Bacaan Niat Sholat Tarawih Lengkap

Berikut bacaan niat sholat Tarawih. Pada dasarnya menurut ulama fikih, hukum shalat tarawih adalah sunnah muakkad. Hal ini disebabkan karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyangatkan shalat tarawih dan mengajak orang-orang untuk mengerjakannya.

Selanjutnya, shalat tarawih adalah salah satu ibadah yang sangat dianjurkan bagi umat Islam di bulan Ramadhan. Jika seseorang tidak mengerjakan shalat tarawih, ia tidak akan mendapat dosa, tetapi ia tidak akan mendapat pahala yang diberikan kepada orang yang mengerjakan shalat tarawih dengan iman dan mengharapkan ridha dari Allah.

Pada sisi lain, shalat tarawih merupakan ibadah yang bisa menyempurnakan rangkaian ibadah lain selama menjalani puasa Ramadhan. Dalam hadits Nabi menjelaskan orang yang mengerjakan shalat Tarawih, maka akan mendapatkan ampunan dari dosa yang telah diperbuatnnya.

Hal ini sebagaimana dalam hadis Nabi Muhammad SAW;

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Artinya; Barangsiapa yang melaksanakan puasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

Sementara itu, Syekh Imam Al-Kharsyi, dalam kitab Syarh Mukhtashar Khalil Li Al-Kharsyi, Jilid II, halaman 7 mengatakan bahwa shalat Tarawih adalah salat sunnah muakkad, yang berarti sangat dianjurkan untuk dikerjakan.

وتأكد تراويح قيام رمضان، سمي بذلك لأنهم كانوا يطيلون القيام فيقرأ القارئ بالمئين يصلون بتسليمتين ثم يجلس الإمام والمأموم للاستراحة ويقضي من سبقه الإمام، ووقتها وقت الوتر على المعتمد، والجماعة فيها مستحبة لاستمرار العمل على الجمع من زمن عمر رضي الله عنه

Artinya; “Sunnah muakkad hukumnya mengerjakan shalat tarawih di Bulan Ramadhan. Disebut demikian karena mereka (para sahabat Nabi) dahulu memperpanjang waktu berdiri (dalam shalat). Pembaca (Al-Quran) membaca (surat-surat panjang) hingga mencapai seratus ayat. Mereka shalat dengan dua salam.

Kemudian imam dan makmum duduk untuk beristirahat. Dan orang yang tertinggal dari imam menyelesaikan (rakaat yang tertinggal). Waktunya adalah waktu shalat witir menurut pendapat yang lebih kuat. Shalat berjamaah dalam shalat tarawih disunnahkan karena amalan ini telah berlangsung sejak zaman Umar bin Khattab,”.

Niat Sholat Tarawih

Nah berikut ini bacaan niat sholat tarawih, untuk Imam, Makmum, dan shalat sendirian. Ini bacaannya;

Berikut niat Tarawih sebagai imam shalat, secara berjamaah;

‎ أُصَلِّى سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَدَاءً إِمَامًا للهِ تَعَالَى

Ushalli sunnatat tarāwīhi rak‘atayni mustaqbilal qiblati adā’an imāman lillāhi ta‘ālā.

Artinya; Aku shalat sunnah Tarawih dua rakaat menghadap kiblat, sebagai imam, karena Allah Ta’ala.

Sementara itu, niat sebagai makmum adalah berikut;

‎أُصَلِّي سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ مَأْمُوْمًا لِلهِ تَعَالَى

Ushallî sunnatat tarâwîhi rak’ataini mustaqbilal qiblati ma’mûman lillâhi ta’âlâ.

Artinya; Aku mendirikan shalat sunnah Tarawih dua rakaat menghadap kiblat sebagai makmum karena Allah Ta’ala.

Adapun niat shalat tarawih ketika shalat sendiri adalah berikut;

‎ اُصَلِّى سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَدَاءً لِلهِ تَعَالَى 

Ushalli sunnatat tarāwīhi rak‘atayni mustaqbilal qiblati adā’an lillāhi ta‘ālā.

Artinya; Aku sholat sunnah tarawih dua rakaat menghadap kiblat, karena Allah Ta’ala.

Demikian niat sholat tarawih. Semoga bermanfaat. Pun kita rutin menjalankan ibadah ini selama bulan Ramadhan.

BINCANG SYARIAH

Anjuran Berjalan Kaki untuk Bertafakur

Tafakur merupakan salah satu ibadah hati yang sangat ditekankan untuk diamalkan dalam Islam. Tafakur secara bahasa berarti merenungkan dan mengamati sesuatu. Secara istilah bermakna mengarahkan hatinya untuk mengamati dan merenungkan tanda-tanda atau bukti-bukti atas kekuasaan Allah Ta’ala. (Lihat At-Tafakur, Syekh Munajjid, hal. 7)

Tafakur adalah ibadah yang tidak mengenal tempat dan waktu. Apapun kondisinya dan kapanpun waktunya, ibadah tafakur ini bisa diamalkan.

Allah Ta’ala memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak mau bertafakur dalam firman-Nya,

وَكَأَيِّنْ مِنْ آيَةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ يَمُرُّونَ عَلَيْهَا وَهُمْ عَنْهَا مُعْرِضُونَ (105) وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

“Betapa banyak sekali tanda-tanda kebesaran Allah di muka bumi, yang mereka menjumpainya, akan tetapi mereka berpaling (tidak mau bertafakur). Dan kebanyakan dari mereka itu tidaklah beriman kepada Allah, kecuali mereka berbuat kesyirikan.” (QS. Yusuf: 105-106)

Kewajiban tafakur

Banyak sekali dalil yang menunjukkan bahwa tafakur adalah wajib, baik tafakur dengan merenungi ayat-ayat Allah dalam Al-Qur’an atau tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلا رِجَالا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (43) بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنزلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نزلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (44)

“Tidaklah kami mengutus sebelummu, melainkan seorang laki-laki yang kami wahyukan kepada mereka. Maka, bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui. Dengan keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab yang mereka bawa. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl: 43-44)

Maka, ayat di atas menunjukkan bahwa salah satu tujuan diturunkan Al-Qur’an adalah agar manusia mau bertafakur terhadap ayat-ayat di dalamnya.

Allah Ta’ala juga menyanjung orang-orang yang bertafakur dalam firman-Nya,

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّماواتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهارِ لَآياتٍ لِأُولِي الْأَلْبابِ (190) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِياماً وَقُعُوداً وَعَلى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّماواتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنا مَا خَلَقْتَ هَذَا باطِلاً سُبْحانَكَ فَقِنا عَذابَ النَّارِ

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.’” (QS. Ali Imran: 190-191)

Dari ayat di atas, maka buah dari orang yang beramal tafakur ini, ia akan lebih terdorong untuk bersyukur dan memuji Allah. Mereka juga menjadi lebih mudah untuk beramal saleh.

Berjalan kaki memudahkan untuk bertafakur

Di antara kondisi yang memudahkan seseorang untuk bertafakur adalah dengan berjalan kaki. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,

أَفَلَمْ يَسِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَآ أَوْ ءَاذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ

“Maka, apakah mereka itu tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami (berpikir) atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar?” (QS. Al-Hajj: 46)

Allah Ta’ala juga befirman,

أَفَلَمْ يَسِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ فَيَنظُرُوا۟ كَيْفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۗ وَلَدَارُ ٱلْءَاخِرَةِ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ ٱتَّقَوْا۟ ۗ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

“Maka, tidakkah mereka berjalan di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul) dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka, tidakkah kamu memikirkannya?” (QS. Yusuf: 109)

Begitu pula yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, di mana beliau seringkali berjalan kaki. Oleh karenanya, banyak hadis terkait adab-adab berjalan kali sesuai sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan,

وَلَا رَأَيْتُ شَيْئًا أَحْسَنَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَأَنَّ الشَّمْسَ تَجْرِي فِي وَجْهِهِ، وَمَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَسْرَعَ فِي مِشْيَتِهِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَأَنَّمَا الْأَرْضُ تُطْوَى لَهُ إِنَّا لَنُجْهِدُ أَنْفُسَنَا وَإِنَّهُ لَغَيْرُ مُكْتَرِثٍ

“Tidak pernah aku melihat orang yang lebih tampan, selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seakan-akan matahari bersinar di wajahnya. Dan aku tidak pernah melihat orang yang lebih cepat dalam berjalan, selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seakan-akan bumi dilipat bagi beliau, bahkan kami harus bersungguh-sungguh (jika berjalan bersama beliau) dan beliau bukan orang yang cuek.” (HR. At-Tirmidzi dalam Asy-Syamail Al-Muhammadiyyah, no. 118)

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَشَى، مَشَى مَشْيًا مُجْتَمِعًا يُعْرَفُ أَنَّهُ لَيْسَ بِمَشْيِ عَاجِزٍ وَلا كَسْلانَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika berjalan, beliau berjalan dengan enerjik, sehingga sangat terlihat bahwa beliau bukan orang yang lemah dan juga bukan orang yang malas.” (HR. Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, lihat Silsilah Ash-Shahihah, no. 2140)

Bahkan, ada beberapa ibadah yang dituntunkan dengan berjalan kaki, seperti halnya tawaf dan sa’i. Demikian pula, dalam menempuh ibadah dengan berjalan kaki, maka Allah akan berikan ganjaran yang besar.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللهُ بِهِ الْخَطَايَا، وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ؟ قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ، وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ، وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ

“Maukah kalian aku tunjukkan kepada suatu amal yang dapat menghapus kesalahan (dosa) dan meninggikan derajat?” Para sahabat menjawab, ”Ya, wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda, ”(Yaitu) menyempurnakan wudu dalam kondisi sulit, memperbanyak langkah menuju masjid, menunggu salat setelah mendirikan salat. Itulah ar-ribath (kebaikan yang banyak).” (HR. Muslim no. 251)

Dari riwayat-riwayat di atas menjadikan motivasi bagi kita untuk memperbanyak berjalan kaki sembari merenungkan ciptaan dan kekuasaan Allah. Mari jadikan setiap langkah kita sebagai pahala dengan memperbanyak tafakur dan zikir kepada-Nya, karena kelak bumi juga akan menjadi saksi atas perbuatan yang kita lakukan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca ayat,

يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا

“Pada hari itu bumi menceritakan beritanya.” (QS. Al-Zalzalah : 4)

Rasul lalu bertanya kepada para sahabat, “Apakah kalian tahu apa yang diceritakan oleh bumi?”

Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.”

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ أَخْبَارَهَا أَنْ تَشْهَدَ عَلَى كُلِّ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ بِمَا عَمِلَ عَلَى ظَهْرِهَا أَنْ تَقُولَ عَمِلَ كَذَا وَكَذَا يَوْمَ كَذَا وَكَذَا قَالَ فَهَذِهِ أَخْبَارُهَا

“Sesungguhnya yang diberitakan oleh bumi adalah bumi menjadi saksi terhadap semua perbuatan manusia, baik laki-laki maupun perempuan yang telah mereka perbuat di muka bumi. Bumi itu akan berkata, ‘Manusia telah berbuat begini dan begitu, pada hari ini dan hari itu.’ Inilah yang diberitakan oleh bumi.” (HR. Tirmidzi no. 2429)

Semoga kita dimudahkan untuk senantiasa bertafakur dan mengambil hikmah dari setiap langkah perjalanan yang kita tempuh.

***

Penulis: Arif Muhammad N.

Artikel: Muslim.or id

Referensi:

A’malul Qulub, Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah

Sumber: https://muslim.or.id/91780-anjuran-berjalan-kaki-untuk-bertafakur.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

“Beragama Itu yang Biasa-Biasa Saja”

Salah satu ucapan yang sering terdengar ketika sedang membahas topik agama adalah “beragama itu biasa saja”, “beragama yang normal saja”, “beragama sesuai tabiat manusia”, dan lain sebagainya. Seringkali, ucapan seperti ini terlontar untuk menjustifikasi atau menganggap benar suatu perbuatan, atau mencela suatu perilaku dan menjelaskan letak kekeliruannya.

Untuk itu, mari kita bedah ucapan ini dan kita tinjau ulang konsep beragama secara biasa ini.

Apa maksud dari konsep beragama secara biasa?

Meski ucapan seperti ini sering terdengar, tetapi hampir tidak pernah bisa kita dapati ada yang dapat menjelaskan maksudnya. Sehingga, atas dasar apa sesuatu itu disebut sebagai perilaku beragama biasa? Atau suatu perilaku keluar dari standar beragama biasa?

Terlebih, jika ucapan tersebut menjadi suatu patokan atau kaidah menilai suatu perbuatan. Sehingga, ucapan itu bukan sekadar kata-kata atau istilah, tetapi berubah menjadi standar yang digunakan masyarakat untuk menghakimi suatu hal. Orang-orang pun dapat menolak, menerima, menyukai, dan memperbolehkan sesuatu berdasarkan sifat “biasa”, “normal”, dan “sesuai tabiat manusia”. Maka, sebelum kita menjadikan ucapan semacam itu sebagai sebuah dalil pembenaran, mari berpikir sejenak, “Dasar apa yang dipakai untuk menilai sesuatu itu biasa, normal, sesuai tabiat manusia?”

Sayangnya, pertanyaan demikian tidak pernah terlintas di benak “mereka” yang biasa menggunakannya. Padahal, ucapan semacam itu sering digunakan untuk menganggap benar suatu opini atau perilaku dan menolak perintah agama. Hal seperti ini merupakan suatu bentuk ketidakilmiahan dalam bersikap. Alih-alih menelusuri ucapan-ucapan semacam itu, lalu ia analisis dan kembalikan kepada kaidah dan usul syariat, malah ucapan itulah yang menjadi kaidah untuk menghakimi kaidah dan usul syariat.

Kemungkinan maksud “beragama secara biasa”

Jika dikatakan pola beragama tertentu adalah biasa atau normal, bisa jadi maknanya beragama yang pertengahan, tidak berlebihan dan tidak menambah-nambah hukum syariat. Normal, biasa, dan sesuai fitrah manusia. Maknanya, ia sesuai dengan dalil-dalil syariat, tidak terpengaruh faktor-faktor baru yang melenceng dari agama. Sehingga, maksud pengucap adalah membedakan antara beragama yang terpengaruh dengan faktor tertentu dan beragama yang sesungguhnya, yaitu yang sesuai syariat dan bebas dari pengaruh eksternal. Yang demikian, berarti maksud pengucap adalah kembali ke beragama yang sesuai syariat.

Berdasarkan maksud tersebut, maka beragama secara biasa dan normal hakikatnya adalah beragama mengikuti syariat dan tidak menyelisihi hukum syariat.

Jika maksudnya demikian, maka itu adalah maksud yang sangat bagus. Sebab, berisi penekanan terhadap kaidah manhaj yang sangat penting, yaitu kembali kepada dalil-dalil di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya ﷺ.

Hanya saja, ada suatu keganjilan dalam penamaan istilah beragama secara biasa, normal, dan sesuai tabiat manusia. Sebab, penamaan tersebut memiliki ambiguitas dan kerancuan makna. Sehingga, hal yang perlu diperhatikan betul di sini adalah penekanan bahwasanya wajib bagi yang menggunakan istilah seperti ini agar menjadikan kritik yang ia tujukan kepada suatu pemikiran atau suatu pendapat yang dibangun di atas status pemikiran atau pendapat itu, apakah menyelisihi syariat atau tidak; dan juga ia harus memiliki niat yang tulus untuk mengajak manusia kembali ke syariat agama Islam.

Syarat agar seseorang bisa menggunakan kalimat semacam ini

Agar seseorang tepat dalam menggunakan istilah semacam ini, maka harus memperhatikan dua hal ini:

Pertama: Orang yang mengucapkan harus benar-benar memastikan ajakannya adalah benar-benar bagian dari syariat

Sehingga, ia tidak memberikan ilusi seolah ia mengajak kepada syariat, padahal bukan dari syariat. Sehingga, ia memasukkan unsur-unsur adat, budaya, atau konstruksi sosial ke dalam agama, dengan sangkaan hal-hal tersebut bagian dari agama. Namun, hal ini bukan berarti adat atau kebiasaan disingkirkan secara mutlak. Akan tetapi, tidak dibenarkan seseorang mengangkatnya ke level hukum syariat, lalu ia ajak orang lain melakukan adat itu, karena menganggapnya bagian dari hukum syariat Islam.

Kedua: Orang yang mengucapkan tidak mengajak kepada hal yang menyelisihi syariat dengan klaim beragama secara biasa

Jika ajakan beragama secara biasa menyelisihi syariat atau menolak sesuatu yang diperintahkan syariat, maka tidak boleh mengklaim beragama secara biasa dengan maksud beragama mengikuti syariat. Karena, hakikatnya ia mengajak orang lain melakukan sesuatu yang menyelisihi syariat. Contoh: Beberapa orang menolak atau menganggap enteng kewajiban mengenakan hijab, menjaga salat lima waktu di masjid, dan menjaga amalan-amalan sunah dengan klaim hal-hal itu terlalu fanatik dan berlebihan. Sebab, bagi dia “beragama itu yang biasa-biasa saja.” Jika seperti itu, maka klaim beragama yang biasa hakikatnya adalah bermaksiat kepada Allah Ta’ala.

Dengan memahami dua hal di atas, kita akan memahami celah kekeliruan dari ucapan-ucapan semacam itu. Sebab, bagi pengucapnya, memenuhi hal-hal yang wajib dan menjauhi hal-hal yang haram adalah tanda-tanda beragama yang fanatik, berlebihan, atau ekstrim. Kemudian, apabila kita dakwahi si empunya ucapan, dia mengelak, “Jadi orang jangan baper, santai aja ngomongin urusan begini.”

Sebab kemunculan ucapan semacam ini

Pola pikir semacam ini muncul ketika beragama secara biasa ala mereka didasari hal-hal yang biasa mereka lakukan atau perilaku-perilaku yang tersebar di masyarakat. Maka, apabila seseorang terbiasa bertransaksi ribawi, menganggap enteng menutup aurat, terlalu “toleran” dalam masalah menundukkan pandangan, bermudah-mudahan dalam berinteraksi dengan lawan jenis, mendengarkan musik, maka standar normal bagi dia tidaklah patut dinormalisasi. Kita harus tetap menganggap hal-hal tersebut sebagai hal yang serius. Sebab, hukum Allah tidak mengalami pembaruan. Tidak pula menghalalkan yang haram hanya karena alasan sudah menjadi budaya yang tersebar. Demikianlah, Allah Ta’ala sudah memperingatkan,

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِى ٱلْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan.” (QS. Al-An‘ām: 116)

Sehingga, menganggap suatu pola beragama tertentu sebagai berlebihan karena menyelisihi kebiasaan masyarakat adalah anggapan yang keliru. Sebab, Allah sendirilah yang telah memberi tahu bahwa mayoritas manusia di muka bumi tidak berada di atas kebenaran.

Imam Malik rahimahullah juga pernah berkata ketika menjelaskan standar kebenaran, mana yang harusnya menjadi patokan,

كُلُّ أَحَدٍ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُرَدُّ إِلا صَاحِبَ هَذَا الْقَبْرِ ﷺ

Setiap orang ucapannya dapat diterima atau ditolak, kecuali pemilik kubur ini (yaitu Rasulullah).[1]

Di dalam Ensiklopedia Akidah (Al-Mawsū‘ah Al-‘Aqā’idiyyah) dorar.net, juga dijelaskan bahwa salah satu kaidah dalam mengetahui kebenaran adalah

الحقُّ ما وافق الدَّليلَ من غيرِ التفاتٍ إلى كثرةِ المُقبِلينَ، أو قِلَّة المعرِضينَ؛ فالحَقُّ لا يوزَن بالرِّجالِ، وإنَّما يوزَن الرِّجالُ بالحَقِّ، ومجرَّدُ نُفورِ النَّافِرينَ، أو محبَّةُ الموافِقينَ لا يدُلُّ على صِحَّةِ قَولٍ أو فسادِه.

Kebenaran dinilai berdasarkan kesesuaiannya dengan dalil, bukan banyaknya orang yang menerima atau sedikitnya orang yang menolak. Sebab, kebenaran tidak ditimbang berdasarkan opini seseorang. Akan tetapi, opini seseorang yang perlu ditimbang dengan kebenaran. Ketiadaan orang yang menerima kebenaran atau cintanya orang-orang “munafik” terhadap suatu hal, tidak membuat suatu ucapan menjadi benar atau salah.[2]

Kesimpulan

Jangan sampai kita menjadikan hawa nafsu kita sebagai pijakan dalam menilai suatu perbuatan. Sehingga, sesuatu yang memang bagian dari ajaran Islam disebut fanatik atau berlebihan. Apalagi, jika ucapan tersebut terlontar ketika melihat teman atau saudaranya mulai berhijrah memperbaiki dirinya dengan menjalankan syariat Islam dan mempelajari agama dengan serius. Kepada orang-orang demikian, kami katakan sebagaimana yang Allah firmankan,

أَفَنَجْعَلُ ٱلْمُسْلِمِينَ كَٱلْمُجْرِمِينَ مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ أَمْ لَكُمْ كِتَـٰبٌۭ فِيهِ تَدْرُسُونَ إِنَّ لَكُمْ فِيهِ لَمَا تَخَيَّرُونَ

Apakah patut Kami memperlakukan orang-orang (menjalankan syariat) Islam itu seperti orang-orang berdosa? Ada apa dengan kalian? Bagaimana kalian membuat keputusan? Atau apakah kalian mempunyai kitab yang kalian baca? Sehingga kalian bisa memiliki apa pun yang kalian pilih?” (QS. Al-Qalam: 35-38)

Sehingga, sikap yang tepat manakala melihat seseorang yang rajin beribadah dan menuntut ilmu adalah:

Pertama: Berusaha menjadi sepertinya

Kedua: Apabila tidak mampu, maka berdoa agar menjadi sepertinya

Ketiga: Apabila masih tidak mampu, maka paling tidak jangan nyinyir atau merendahkannya dengan berucap, “Beragama yang biasa-biasa saja to.

Sebab, kalau sudah berani mengucapkan perkataan seperti itu, maka bisa dipastikan, si empunya ucapan tidak mempunyai penghormatan terhadap ajaran Islam atau kurang ilmu, tetapi tidak berusaha mencerdaskan diri, sehingga menjadi angkuh dengan sedikit ilmu yang ia miliki. Maka, jadilah orang yang rendah hati seperti yang dikatakan Imam Syafi‘i rahimahullah,

أحب الصالحين ولست منهم لَعَلّي أَن أَنالَ بِهِم شَفاعَه

Aku mencintai orang-orang saleh, meskipun aku bukan bagian dari mereka. Semoga dengan membersamai mereka, aku mendapat syafaat.[3]

***

Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho

Artikel: Muslim.or.id

Sumber:

Diintisarikan dari kitab Zukhruf Al-Qaul pada Bab 30 dengan judul Al-Tadayyun Al-Ṭabī‘i dengan beberapa tambahan.

Catatan kaki:

[1] As-Sakhāwi. 1985. Al-Maqāṣid Al-Hasanah fī Bayāni Kaṣīrin min Al-Ahādīṣ Al-Musytahirah ’alā Al-Alsinah. Beirut: Dār Al-Kitāb Al-‘Arabi. Hlm. 513

[2] https://dorar.net/aqeeda/149/المبحث-الخامس-من-قواعد-الرد-على-المخالفين-الحق-لا-يعرف-بالرجال،-فإذا-عرف-الحق-عرف-أهله

[3] https://www.aldiwan.net/poem24674.html

Sumber: https://muslim.or.id/92189-beragama-itu-yang-biasa-biasa-saja.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Niat Puasa Ramadhan

Berikut ini niat puasa Ramadhan. Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap umat Muslim yang memenuhi syarat. Puasa Ramadhan adalah menahan diri dari makan, minum, dan segala hal yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari.

Niat adalah salah satu syarat sah puasa Ramadhan. Niat puasa Ramadhan harus dilakukan dengan ikhlas dan murni karena Allah SWT. Niat puasa Ramadhan bisa dilakukan di malam hari sebelum terbit fajar atau di pagi hari sebelum matahari terbit.

Nah berikut niat puasa Ramadhan;

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i fardhi syahri Ramadhāna hādzihis sanati lillāhi ta‘ālā

Artinya, “Aku berniat puasa esok hari demi menunaikan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah ta’ala.”

Selanjutnya, jika khawatir lupa niat puasa, maka Imam Malik memberikan solusi dengan sekali niat selama Ramadhan. Niat ini bermanfaat bagi orang yang kahwatir tidak bisa berniat tiap malam atau ketika sahur. Ini niatnya;

‎نَوَيْتُ صَوْمَ جَمِيْعِ شَهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ تَقْلِيْدًا لِلْإِمَامِ مَالِكٍ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma jami’i syahri Ramadhana hādzihis sanati lillāhi ta‘ālā

Artinya: “Aku niat berpuasa di sepanjang bulan Ramadhan tahun ini dengan mengikuti Imam Malik, fardhu karena Allah Taala”

Keutamaan Puasa Ramadhan

Bulan Ramadhan, bulan penuh berkah dan ampunan, telah tiba di ambang pintu. Umat muslim di seluruh dunia bersiap-siap menyambut kedatangannya dengan hati berdebar dan jiwa yang dipenuhi harapan. Puasa Ramadhan, inti dari bulan suci ini, bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, melainkan menuntun kita pada perjalanan spiritual yang mendalam.

Dalam fikih, ulama mewajibkan puasa bagi orang yang beriman. Inti dari puasa Ramadhan adalah taqwa, kesadaran diri yang berakar kuat dalam takut dan patuh kepada Allah SWT. Puasa bukan sekadar menahan diri dari konsumsi makanan dan minuman, namun juga mengekang hawa nafsu, amarah, dan segala sesuatu yang menjauhkan kita dari nilai-nilai Islam.

Allah berfirman;

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

Artinya; Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

Lebih lanjut, puasa juga melatih kesabaran, melatih empati kepada kaum yang kurang mampu, dan melatih disiplin diri. Menahan lapar dan haus sepanjang hari membangkitkan kesadaran atas nikmat yang selama ini seringkali kita anggap remeh.

Pada sisi lain, orang yang melakukan puasa akan di angkat derajatnya oleh Allah swt. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam;

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتْ الشَّيَاطِينُ

Artinya; “Ketika bulan Ramadhan telah datang, maka pintu-pintu syurga di buka, pintu-pintu neraka di tutup, dan setan-setan di belenggu”. (HR. Bukhari dan Muslim)

BINCANG SYARIAH

“Kamu Mama Masukkan Ke Sekolah Katolik, Jadinya Kok Malah Masuk Islam”

Didiamkan ibu selama 4 bulan, bagaimana rasanya? Pastilah sangat tidak enak. Itulah yang dirasakan Hilarius Arya Budi Pradana. Gara-garanya Arya masuk Islam. Ibunya sangat kecewa. Karena itulah dia tak menyapa putra sulungnya ini.

“Kamu Mama masukkan ke sekolah Katolik agar tidak menyimpang, kok jadinya malah masuk Islam,” begitu kata ibunya, dikutip Arya saat ditemui di Better Youth Surabaya beberapa waktu lalu.

Arya berasal dari keluarga Katolik taat. “Bahkan boleh dibilang orangtua saya aktivis gereja,” tambah Arya. Tak heran bila sejak kecil hingga kuliah Arya selalu dimasukkan ke sekolah Katolik. Setelah lulus SMA malah ditawari masuk sekolah teologi. “Cuma saya tidak mau,” ujar Arya.

Meski selalu di sekolah Katolik, alih-alih menjadi umat yang taat. Justru muncul banyak pertanyaan di benak Arya, menyangkut ajaran agamanya. Hingga sampai pada satu titik tak percaya lagi pada Tuhan. “Saya athies. Pokoknya hidup ya hidup, gitu saja” ujarnya. Soal bagaimana kehidupan setelah mati, Arya mengaku masa bodoh.

Perkenalannya dengan Islam dimulai Ketika Arya bikin skripsi di sebuah universitas Katolik di Surabaya jurusan komunikasi. Tentang apakah skripsinya? Mengapa ia kemudian pindah agama? Setelah bersyahadat, bagaima pula ia menaklukan hati mamanya?

Maaf, silakan klik di sini jika ingin tahu jawabannya

HIDAYATULLAH

Fikih Wakaf (Bag. 5): Bolehkah Wakaf Sementara dan Tidak Selamanya?

Terdapat sebuah fenomena di mana sebagian orang ingin mewakafkan hartanya dan berkontribusi dalam kegiatan keagamaan, dakwah, pendidikan, kemanusiaan, sosial, dan ekonomi dengan membolehkan hartanya dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan wakaf. Namun, di sisi lain ia tidak ingin kepemilikan harta tersebut lepas selamanya dari dirinya atau membatasi waktu diperbolehkannya harta tersebut untuk digunakan. Setelah habis masa waktunya, harta wakaf tersebut kembali kepada dirinya.

Apakah hal semacam ini diperbolehkan? Dengan kata lain, bolehkah seseorang mewakafkan hartanya sementara saja dan tidak selamanya?

Wakaf yang disepakati ulama akadnya adalah akad lazim [1]

Para ulama sepakat bahwa sebuah akad wakaf menjadi akad yang lazim pada beberapa kondisi berikut ini:

Pertama: Objek yang diwakafkan berupa masjid atau tanah yang akan dibangun di atasnya masjid. Dalam kasus ini pihak waqif tidak diperkenankan untuk membatalkan akad yang telah dilakukannya tersebut dan objek tersebut selamanya menjadi harta wakaf (sudah tidak berada di bawah kepemilikan waqif).

Kedua: Wakaf yang muncul dalam bentuk wasiat, yaitu tatkala seseorang mengaitkan wakafnya dengan kematiannya. Contohnya adalah ucapan seseorang, “Jika aku meninggal dunia, aku jadikan rumahku wakaf untuk rumah tahfiz.” Pada kasus semacam ini, wakafnya menjadi akad lazim dan berlaku di dalamnya hukum-hukum wasiat.

Ketiga: Apabila pemerintah memutuskan dan menetapkan bahwa wakafnya tersebut menjadi wakaf lazim. Hal ini seringkali terjadi ketika terjadi sebuah sengketa antara pihak keluarga waqif dengan pihak pengelola wakaf tersebut. Keputusan pemerintah dalam perkara ijtihad diperbolehkan dan harus dilaksanakan. Keputusan tersebut juga akan menyelesaikan perseteruan dan persengketaan yang terjadi. Sebagaimana keputusan pemerintah dalam permasalahan-permasalahan yang diperselisihkan lainnya.

Keempat: Apabila waqif bertekad kuat menyerahkan objek wakafnya tersebut untuk Allah Ta’ala. Seperti seseorang yang mengucapkan, “Wakafku ini tidak boleh diperjualbelikan, diberikan kepada orang lain, ataupun diwariskan.” Sebagaimana hal ini juga diucapkan oleh Umar bin Khattab di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan ucapannya tersebut, wakaf yang dilakukannya menjadi wakaf lazim berdasarkan syarat yang diajukan pihak waqif tatkala melangsungkan akadnya. Hal ini sejalan dengan kaidah,

شرط الواقف كنصِّ الشارع

“Syarat yang diajukan oleh pewakaf layaknya dalil nash dari syariat.”

Wakaf yang tidak disepakati oleh ulama

Adapun yang masih diperselisihkan hukumnya oleh para ulama adalah kondisi-kondisi selain yang telah kita sebutkan di atas. Apakah dihukumi wakaf dengan akad lazim di mana harta yang diwakafkan otomatis keluar dari kepemilikannya, ataukah wakaf boleh dan sah jika diniatkan untuk dilakukan hanya sementara saja?

Berikut ini adalah penjelasan permasalahan tersebut.

Pendapat ulama perihal adakah wakaf sementara

Pendapat pertama

Mayoritas ulama fikih berpendapat bahwa wakaf harus selamanya. Hal ini bahkan dijadikan syarat sahnya wakaf. Karena itulah yang sesuai dengan makna wakaf. Inilah pendapat yang diambil oleh Imam Syafi’i, begitu pula dengan Imam Ahmad. Bahkan, mereka menyaratkan bahwa wakaf harus selamanya secara mutlak tanpa dibatasi waktu.

Pendapat mayoritas ulama ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini:

Pertama, hadis yang menjelaskan wakaf Umar radhiyallahu ‘anhu di mana anak beliau, Ibnu Umar, mengisahkan,

أَنْ عُمَرَ بنَ الخَطَّابِ أصابَ أرْضًا بخَيْبَرَ، فأتَى النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فيها، فقالَ: يا رسولَ اللَّهِ، إنِّي أصَبْتُ أرْضًا بخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مالًا قَطُّ أنْفَسَ عِندِي منه، فَما تَأْمُرُ بهِ؟ قالَ: إنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أصْلَها، وتَصَدَّقْتَ بها قالَ: فَتَصَدَّقَ بها عُمَرُ، أنَّه لا يُباعُ ولا يُوهَبُ ولا يُورَثُ، وتَصَدَّقَ بها في الفُقَراءِ، وفي القُرْبَى وفي الرِّقابِ، وفي سَبيلِ اللَّهِ، وابْنِ السَّبِيلِ، والضَّيْفِ لا جُناحَ علَى مَن ولِيَها أنْ يَأْكُلَ مِنْها بالمَعروفِ، ويُطْعِمَ غيرَ مُتَمَوِّلٍ

”Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu mendapat bagian lahan di Khaibar, lalu dia menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta pendapat beliau tentang tanah lahan tersebut dengan berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku mendapatkan lahan di Khaibar di mana aku tidak pernah mendapatkan harta yang lebih bernilai selain itu. Maka, apa yang engkau perintahkan tentang tanah tersebut?’ Maka, beliau bersabda, ‘Jika kamu mau, kamu tahan (pelihara) pepohonannya, lalu kamu dapat bersedekah dengan (hasil buah)nya.’” Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Maka, ‘Umar menyedekahkan, di mana tidak dijualnya, tidak dihibahkan, dan juga tidak diwariskan, namun dia menyedekahkannya untuk para fakir, kerabat, untuk membebaskan budak, fii sabilillah, ibnu sabil, dan untuk menjamu tamu. Dan tidak ada dosa bagi orang yang mengurusnya untuk memakan darinya dengan cara yang makruf (benar) dan untuk memberi makan orang lain, bukan bermaksud menimbunnya.” (HR. Bukhari no. 2737 dan Muslim no. 1632)

Hadis tersebut menggunakan kalimat “habs al-ashli” (kamu tahan (pelihara) pepohonannya) dan “la yuba’u wala yuhabu wala yurasu” (tidak dijualnya, tidak dihibahkan, dan juga tidak diwariskan). Penggunaan kalimat habs al-ashli menunjukkan tempo selamanya. Jika harta wakaf boleh kembali menjadi milik waqif, maka ini tidak bisa disebut dengan wakaf, sebab hakikat wakaf meniadakan pembatasan waktu. Begitu pula, kalimat la yuba’u wala yuhabu wala yurasu jelas menunjukkan bahwa akad wakaf adalah akad lazim, karena waqif tidak boleh menjualnya, menghibahkannya, dan mewariskannya.

Kedua, semua wakaf yang dilakukan sahabat dan tabiin adalah wakaf selamanya (tidak ada yang bersifat sementara).

Ketiga, wakaf sementara menyelisihi makna sebenarnya dari ibadah wakaf.

Pendapat kedua

Imam Malik berpendapat bahwa wakaf tidak harus selamanya, dibolehkan juga wakaf sementara. Menurut Imam Malik wakaf sementara hukumnya sah, baik dibatasi dengan tahun atau dibatasi dengan selain tahun, tetapi memiliki batas akhir.

Pendapat ini berdasarkan beberapa dalil:

Pertama, wakaf termasuk sedekah, sedangkan sedekah boleh untuk selamanya dan boleh juga bersifat sementara. Tidak boleh membedakan wakaf dengan jenis sedekah lainnya hanya karena tidak ada dalilnya. Baik wakaf selamanya maupun wakaf sementara, keduanya merupakan bentuk sedekah di jalan kebaikan sehingga keduanya diperbolehkan.

Kedua, hadis yang menjelaskan wakaf Umar radhiyallahu ‘anhu (sebagaimana telah kita sebutkan di atas), menggunakan kalimat yang menunjukkan selamanya. Hanya saja bukan berarti bahwa yang bukan selamanya, tidak boleh. Karena di dalam hadis tersebut, juga terdapat lafaz yang berbunyi, “in syi’ta” (jika engkau menghendaki). Lafaz tersebut menunjukkan bahwa perbuatan wakaf diserahkan pilihannya kepada waqif, tidak ada ketentuan wakaf itu dalam satu bentuk atau cara tertentu. Sehingga boleh diniati selamanya ataupun sementara.

Manakah pendapat yang lebih kuat?

Pertama-tama, harus kita ketahui bersama bahwa hukum asal wakaf adalah abadi dan selamanya. Hanya saja, diperbolehkan untuk menjadikan wakaf sebagai wakaf sementara apabila pihak waqif menyebutkan dengan jelas batas waktunya. Wallahu a’lam bisshawab inilah pendapat yang insyaAllah lebih mendekati kebenaran.

Dengan penyebutan batas waktu tersebut, kepemilikan objek wakaf nantinya akan kembali kepada pemiliknya/waqif setelah habis batas waktunya.

Di dalam Kitab Fikih Muyassar, juga disebutkan,

“Hukum asal wakaf adalah permanen dan selamanya. Akan tetapi, boleh bersifat sementara dengan memberikan batas waktu tertentu. Dan di dalam penetapan bolehnya wakaf sementara bukanlah termasuk bentuk pembebanan sesuatu yang tidak ada sumbernya dari syariat. Karena wakaf merupakan salah satu bentuk sedekah dan kebaikan, sedangkan sedekah sangat ditekankan untuk dilakukan dalam ajaran Islam ini. Di sebagian riwayat (yang menganjurkan sedekah) berbunyi dengan lafaz, ‘Tashaddaq’ (bersedekahlah), lafaz ini umum, mencakup sedekah yang bersifat permanen/ selamanya dan juga yang bersifat sementara. (Mengambil pendapat ini) juga mengandung motivasi untuk terus berbuat kebaikan, sedangkan pendapat yang melarang wakaf sementara, maka ini termasuk bentuk menutup pintu kebaikan dan kedermawanan. Karena tidak semua orang menghendaki wakaf secara permanen dan selamanya, sedangkan syariat senantiasa mengajak umatnya untuk berbuat kebaikan dan kebajikan. Wakaf sementara merupakan bentuk kebaikan dan kedermawanan, maka hal itu tidaklah terlarang.” (Fikih Muyassar, 6: 245)

Bagaimana dengan sistem Undang-Undang di negeri kita?

Di dalam pasal 1 Undang-Undang no. 41 tahun 2004 disebutkan,

“Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.”

Kalimat jangka waktu tertentu dalam pengertian wakaf tersebut maksudnya adalah wakaf sementara. Dari sini, dapat kita ketahui bahwa hukum di negeri kita mengambil pendapat bolehnya wakaf sementara, terkhusus dalam objek harta benda bergerak seperti uang. Adapun harta benda tidak bergerak, seperti tanah bersertifikat hak milik dan tanah negara yang di atasnya berdiri bangunan masjid, musala, atau makam, maka harus diwakafkan selamanya atau untuk jangka waktu tidak terbatas. Wallahu A’lam bisshawab.

Kembali ke bagian 4: Status Kepemilikan Harta Wakaf

Lanjut ke bagian 6: [Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki: 

[1] Akad lazim adalah akad yang mengikat semua pihak yang terlibat, sehingga masing-masing pihak tidak punya hak untuk membatalkan akad, kecuali dengan kerelaan pihak yang lain.

Sumber: https://muslim.or.id/92324-fikih-wakaf-bag-5-bolehkah-wakaf-sementara-dan-tidak-selamanya.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Menyambut Ramadan, Bulan Penuh Kebaikan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila telah masuk Ramadan, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka Jahanam dikunci, dan setan-setan dirantai.” (Muttafaq ‘alaih)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Telah datang kepada kalian Ramadan, suatu bulan yang penuh dengan berkah. Allah mewajibkan kepada kalian untuk berpuasa di bulan itu. Pada bulan itu, pintu-pintu langit dibuka dan pintu-pintu neraka ditutup. Pada bulan itu, setan-setan yang bandel pun dibelenggu. Pada bulan itu, Allah memiliki suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Barangsiapa yang terhalang dari kebaikannya, maka sungguh dia telah terhalang dari kebaikan.” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i. Hadis dinyatakan jayyid oleh Syekh Al-Albani dalam Al-Misykat.)

Satu dua hari menjelang Ramadan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah kalian mendahului Ramadan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya. Kecuali bagi orang yang sedang menjalani puasa tertentu, maka silahkan dia melakukan puasa pada saat itu.” (Muttafaq ‘alaih)

Hadis ini menunjukkan tidak bolehnya melakukan puasa satu hari atau dua hari sebelum Ramadan dengan alasan untuk kehati-hatian. Dibolehkan puasa pada hari-hari itu hanya bagi orang yang punya kebiasaan puasa sunah (misal, senin-kamis atau puasa Daud) kemudian bertepatan dengan hari itu atau bagi orang yang punya utang puasa Ramadan atau punya nazar puasa. (lihat Al-Fiqh Al-Muyassar, hal. 166)

Syekh Abdullah Al-Bassam rahimahullah menjelaskan bahwa larangan dalam hadis ini secara lahiriah mengandung makna pengharaman. Meskipun demikian, sebagian ulama berpendapat bahwa hukumnya adalah makruh. Salah satu hikmah larangan ini adalah larangan sikap tanaththu’/berlebih-lebihan dalam beragama dan larangan dari melampaui batas-batas ketentuan yang telah diwajibkan oleh Allah Ta’ala. Adapun bagi orang yang memiliki utang puasa Ramadan atau puasa nazar, maka pada saat itu berpuasa bukan lagi keringanan baginya, akan tetapi menjadi sebuah kewajiban. Oleh sebab itu, dia wajib untuk berpuasa, karena menunaikan kewajiban lebih diutamakan daripada meninggalkan sesuatu yang makruh. (lihat Taudhih Al-Ahkam, 3:442, cet. Maktabah Al-Aidi)

Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan bahwa hadis ini mengandung bantahan bagi orang yang berpendapat bolehnya mendahulukan puasa sebelum ru’yah semacam kaum Rafidhah/Syi’ah. Selain itu, ia juga mengandung bantahan bagi orang yang membolehkan puasa sunah muthlaq (puasa sunah tanpa sebab tertentu) pada hari-hari tersebut. (lihat Fath Al-Bari, 4: 151, cet. Dar Al-Hadits)

Menentukan masuknya bulan Ramadan dengan melihat hilal

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila kalian melihatnya (hilal Ramadan), maka berpuasalah. Dan apabila kalian melihatnya (hilal Syawal), maka berharirayalah. Apabila ia tertutup mendung atas kalian, maka kira-kirakanlah.” (Muttafaq ‘alaih)

Al-Maziri rahimahullah berkata, “Mayoritas fuqaha’/ahli fikih menafsirkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ‘maka kira-kirakanlah’ dengan maksud menyempurnakan bilangan menjadi tiga puluh hari sebagaimana ditafsirkan dalam hadis yang lain. Mereka mengatakan, ‘Tidak boleh dimaknakan bahwa yang dimaksud adalah dengan menggunakan hisab/perhitungan para ahli perbintangan. Karena seandainya umat manusia dibebani dengan cara itu, niscaya akan menyulitkan bagi mereka. Sebab, tidak ada yang mengetahuinya, kecuali beberapa gelintir orang saja. Padahal, syariat itu diperkenalkan kepada umat manusia hanya melalui hal-hal yang bisa dimengerti oleh kebanyakan orang di antara mereka, wallahu a’lam.” (lihat Syarh Muslim, 4: 415)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Mereka (jumhur ulama) mengatakan, ‘Maksud sabda beliau ‘kira-kirakanlah’ artinya perhatikanlah pada awal bulan dan hitung bulan itu sempurna menjadi tiga puluh hari. Penafsiran ini diperkuat oleh riwayat-riwayat lain yang secara tegas menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah sebagaimana keterangan dalam sabda beliau, “maka, sempurnakanlah bilangannya menjadi tiga puluh hari” atau riwayat lain yang serupa. Dan cara paling tepat dalam menafsirkan suatu hadis adalah dengan melihat kepada hadis pula.” (lihat Fath Al-Bari, 4: 142)

Apabila hilal tidak tampak karena tertutup awan atau semacamnya

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berpuasalah ketika sudah melihatnya (hilal Ramadan) dan berharirayalah ketika sudah melihatnya (hilal Syawal). Apabila ia terhalang dari pandangan kalian karena asap/awan, sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh.” (Muttafaq ‘alaih)

Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Berdasarkan hadis-hadis ini, jelaslah bahwasanya tidak boleh dilakukan puasa Ramadan sebelum tampaknya hilal. Apabila hilal belum terlihat, maka bulan Sya’ban disempurnakan menjadi tiga puluh hari. Dan tidak boleh dilakukan puasa pada tanggal tiga puluhnya, sama saja apakah malamnya langit cerah ataupun mendung. Hal ini berdasarkan ucapan ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ’anhu, ‘Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan, maka sesungguhnya dia telah durhaka kepada Abul Qasim shallallahu ‘alaihi wasallam.’ (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i. Bukhari juga menyebutkannya secara mu’allaq/tanpa sanad).” (lihat Majalis Syahri Ramadhan, hal. 17 cet. Dar Al-‘Aqidah)

Tidak boleh puasa pada hari yang diragukan

Dari ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ’anhuma, beliau berkata, “Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan (yaitu, tanggal 30 Sya’ban saat malam harinya tertutup mendung, pent), maka dia telah durhaka kepada Abul Qasim (Nabi) shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Tirmidzi berkata, “Hadis hasan sahih.”)

Imam Tirmidzi rahimahullah berkata, “Inilah yang diamalkan oleh kebanyakan para ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para tabiin sesudah mereka. Pendapat ini pula yang dipegang oleh Sufyan Ats-Tsauri, Malik bin Anas, Abdullah bin Al-Mubarak, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. Mereka membenci apabila seseorang berpuasa pada hari yang diragukan….” (lihat Sunan At-Tirmidzi, hal. 172)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan diharamkannya berpuasa pada hari yang diragukan, karena seorang sahabat tidak mungkin mengucapkan hal itu semata-mata berdasarkan hasil pemikirannya. Oleh sebab itu, hadis ini dihukumi marfu’ (sebagaimana sabda nabi).” (lihat Fath Al-Bari, 4: 141)

Berpuasa dan berhari raya bersama pemerintah

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Puasa adalah hari di saat kalian bersama-sama puasa, sedangkan hari raya adalah di saat kalian berhari raya, dan Iduladha adalah hari tatkala kalian menyembelih kurban.” (HR. Tirmidzi disahihkan oleh Syekh Al-Albani)

Imam Tirmidzi mengatakan, “Sebagian ulama menafsirkan bahwa maksud hadis ini adalah bahwasanya puasa dan hari raya itu mengikuti jama’ah (pemerintah) dan kebanyakan orang.” (lihat Sunan At-Tirmidzi, hal. 174)

Dari Al-‘Aizar, dia menceritakan, “Aku datang kepada Ibrahim pada hari yang diragukan. Maka, dia berkata, ‘Barangkali kamu sedang puasa. Jangan puasa, kecuali bersama jama’ah (masyarakat dan pemerintah, pent).’” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf no.9585)

Dari Ja’far bin Sulaiman, dari Habib bin Asy-Syahid, bahwa Muhammad bin Sirin berkata, “Sungguh, aku berbuka sehari di bulan Ramadan dalam keadaan tidak sengaja lebih aku sukai daripada aku harus berpuasa pada hari yang diragukan pada bulan Sya’ban.” Ja’far mengatakan, Asma’ bin ‘Ubaid mengabarkan kepadaku. Dia berkata, “Kami datang kepada Muhammad bin Sirin pada hari yang diragukan. Kami pun berkata, ‘Apa yang harus kami lakukan?’ Maka, beliau berkata kepada pembantunya, ‘Pergilah, coba lihat apakah amir (penguasa) berpuasa atau tidak?’” Dia berkata, “Pada saat itu, yang menjadi amir adalah Adi bin Arthah. Kemudian dia kembali dan melapor, ‘Aku menjumpai beliau tidak berpuasa.’ Asma’ berkata, ‘Muhammad (Ibnu Sirin) meminta makanannya dihidangkan, lalu dia pun makan dan kami ikut makan bersamanya.’” (HR. Abdurrazzaq dalam Mushannaf)

Semoga bermanfaat.

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

Sumber: https://muslim.or.id/92332-menyambut-bulan-penuh-kebaikan.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Hari Perempuan Internasional; 7 Keutamaan Perempuan dalam Al-Qur’an dan Hadist

Hari Perempuan Internasional (IWD) diperingati setiap tanggal 8 Maret untuk merayakan pencapaian perempuan di berbagai bidang, seperti sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Hari ini juga menjadi seruan untuk bertindak guna mempercepat kesetaraan gender. 

Sejatinya, Hari Perempuan Internasional, yang dirayakan setiap tahun pada tanggal 8 Maret, merupakan momentum penting untuk memperingati pencapaian, memperjuangkan kesetaraan gender, serta menggugah kesadaran akan berbagai isu yang masih dihadapi oleh perempuan di seluruh dunia.

Selama perayaan Hari Perempuan Internasional ini, berbagai kegiatan dilakukan, termasuk diskusi, konferensi, dan demonstrasi untuk mengadvokasi hak-hak perempuan serta mendorong perubahan sosial yang lebih inklusif. Seiring dengan momentum ini, para aktivis, pemimpin, dan masyarakat secara luas bersatu untuk menghormati peran perempuan dalam membangun dunia yang lebih adil dan merata bagi semua.

Islam mengajarkan bahwa perempuan, mempunyai kedudukan yang sangat istimewa. Oleh karenanya perempuan muslimah haruslah menjaga harkat dan martabat mereka sebagai “Muslimah salihah”. Namun harus kita garis bawahi, bukan hanya dititikberatkan pada perempuan saja yang diharuskan menjaga diri mereka.

Namun kaum laki-laki pun dituntut untuk turut serta menjaga marwah para perempuan. Bahkan dalam hadist dan juga sejumlah ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang keutamaan seorang perempuan. Diantaranya sebagai berikut :

1. Perempuan solehah adalah perhiasan dunia

Islam menempatkan perempuan sebagai makhluk paling mulia yang harus dijaga. Allah SWT menciptakan perempuan beserta keindahannya dari ujung kepala hingga kaki. Keindahan itu bukan hanya menilai dari fisik saja, melainkan juga hati dan pikiran. Layaknya perhiasan, haruslah dijaga dan dirawat.

Sebuah hadist menyebutkan, “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah isteri yang shalihah.” (HR Muslim dari Abdullah bin Amr).

Selain itu Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa ayat 34:

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُۗ وَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًاۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا ۝٣٤

Artinya : Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya. Perempuan-perempuan saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka).

Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, berilah mereka nasihat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu,) pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan). Akan tetapi, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.

2. Perempuan adalah karunia, bukan musibah

Islam memandang perempuan adalah karunia Allah SWT. Bersamanya kaum laki-laki akan mendapatkan ketenangan lahir dan batin, dan mampu memberikan energi positif yang sangat bermanfaat, seperti rasa cinta, kasih sayang, dan motivasi hidup jika.

Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nahl ayat 72 :

وَاللّٰهُ جَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا وَّجَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَزْوَاجِكُمْ بَنِيْنَ وَحَفَدَةً وَّرَزَقَكُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِۗ اَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُوْنَ وَبِنِعْمَتِ اللّٰهِ هُمْ يَكْفُرُوْنَۙ ۝٧٢

Artinya : Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenis kamu sendiri, menjadikan bagimu dari pasanganmu anak-anak dan cucu-cucu, serta menganugerahi kamu rezeki yang baik-baik. Mengapa terhadap yang batil mereka beriman, sedangkan terhadap nikmat Allah mereka ingkar?

3. Perempuan solehah lebih baik dari pada bidadari di surga

Para bidadari surga akan kalah dari keistimewaan yang dimiliki oleh perempuan salihah yang ada di dunia. Segala bentuk amal yang dikerjakan oleh perempuan di dunia, inilah yang membuat perempuan lebih mulia dari para bidadari surga.

وفي الحديث أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إن الآدميات من نساء أهل الدنيا أفضل من الحور العين سبعين ألف ضعف

Artinya, “Dalam hadits disebutkan, Rasulullah SAW bersabda, ‘Perempuan berjenis manusia asal dunia lebih utama daripada para bidadari surga 70.000 kali lipat,’”

4. Perempuan diberi pengecualian dalam beribadah

Sebagai perempuan, tentu akan mengalami haid dan nifas, hal inilah yang menjadi pengecualian dari Allah SWT untuk tidak melaksanakan shalat atau puasa.

Rasulullah SAW telah bersabda: “Siapa saja wanita yg mengalami haid maka sakitnya haid yang mereka alami akan menjadi Kafaroh (tebusan) bagi dosa-dosanya yang terdahulu.

5. Perempuan yang hamil dan melahirkan setara dengan jihad

Pengorbanan luar biasa hidup dan mati seorang perempuan ketika hamil dan melahirkan disejajarkan dengan jihad. Sebuah hadist menyebutkan:

 “Mati syahid ada 7 selain yang terbunuh di jalan Allah, Orang yang mati karena thaun, syahid. Orang yang mati tenggelam, syahid. Orang yang mati karena ada luka parah di dalam perutnya, syahid. Orang yang mati sakit perut, syahid. Orang yang mati terbakar, syahid. Orang yang mati karena tertimpa benda keras, syahid. Dan wanita yang mati, sementara ada janin dalam kandungannya.” (HR. Abu Daud 3111).

6. Dapat masuk surga dari pintu manapun



Suatu bukti kasih sayang yang tidak terhingga dari Allah SWT kepada kaum perempuan yang dapat masuk surga dari pintu mana pun. Tetapi, Rasulullah SAW juga telah menjelaskan bahwa perempuan tersebut harus melaksanakan empat hal, yakni menunaikan salat 5 waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, jauhi zina, dan berbakti kepada suami.

Rasulullah SAW bersabda;

“إِذَا صَلَّتْ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا؛ قِيلَ لَهَا ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ”.

“Jika seorang wanita menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya; niscaya akan dikatakan padanya: “Masuklah ke dalam surga dari pintu manapun yang kau mau”. (HR. Ahmad).

“Jika seorang perempuan menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya; niscaya akan dikatakan padanya: “Masuklah ke dalam surga dari pintu manapun yang kau mau.” (HR. Ahmad)

7. Surga di bawah telapak kaki ibu

Semua tentu sudah mengetahuinya, bahwa dalam Islam diterangkan kalau surga berada di bawah telapak kaki ibu. Hal ini juga menjelaskan bahwa pentingnya berbakti dan menghormati seorang ibu. Sebagaimana hadits Nabi Muhammad yang riwayat imam Ibnu Majah dari Mu’awiyah bin Jahimah r.a:

عن معاوية ابن جاهمة قال: أتيتُ النبي صلى الله عليه وآله وسلم فقلت: يا رسول الله، إني كنت أردت الجهاد معك أبتغي بذلك وجه الله والدار الآخرة، قال: «وَيْحَكَ، أَحَيَّةٌ أُمُّكَ؟» قلت: نعم يا رسول الله، قال: «فارْجِعْ فَبَرَّهَا»، ثم أتيته من الجانب الآخر فقلت: يا رسول الله إني كنت أردت الجهاد معك أبتغي بذلك وجه الله والدار الآخرة، قال: «وَيْحَكَ، أَحَيَّةٌ أُمُّكَ؟» قلت: نعم يا رسول الله، قال‏:‏ «فارْجِعْ فَبَرَّهَا»، ثم أتيته من أمامه فقلت‏:‏ يا رسول الله إني كنت أردت الجهاد معك أبتغي بذلك وجه الله والدار الآخرة قال‏:‏ «وَيْحَكَ، الْزَمْ رِجْلَهَا، فَثَمَّ الْجَنَّة

Dari Mu’awiyah ibn Jahimah, ia berkata, “Aku datang kepada Nabi saw., lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh aku ingin berjihad bersamamu, aku mengharap dengannya ridha Allah dan rumah akhirat (surga).” Beliau pun bersabda, “Celakalah engkau, apakah ibumu masih hidup?” “Iya, wahai Rasulullah.” Jawabku. 

“Pulanglah, berbuat baiklah dengannya”. Kemudian aku menemuinya di arah sampinya seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh aku ingin jihad bersamamu, aku ingin dengannya meraih ridah Allah dan surga.” “Celakalah, apakah ibumu masih hidup?” ‘Iya wahai Rasulullah” “Pulanglah, berbuat baiklah dengannya.

” Lalu aku mendatanginya dari arah depan, aku berkata, “Wahai Rasulullah sungguh aku ingin berjihad bersamamu, aku ingin dengannya meraih ridha Allah dan surga.” Beliau bersabda, “Celakalah, menetaplah di kakinya, maka surga ada di sana.”

Dari Musa bin Muhammad bin ‘Atha’, Abu Al-Malih, Maimunah, dari Ibnu ‘Abbas r.a., ia berkata Rasulullah SAW bersabda: “Surga itu di bawah telapak kaki-kaki para ibu, siapa yang mereka kehendaki, maka mereka akan memasukkannya, dan siapa yang mereka kehendaki, maka mereka akan mengeluarkannya.”

Lewat Hari Perempuan Internasional ini, mari kita bersama-sama membangun masa depan yang lebih cerah dan adil bagi perempuan dan laki-laki di seluruh dunia!. Seyogianya, momentum Hari Perempuan Internasional ini menjadi ajang penting untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan buat perempuan.

BINCANG SYARIAH

Sejarah Diwajibkan Puasa Ramadhan

Sejarah puasa Ramadhan erat kaitannya dengan perjalanan Nabi Muhammad SAW dan perkembangan Islam. Sebelum datangnya syariat puasa Ramadhan, dulu puasa dilaksanakan 3 hari di setiap bulannya. Lantas kemudian syariat ini dihapus dengan turunnya ayat yang mewajibkan puasa Ramadhan.

وَقَدْ كَانَ هَذَا فِي ابْتِدَاءِ الْإِسْلَامِ يَصُومُونَ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، ثُمَّ نُسِخَ ذَلِكَ بِصَوْمِ شَهْرِ رَمَضَانَ، كَمَا سَيَأْتِي بَيَانُهُ. وَقَدْ رُوي أَنَّ الصِّيَامَ كَانَ أَوَّلًا كَمَا كَانَ عَلَيْهِ الْأُمَمُ قَبْلَنَا، مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ -عَنْ مُعَاذٍ، وَابْنِ مَسْعُودٍ، وَابْنِ عَبَّاسٍ، وَعَطَاءٍ، وَقَتَادَةَ، وَالضَّحَّاكِ بْنِ مُزَاحِمٍ

Artinya: “Hal ini terjadi pada awal Islam, mereka berpuasa tiga hari setiap bulannya, kemudian hal ini dibatalkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan, seperti yang akan disebutkan di bawah ini. Diriwayatkan bahwa puasa adalah yang utama, seperti yang dilakukan bangsa-bangsa sebelum kita, selama tiga hari setiap bulannya hal ini sebagaimana yang disampaikan sahabat Muadz, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ata’, dan Qatadah, dan Al Dahhak bin Muzahim.”(Tafsir Ibnu Katsir juz 1 halaman 197)

Di kemudian hari turunlah ayat yang mewajibkan puasa Ramadhan yakni surah Al Baqarah ayat 183-184;

يٰٓـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا كُتِبَ عَلَيۡکُمُ الصِّيَامُ کَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيۡنَ مِنۡ قَبۡلِکُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُوۡنَۙ‏  اَيَّامًا مَّعۡدُوۡدٰتٍؕ فَمَنۡ كَانَ مِنۡكُمۡ مَّرِيۡضًا اَوۡ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنۡ اَيَّامٍ اُخَرَ​ وَعَلَى الَّذِيۡنَ يُطِيۡقُوۡنَهٗ فِدۡيَةٌ طَعَامُ مِسۡكِيۡنٍؕ فَمَنۡ تَطَوَّعَ خَيۡرًا فَهُوَ خَيۡرٌ لَّهٗ وَاَنۡ تَصُوۡمُوۡا خَيۡرٌ لَّـکُمۡ اِنۡ كُنۡتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ‏

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. 

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan orang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

Namun hukum puasa ketika ayat diatas turun masih bersifat mukhayyar pilihan saja. Artinya, bagi yang mampu berpuasa dipersilahkan. Bagi yang mungkin malas atau belum terbiasa, boleh juga tidak puasa, tetapi diganti dengan membayar fidyah (memberi makan orang miskin). Sekalipun Al-Qur’an menegaskan puasa lebih baik daripada membayar fidyah. 

ثُمَّ بَيَّنَ حُكْمَ الصِّيَامِ عَلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ الْأَمْرُ فِي ابْتِدَاءِ الْإِسْلَامِ، فَقَالَ: {فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ} أَيِ: الْمَرِيضُ وَالْمُسَافِرُ لَا يَصُومَانِ فِي حَالِ الْمَرَضِ وَالسَّفَرِ؛ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنَ الْمَشَقَّةِ عَلَيْهِمَا، بَلْ يُفْطِرَانِ وَيَقْضِيَانِ بِعِدَّةِ ذَلِكَ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ. وَأَمَّا الصَّحِيحُ الْمُقِيمُ الذِي يُطيق الصِّيَامَ، فَقَدْ كَانَ مخيَّرًا بَيْنَ الصِّيَامِ وَبَيْنَ الْإِطْعَامِ، إِنْ شَاءَ صَامَ، وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ، وَأَطْعَمَ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا، فَإِنْ أَطْعَمَ أَكْثَرَ مِنْ مِسْكِينٍ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ، فَهُوَ خَيْرٌ، وَإِنْ صَامَ فَهُوَ أَفْضَلُ مِنَ الْإِطْعَامِ

Artinya:”Kemudian menjelaskan hukum puasa atas perintah di permulaan islam, kemudian allah berfirman:” Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” 

Artinya orang sakit dan musafir tidak berpuasa pada saat sakit dan bepergian. Karena kesukaran yang mereka alami, maka mereka berbuka dan mengqadha puasa pada hari-hari lainnya. 

Adapun bagi orang yang sehat dan mampu berpuasa, maka ia mempunyai pilihan antara berpuasa dan memberi makan, jika ia menghendaki, ia boleh berpuasa, dan jika ia menghendaki, ia boleh berbuka, dan ia boleh makan setiap hari. Jika dia memberi makan lebih dari satu orang miskin setiap hari, itu lebih baik. Dan jikalau berpuasa itu lebih utama daripada memberi makanan.”( Tafsir Ibnu Katsir juz 1 halaman 197).

Sejarah Awal Diwajibkan Puasa Ramadhan 

Tata cara berpuasa pasca ayat diatas turun pun berbeda dengan sekarang yang kita kenal. Puasa yang kita kenal saat ini adalah berpuasa mulai terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari. Di awal islam berbeda, mereka berpuasa dihitung mulai dari saat mereka tidur malam atau sesaat setelah melaksanakan shalat Isya’.

Semisal contoh seseorang tidur di malam hari pukul 21.00 WIB. Maka seketika itu pula ia sudah dihitung berpuasa dan tidak boleh melakukan hal hal yang membatalkan puasa. Atau contoh lain seseorang melaksanakan melaksanakan shalat isya’ pada jam 19.00 WIB, maka setelah shalat isya’ dia sudah harus berpuasa lagi.

Sebagaimana penjelasan Tafsir Ibnu Katsir Juz 1 halaman 197 berikut:

وَكَانُوا يَأْكُلُونَ وَيَشْرَبُونَ وَيَأْتُونَ النِّسَاءَ مَا لَمْ يَنَامُوا، فَإِذَا نَامُوا امْتَنَعُوا، ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ يُقَالُ لَهُ: صِرْمَةُ، كَانَ يَعْمَلُ صَائِمًا حَتَّى أَمْسَى، فَجَاءَ إِلَى أَهْلِهِ فَصَلَّى الْعِشَاءَ، ثُمَّ نَامَ فَلَمْ يَأْكُلْ وَلَمْ يَشْرَبْ، حَتَّى أَصْبَحَ فَأَصْبَحَ صَائِمًا، فَرَآهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ جَهِدَ جَهْدًا شَدِيدًا، فَقَالَ: مَا لِي أَرَاكَ قَدْ جَهِدْت جَهْدًا شَدِيدًا؟ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي عَمِلْتُ أَمْسِ فجئتُ حِينَ جئتُ فألقيتُ نَفْسِي فَنِمْتُ فَأَصْبَحْتُ حِينَ أَصْبَحْتُ صَائِمًا. قَالَ: وَكَانَ عُمَرُ قَدْ أَصَابَ مِنَ النِّسَاءِ بَعْدَ مَا نَامَ، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ} إِلَى قَوْلِهِ: {ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ}

Artinya: “Dan Mereka di awal permulaan kewajiban puasa biasa makan, minum, dan menggauli wanita selama mereka belum tidur. Dan ketika mereka telah tidur, maka mereka dilarang melakukan hal yang membatalkan puasa. Kemudian seorang laki-laki dari kaum Anshar bernama Sirmah, biasa bekerja. Dia berpuasa sampai sore, lalu dia datang ke keluarganya dan shalat magrib, kemudian dia tidur dan tidak makan atau minum, sampai pagi harinya dia berpuasa, dan Rasulullah melihatnya. 

Sementara sirmah mengerahkan dirinya dengan sekuat tenaga, maka Rasulullah bersabda:”Ada apa gerangan dengan dirimu aku melihatmu sedang kepayahan? Samir pun lantas menjawab:” Ya Rasulullah, kemarin aku bekerja, dan ketika aku datang, aku berbaring lalu tidur, dan aku berpuasa ketika bangun tidur.” 

Hal itu juga terjadi pada sahabat Umar. Ia menyetubuhi beberapa wanita setelah ia tidur, maka ia mendatangi Rasulullah SAW, dan hal itu disebutkan kepadanya, maka Allah Swt menurunkan wahyu: “halal bagimu.” Pada malam hari berpuasa, bersetubuhlah dengan istrimu” sampai firman Allah Swt : “Maka selesaikanlah puasa sampai malam”.

Demikianlah proses sejarah pensyariatan puasa Ramadhan. Dari syariat yang memberatkan setelah terjadi negosiasi menjadi ringan. Inilah salah satu karakteristik hukum Islam, pelegeslasiannya bersifat evolutif, dan jika kebijakannya memberatkan umatnya, maka islam siap mengubahnya, tentu senyampang dalam batas kebijaksanaan Allah Swt.

BINCANG SYARIAH

Bully itu Sifat dan Perilaku Jahiliyah, Jangan Wariskan ke Anak Kita

Bully atau perundungan terus menghiasi pemberitaan di tengah generasi kita. Di sekolah, madrasah, pesantren hingga di tengah masyarakat rasanya bully seolah diabsahkan. Tidak hanya di di dunia nyata, tetapi kini juga merambah ke dunia maya. Bahkan, bullying di dunia maya dinilai lebih berbahaya karena dapat menjangkau korban di mana saja dan kapan saja dan bersifat meluas.

Sadarkah kita umat Islam, sejatinya bully adalah perilaku dan karakter masyarakat jahiliyah. Masyarakat Jahiliyah tetapi memang telah punah, tetapi beberapa sifat dan kebiasaannya tetap melekat di sebagian umat Islam. Peringatan ini tidak mengada-ngada karena Nabi pun sudah pernah memperingatkan umat Islam.

Menghina dan membanggakan diri sendiri dan keturunannya adalah salah satu sifat jahiliyah. Rasulullah sangat melarang perilaku tersebut. Dalam sebuah hadist, Nabi menegor sahabat yang telah membully dengan cara menghina ibunya. Nabi bersabda : Wahai Abu Dzar, apakah engkau telah menghina ibunya? Sesungguhnya engkau masih memiliki (sifat) Jahiliah.

Nabi memang telah datang ke masyarakat jahiliyah dan menghapus sistem tatanan itu. Namun, Nabi mengakui sifat dan perilaku jahiliyah masih ada di sebagian umatnya. Karena itulah Nabi memperingatkan : “Ada empat perkara khas jahiliyah yang masih melekat pada umatku dan mereka belum meninggalkannya: (1) membanggakan jasa (kelebihan atau kehebatan) nenek moyang; (2) mencela nasab (garis keturunan); (3) menisbatkan hujan disebabkan oleh bintang tertentu; dan (4) meratapi mayit.” (HR. Muslim No. 1851).

Mencela berdasarkan keturunan adalah tidak menghargai sifat harkat dan martabat manusia. Itulah ciri karakter jahiliyah. Membully orang lain dengan berdasarkan kelemahan, kekurangan dan hal lain yang dapat mengancam jati diri kemanusiaannya adalah karakter jahiliyah.

Karena itulah, jangan wariskan pola dan perilaku seperti ini kepada generasi muda kita. Al-Quran telah sangat tegas : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (al-Hujurat:11).

Inilah etika yang diajarkan Islam untuk menjauhkan diri dari karakter dan sifat jahiliyah. Bully merusak perilaku dan mental anak-anak muda. Mereka lebih tergerus nilai karena mengadopsi kultur yang jauh dari nilai-nilai agama dan keluhuran budaya bangsanya. Mari lindungi anak-anak dari sifat dan karakter jahiliyah ini.

ISLAMKAFFAH