebutuhan jasmaniah dan rohaniah adalah dua unsur yang pokok bagi kehidupan manusia yang harus dikembangkan dengan bermacam-macam latihan, agar dapat dimanfaatkan untuk ketenteraman hidup yang bahagia di dunia dan akhirat. 

Pada ayat 183 dari surat Al Baqarah ini, Allah SWT mewajibkan puasa kepada semua manusia yang beriman, sebagaimana diwajibkan kepada umat-umat sebelum mereka agar mereka menjadi orang yang bertakwa. Jadi, puasa sungguh penting bagi kehidupan orang yang beriman. 

Kalau kita selidiki macam-macam agama dan kepercayaan pada masa sekarang ini, dijumpai bahwa puasa salah satu ajaran yang umum untuk menahan hawa nafsu dan lain sebagainya. 

Perintah berpuasa diturunkan pada bulan Sya‘ban tahun kedua Hijri, ketika Nabi Muhammad SAW mulai membangun pemerintahan yang berwibawa dan mengatur masyarakat baru, maka dapat dirasakan, bahwa puasa itu sangat penting artinya dalam membentuk manusia yang dapat menerima dan melaksanakan tugas-tugas besar dan suci. (Tafsir Kementerian Agama).

IHRAM

Pahala Memberi Makan Orang Berpuasa

Abdullah bin Umar R.Anhuma berpuasa dan tidak berbuka kecuali bersama dengan fakir miskin

TERDAPAT banyak dalil yang menunjukkan kelebihan menjamu atau memberi makan orang yang berpuasa. Daripada Zaid bin Khalid, bahawasanya Rasulullah ﷺ bersabda:

مَن فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثلُ أَجْرِهِ، غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِن أَجْرِ الصَّائِمِ شَيئًا

“Siapa yang memberi makan berbuka kepada orang yang sedang berpuasa, maka dia akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut sedikitpun juga.” (Riwayat Ahmad, al-Tarmizi dan al-Baihaqi)

Daripada Ummu Ammarah, Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ الصَّائِمِ إِذَا أَكَلَ عِندَهُ لمَ تَزَل تُصَلِّي عَلَيهِ المَلائِكَةُ حَتََى يَفْرُغَ مِن طَعَامِهِ

“Sesungguhnya orang yang berpuasa apabila makan bersamanya orang berpuasa yang lain, maka sentiasalah para malaikat mengucap selawat ke atasnya sehingga selesai daripada makannya.” (Riwayat Ahmad, al-Tarmizi dan al-Baihaqi).

Rasulullah ﷺ bersabda:

الصَّائِمُ إِذَا أَكَلَتْ عِنْدَهُ المُفَاطِرُ صَلَّتْ عَلَيْهِ الملائِكَةُ

“Orang yang berpuasa apabila makan di sisinya orang-orang yang berbuka puasa, nescaya para malaikat berselawat ke atasnya.” (Riwayat al-Tarmizi dan Ibn Majah)

Berdasarkan nash hadis di atas jelas menunjukkan kelebihan bagi mereka yang memberi makan orang yang berpuasa, apalah lagi mereka yang amat memerlukan seperti anak-anak yatim, fakir miskin dan golongan yang berhajat.

Ada kisah ulama yang memberi makan orang yang berpuasa.  Hasan al-Basri member makan saudaranya sedangkan dia berpuasa sunnah dan duduk melayani mereka ketika mereka makan.

Abdullah bin al-Mubarak memberi makan kepada saudaranya ketika musafir dengan makanan yang lazat, sedangkan dia saat itu berpuasa.

Hammad, gurunya Imam Abu Hanifah, biasa menjamu setiap malam kepada sekitar 500 orang pada bulan puasa.

Abdullah bin Umar R.Anhuma berpuasa dan tidak berbuka kecuali bersama dengan fakir miskin. Semoga kita sentiasa menjadi hamba Allah yang suka menjamu mereka yang berpuasa.*

HIDAYATULLAH

Di Balik Rahasia Istimewa Puasa Ramadan : Kecerdasan Spiritual Mendorong Kecerdasan Moral dan Sosial

Puasa merupakan salah satu rukun Islam dan ibadah istimewa yang dilakukan oleh umat Muslim pada bulan Ramadan. Puasa Ramadan memiliki makna yang mendalam dan istimewa bagi umat Islam. Ramadan bukan hanya sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga sebagai ibadah yang mencakup dimensi spiritual, moral, dan sosial.

Secara spiritual, puasa Ramadan adalah waktu di mana umat Muslim dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan meningkatkan ibadah, introspeksi diri, dan memperbaiki hubungan dengan Allah. Puasa Ramadan adalah bentuk ibadah yang menguatkan hubungan individu dengan Allah SWT.

Hakikat puasa itu adalah ibadah bukan yang lain. Ibadah puasa adalah ibadah paling spesial. Dalam sebuah hadist qudsi dari Abu Hurairah RA., Rasulullah SAW., bersabda: “Allah ‘Azzawajalla berfirman -dalam hadits qudsi: “Semua amal perbuatan anak Adam-yakni manusia- itu adalah untuknya, melainkan berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan balasan dengannya.

Puasa menjadi salah satu sarana keintiman manusia dengan Tuhan. Ibadah ini hanya untuk Tuhan karena semua orang tidak bisa mengetahui apakah ia berpuasa atau tidak. Puasa adalah komitmen antara hamba dengan Tuhannya.

Menahan diri dari makan, minum, dan perilaku yang dapat membatalkan puasa menjadi sarana meningkatkan ketakwaan dan kesadaran spiritualnya. Puasa memungkinkan seseorang untuk lebih fokus pada ibadah, introspeksi diri, dan mendekatkan diri kepada Allah. Itulah esensi puasa sebenarnya.

Persoalan aspek lain seperti moral dan sosial adalah dampak dari dimensi spiritual. Namun, sejatinya puasa adalah dimensi spiritual hubungan Tuhan dengan manusia. Dengan mengajarkan kontrol diri terhadap hawa nafsu, puasa memperkuat aspek moral dan etika. Selama puasa, seorang Muslim diharapkan menjauhi perilaku buruk seperti berdusta, berkata kasar, atau terlibat dalam tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Puasa menjadi pelatihan untuk mengembangkan akhlak yang baik dan bermartabat.

Rasulullah SAW bersabda dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, “Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan yang buruk dan perbuatan yang sia-sia, Allah tidak membutuhkan dia meninggalkan makan dan minumnya.”

Inilah menunjukkan bahwa sejatinya aspek spiritual akan melahirkan manusia yang bermoral. Kecerdasan spiritual akan melahirkan manusia dengan kecerdasan moral yang kuat.

Tidak hanya aspek moral, ibadah Puasa membawa konsep empati terhadap orang-orang yang kurang beruntung. Dengan merasakan lapar dan dahaga, seorang Muslim diingatkan tentang kewajibannya untuk membantu sesama, memberikan sedekah, dan berpartisipasi dalam kegiatan amal. Ini memperkuat nilai-nilai sosial dan keprihatinan terhadap kaum yang membutuhkan.

Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa memberi makanan berbuka puasa bagi orang yang berpuasa, maka baginya pahala yang semisal tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikitpun.” (dalam hadis riwayat Bukhari)

Dengan menjalankan ibadah puasa, umat Islam sejatinya dilatih pembersihan diri secara kaffah dari proses spiritual melahirkan kecerdasan moral dan kepedulian sosial. Puasa adalah sebuah ibadah yang sangat istimewa sebagai tempaan umat Islam menjadi pribadi yang mulia. Inilah membuktikan bahwa orang dengan spiritualitas tinggi akan menjadi pribadi dengan etika-moral yang kuat dan kepedulian sosial yang tinggi.

ISLAMKAFFAH

Berikut Bacaan Niat Witir 3 Rakaat 1 Salam

Nah berikut ini niat witir 3 rakaat 1 salam. Shalat witir adalah shalat sunnah yang dikerjakan di akhir malam setelah shalat Isya dan sebelum shalat Subuh. Shalat ini memiliki banyak keutamaan, salah satunya adalah sebagai penyempurna ibadah shalat malam.

Dalam mazhab Syafi’i, hukum melaksanakan shalat witir adalah sunnah muakkad. Dengan demikian, shalat ini termasuk pada shalat yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan. Pendapat ini didasarkan pada beberapa hadits Nabi Muhammad SAW yang menunjukkan makna anjuran, serta perkataan para sahabat Nabi SAW yang tidak mewajibkan shalat witir.

Dalam sebuah hadits yang bersumber dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bersabda tentang keutamaan dan anjuran melaksanakan shalat witir. Pada hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, Nabi berwasiat untuk senantiasa melaksanakan shalat witir sebelum tidur.

أَوْصَانِى خَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم- بِثَلاَثٍ بِصِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَىِ الضُّحَى وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَرْقُدَ

Kekasihku (Muhammad) shallallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkan kepadaku tiga perkara: puasa tiga hari setiap bulan, shalat dhuha dua rakaat dan shalat witir sebelum tidur. (HR. Bukhari dan Muslim).

Shalat witir memiliki beberapa tata cara yang berbeda, salah satunya adalah witir 3 rakaat dengan satu salam. Berikut adalah niat untuk melaksanakan shalat witir 3 rakaat dengan satu salam. Nah, ini niat shalat witir 3 rakaat 1 salam sebagai berikut:

أُصَلِّيْ سُنَّةَ الْوِتْرِ ثَلاَثَ رَكَعَاتٍ لِلَّهِ تَعَالَى

Ushalli sunnatal witri tsalatsa roka’atin lillahi ta’ala

Artinya; “Saya niat shalat sunah witir tiga rakaat karena Allah Ta’ala”

Dengan membaca niat tersebut, seseorang meneguhkan niatnya untuk melaksanakan ibadah shalat witir yang dianjurkan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Shalat witir merupakan salah satu ibadah yang memiliki keutamaan tersendiri di dalam agama Islam. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga menekankan pentingnya melaksanakan shalat witir kepada umatnya.

Shalat witir dapat dilakukan dalam beberapa bentuk, di antaranya 1 rakaat, 3 rakaat, 5 rakaat, 7 rakaat, atau lebih, dengan dua salam pada rakaat terakhir atau satu salam setelah rakaat terakhir. Witir 3 rakaat dengan satu salam adalah salah satu bentuk pelaksanaan shalat witir yang dianjurkan.

BNCANG SYARIAH

Kultum Ramadhan; Tetap Produktif Bekerja Saat Berpuasa

Berikut ini Kultum Ramadhan; tetap produktif bekerja saat berpuasa.  Menjaga produktivitas saat berpuasa memanglah sebuah tantangan. Namun, dengan persiapan dan strategi yang tepat, tetap bisa menjalankan pekerjaan dengan optimal di bulan Ramadhan. Berikut beberapa tips yang bisa membantu agar senantiasa tetap produktif.

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ أَهْلِ الْوَفَا أَمَّا بَعْدُ

Jamaah Kultum Ramadhan yang Dirahmati Allah

Puasa Ramadan bukan penghalang untuk bekerja produktif. Justru, dengan niat yang tulus dan perencanaan yang baik, ibadah puasa bisa menjadi pendorong semangat kerja. Disiplin dan pengendalian diri yang diperoleh saat berpuasa dapat diterapkan dalam mengatur waktu dan menyelesaikan tugas secara efisien.

Lantas mengapa Puasa Tidak Menghambat Produktivitas? Pertama, puasa melatih disiplin dan kontrol diri.  Selama berpuasa, kita dituntut untuk menahan lapar dan haus.  Disiplin ini terbawa ke dalam dunia kerja.  Kita jadi lebih bisa mengatur waktu, fokus pada pekerjaan, dan menghindari hal-hal yang bisa mengganggu konsentrasi.

Jamaah Kultum Ramadhan yang Dirahmati Allah

Kedua, puasa  menyehatkan tubuh dan pikiran.  Dengan pola makan teratur saat sahur dan berbuka, asupan nutrisi menjadi lebih terjaga.  Hal ini berdampak positif pada kesehatan secara keseluruhan, sehingga kita tetap berenergi dan bisa bekerja secara optimal.  Selain itu, puasa juga diyakini dapat meningkatkan kejernihan pikiran dan ketenangan batin, yang tentunya akan mendukung produktivitas.

Ketiga, puasa  menumbuhkan semangat berbagi dan kepedulian. Suasana Ramadan yang penuh kebersamaan dan kedermawanan bisa memotivasi kita untuk bekerja lebih giat.  Dengan niat beribadah, kita akan merasa bahwa pekerjaan yang kita lakukan tidak hanya mendatangkan keuntungan finansial, tetapi juga pahala.

Jamaah yang Berbahagia

Dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan manusia bahwa bekerja untuk memenuhi nafkah keluarga termasuk kewajiban. Pada surah at-Taubah ayat 105 Allah mengingatkan pentingnya bekerja serta larangan untuk bermalas-malasan. 

  وَقُلِ ٱعْمَلُوا۟ فَسَيَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُۥ وَٱلْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَٰلِمِ ٱلْغَيْبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ   

Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.

Jamaah yang Berbahagia

Pada sisi lain, dijelaskan oleh Nabi Muhammad dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim bahwa bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup, meskipun dengan pekerjaan yang kasar, lebih mulia daripada meminta-minta kepada orang lain. Hal ini berlaku meskipun orang yang dimintai memberi atau menolak permintaan tersebut.

لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ

Sungguh seorang dari kalian yang memanggul kayu bakar dengan punggungnya lebih baik baginya daripada dia meminta-minta kepada seseorang, baik orang itu memberinya atau menolaknya. [HR. Bukhari dan Muslim].

Mengomentari hadits tersebut Imam Nawawi mengatakan bahwa hadits ini juga menganjurkan umat Islam untuk memakan hasil kerja sendiri, bukan hasil mencuri atau menipu.  Islam mendorong umatnya untuk bekerja keras dengan sungguh-sungguh dalam mencari nafkah, karena hal ini dianggap sebagai bentuk ibadah. Rasulullah Muhammad SAW sendiri memberikan contoh dengan berusaha dan bekerja keras untuk menyediakan kebutuhan dirinya serta keluarganya.

Jamaah yang Berbahagia

Pun dalam Al-Qur’an, Allah SWT juga mengingatkan umatnya agar tidak hanya berdoa, namun juga melakukan usaha nyata dalam mencari rezeki. Hal ini menunjukkan bahwa Islam memandang kerja keras sebagai salah satu cara untuk mencapai keberkahan dan mendapatkan ridha Allah SWT.

Selain menekankan pentingnya usaha dan kerja keras, Islam juga menganjurkan agar setiap orang bekerja dengan cara yang halal. Konsep ini mengacu pada prinsip bahwa segala sesuatu yang diperoleh haruslah melalui cara yang sah dan tidak melanggar aturan agama.

Dalam Islam, kehalalan dalam mencari nafkah dianggap sebagai bagian penting dari ibadah dan ketaatan kepada Allah. Oleh karena itu, umat Islam diajarkan untuk menghindari segala bentuk pekerjaan atau praktik yang melibatkan penipuan, korupsi, atau eksploitasi terhadap orang lain.

Jamaah yang dirahmati Allah

Imam Nawawi berkata dalam kitab Shahih Muslim;

إنَّ فِي الْحَدِيثِ حَثًّا عَلَى الصَّدَقَةِ وَالأَكْلِ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَالِاكْتِسَابِ بِالْمَبَاحَاتِ.

Sesungguhnya dalam hadits tersebut terdapat anjuran untuk bersedekah, makan dari hasil kerja tangan sendiri, dan mencari penghasilan dengan cara yang halal.

Dengan demikian, puasa bukan alasan untuk menjadi tidak produktif dalam bekerja. Justru sebaliknya, puasa melatih setiap orang untuk bisa lebih disiplin dan mandiri dalam kehidupannya.

BINCANG SYARIAH

Belum Bayar Puasa tapi Sudah Masuk Ramadan Berikutnya, Bagaimana Solusinya?

Pada asalnya, mengqada dan membayar puasa harus dilakukan sebelum datang bulan Ramadan berikutnya. Bagi siapa yang menundanya tanpa adanya alasan syar’i hingga datang Ramadan berikutnya sedang ia tetap belum melunasinya, maka ia mendapatkan dosa. Sebagaimana hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha yang berbunyi,

كانَ يَكونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِن رَمَضَانَ، فَما أسْتَطِيعُ أنْ أقْضِيَ إلَّا في شَعْبَانَ.

“Dulu, saya pernah memiliki utang puasa Ramadan. Namun, saya tidak mampu melunasinya, kecuali di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1950 dan Muslim no. 1146)

Dahulu kala, Aisyah radhiyallahu ‘anha karena kesibukan beliau melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau tidak mampu untuk membayar utang puasanya, kecuali di bulan Sya’ban. Tatkala bulan Sya’ban tersebut datang, barulah Aisyah memiliki kesempatan untuk membayar utang puasanya tersebut. Karena di bulan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperbanyak puasa juga, sehingga Aisyah dapat berpuasa dan membayar utang puasanya tanpa menghalangi kewajibannya sebagai istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aisyah radhiyallahu anha berkata,

فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ

“Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh, selain pada bulan Ramadan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalany rahimahullah mengomentari hadis ini,

وَيُؤْخَذ مِنْ حِرْصهَا عَلَى ذَلِكَ فِي شَعْبَان أَنَّهُ لا يَجُوز تَأْخِير الْقَضَاء حَتَّى يَدْخُلَ رَمَضَان آخَرُ

“Dan diambil sebuah pelajaran dari semangat ‘Aisyah radhiyallalhu ‘anha untuk membayar utang puasanya di dalam bulan Sya’ban, yaitu bahwasanya tidak boleh mengakhirkan qada (membayar utang puasa) sampai datang Ramadan yang lain.” (Fathul Bari, 4: 191)

Hadis ini menunjukkan kepada kita bahwa utang puasa harus dibayar selambat-lambatnya di bulan Sya’ban (bulan ke-8, sedangkan bulan ke-9 adalah Ramadan). Dan bagi siapa pun yang belum menyelesaikan utang puasanya hingga Ramadan setelahnya datang dan ia tidak memiliki uzur atau alasan yang diperbolehkan oleh syariat, maka ia akan mendapatkan dosa atas kelalaiannya tersebut.

Seseorang yang menunda qada (bayar utang puasa) sampai datang Ramadan berikutnya ada dua kondisi:

Pertama: Memiliki uzur

Seperti seseorang yang sakit dan sakitnya tersebut berlanjut sampai datang Ramadan berikutnya atau seorang wanita yang melahirkan, lalu masih dalam kondisi menyusui ketika datang Ramadan berikutnya. Pada kondisi seperti ini, mereka tidaklah berdosa karena penundaan qada yang mereka lakukan, karena kesemuanya memiliki uzur. Tidak ada kewajiban bagi mereka, kecuali membayar utang puasanya tersebut.

Syekh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya tentang seorang wanita yang melahirkan di hari pertama bulan Ramadan tahun lalu, kemudian datang Ramadan tahun ini sedangkan ia masih dalam kondisi menyusui, bagaimanakah kondisi puasanya? Wanita tersebut belum sempat membayar utang puasanya pada tahun lalu, hingga datang Ramadan berikutnya dan ia masih belum mampu untuk berpuasa dan membayar utang puasanya.

Maka, Syekh Binbaz rahimahullah menjawab,

Tidak ada salahnya ia berbuka jika menyusui akan membahayakan dirinya ketika diiringi dengan puasa. Boleh bagi ibu yang sedang menyusui, perempuan dalam kondisi hamil, atau seseorang yang sedang sakit untuk tidak berpuasa sampai ia mampu berpuasa. Maka, apabila datang Ramadan berikutnya, namun ia masih dalam kondisi menyusui dan tidak mampu berpuasa, maka dia boleh berbuka (tidak puasa) pada bulan Ramadan tersebut. Barulah ia membayar utang puasanya tersebut ketika dirinya telah mampu untuk berpuasa, baik karena ia telah menyapih bayinya atau karena dirinya sudah kuat untuk melaksanakan puasa, meskipun dalam kondisi menyusui atau sebab-sebab lainnya yang menjadikannya mampu untuk berpuasa.

Intinya, selama dia merasa sulit berpuasa karena menyusui, hamil, atau karena suatu penyakit, maka dia membatalkan puasanya dan tidak ada kafarat baginya. Karena dia tidak putus asa untuk berpuasa, melainkan berharap mampu untuk melakukannya. Maka, ketika Allah memudahkannya untuk kembali berpuasa, dia bisa membayar utang-utang puasanya tersebut, baik dilakukan secara beruntun ataupun secara terpisah-pisah, keduanya diperbolehkan. Dan ia tidak perlu membayar kafarat/tebusan karena kondisinya tersebut. (Fatawa Nur Ala Ad-Darbi)

Kedua: Tidak memiliki uzur

Contohnya adalah seseorang yang memiliki kesempatan dan dimungkinkan untuk membayar utang puasanya, akan tetapi ia tidak melakukannya sampai datang Ramadan berikutnya. Orang ini berdosa karena perbuatannya tersebut.

Para ulama juga sepakat bahwa orang tersebut tetap wajib untuk membayar utang puasanya, meskipun telah datang Ramadan berikutnya. Utang tersebut haruslah ia bayar setelah Ramadan.

Pada keadaan yang kedua ini, ulama berbeda pendapat apakah selain membayar utang puasanya tersebut ia juga diwajibkan untuk memberi makan satu orang miskin per hari yang ia tinggalkan?

Imam Malik, As-Syafi’i, dan Ahmad berpendapat bahwa orang tersebut juga diwajibkan untuk memberi makan. Mereka berdalil bahwa hal ini telah datang contohnya dari beberapa sahabat seperti Abu Hurairah dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Adapun Imam Abu Hanifah, maka ia berpendapat bahwa orang tersebut tidak wajib untuk memberi makan di samping kewajibannya untuk mengganti puasanya. Beliau berdalil bahwa Allah Ta’ala tidaklah menyuruh seseorang yang tidak berpuasa di bulan Ramadan, kecuali mengganti dan membayar puasanya saja. Allah sama sekali tidak menyebutkan perihal memberi makan. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa/qada puasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Pendapat kedua inilah yang dipilih oleh Imam Bukhari rahimahullah. Beliau berkata dalam kitab Shahih-nya,

قَالَ إِبْرَاهِيمُ -يعني: النخعي-: إِذَا فَرَّطَ حَتَّى جَاءَ رَمَضَانُ آخَرُ يَصُومُهُمَا وَلَمْ يَرَ عَلَيْهِ طَعَامًا، وَيُذْكَرُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مُرْسَلا وَابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ يُطْعِمُ. ثم قال البخاري: وَلَمْ يَذْكُرِ اللَّهُ الإِطْعَامَ، إِنَّمَا قَالَ: فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Ibrahim, yaitu An-Nakh’i berkata, ‘Jika ia meremehkan sampai datang Ramadan yang lain (setelahnya), maka ia berpuasa pada keduanya. Dan ia tidak berpendapat ada kewajiban memberi makan atasnya. Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah secara mursal dan juga Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhum bahwa ia (juga) harus memberi makan.’” Kemudian Al-Bukhari berkata, “Allah tidak menyebutkan membayar fidyah, tetapi hanya berfirman, ‘maka (wajiblah baginya berpuasa/qada puasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.’” (Shahih Al-Bukhari, 3: 35)

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyebutkan,

“Dan adapun perkataan para sahabat, sesungguhnya di dalam pengambilannya sebagai hujah, perlu menjadi perhatian jika menyelisihi zahir ayat Al-Qur’an. Dan di sini pewajiban memberi makan menyelisihi zahir Al-Qur’an, karena Allah Ta’ala tidaklah mewajibkan, kecuali menggantinya di beberapa hari yang lain dan Allah tidak mewajibkan lebih daripada itu. Maka, berdasarkan hal ini, kita tidak mewajibkan kepada hamba-hamba Allah dengan sesuatu yang tidak diharuskan oleh Allah Ta’ala atas mereka, kecuali dengan dalil yang melepaskan kita dari tanggung jawab. Apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum mungkin bisa kita bawa dalam ranah anjuran dan bukan dalam ranah kewajiban. Maka, yang benar dalam permasalahan ini, bahwa tidak wajib baginya, kecuali membayar utang puasa. Akan tetapi, ia berdosa atas pengakhirannya.” (Asy-Syarh Al-Mumti’, 6: 451)

Dari sini, dapat kita simpulkan bahwa seseorang yang belum membayar utang puasanya hingga datang Ramadan berikutnya, maka tidak ada kewajiban bagi dirinya, kecuali hanya berpuasa menggantikan hari-hari yang ditinggalkannya saja. Adapun jika ia berhati-hati dan memberi makan orang miskin di samping membayar utang puasanya, maka ini adalah hal yang baik.

Selain tentunya ia harus bertobat kepada Allah Ta’ala dan bertekad kuat untuk tidak mengulang kembali, karena jelas perbuatan yang telah dilakukannya tersebut merupakan perbuatan dosa yang seorang muslim wajib bertobat kepada Allah dan memohon ampunan karena perbuatannya tersebut. Wallahu A’lam bisshawab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/92511-belum-bayar-puasa-tapi-sudah-masuk-ramadan.html
Copyright © 2024 muslim.or.id