Menjauhi Gibah, Menjaga Aib Sesama

Apakah topik yang Anda diskusikan saat bertemu dan berbicara dengan teman lama yang jarang berjumpa dalam waktu yang lama? Kadangkala, membicarakan tentang seseorang menjadi topik yang dianggap mengasyikkan bagi sebagian kita. Sayangnya, pembicaraan tersebut lebih banyak menyentuh masalah aib yang dirasa enak untuk diceritakan. Semakin buruk aib tersebut, semakin mengasyikkan pula untuk terus dibahas. Padahal, bisa jadi itu merupakan rahasia yang harus dijaga dan tidak untuk diceritakan.

Mulut dan lidah merupakan bagian anugerah yang agung dari Allah Ta’ala. Betapa banyak hamba-hamba Allah yang diuji dengan masalah kesehatan pada dua organ tubuh tersebut. Mereka tidak dapat berbicara dengan lancar. Bahkan, ada pula yang diberi ujian berupa tidak memiliki pita suara sehingga komunikasinya dengan orang sekitarnya hanya bisa dengan bahasa isyarat. Lantas, tidakkah kita bersyukur dengan dua nikmat organ tubuh mulut dan lidah ini?

أَلَمۡ نَجۡعَل لَّهُۥ عَيۡنَيۡنِ¤ وَلِسَانًا وَشَفَتَيۡنِ

Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah, dan dua buah bibir?” (QS. Al-Balad: 8-9)

Tentu, cara terbaik dalam mewujudkan rasa syukur tersebut adalah dengan mengakui bahwa nikmat tersebut merupakan anugerah dari Allah Ta’ala, memuji Allah atas nikmat tersebut, serta memohon kepada Allah agar mendapatkan rida dengan memanfaatkan nikmat-nikmat tersebut dalam ketaatan[1]. Karenanya, bukankah menggunakan nikmat tersebut selain untuk ketaatan adalah bentuk dari kufur nikmat? Wal’iyadzubillah.

Ingat, bahwa selain wujud syukur, menjaga lisan dari mengumbar aib orang lain juga merupakan bentuk dari rasa persaudaraan kita khususnya sesama muslim. Tidak menceritakan aibnya, artinya kita telah menjaga kehormatannya. Maka, dengan demikian, Allah Ta’ala pun akan menjaga kehormatan kita.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَن نفَّسَ عن مُؤْمنٍ كُرْبَةً مِن كُرَبِ الدُّنيا؛ نفَّسَ اللهُ عَنه كُرْبَةً مِن كُرَبِ يَوْمِ القِيامَةِ، ومَن ستَرَ مُسْلمًا ستَرَه اللهُ في الدُّنيا والآخِرَةِ، ومَن يسَّرَ على مُعْسِرٍ يسَّرَ اللهُ عليه في الدُّنيا والآخِرَةِ، واللهُ في عَوْنِ العَبْدِ ما كان العَبْدُ في عَوْنِ أَخيه

Barangsiapa melepaskan kesusahan seorang muslim dari kesusahan dunia, Allah akan melepaskan kesusahannya pada hari kiamat. Barangsiapa menutupi aib seseorang, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Barangsiapa memudahkan orang yang susah, Allah akan mudahkan urusannya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya selama ia menolong saudaranya.” (HR. Muslim no. 2699, At-Tirmidzi no. 2945, Ibnu Majah no. 225, Abu Dawud no. 1455, Ahmad no. 7427 dan ini adalah redaksi beliau)

Gibah

Istilah “gibah” kini telah populer di tengah-tengah masyarakat. Gibah identik dengan gosip atau gunjing. Dua kata ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki makna yang sama, yaitu: membicarakan (menceritakan) hal-hal negatif tentang orang lain. Dalam bahasa syariat, gibah dimaknai dengan menyebut-nyebut atau menceritakan orang lain mengenai perkara dirinya yang tidak ia sukai (jika ia mendengarnya).

Allah Ta’ala menciptakan kita sebagai manusia yang memiliki panca indera dan perasaan yang tidak jauh berbeda. Hal-hal yang menurut kita menyakitkan, bagi orang lain juga bisa jadi menyakitkan. Kaitannya dengan hal-hal negatif atau aib diri yang kadangkala menjadi topik mengasyikkan untuk dibahas, seharusnya benar-benar menjadi renungan kita bersama.

Secara manusiawi saja, kita tidak suka jika aib, kekurangan, dan hal-hal negatif yang ada pada diri kita dibahas dan menjadi bahan tertawaan orang lain. Lalu, bagaimana pula kita sanggup melakukan hal tersebut kepada orang lain? Apalagi, syariat cukup tegas melarang kita untuk melakukannya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَتَدْرُونَ ما الغِيبَةُ؟ قالوا: اللَّهُ ورَسولُهُ أعْلَمُ، قالَ: ذِكْرُكَ أخاكَ بما يَكْرَهُ قيلَ أفَرَأَيْتَ إنْ كانَ في أخِي ما أقُولُ؟ قالَ: إنْ كانَ فيه ما تَقُولُ، فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وإنْ لَمْ يَكُنْ فيه فقَدْ بَهَتَّهُ.

“Tahukah kalian apa itu gibah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Ia berkata, “Engkau menyebutkan kejelekan saudaramu yang ia tidak suka untuk didengarkan orang lain.” Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang disebutkan sesuai kenyataan?” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Jika sesuai kenyataan, berarti Engkau telah menggibahnya. Jika tidak sesuai, berarti Engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim no. 2589)

Akibat gibah

Saudaraku, renungkanlah! Adakah aib yang menurutmu hanya engkau dan Allah saja yang tahu? Dosa yang kau tak ingin orang lain mengetahuinya. Aib yang apabila terbuka, maka tak ada lagi yang menghormati dan menghargaimu. Bahkan, orang-orang terdekatmu sendiri. Aib yang selalu engkau jaga dengan melakukan berbagai perbuatan baik dan amalan saleh untuk menutupnya. Bayangkan! Bagaimana jika Allah membuka semuanya?

Relakah engkau? Jika suatu waktu, Allah Ta’ala mengizinkan salah seorang dari hamba-hamba-Nya mengetahui aib tersebut, kemudian semua orang tahu siapa dirimu sesungguhnya dengan kehinaan dosa-dosamu?

Muhammad bin Wasi’ rahimahullah mengatakan, “Kalau seandainya dosa ini memiliki bau, niscaya tidak ada seorang pun yang mau duduk denganku.” (Imam Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala‘, 6: 120)

Terbukanya aib yang selalu dijaga itu bisa saja terjadi. Dalam agama mulia ini, ada kaidah, الجزاء من جنس العمل “Balasan, selaras dengan amal perbuatan.” Dalam konteks gibah, balasan dari perbuatan mengibahi adalah digibahi. Balasan perbuatan membuka aib dan menceritakan dosa-dosa orang lain tanpa alasan yang syar’i, maka aib dan dosanya pun akan dibuka. Wal’iyadzubillah.

Renungan bagi ahli gibah

Terang saja, tidak ada yang bersedia disebut sebagai ahli gibah. Tetapi, terkadang banyak manusia yang sebenarnya tahu larangan dari perbuatan gibah, tetap saja melakukannya tanpa khawatir akan akibat dari perbuatan tersebut. Terus saja ia melakukannya dengan berbagai pembenaran, seperti untuk menghibur diri, mencairkan suasana, atau berbagai alasan lainnya. Tanpa sadar, dengan perbuatan tersebut sebenarnya ia bisa saja menjadi bagian dari ahli gibah.

Namun, termasuk atau tidaknya kita dalam golongan orang-orang ahli gibah ini, hanya kita yang mampu menilainya. Renungkan saja, dalam sehari ini, sudah berapa orang yang kita ceritakan perkara dirinya yang ia tidak sukai? Sudah berapa aib yang kita bongkar baik dengan sadar atau tidak? Padahal, setiap ucapan yang keluar dari lisan akan tercatat dengan tanpa cacat oleh malaikat Raqib ‘Atid.

Allah Ta’ala berfirman,

مَّا يَلۡفِظُ مِن قَوۡلٍ إِلَّا لَدَيۡهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya, kecuali di dekatnya ada malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18)

Kita mungkin khawatir berbuat kesalahan ketika tahu bahwa gerak-gerik kita diawasi oleh CCTV. Namun, kita pun sebenarnya tahu bahwa pergerakan dan tingkah laku kita pun diawasi oleh malaikat dengan pengawasan yang jauh lebih canggih. Sayangnya, iman yang lemah terkadang mendorong kita untuk melakukan dosa seperti gibah tanpa khawatir bahwa dosa-dosa kita tercatat dan terekam dengan rapi.

Agar terhindar dari gibah

Menyadari bahwa diri ini lemah dan senantiasa membutuhkan petunjuk dan pertolongan Allah Ta’ala, maka sepantasnyalah kita selalu menyibukkan diri bermuhasabah. Daripada menceritakan aib orang lain, alangkah lebih mulianya jika kita mengintrospeksi diri. Meng-upgrade kualitas keislaman, keimanan, dan keihsanan kita. Mudah-mudahan dengannya kita terhindar dari perbuatan gibah yang dilarang oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.

Oleh karenanya, berikut beberapa hal yang kiranya menjadi pertimbangan ikhtiar kita agar terhindar dari dosa gibah:

Pertama: Niatkan setiap hari untuk tidak membicarakan aib sesama karena menginginkan keridaan Allah Ta’ala.

Kedua: Berdoa dan bermohonlah pertolongan kepada Allah Ta’ala agar diberikan petunjuk dan hidayah agar terjaga dari perbuatan gibah.

Ketiga: Ikhtiarlah dengan menjauhi lingkungan yang berpotensi memicu kita untuk melakukan perbuatan gibah. Kemudian, bergaullah dengan orang-orang saleh yang bersedia untuk saling mengingatkan kepada Allah.

Keempat: Sibukkanlah diri dengan hal-hal yang bermanfaat. Tuliskanlah aktivitas bermanfaat setiap hari di waktu pagi sebagai pedoman rutinitas yang akan dikerjakan pada hari itu.

Kelima: Apabila ada kolega yang mengajak untuk membicarakan aib orang lain, ajaklah ia untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala. Lebih baik tidak enak kepada Allah daripada tidak enak kepada manusia.

Keenam: Sadarilah bahwa setiap saat, setan selalu mencoba untuk menggoda kita agar melakukan maksiat termasuk gibah. Mohonlah pertolongan Allah agar dijauhkan dari godaan setan.

Wallahu a’lam.

***

Penulis: Fauzan Hidayat

Catatan kaki:

[1] Ibnul Qayyim dalam ‘Uddah Ash-Shabirin wa Dzakhirah Asy-Syakirin, hlm. 187.

Sumber: https://muslim.or.id/92187-menjauhi-gibah-menjaga-aib-sesama.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Aktivis Pembela Palestina Shaun King dan Istrinya Memeluk Islam di Bulan Ramadhan

Penulis yang juga dan aktivis pembela Palestina ternama Amerika Serikat (AS) Jeffery Shaun King (44) dan istrinya Dr Rai King telah menyatakan diri masuk Islam di hari pertama bulan Ramadhan 1445 H-2024.

Dalam siaran langsung di akun Instagram hari Senin, yang dibagikan oleh Profesor Khaled Beydoun, menunjukkan Shaun King dan istrinya, Dr Rai mengucapkan dua kalimat syahadat, sebuah wasiat iman, dengan bantuan cendekiawan dan aktivis Muslim AS, Dr Omar Suleiman, tulis laman laman Siasat.

Keduanya mengikrarkan kalimat syahadat dalam bahasa Arab. “Ashadu an la ilaha illa llahu, wa-ashadu anna muḥammadan rasulu –llah, saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Tuhan.”

Video Shaun King mengucapkan syahadat viral di media sosial.

Shaun, terkenal karena advokasinya terhadap gerakan yang terkait dengan Partai Demokrat seperti Black Lives Matter.

Pada tanggal 25 Desember, dia mengklaim bahwa Instagram telah memblokir akunnya karena dukungannya terhadap perjuangan Palestina melawan penjajah Israel dalam agresi yang sedang berlangsung lebih dari 5 bulan.

Shaun, dengan lebih dari enam juta pengikut, mengungkapkan rasa frustrasinya atas larangan Instagram terhadap dirinya karena mengadvokasi hak-hak dan martabat bangsa Palestina.

Shaun telah berbagi banyak postingan pro-Palestina sejak 7 Oktober, menyoroti kehancuran di Jalur Gaza dan menyerukan diakhirinya perang brutal Israel di wilayah tersebut.

Sambutan Masyarakat

“MashaAllah Shaun King dan istrinya, Rai, mengucapkan syahadat bersama Syekh Omar Suleiman di Valley Ranch Islamic Center malam ini, di malam pertama Ramadhan,” tulis Zahra Billoo.

“Kita semua melihat ini terjadi 🥰❤ wajah mereka bersinar dan dia terlihat sangat cantik. Ini membuat hatiku begitu bangga 🙏🏽❤️,” tulis Ariba_Pervaiz.

“Shaun selalu menggunakan platformnya untuk mengadvokasi kelompok minoritas yang tertindas dan berbicara menentang ketidakadilan, yang terbaru dia bersuara bagi warga Palestina. Pria ini pantas dihormati di dunia dan menjadi Muslim adalah hal yang paling membanggakan. Alhamdulillah,” tulis Samisuploads.

“Bangga telah menjadi bagian dari keluarga ini,” tulis Profesor Khaled Beydoun, yang dikenal penulis buku dan pakar tentang penindasan terhadap minoritas Muslim ini.*  

HIDAYATULLAH

Menu Nabi Saat Berbuka Puasa

Berbuka puasa atau iftar adalah momen yang sangat penting selama bulan Ramadhan, di mana umat Islam di seluruh dunia berbuka puasa mereka setelah matahari terbenam. Nabi Muhammad SAW memberikan contoh yang baik tentang bagaimana berbuka puasa dengan cara yang sederhana namun penuh manfaat. 

Berhadirkan hadits Nabi, setidaknya ada dua menu yang dikonsumsi, yaitu kurma dan air. Nabi SAW bersabda:

إذا أفطر أحدكم فليفطر على تمر، فإن لم يجد فليفطر على ماء فإنه طهور 

Artinya, “Apabila kamu ingin berbuka, berbukalah dengan kurma. Jika tidak ada, minumlah air putih karena ia suci,” (HR At-Tirmidzi).

Nabi Muhammad SAW biasanya berbuka puasa dengan kurma karena kurma merupakan sumber energi yang cepat diserap oleh tubuh. Jika tidak ada kurma, beliau berbuka dengan air, menunjukkan pentingnya hidrasi.

Setelah mengonsumsi kurma, Nabi Muhammad SAW akan mengikuti dengan meminum air, yang membantu hidrasi dan persiapan untuk sholat Maghrib.

Dalam kitab Mir’atul Mafatih, Al-Mubarakfuri juga menjelaskan bahwa kurma sangat baik dikonsumsi saat berbuka. Kurma termasuk makanan pokok yang dapat menguatkan tubuh, terutama menyegarkan mata, setelah puasa seharian. Sesangkan air putih, ia suci dan bersih, dan sangat baik dikonsumsi sebelum mencicipi menu buka puasa lainnya.

Penting untuk diingat bahwa Nabi Muhammad SAW selalu mengutamakan kesederhanaan dan keseimbangan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam berbuka puasa. Beliau mengajarkan untuk tidak berlebihan atau boros dalam makan dan selalu bersyukur atas apa yang tersedia.

Sebelum berbuka puasa, jangan lupa juga untuk selalu membaca doa buka puasa sebagai berikut:

 اَللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ

Allahumma laka shumtu wa bika amantu wa`ala rizqika afthartu. Birrahmatika yaa arhamar roohimin.

Artinya: “Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, dan kepada-MU aku beriman, dan dengan rezeki-Mu aku berbuka. Dengan rahmat-Mu wahai yang Maha Pengasih dan Penyayang.” (HR Bukhari dan Muslim).

Selain itu, ada juga doa buka puasa seperti diriwayatkan dari Ibnu Umar Ra bahwa Rasulullah ketika berbuka puasa mengucapkan:

ذَهَبَ الظَّمَأُ، وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ الله

“Dzahabaz zhama`u wabtallatil `uruqu wa tsabatal ajru, insyaallah”.

Artinya: “Telah hilang rasa haus, telah basah urat-urat, dan telah pasti ganjaran, dengan kehendak Allah Ta`ala.” (HR Abu Dawud, Daruquthni, Hakim, dan Nasai). 

RAMADHAN

Inilah Pembatal-Pembatal Puasa

Berikut adalah penjelasan mengenai pembatal puasa.

1. Makan dan minum dengan sengaja.

Hal ini merupakan pembatal puasa berdasarkan kesepakatan para ulama[1]. Makan dan minum yang dimaksudkan adalah dengan memasukkan apa saja ke dalam tubuh melalui mulut, baik yang dimasukkan adalah sesuatu yang bermanfaat (seperti roti dan makanan lainnya), sesuatu yang membahayakan atau diharamkan (seperti khomr dan rokok[2]), atau sesuatu yang tidak ada nilai manfaat atau bahaya (seperti potongan kayu)[3]. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187).

Jika orang yang berpuasa lupa, keliru, atau dipaksa, puasanya tidaklah batal. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا نَسِىَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ

Apabila seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaklah dia tetap menyempurnakan puasanya karena Allah telah memberi dia makan dan minum.”[4]

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

Sesungguhnya Allah menghilangkan dari umatku dosa karena keliru, lupa, atau dipaksa.”[5]

Yang juga termasuk makan dan minum adalah injeksi makanan melalui infus. Jika seseorang diinfus dalam keadaan puasa, batallah puasanya karena injeksi semacam ini dihukumi sama dengan makan dan minum.[6]

Siapa saja yang batal puasanya karena makan dan minum dengan sengaja, maka ia punya kewajiban mengqodho’ puasanya, tanpa ada kafaroh. Inilah pendapat mayoritas ulama.[7]

2. Muntah dengan sengaja.

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ ذَرَعَهُ قَىْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ

Barangsiapa yang dipaksa muntah sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qodho’ baginya. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qodho’.”[8]

3. Haidh dan nifas.

Apabila seorang wanita mengalami haidh atau nifas di tengah-tengah berpuasa baik di awal atau akhir hari puasa, puasanya batal. Apabila dia tetap berpuasa, puasanya tidaklah sah. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Keluarnya darah haidh dan nifas membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan para ulama.”[9]

Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ » . قُلْنَ بَلَى . قَالَ « فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا »

Bukankah kalau wanita tersebut haidh, dia tidak shalat dan juga tidak menunaikan puasa?” Para wanita menjawab, “Betul.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah kekurangan agama wanita.”[10]

Jika wanita haidh dan nifas tidak berpuasa, ia harus mengqodho’ puasanya di hari lainnya. Berdasarkan perkataan ‘Aisyah, “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat.”[11] Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haidh dan nifas wajib mengqodho’ puasanya ketika ia suci.[12]

4. Keluarnya mani dengan sengaja.

Artinya mani tersebut dikeluarkan dengan sengaja tanpa hubungan jima’ seperti mengeluarkan mani dengan tangan, dengan cara menggesek-gesek kemaluannya pada perut atau paha, dengan cara disentuh atau dicium. Hal ini menyebabkan puasanya batal dan wajib mengqodho’, tanpa menunaikan kafaroh. Inilah pendapat ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Dalil hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِى

“(Allah Ta’ala berfirman): ketika berpuasa ia meninggalkan makan, minum dan syahwat karena-Ku[13]. Mengeluarkan mani dengan sengaja termasuk syahwat, sehingga termasuk pembatal puasa sebagaimana makan dan minum.[14]

Jika seseorang mencium istri dan keluar mani, puasanya batal. Namun jika tidak keluar mani, puasanya tidak batal. Adapun jika sekali memandang istri, lalu keluar mani, puasanya tidak batal. Sedangkan jika sampai berulang kali memandangnya lalu keluar mani, maka puasanya batal.[15]

Lalu bagaimana jika sekedar membayangkan atau berkhayal (berfantasi) lalu keluar mani? Jawabnya, puasanya tidak batal.[16] Alasannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِى مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا ، مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ

Sesungguhnya Allah memaafkan umatku apa yang terbayang dalam hati mereka, selama tidak melakukan atau pun mengungkapnya[17]

5. Berniat membatalkan puasa.

Jika seseorang berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan berpuasa. Jika telah bertekad bulat dengan sengaja untuk membatalkan puasa dan dalam keadaan ingat sedang berpuasa, maka puasanya batal, walaupun ketika itu ia tidak makan dan minum. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang ia niatkan.[18] Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan berpuasa, maka puasanya batal.”[19] Ketika puasa batal dalam keadaan seperti ini, maka ia harus mengqodho’ puasanya di hari lainnya.[20]

6. Jima’ (bersetubuh) di siang hari.

Berjima’ dengan pasangan di siang hari bulan Ramadhan membatalkan puasa, wajib mengqodho’ dan menunaikan kafaroh. Namun hal ini berlaku jika memenuhi dua syarat: (1) yang melakukan adalah orang yang dikenai kewajiban untuk berpuasa, dan (2) bukan termasuk orang yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa. Jika seseorang termasuk orang yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa seperti orang yang sakit dan sebenarnya ia berat untuk berpuasa namun tetap nekad berpuasa, lalu ia menyetubuhi istrinya di siang hari, maka ia hanya punya kewajiban qodho’ dan tidak ada kafaroh.[21]

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ . قَالَ « مَا لَكَ » . قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى وَأَنَا صَائِمٌ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا » . قَالَ لاَ . قَالَ « فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ » . قَالَ لاَ . فَقَالَ « فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا » . قَالَ لاَ . قَالَ فَمَكَثَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – ، فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِىَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ – وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ – قَالَ « أَيْنَ السَّائِلُ » . فَقَالَ أَنَا . قَالَ « خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ » . فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا – يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ – أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِى ، فَضَحِكَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ « أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ »

“Suatu hari kami duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut mengatakan, “Wahai Rasulullah, celaka aku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak”. Abu Hurairah berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,“Di mana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku. ” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.”[22]

Menurut mayoritas ulama, jima’ (hubungan badan dengan bertemunya dua kemaluan dan tenggelamnya ujung kemaluan di kemaluan atau dubur) bagi orang yang berpuasa di siang hari bulan Ramadhan (di waktu berpuasa) dengan sengaja dan atas kehendak sendiri (bukan paksaan), mengakibatkan puasanya batal, wajib menunaikan qodho’, ditambah dengan menunaikan kafaroh. Terserah ketika itu keluar mani ataukah tidak. Wanita yang diajak hubungan jima’ oleh pasangannya (tanpa dipaksa), puasanya pun batal, tanpa ada perselisihan di antara para ulama mengenai hal ini. Namun yang nanti jadi perbedaan antara laki-laki dan perempuan apakah keduanya sama-sama dikenai kafaroh.

Pendapat yang tepat adalah pendapat yang dipilih oleh ulama Syafi’iyah dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya,  bahwa wanita yang diajak bersetubuh di bulan Ramadhan tidak punya kewajiban kafaroh, yang menanggung kafaroh adalah si pria. Alasannya, dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintah wanita yang bersetubuh di siang hari untuk membayar kafaroh sebagaimana suaminya. Hal ini menunjukkan bahwa seandainya wanita memiliki kewajiban kafaroh, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu akan mewajibkannya dan tidak mendiamkannya. Selain itu, kafaroh adalah hak harta. Oleh karena itu, kafaroh dibebankan pada laki-laki sebagaimana mahar.[23]

Kafaroh yang harus dikeluarkan adalah dengan urutan sebagai berikut.

a) Membebaskan seorang budak mukmin yang bebas dari cacat.

b) Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut.

c) Jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin. Setiap orang miskin mendapatkan satu mud[24] makanan.[25]

Jika orang yang melakukan jima’ di siang hari bulan Ramadhan tidak mampu melaksanakan kafaroh di atas, kafaroh tersebut tidaklah gugur, namun tetap wajib baginya sampai dia mampu. Hal ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan bentuk utang-piutang dan hak-hak yang lain. Demikian keterangan dari An Nawawi rahimahullah.[26]

Semoga sajian ini bermanfaat.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


[1]Lihat Bidayatul Mujtahid, hal. 267.

[2] Merokok termasuk pembatal puasa. Lihat keterangan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin di Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Ibnu ‘Utsaimin, Bab Ash Shiyam, 17/148.

[3] Lihat Syarhul Mumthi’, 3/47-48.

[4] HR. Bukhari no. 1933 dan Muslim no. 1155.

[5] HR. Ibnu Majah no. 2045. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[6] Lihat Shifat Shoum Nabi, hal. 72

[7] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/105.

[8] HR. Abu Daud no. 2380. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[9] Majmu’ Al Fatawa, 25/266.

[10] HR. Bukhari no. 304.

[11] HR. Muslim no. 335.

[12] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9917.

[13] HR. Bukhari no. 1894.

[14] Lihat Syarhul Mumthi’, 3/52.

[15] Lihat Syarhul Mumthi’, 3/53-54.

[16] Lihat Syarhul Mumthi’, 3/54.

[17] HR. Bukhari no. 5269 dan Muslim no. 127, dari Abu Hurairah.

[18] HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari Umar bin Al Khottob.

[19] Al Muhalla, 6/174.

[20] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/106.

[21] Lihat Syarhul Mumthi’, 3/68.

[22] HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111.

[23] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah 2/9957 dan Shohih Fiqih Sunnah, 2/108 .

[24] Satu mud sama dengan ¼ sho’. Satu sho’ kira-kira sama dengan 3 kg. Sehingga satu mud kurang lebih 0,75 kg.

[25] Untuk ukuran makanan di sini sebenarnya tidak ada aturan baku. Jika sekedar memberi makan, sudah dianggap menunaikannya. Lihat pembahasan pembayaran fidyah dalam bab selanjutnya.

[26] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/224.

Sumber: https://muslim.or.id/336-pembatal-puasa.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Minuman dan Makanan yang Dikonsumsi Rasulullah saat Buka Puasa

Berbuka puasa atau iftar adalah momen yang sangat penting selama bulan Ramadhan, di mana umat Islam di seluruh dunia berbuka puasa mereka setelah matahari terbenam. Nabi Muhammad SAW memberikan contoh yang baik tentang bagaimana berbuka puasa dengan cara yang sederhana namun penuh manfaat. 

Berhadirkan hadits Nabi, setidaknya ada dua menu yang dikonsumsi, yaitu kurma dan air. Nabi SAW bersabda:

إذا أفطر أحدكم فليفطر على تمر، فإن لم يجد فليفطر على ماء فإنه طهور 

Artinya, “Apabila kamu ingin berbuka, berbukalah dengan kurma. Jika tidak ada, minumlah air putih karena ia suci,” (HR At-Tirmidzi).

Nabi Muhammad SAW biasanya berbuka puasa dengan kurma karena kurma merupakan sumber energi yang cepat diserap oleh tubuh. Jika tidak ada kurma, beliau berbuka dengan air, menunjukkan pentingnya hidrasi.

Setelah mengonsumsi kurma, Nabi Muhammad SAW akan mengikuti dengan meminum air, yang membantu hidrasi dan persiapan untuk sholat Maghrib.

Dalam kitab Mir’atul Mafatih, Al-Mubarakfuri juga menjelaskan bahwa kurma sangat baik dikonsumsi saat berbuka. Kurma termasuk makanan pokok yang dapat menguatkan tubuh, terutama menyegarkan mata, setelah puasa seharian. Sesangkan air putih, ia suci dan bersih, dan sangat baik dikonsumsi sebelum mencicipi menu buka puasa lainnya.

Penting untuk diingat bahwa Nabi Muhammad SAW selalu mengutamakan kesederhanaan dan keseimbangan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam berbuka puasa. Beliau mengajarkan untuk tidak berlebihan atau boros dalam makan dan selalu bersyukur atas apa yang tersedia.

Sebelum berbuka puasa, jangan lupa juga untuk selalu membaca doa buka puasa sebagai berikut:

 اَللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ

Allahumma laka shumtu wa bika amantu wa`ala rizqika afthartu. Birrahmatika yaa arhamar roohimin.

Artinya: “Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, dan kepada-MU aku beriman, dan dengan rezeki-Mu aku berbuka. Dengan rahmat-Mu wahai yang Maha Pengasih dan Penyayang.” (HR Bukhari dan Muslim).

Selain itu, ada juga doa buka puasa seperti diriwayatkan dari Ibnu Umar Ra bahwa Rasulullah ketika berbuka puasa mengucapkan:

ذَهَبَ الظَّمَأُ، وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ الله

“Dzahabaz zhama`u wabtallatil `uruqu wa tsabatal ajru, insyaallah”.

Artinya: “Telah hilang rasa haus, telah basah urat-urat, dan telah pasti ganjaran, dengan kehendak Allah Ta`ala.” (HR Abu Dawud, Daruquthni, Hakim, dan Nasai). 

IHRAM

Kunci Agar Mengingat Kematian

Artikel berikut tentang kunci agar mengingat Kematian. Sejatinya, mengingat kematian adalah sebuah cara untuk mengingatkan diri kita tentang kehidupan sesudah mati dan mengingatkan kita tentang kepentingan dari menjalankan amalan baik dan berdoa. Berikut adalah cara mengingat kematian.

Menurut Greenberg (2002) manusia selalu berusaha untuk menghindari kematiannya dan kematian yang pasti akan datang kapanpun membuat manusia dengan akalnya mencari cara agar tetap bisa melangsungkan kehidupannya. Sehingga menimbulkan gejolak kecemasan (anxiety buffer), yaitu perasaan yang muncul pada saat individu menyadari bahwa dirinya akan meninggal.

Akan tetapi di sisi lain manusia juga bisa memandang penting kematian, dengan kata lain kematian memiliki arti penting (mortality of salience), misalnya bagi orang beriman kematian merupakan sebuah kebahagiaan karena pulang kepada Allah dan dengan kematian kesusahan di dunia akan berganti dengan kebahagiaan.

Mortality of salience merupakan istilah yang menggambarkan kesadaran bahwa pada akhirnya seseorang itu pasti akan mati. Berawal dari mengingat (remember) akan mati, kemudian membuat kesadaran (awareness) akan mati (Putra, dkk, 2016). Sementara itu menurut Pyzcnki, dkk (dalam Greenberg, 2002) mortality of salience adalah proses kognisi untuk mengakses atau mengingat kematian.

Perlu diketahui bahwa mortality of salience merupakan pengembangan dari Terror Management Theory (TMT) yang menjelaskan bahwa manusia memiliki kecemasan akan kematian, dan manusia akan menghindari kematian (Solomon, Greenberg, dan Pyszczynski, dalam Greenberg, 2002).

Mortality of salience sendirisangat dipengaruhi oleh dua hal, yaitu harga diri (self-estem) dan pandangan budaya atau kepercayaan (cultural world view) di mana seseorang itu berada (Pyszczynski dalam Greenberg, 2002).

Menurut Feist (2010) pandangan budaya atau kepercayaan bisa berupa agama, politik, norma sosial. Budaya mempromosikan norma untuk membantu membedakan manusia dengan binatang, hal ini membedakan fungsi psikologis yang sangat penting dengan memberikan perlindungan melawan perhatian yang mendalam atas kematian (Goldenberg, dkk, 2001). Nah, kemudian dengan self-estem yang setiap manusia pasti memilikinya akan memperkuat keyakinan dalam menjalankan pandangan budaya (Putra, dkk, 2016).

Islam menjelaskan bahwa kematian merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan manusia, dengan kata lain pasti akan terjadi. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Imran ayat 185 juga dikatakan bahwa setiap jiwa pasti merasakan mati. Akan tetapi banyak dari kita yang melupakan hal itu.

Semetara itu Imam al-Ghazali menjelaskan dalam Kitab Ihya Ulumuddin bahwa ada dua penyebab lupa dengan kematian yaitu cinta dunia, dan kebodohan.

Cinta dunia membuat manusia merasa berat untuk berpisah dengan dunia, dan mencegah manusia berpikir tentang kematian. Begitu juga dengan kebodohan (kelalaian), membuat manusia merasa bisa hidup sesuai dengan kemauannya. Padahal kematian bisa datang kapanpun, dan dimanapun.

Maka setiap manusia harus sadar bahwa kematian merupakan suatu hal yang pasti akan terjadi, dan sadar akan kematian juga merupakan solusi agar terbebas dari cinta terhadap dunia.

Kita harus punya kesadaran bahwa kematian itu pasti akan terjadi, dan kunci mengingat kematian adalah tidak menjadi orang yang hubbud dunya. Kita juga harus menyadari bahwa keberhasilan seorang insan itu terletak pada sejauh mana dalam mengingat kematian, serta meninggal dalam keadaan khusnul khotimah dengan membawa iman dan Islam.

BINCANG SYARIAH

Pemerintah Tetapkan 1 Ramadan 1445 H Selasa 12 Maret, Menag: Jaga Toleransi dan Kekhusyukan Beribadah

Pemerintah menetapkan 1 Ramadan 1445 Hijriah jatuh pada Selasa, 12 Maret 2024. Ketetapan awal Ramadan itu disampaikan setelah Kementerian Agama (Kemenag) menggelar sidang isbat.

Sidang isbat digelar secara langsung di kantor Kemenag, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Minggu (10/3/2024). Hasil sidang isbat diumumkan terbuka oleh Menag Yaqut Cholil Qoumas.

“Sidang Isbat secara mufakat menetapkan bahwa 1 Ramadan 1445 H jatuh hari Selasa 12 Maret 2024 Masehi,” kata Menag Yaqut.

Sidang isbat penentuan awal Ramadan 2024 ini melibatkan Tim Hisab dan Rukyat Kementerian Agama serta dihadiri para duta besar negara sahabat serta perwakilan ormas Islam.

Sidang isbat ini dibagi menjadi tiga tahap. Pertama, pemaparan posisi hilal awal Ramadan 1445 H berdasarkan hasil hisab (perhitungan astronomi) oleh Tim Hisab dan Rukyat Kemenag mulai pukul 17.00 WIB. Sesi ini terbuka untuk umum dan disiarkan secara live di channel YouTube Bimas Islam.

Kedua, sidang isbat penetapan awal Ramadan 1445 Hijriah yang digelar secara tertutup setelah salat Magrib. Selain data hisab (informasi), sidang isbat juga akan merujuk pada hasil rukyatulhilal (konfirmasi) yang dilakukan Tim Kemenag pada 134 lokasi di seluruh Indonesia.

Ketiga, konferensi pers hasil sidang Isbat penetapan awal Ramadan 1445 Hijriah yang juga disiarkan melalui media sosial Kemenag RI.

Dalam seminar dari perhitungan astronomi, tim Kemenag melaporkan posisi hilal awal Ramadan 1445 H di Indonesia. Hasilnya, posisi hilal masih rendah di Indonesia.

Menag Yaqut berharap umat Islam di Tanah Air dapat beribadah puasa dengan khusyuk.

“Dan tentu kita berharap, mudah-mudahan dengan hasil sidang isbat ini seluruh umat Islam di Indonesia dapat menjalankan ibadah puasa dengan kekhusyukan,” kata Gus Yaqut.

Menag menyadari adanya perbedaan mengenai awal Ramadan 1445 H. Menag mengingatkan untuk tetap menjaga toleransi dalam menjalani bulan puasa.

“Saat ini kita ketahui ada beberapa perbedaan, dan itu lumrah saja. Namun, kita harus tetap saling menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, sehingga tercipta suasana yang kondusif,” imbuhnya.

Sebelumnya, PP Muhammadiyah menyampaikan hasil hisab Ramadan, Syawal, dan Zulhijah 1445 H. PP Muhammadiyah menetapkan 1 Ramadan pada 11 Maret dan Idul Fitri jatuh pada 10 April 2024.

Hal tersebut sesuai dengan Maklumat Hasil Hisab Ramadan, Syawal, dan Zulhijah 1445 H dibacakan oleh Sekretaris PP Muhammadiyah Muhammad Sayuti dalam konferensi pers Sabtu (20/1).

ISLAMKAFFAH

Hasil Sidang Isbat: Hilal Tidak Terlihat, Bulan Sya’ban Digenapkan 30 Hari  

Kementerian Agama menggelar Sidang Isbat (Penetapan) Awal Ramadhan  1445 Hijriyah, di Auditorium HM Rasjidi Kantor Kementerian Agama Jakarta, Ahad (10/3/2024).

Sidang yang diikuti oleh perwakilan ormas Islam, perwakilan duta besar negara sahabat, serta jajaran Kemenag ini diawali dengan Seminar Posisi Hilal yang disampaikan  anggota Tim Hisab Rukyat Kemenag H. Cecep Nurwendaya, M.Si.

Dalam paparannya, Cecep mengungkapkan, secara astronomis, posisi hilal di Indonesia pada saat Maghrib di tanggal 10 Maret 2024 atau 29 Sya’ban 1445 H  masih berada di bawah kriteria baru MABIMS (Menteri Agama Brunei Indonesia Malaysia Singapura), yang ditetapkan pada 2021, sehingga kemungkinan tidak dapat teramati.

“Di seluruh  wilayah Indonesia, posisi hilal pada 29 Sya’ban 1445 H sudah berada di atas ufuk. Namun demikian, masih berada di bawah kriteria imkanur rukyat MABIMS,” ungkap Cecep.

Kriteria baru MABIMS menetapkan bahwa secara astronomis, hilal dapat teramati jika bulan memiliki ketinggian minimal 3 derajat dan elongasinya minimal 6,4 derajat.

Sementara menurut Cecep, pada saat Magrib 10 Maret 2024, tinggi hilal di seluruh wilayah Indonesia berada antara: – 0° 20‘ 01“ (-0,33°)  s.d. 0° 50‘ 01“ (0,83°) dan  elongasi  antara: 2° 15‘ 53“ (2,26°)  s.d. 2° 35‘ 15“ (2,59°).

“Bila melihat angka tersebut, hilal menjelang awal  Ramadhan 1445 H pada hari rukyat ini secara teoritis dapat diprediksi tidak akan terukyat, karena posisinya berada di bawah kriteria Imkan Rukyat tersebut,” jelas Cecep.

Maka, lanjut Cecep, jika data tersebut dikaitkan dengan potensi rukyatul hilal, secara astronomis atau hisab, dimungkinkan awal bulan Ramadhan jatuh pada Selasa, 12 Maret 2024.

Hasil hisab ini, lanjut cecep selanjutnya akan dikonfirmasi melalui pengamatan hilal (rukyatulhilal).

Rukyatulhilal itu sifatnya konfirmasi. Jika nanti ada yang bisa mengamati hilal, maka Ramadhan jatuh esok hari. Tapi bila tidak bisa teramati, maka bulan Syakban digenapkan menjadi 30 hari, sehingga 1 Ramadhan jatuh pada 12 Maret 2024,” ujar Cecep.

Hari ini, Kemenag  menggelar pemantauan hilal (rukyatulhilal) awal Ramadhan di 134 titik di seluruh Indonesia. Rukyatulhilal dilaksanakan Kanwil Kementerian Agama dan Kemenag Kabupaten/Kota, bekerja sama dengan Pengadilan Agama, Ormas Islam serta instansi lain di daerah setempat.

Sidang Isbat penentuan awal Ramadhan 1445 H dilakukan dengan mempertimbangkan informasi awal berdasarkan hasil perhitungan secara astronomis atau hisab, serta hasil konfirmasi lapangan melalui mekanisme pemantauan hilal.*

HIDAYATULLAH

Doa Setelah Salat Tarawih

Ramadhan adalah saat yang tepat untuk memperbanyak ibadah dan beramal saleh. Kita juga dianjurkan banyak-banyak berdoa sebab hampir sebagian waktu di bulan Ramadan adalah mustajab untuk berdoa. Terutama setelah shalat tarawih. Berikut ini adalah doa setelah salat Tarawih yang sunah dilantunkan usai shalat tarawih

اَللهُمَّ اجْعَلْنَا بِالْاِيْمَانِ كَامِلِيْنَ. وَلِلْفَرَائِضِ مُؤَدِّيْنَ. وَلِلصَّلاَةِ حَافِظِيْنَ. وَلِلزَّكَاةِ فَاعِلِيْنَ. وَلِمَا عِنْدَكَ طَالِبِيْنَ. وَلِعَفْوِكَ رَاجِيْنَ. وَبِالْهُدَى مُتَمَسِّكِيْنَ. وَعَنِ الَّلغْوِ مُعْرِضِيْنَ. وَفِى الدُّنْيَا زَاهِدِيْنَ. وَفِى اْلآخِرَةِ رَاغِبِيْنَ. وَبَالْقَضَاءِ رَاضِيْنَ. وَلِلنَّعْمَاءِ شَاكِرِيْنَ. وَعَلَى الْبَلاَءِ صَابِرِيْنَ. وَتَحْتَ لَوَاءِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ سَائِرِيْنَ وَاِلَى الْحَوْضِ وَارِدِيْنَ. وَاِلَى الْجَنَّةِ دَاخِلِيْنَ. وَمِنَ النَّارِ نَاجِيْنَ. وَعَلى سَرِيْرِالْكَرَامَةِ قَاعِدِيْنَ. وَمِنْ حُوْرٍعِيْنٍ مُتَزَوِّجِيْنَ. وَمِنْ سُنْدُسٍ وَاِسْتَبْرَقٍ وَدِيْبَاجٍ مُتَلَبِّسِيْنَ. وَمِنْ طَعَامِ الْجَنَّةِ آكِلِيْنَ. وَمِنْ لَبَنٍ وَعَسَلٍ مُصَفًّى شَارِبِيْنَ. بِاَكْوَابٍ وَّاَبَارِيْقَ وَكَأْسٍ مِّنْ مَعِيْن. مَعَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَآءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ اُولئِكَ رَفِيْقًا. ذلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللهِ وَكَفَى بِاللهِ عَلِيْمًا. اَللهُمَّ اجْعَلْنَا فِى هذِهِ اللَّيْلَةِ الشَّهْرِالشَّرِيْفَةِ الْمُبَارَكَةِ مِنَ السُّعَدَاءِ الْمَقْبُوْلِيْنَ. وَلاَتَجْعَلْنَا مِنَ اْلاَشْقِيَاءِ الْمَرْدُوْدِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِه وَصَحْبِه اَجْمَعِيْنَ. بِرَحْمَتِكَ يَااَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Allâhummaj‘alnâ bil îmâni kâmilîn. Wa lil farâidli muaddîn. Wa lish-shlâti hâfidhîn. Wa liz-zakâti fâ‘ilîn. Wa lima ‘indaka thâlibîn. Wa li ‘afwika râjîn. Wa bil-hudâ mutamassikîn. Wa ‘anil laghwi mu‘ridlîn. Wa fid-dunyâ zâhdîn. Wa fil ‘âkhirati râghibîn. Wa bil-qadlâ’I râdlîn. Wa lin na‘mâ’I syâkirîn. Wa ‘alal balâ’i shâbirîn. Wa tahta liwâ’i muhammadin shallallâhu ‘alaihi wasallam yaumal qiyâmati sâ’irîna wa alal haudli wâridîn. Wa ilal jannati dâkhilîn. Wa minan nâri nâjîn.

Wa ‘alâ sariirl karâmati qâ’idîn. Wa bi hûrun ‘in mutazawwijîn. Wa min sundusin wa istabraqîn wadîbâjin mutalabbisîn. Wa min tha‘âmil jannati âkilîn. Wa min labanin wa ‘asalin mushaffan syâribîn. Bi akwâbin wa abârîqa wa ka‘sin min ma‘în. Ma‘al ladzîna an‘amta ‘alaihim minan nabiyyîna wash shiddîqîna wasy syuhadâ’i wash shâlihîna wa hasuna ulâ’ika rafîqan. Dâlikal fadl-lu minallâhi wa kafâ billâhi ‘alîman.

Allâhummaj‘alnâ fî hâdzihil lailatisy syahrisy syarîfail mubârakah minas su‘adâ’il maqbûlîn. Wa lâ taj‘alnâ minal asyqiyâ’il mardûdîn. Wa shallallâhu ‘alâ sayyidinâ muhammadin wa âlihi wa shahbihi ajma‘în. Birahmatika yâ arhamar râhimîn wal hamdulillâhi rabbil ‘âlamîn

Artinya: Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang sempurna imannya, sanggup menjalankan semua kewajiban, mampu menjaga shalat,bisa mengeluarkan zakat, yang mencari apa yang ada di sisi-Mu, yang mengharapkan ampunan dan berpegang teguh pada petunjuk-Mu juga dipalingkan dari segala permainan/tipu daya,tergolong menjadi orang-orang yang zuhud di dunia dan mencintai kehidupan akherat,

 ridha akan qadha’ yang sudah digariskan, bersyukur atas nikmat yang dilimpahkan sabar atas segala musibah, termasuk orang-orang yang beralan di bawah panji-panji junjungan kami Nabi Muhammad, pada hari kiamat sekaligus bisa mendatangi telaga kautsar, yang masuk ke dalam surga dan selamat dari api neraka menjadi orang-orang yang bisa duduk di atas dipan kemuliaan, mempersunting bidadari,

yang berpakaian sutra,yang bisa menikmati hidangan surga, minum air susu dan madu yang murni dengan gelas dan cawan bersama orang-orang yang Engkau beri nikmat yaitu dari golongan para nabi, shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang terbaik. Kesemuanya itu adalah anugerah dari Allah dan cukuplah Dia sebagai Zat yang Maha Mengetahui.

Ya Allah, jadikanlah kami pada malam yang mulia dan diberkahi ini termasuk golongan orang-orang yang beruntung yang diterima segala permohonannya dan janganlah Engkau jadikan kami termasuk golongan orang-orang yang celaka yang tidak diperkenankan amalnya. Shalawat beserta salam Allah semoga tetap terlimpahkan atas pemimpin kami Nabi Muhammad Saw, keluarga dan semua sahabatnya dengan rahmat-Mu wahai Zat yang paling Pengasih di antara para pengasih. Dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.

Doa setelah salat tarawih ini dikutip dari kitab Al-Azdkar karya Imam Nawawi. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Bacaan Bilal Tarawih 23 Rakaat

Bilal memegang peranan penting dalam mengatur jalannya shalat tarawih. Seruan yang dilantunkannya membantu jamaah mengetahui dimulainya shalat, pergantian rakaat, dan saat-saat tertentu lainnya. Berikut bacaan bilal tarawih 23 rakaat beserta jawaban jamaah.

Sebagaimana dilansir dari NU Online, berikut bacaan bilal Tarawih untuk shalat yang 23 rakaat. Berikut teks bacaannya;

 bilal Tarawih untuk shalat yang 23 rakaat. Berikut teks bacaannya;

NoBacaan BilalJawaban Jamaah
1صَلُّوْا سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ رَكْعَتَيْنِ جَامِعَةَ رَحِمَكُمُ اللهُ


Shallū sunnatat tarāwīhi, ājarakumullāh.  
لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ


Lā ilāha illallāhu Muhammadun rasūlullāhi shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
 اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Allahumma Shalli ala Sayyidina Muhammad
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
Allahuma Shalli wa sallim ‘alaih
2فَضْلًا مِنَ اللهِ تَعَالَى وَنِعْمَةْ
Fadhlan minallāhi wa ni‘mah
وَمَغْفِرَةً وَرَحْمَةً
Wa maghfiratan wa rahmah
 اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
Allahumma Shalli ala Sayyidina Muhammad
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
Allahuma Shalli wa sallim ‘alaih
3اَلْخَلِيْفَةُ اْلاُوْلَى سَيِّدُنَا اَبُوْ بَكَرْ الصِّدِّيْقُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
al-Khalifatu al-Ula’ sayyiduna Abu Bakrin ash-Shiddiq radiyallahu anhu
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ

Radiyallahu anhu
 اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Allahumma Shalli ‘ala Sayyidina Muhammad
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ

Allahumma shalli wa sallim ‘alaih
4فَضْلًا مِنَ اللهِ تَعَالَى وَنِعْمَةْ Fadlan minallahi ta’ala wa ni’mahوَمَغْفِرَةً وَنِعْمَةْ
wa magfiratan wa ini’mah
 اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
allahumma shalli a’la sayyidina Muhammad
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
allahumma shalli wa sallim a’laih
5اَلْخَلِيْفَةُ الثَّانِيَةُ سَيِّدُنَا عُمَرُ ابْنُ الْخَطَّابْ
al-khalifatu as-saniyatu sayyiduna Umar bin Khattab
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ 
Radiyallahu anhu
 اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
allahumma shalli ala Sayyidina Muhammad
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
Allahumma shalli wa sallim ‘alaih
6فَضْلًا مِنَ اللهِ تَعَالَى وَنِعْمَةْ
Fadlan minallahi Ta’la wa ni’mah
وَمَغْفِرَةً وَنِعْمَةْ
wa ma’firatan wa ni’mah
 اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
allahumma shalli ala Sayyidina Muhammad
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
Allahumma shalli wa sallim ‘alaih
7اَلْخَلِيْفَةُ  الثَّالِثَةُ سَيِّدُنَا عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ

al-khalifatu as-salisata sayyiduna Ustman bin Affan
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ 

Radiyallahu anhu
 اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ


Allahumma shalli ala sayyidina Muhammadin
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ


Allahumma shalli wa sallim a’laih
8فَضْلًا مِنَ اللهِ تَعَالَى وَنِعْمَةْ


Fadlan minallahi Ta’ala wa ni’mah
وَمَغْفِرَةً وَنِعْمَةْ


wama’firatan wa ni’mah
 اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ


Allahumma shalli a’la sayyidina Muhammad
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ


Allahumma shalli wa sallim a’laih
9اَلْخَلِيْفَةُ الرَّابِعَةُ سَيِّدُنَا عَلِيْ بِنْ اَبِيْ طَالِبْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ

al-khalifatu rabi’atan  sayyiduna Ali bin Abi Thalib Karamallahu wajhahu
كَرَمَ اللَّهُ وَجْهَهُ



Karamaallahu wajhahu
 اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ


Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ


Allahumma shalli wa sallim a’laih
10اَخِرُ التَّرَاوِيْحِ اَجَرَكُمُ اللهُ

Akhiru tarawih ajarakumullah
اَمِيْنَ يَارَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Amin rabbil a’lamin
 اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Allahuma shalli ‘ala sayyidina Muhammad
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ

Allahumma shalli wa sallim a’laih


Bacaan Bilal Shalat Witir

سُبْحَانَ المَلِكِ المَوْجُوْدِ، سُبْحَانَ المَلِكِ المَعْبُوْدِ، سُبْحَانَ المَلِكِ
الحَيِّ الَّذِي لَا يَنَامُ وَلَا يَمُوْتُ وَلَا يَفُوْتُ أَبَدًا


Subhānal malikil mawjūd, subhānal malikil ma‘būd, subhānal malikil hayyil ladzī lā yanāmu wa lā yamūtu wa lā yafūtu abadā.
سُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ رَبُّنَا وَرَبُّ المَلآئِكَةِ وَالرُّوْحِ


Subbūhun, quddūsun, rabbunā, wa rabbul malā’ikati war rūh.  
 سُبْحَانَ اللهِ وَالحَمْدُ للهِ وَلَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ

Subhānallāhi, wal hamdu lillāhi, wa lā ilāha illallāhu, wallāhu akbar.
لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ العَلِيِّ العَظِيْمِ

Lā hawla wa lā quwwata illā billāhil ‘aliyyil azhīm.  
1صَلُّوْا سُنَّةَ الْوِتْرِ رَكْعَتَيْنِ جَامِعَةَ رَحِمَكُمُ اللهُ
Shallu sunnatal witri Jamiatan rahimakumullah
رَحِمَكُمُ اللهُ
Rahimakumullah
 اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ


Allahumma shalli a’la sayyidina Muhammad
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ


Allahumma shalli wa sallim a’laih
 صَلُّوْا سُنَّةَ رَكْعَةَ الْوِتْرِ جَامِعَةَ رَحِمَكُمُ اللهُ

Shallu sunnata rak’atal witri Jami’atan rahimakumullah
رَحِمَكُمُ اللهُ

rahamimakumullah
   

Demikian penjelasan terkait bacaan bilal tarawih 23 rakaat beserta jawaban jamaah. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH