Gambaran Pemimpin Baru Indonesia

Jika keadaan rakyat suatu negeri doyan uang sogokan, tukang khianat, maka Allah akan memberi mereka para pemimpin dan wakil rakyat yang hobinya sama, begitu juga sebaliknya

Oleh: Muhammad Syafii Kudo

وواجب نصب امام عدل بالشرع فاعلم لا بحكم العقل. فليس ركنا يعتقد في الدين ولا تزغ عن امره المبين. 《الشيخ ابراهيم اللقاني》

DALAM beberapa kitab Kalam dibahas tentang pengangkatan pemimpin negara. Meskipun isu ini merupakan furu’(ranting) dalam agama, tetapi para mutakallim memasukkan isu ini dalam pembahasan di antara bahasan-bahasan kalam.

Hal ini merupakan isyaroh bahwa meskipun isu ranting tetapi berkait langsung dengan hajat masyarakat banyak serta banyak orang tergelincir disebabkan isu ini akibat dibawa secara tidak tepat. Semoga 14 Februari 2024 menghasilkan pemimpin yang baik. Amin Ya Rabbal Alamin.

Demikian kutipan status Facebook Dr. Kholili Hasib M.Ud, Dosen di IAII Dalwa Bangil pada Ahad (11/02/24) di dinding akun Facebooknya. Tulisan tersebut mengisyaratkan bahwa ihwal mengangkat pemimpin negara meskipun bukan merupakan wilayah ushul (pokok) dalam Islam namun merupakan sesuatu yang sangat penting.

Sehingga tidak berlebih jika para mutakallim memiliki perhatian besar terhadapnya.

Menurut Imam Al Mawardi, konsep kepemimpinan negara adalah instrumen penting untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia.

Meskipun pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan jenis aktivitas yang berbeda, namun sebenarnya saling berintegrasi secara simbolik.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah mengatakan kepada para pejabatnya bahwa, “Agama (Islam) dan kekuasaan itu ibarat saudara kembar. Satu sama lain saling membutuhkan.” (Abdul Hayyi al-Kattani, Taratib al-Idariyah, 1/395).

Hal serupa pernah juga disampaikan oleh Hujjatul Islam, Imam Al Ghazali yang mengatakan, “Agama (Islam) dan kekuasaan ibarat dua saudara kembar. Keduanya lahir dari satu rahim yang sama.” (Al-Ghazali, Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk, 1/19).

Melihat demikian pentingnya ihwal kepemimpinan, maka tidak mengherankan jika beberapa ulama kini banyak yang berijtihad terjun ke dalam tim pemenangan atau minimal mendukung secara terang-terangan pada calon tertentu dalam Pilpres tahun ini.

Mereka menyerukan kepada umat (santri, alumni, simpatisan, jamaah pengajian dll) untuk mendukung calon yang mereka perjuangkan.

Dalam pandangan ijtihad mereka, calon yang diperjuangkan adalah sosok yang minimal paling memenuhi kriteria pemimpin yang baik dalam pandangan agama yang mencakup bagusnya akhlak, cerdas, religius, tidak melanggar konstitusi seperti mengakali dan mengangkanginya demi kepentingan dinasti keluarga, jejak rekam bersih dst.

Kemudian perkara benar atau salahnya ijtihad tersebut, tentu waktu kelak yang akan membuktikan. Sebab tidak sedikit para calon pemimpin yang awalnya didukung mati-matian oleh umat yang mengikut  titah Kyainya dan bahkan berani meneken pakta integritas yang disodorkan oleh beberapa ulama (Ijtima’).

Ulama untuk kelak diperjuangkan jika telah menjabat, nyatanya berkhianat dan berbelok arah perjuangan. Bahkan lebih ironisnya lagi malah memilih tunduk dan berada dalam satu barisan dengan kompetitornya dahulu.

Fenomena politisi kutu loncat dan bunglon adalah sebuah realita politik Indonesia hari ini, yakni politik pragmatis dimana prinsip tiada kawan dan lawan yang abadi sebab yang abadi adalah kepentingan belaka masih kuat dipegang.

Politik semacam inilah yang mengakibatkan banyak rakyat akhirnya terjangkit apatisme politik dan terjebak pada sistem politik transaksional. Sehingga tidak asing kita dengar obrolan di tengah masyarakat saat ini tentang nominal jumlah uang dan sogokan lainnya dari para peserta Pileg, Pilkada maupun Pilpres yang nantinya akan mereka jadikan pertimbangan dalam memberikan hak suaranya.

Maka tidak heran jika kemudian ada jargon sarkasme politik yang berbunyi, “Politicians and Diapers must be changed often, and for the same reason.”

Yang bermakna bahwa Politisi dan Pembalut harus sering diganti dan dengan alasan yang sama. Jika pembalut harus diganti ketika sudah penuh kotoran maka Politisi ketika sudah penuh “kotoran” atau sudah habis masa baktinya maka harus lekas diganti pula. Jargon bernas dan menohok itu sering berseliweran di media sosial menjelang pemilu di negeri-negeri Barat dan belakangan banyak juga dikutip oleh warganet Indonesia.

Ucapan tersebut banyak dinisbatkan kepada penulis Amerika Mark Twain. Namun hal ini dibantah oleh Robert H. Hirst, General Editor of the Mark Twain Project and Curator of the Mark Twain Papers yang mengatakan kepada  Reuters via email, bahwa ucapan itu bukan dari Mark Twain dan hal itu adalah sebuah penyematan yang salah kepada Mark Twain atau dengan kata lain sebuah kebohongan.

Namun ucapan itu dengan kalimat yang agak berbeda juga sering diunggah seperti, “White House occupants come and go. They are just like diapers. They should be changed often, and for the same reasons” dan muncul juga dalam film ‘Man of the Year’ (2006) dimana Robin William dalam perannya di film tersebut pernah berkata, “Remember this ladies and gentlemen: It’s an old phrase, basically anonymous, politicians are a lot like diapers, they should be changed frequently, and for the same reasons. Keep that in mind the next time you vote.”

Melihat fenomena ini, dapat digambarkan secara sederhana bahwa realita politik pragmatis dan transaksional saat ini tentu sangat berbahaya bagi kelangsungan eksistensi negeri ini.

Dimana jika politik bersih yang diamanahkan oleh konstitusi tidak dijalankan maka tidak mustahil negeri ini kelak hanya tinggal nama. Artinya nama tetap Indonesia namun “isinya” adalah para kolonialis asing dan aseng dengan para penjilat pribumi sebagai “Londo Ireng” generasi baru yang merelakan dirinya sebagai budak.

Tentu lingkaran setan ini harus diputus dengan segera sebab sangat berbahaya bagi kelangsungan negara bangsa ini. Sebab di dalam Al Qur’an Allah SWT berfirman,

وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zalim itu menjadi pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (QS Al-‘An`ām: 129).

Al-Hafidz Al Imam As-Suyuthi saat menafsirkan ayat ini mencantumkan hadits yang berbunyi,

ﻛﻤﺎ ﺗﻜﻮﻧﻮا ﻛﺬﻟﻚ ﻳﺆﻣﺮ ﻋﻠﻴﻜﻢ

“Sebagaimana keadaan kalian, seperti itulah pemimpin kalian.” (HR. Al-Baihaqi)

Menilik hadis tersebut, dapat disimpulkan bahwa jika keadaan masyarakat suatu negeri adalah berkebiasaan maksiat kepada Allah maka yang akan diberikan kepada mereka adalah pemimpin yang juga ahli maksiat.

Jika keadaan rakyat suatu negeri doyan uang sogokan maka para pemimpin dan wakil rakyat yang hobi rasuah dan korupsi akan diberikan   kepada mereka. Jika rakyat suatu negeri suka berbohong dan khianat maka penguasa tukang kibul dan pelanggar konstitusi yang akan memerintah mereka.

Seorang ulama dari kalangan salaf, yakni A’masy pernah berkata,

 ﺇﺫا ﻓﺴﺪ اﻟﻨﺎﺱ ﺃﻣﺮ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺷﺮاﺭﻫﻢ

“Jika keadaan manusia sudah rusak maka yang jadi pemimpin adalah orang yang buruk.” (Tafsir Ad-Dur Al-Mantsur)

Dari penjelasan Al-Quran dan hadis tersebut seharusnya rakyat negeri ini sadar bahwa akhlak mereka adalah penentu kriteria pemimpin yang akan mereka dapatkan kelak. Inilah worldview Islam yang merupakan sebuah keniscayaan.

Malik bin Dinar Rahimahullah berkata,

مكتوب  في التوراة : يقول الله تعالى : قلوب الملوك بيدي : فمن أطاعني جعلتهم عليه رحمة ، ومن عصاني جعلتهم عليه نقمة.   فلا تشغلوا انفسكم بسبب الملوك ، وتوبوا إلي أعطفهم عليكم

“Tertulis di dalam Taurat bahwa Allah berfirman, Hati para penguasa ada di tangan Ku. Maka barangsiapa mentaati Ku, Aku jadikan para penguasa itu sebagai Rahmat atasnya, dan barangsiapa mendurhakai Ku maka Aku jadikan para penguasa itu sebagai siksa atasnya. Maka janganlah kalian sibuk (mencari-cari) sebab atas diri kalian terhadap (kedholiman) para penguasa tersebut. Bertobatlah kepada Ku maka Aku akan jadikan mereka bersikap lemah lembut kepada kalian.”

Taubat nasional inilah hal yang harus dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat di negeri ini  jika ingin mendapatkan pemimpin yang baik. Dan seyogyanya taubat itu dilakukan  mulai dari para Ulama nya lalu diikuti penguasa dan rakyat. Urutan (Maratib) ini sesuai dengan perkataan Imam Al Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin yang berbunyi,

ما فسدت الرعية إلا بفساد الملوك وما فسدت الملوك إلا بفساد العلماء

“Tidaklah terjadi kerusakan rakyat itu kecuali dengan kerusakan penguasa, dan tidaklah rusak para penguasa kecuali dengan kerusakan para ulama.”

Pada halaman lain di kitab yang sama Hujjatul Islam itu menulis,

‎ففساد الرعايا بفساد الملوك وفساد الملوك بفساد العلماء وفساد العلماء باستيلاء حب المال والجاه ومن استولى عليه حب الدنيا لم يقدر على الحسبة على الأراذل فكيف على الملوك والأكابر والله المستعان على كل حال

“Maka kerusakan rakyat itu karena kerusakan penguasa, dan rusaknya penguasa itu karena rusaknya para ulama. Dan rusaknya para ulama itu karena kecintaan pada harta dan kedudukan. Sesiapa yang terperdaya akan kecintaan terhadap dunia tidak akan kuasa mengawasi hal-hal kecil, bagaimana pula dia hendak melakukannya kepada penguasa dan perkara besar? Semoga Allah menolong kita dalam semua hal.”

Ulama sebagai pembimbing umat tentu memiliki tanggung jawab besar untuk meluruskan kembali masyarakat dan membenahi akidah serta akhlak mereka.

Itupun dengan syarat si ulama adalah orang yang benar-benar terbebas dari cinta dunia yang merupakan sumber dari segala kesalahan. Ulama yang tidak bisa dibeli dan tangguh jika dibully yang dengan ketangguhan itu fatwa dan pemikiran mereka menjadi merdeka dan terlepas dari kepentingan lain selain kepentingan Allah.

Sebab ada alarm akhir zaman yang pernah diucapkan jauh hari oleh Sahabat Abu Dzar Radiyallahu Anhu yang berbunyi,

سيأتي على الناس زمان تكون اعطيتهم من الولاة أثمان أديانهم

“Akan datang atas manusia  zaman dimana adanya pemberian dari para penguasa adalah (nilai) harga dari agama mereka (manusia).”

Dari sini harusnya serangan fajar, money politics, dan politisasi bansos bisa ditolak oleh semua lapisan masyarakat agar Allah berkenan memberikan pemimpin yang amanah sesuai janji Nya dan muru’ah agama tetap terjaga sebab ia tidak bisa dinilai dengan nominal uang berapapun.

Wal hasil selamat memilih pemimpin baru. Gunakan hak pilih dengan bijak, niatkan untuk memilih sosok yang semoga bisa diamanahi untuk menjaga kedaulatan negara, memakmurkan rakyat, dan menegakkan kemuliaan agama  yang akhirnya cita-cita menjadi negeri Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghofur benar-benar bisa terwujud.

Sebagai penutup, penulis ingin mengutip pernyataan dari pengamat politik “akal sehat” alias Rocky Gerung yang mengatakan, “Salah pilih itu sial, bertahan dengan pilihan yang salah itu dungu, sudah sial dungu pula..” Wallahu A’lam Bis Showab*.

Penulis seorang santri

HIDAYATULLAH

Hukum Nadzar Menikah, Apakah Pernikahan Menjadi Wajib?

Dalam sebuah kesempatan, penulis pernah ditanya oleh seseorang mengenai hukum nadzar untuk menikah. Pasalnya, dia pernah bernadzar bahwa dirinya akan menikah setelah dirinya lulus kuliah.

Namun, karena beberapa faktor dia tidak bisa melaksanakannya meski dirinya telah lulus kuliah. Yang dia tanyakan apakah menikah menjadi wajib dengan nadzar sehingga dia berdosa karena melanggar nadzar tersebut?

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum nadzar untuk menikah apakah menjadi wajib atau tidak. Menurut sebagian ulama, seperti Ibnu Al-Rif’ah, menikah menjadi wajib dengan sebab nadzar.

Oleh karena itu, jika seseorang bernadzar untuk menikah setelah lulus kuliah, misalnya, maka dia wajib melaksanakann nadzarnya. Jika dia melanggar, maka dia berdosa karena telah melanggar nadzarnya sendiri.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah berikut;

وَقَالُوا: يَجِبُ النِّكَاحُ بِالنَّذْرِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ الَّذِي صَرَّحَ بِهِ ابْنُ الرِّفْعَةِ وَغَيْرُهُ، قَال الشَّرْوَانِيُّ: خِلاَفًا لِنِهَايَةِ الْمُحْتَاجِ وَمُغْنِي الْمُحْتَاجِ

وَالشِّهَابِ الرَّمْلِيِّ

Ulama Syafiiyah berkata: Menikah dapat berubah wajib dengan nadzar menurut pendapat yang kuat sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Al-Rif’ah dan lainnya. Imam Al-Syarwani berkata: Ini berbeda dengan pendapat kitab Nihayatul Muhtaj, Mughnil Muhtaj dan Imam Al-Ramli.

Sementara menurut ulama lainnya, seperti Imam Al-Ramli, menikah tidak menjadi wajib sebab nadzar. Oleh karena itu, jika seseorang bernadzar untuk menikah setelah lulus kuliah, misalnya, maka dia tidak wajib melaksanakann nadzarnya.

Boleh baginya melaksanakan nadzarnya, dan boleh juga baginya melanggarnya. Dan jika dia melanggar nadzarnya, maka dia tidak berdosa.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah berikut;

وَقَال الشَّمْسُ الرَّمْلِيُّ: لاَ يُلْزَمُ بِالنَّذْرِ مُطْلَقًا وَإِنِ اسْتَحَبَّ …قَال الشَّبْرَامَلِّسِيُّ: سَوَاءٌ احْتَاجَ إِلَيْهِ أَمْ لاَ، تَاقَتْ نَفْسُهُ إِلَيْهِ أَمْ لاَ.

Imam Al-Ramli berkata: Menikah tidak menjadi wajib sebab nadzar secara mutlak, meskipun menikah baginya adalah sunnah. Imam Al-Syibramallisi berkata: Baik dia butuh pada nikah tersebut atau tidak, dirinya berhasrat untuk menikah atau tidak.

Demikian penjelasan hukum nadzar menikah dalam Islam. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis shawab.

BINCANG SYARIAH

Hukum Serangan Fajar dalam Islam Haram, Termasuk Suap

Artikel ini akan membahas tentang hukum serangan fajar dalam ISlam. Serangan fajar, sebuah istilah yang tidak asing lagi dalam perhelatan demokrasi di Indonesia. Ia bagaikan hantu yang terus menghantui, menggerogoti nilai-nilai luhur demokrasi dan memanipulasi suara rakyat.

Apa itu Serangan Fajar?

Serangan fajar mengacu pada praktik politik uang yang dilakukan pada hari pemungutan suara. Biasanya, serangan ini dilakukan dengan cara membagikan uang, sembako, atau barang lainnya kepada pemilih agar mereka memilih calon tertentu.

Bentuk serangan fajar meliputi pemberian uang, barang, jasa, atau materi lainnya yang bernilai uang kepada pemilih untuk mempengaruhi hasil Pemilu. Selain uang, serangan fajar juga dapat berupa paket sembako, voucher pulsa, bensin, atau barang-barang lain yang memiliki nilai uang. Praktik ini dapat memengaruhi sistem politik demokrasi dan menjadi penyebab membengkaknya biaya politik para peserta Pemilu.

Mengapa serangan fajar berbahaya? Serangan fajar merupakan pelanggaran hukum dan dapat merusak demokrasi. Praktik ini mencederai prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan. Serangan fajar juga memanipulasi suara rakyat dan menghasilkan pemimpin yang tidak dipilih berdasarkan kapabilitas, melainkan karena uang.

Hukum Serangan Fajar

Dalam Islam, praktik Serangan Fajar, yang merujuk pada politik uang atau pemberian imbalan dalam pemilu, dianggap haram. Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa politik uang, termasuk Serangan Fajar, dan pemberian imbalan dalam pemilu adalah haram.

Lebih lanjut, Menurut Komisi Waqi’iyyah Bahtsul Masail PWNU Jawa Tengah, praktik serangan fajar dalam politik dikategorikan sebagai risywah atau suap, dan karenanya haram. Keputusan ini menegaskan bahwa politik uang dalam bentuk apapun, termasuk serangan fajar, dilarang dalam Islam.

Syekh Khatib Asy-Syirbini dalam kitab Mughni Muhtaj menjelaskan bahwa suap, atau risywah dalam ilmu fiqih, didefinisikan sebagai tindakan memberi sesuatu kepada orang lain dengan tujuan agar dia melakukan sesuatu yang tidak adil atau tidak benar.

الرشوة هي ما يبذل للغير ليحكم بغير الحق أو ليمتنع من الحكم بالحق


Artinya; Suap adalah pemberian sesuatu kepada orang lain dengan tujuan agar orang tersebut memutuskan perkara tidak berdasarkan kebenaran, atau agar orang tersebut tidak memutuskan perkara yang seharusnya diputuskan berdasarkan kebenaran.

Suap adalah tindakan yang tercela dan bertentangan dengan hukum Islam. Memberi atau menerima suap merupakan dosa besar dan diancam dengan hukuman. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad SAW bersabda:

“لعن الله الراشي والمرتشي”

Artinya: “Semoga Allah melaknat pemberi suap dan penerima suap.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi).

Semntara itu, Imam Nawawi dalam kitab Raudhah Thalibin menyatakan bahwa memberikan atau menerima suap adalah haram dalam Islam, dan termasuk dalam dosa besar. Pandangan ini didasarkan pada prinsip-prinsip etika dan hukum Islam yang mengatur perilaku manusia dalam masyarakat.

فرع قد ذكرنا أن الرشوة حرام مطلقاً والهدية جائزة في بعض الأحوال فيطلب الفرق بين حقيقتيهما مع أن الباذل راض فيهما

Artinya; Cabang Masalah: Apa yang telah kita sebutkan bahwa suap adalah haram secara mutlak dan hadiah adalah halal dalam beberapa keadaan, maka dicari perbedaan antara keduanya, meskipun pemberi keduanya merasa puas.

Dengan demikian, serangan fajar adalah musuh demokrasi dan nilai-nilai Islam. Upaya pencegahan dan penanggulangannya harus dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh elemen masyarakat. Mari kita jaga demokrasi dan kehormatan bangsa dengan menolak segala bentuk politik uang, termasuk serangan fajar.

BINCANG SYARIAH

Benarkah Abu Bakar Merebut Hak Fatimah ?

Ketika Rasulullah saw wafat, banyak kejadian-kejadian yang tidak pernah terbayangkan ketika masih adanya beliau. Mulai masalah kepemimpinan sampai harta warisan mulai menguak kepermukaan. Di antara persoalan yang pelik dan menjadi pembahasan berabad-abad yaitu tentang tanah Fadak.

Tanah Fadak adalah tanah perkampungan sekitar Khaibar yang awalnya milik orang Yahudi. Kemudian tanah ini menjadi harta fai’ dan dimiliki oleh Rasulullah saw. Menurut beberapa keterangan, tanah Fadak termasuk tanah yang subur.

Dalam beberapa riwayat dan sejarah, setelah Rasulullah saw wafat seluruh harta benda peninggalan Rasulullah saw diurus oleh Abu Bakar ra, khalifah setelahnya, termasuk tanah Fadak ini. Sebagaimana lumrahnya, anak memiliki hak waris dari harta peninggalan orang tuanya. Dengan demikian, Sayyidah Fatimah ra putri Rasulullah saw meminta warisannya kepada Abu Bakar ra sebagai orang yang mengurusi harta orang tuanya. Di antara yang diminta oleh Fatimah ra yatiu tanah Fadak tersebut. Namun Abu Bakar ra tidak memberikannya kepada Fatimah ra. Karena ini, hubungan Abu Bakar ra kurang begitu harmonis dengan Fatimah ra.

Apa sebabnya Abu Bakar ra tidak memberikan harta warisan tersebut ? Apakah ia ingin memilikinya ?

Abu Bakar ra tidak memberikan harta Fadak yang diminta oleh Fatimah ra bukan tanpa alasan atau ingin merebut haknya Fatimah ra sebagaimana asumsi orang-orang Syiah. Tetapi karena ada sabda Nabi saw:

لَا نُوْرِثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ

Artinya: “Kami (para Nabi) tidak mewarisi, apa yang kami tinggalkan adalah shadaqah” (HR. Bukhari dan lainnya)

Dakan persoalan lain, Nabi saw juga menyampaikan bahwa para Nabi tidak mewarisi dinar dan dihram, melainkan mereka hanya mewarisi ilmu pengetahuan saja.

وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ

Artinya: “Sesungguhnya para Nabi tidak mewarisi dinar dan dirham, mereka hanya mewarisi ilmu pengetahuan” (HR. Abu Dawud dan lainnya)

Ini dasar mengapa Abu Bakar ra tidak memberikan harta peninggalan Nabi Muhammad saw kepada Sayyidah Fatimah ra. Menurut pemahaman Abu Bakar ra, harta benda yang ditinggalkan oleh Nabi saw tidak menjadi harta warisan, tetapi menjadi shadaqah untuk kepentingan umat Islam secara umum.

Tentang masalah harta benda peninggalan Nabi saw tidak menjadi harta waris, juga disaksikan oleh banyak sahabat Nabi saw sebagaimana riwayat dari Abu Bakhtari ra bahwa Ali bin Abi Thalib ra dan Abbas ra datang ke rumah Umar bin Khattab ra menanyakan tentang harta peninggalan Nabi saw. Lalu Umar bin Khattab ra menjawab dengan meminta ketegasan kepada beberapa sahabat yang hadir di waktu itu:

أَلَمْ تَعْلَمُوا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : كُلُّ مَالِ النَّبِيِّ صَدَقَةٌ ، إِلاَّ مَا أَطْعَمَهُ أَهْلَهُ ، وَكَسَاهُمْ إِنَّا لاَ نُورَثُ ؟ قَالُوا : بَلَى ، قَالَ : فَكَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُنْفِقُ مِنْ مَالِهِ عَلَى أَهْلِهِ ، وَيَتَصَدَّقُ بِفَضْلِهِ ، ثُمَّ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، فَوَلِيَهَا أَبُو بَكْرٍ سَنَتَيْنِ ، فَكَانَ يَصْنَعُ الَّذِي كَانَ يَصْنَعُ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم

Artinya: “Apakah kalian tidak mengetahui bahwa Rasulullah saw berkata: Seluruh harta Nabi adalah shadaqah, kecuali yang ia berikan makan untuk keluarganya, pakaian untuk mereka. Sesungguhnya kami tidak mewarisi ? Mereka para sahabat menjawab: Iya, benar. Umar bin Khattab ra melanjutkan perkataannya: Rasulullah saw memberikan nafakah dari hartanya untuk keluarganya, dan menshadaqahkan kepada lebihnya. Kemudian Rasulullah saw wafat, kemudian Abu Bakar ra yang mengurus harta-hartanya itu selama dua tahun. Apa yang Abu Bakar ra lakukan sama dengan yang dilakukan oleh Rasulullah saw” (HR. Abu Dawud dan Al Baihaqi)

Karena harta peniggalan Nabis saw tidak menjadi warisan, maka Sayyidah Fatimah ra sekalipun putrinya tidak punya hak khusus terhadap harta-harta Nabi saw, karena dalam hal ini ia tidak menjadi ahli waris.

Siapakah yang salah di antara Abu Bakar ra dan Fatimah ra ?

Wallahu a’lam. Bukan ranah kita membenarkan salah satu sahabat dan menyalahkan yang lainnya. Sayyidah Fatimah ra bisa benar karena ia berijtihad sebagai ahli waris sementara Abu Bakar ra bisa benar karena berijtihad dengan sabda Nabi saw di atas. Sikap yang tepat bagi kita sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah yang menganggap mereka sebagai umat terbaik dan mulya yaitu sebagaimana dikatakan oleh para ulama’:

مَا جَرَى بَيْنَ الصَّحَابَةِ نَسْكُتُ

Artinya: “Apa yang terjadi di antara para sahabat, kita diam, tidak membahasnya”

Namun yang jelas, dari rwaiyat-riwayat di atas, Abu Bakar ra tidak memberikan tanah Fadak kepada Sayyidah Fatimah ra karena tanah Fadak menjadi harta shadhaqah untuk kepentingan umat Islam. Adapun pengelolaan yang dilakukan oleh Abu Bakar ra terhadap tanah Fadak tersebut bukan untuk kepentingan pribadi Abu Bakar ra, tetapi digunakan untuk kepentingan umat Islam secara umum, sebagaimana dikatakan oleh Umar bin Khattab ra dalam riwayatnya al Baihaqi di atas.

Wallahu a’lam

ISLAMKAFFAH

Seuntai Wasiat untuk Penuntut Ilmu (Bag. 1)

بسم الله الرحمن الرحيم

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Segala puji bagi Allah. Kami memuji-Nya, meminta pertolongan, memohon ampun, dan berlindung kepada Allah dari keburukan diri kita dan dari kejelekan perbuatan kita. Siapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan siapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberi petunjuk. Aku bersaksi tiada tuhan yang berhak disembah, kecuali Allah semata, yang tidak memiliki sekutu. Dan aku bersaksi bahwa Nabi kita Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Semoga Allah melimpahkan banyak selawat kepada beliau, beserta keluarga, dan para sahabatnya hingga hari kiamat.

Amma ba’du.

Saya memohon kepada Allah yang Mahaagung, Pemilik Arasy yang mulia, untuk menjadikan saya dan kalian (saudara-saudaraku yang mulia) yang semoga diberi taufik dan kebahagian, termasuk orang yang apabila diberi, bersyukur; apabila diuji, bersabar; dan jika berbuat dosa, beristigfar. Sebab, orang yang diberi taufik adalah orang yang memiliki ketiga hal tersebut.

Saudara-saudaraku yang mulia, salah satu tanda seorang hamba muslim diberi taufik adalah hatinya melek dan hidup. Ia mengetahui tujuannya diciptakan dalam kehidupan ini. Ia melek dan sadar serta tidak lalai. Ia mengetahui bahwa eksistensinya di kehidupan ini adalah untuk suatu tujuan yang besar, yaitu menghamba kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dengan menaati dan menjalankan perintah Allah dan mengikuti petunjuk Nabi-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga, untuk Allah, ia habiskan waktu dan hari-hari yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berikan. Kemudian, berpisah dari dunia ini dalam keadaan diridai Allah.

Demikianlah, realita besar yang hanya disadari hamba-hamba Allah yang ikhlas, berkat taufik dari Allah Jalla Wa’ala. Tidak banyak orang yang melek dan sadar terhadap realita ini.

Manusia dan jalan hidupnya

Saudara-saudaraku sekalian, masing-masing manusia menjalani kehidupan ini (sesuai jalan hidupnya). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كل الناس يغدو: فبائعٌ نفسَه فمُعتِقُها أو مُوبِقها

Semua orang berjalan mempertaruhkan dirinya, antara membebaskan dirinya atau membinasakannya.[1]

Semua orang bangun di pagi hari. Keluar dari rumahnya. Ada yang pergi ke arah kanan. Ada pula yang ke arah kiri. Ada yang pergi demi agamanya. Dan ada yang pergi demi urusan dunianya. Ada yang spiritnya untuk akhirat. Dan ada yang spiritnya untuk dunia. Setiap orang berjalan. Akan tetapi, hanya orang yang diberi taufiklah yang mengetahui hakikat yang terpampang di hadapannya, lalu mengamalkannya. Mengilmuinya, lalu berpegang teguh. Mengetahui hakikat, lalu memegangnya dengan erat. Sehingga, ia jadikan seluruh hidupnya sebagai wakaf untuk taat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Allah Jalla Wa’ala menciptakan engkau untuk beribadah kepada-Nya, agar engkau menjadi hamba-Nya. Allah menciptakan hatimu untuk merenungkan ayat-ayat Allah, baik yang dilantunkan atau yang ada di alam semesta. Allah memberikanmu mata ini untuk membaca kitab Allah ‘Azza Wajalla, untuk membaca hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan untuk kau palingkan melihat hal-hal yang diharamkan Allah.

Allah memberikanmu tangan ini agar kau angkat bermunajat kepada Allah Jalla Wa‘ala, agar kau genggam saat salat, dan agar kau letakkan untuk bersujud. Allah menciptakan tangan ini untuk tujuan tersebut, bukan untuk main-main atau selainnya. Allah memberikanmu kaki ini agar kau gunakan berjalan menuju rumah Allah untuk melaksanakan salat fardu yang Allah wajibkan. Melangkah menuju ketaatan kepada Allah.

Allah ‘Azza Wajalla tiada menciptakannya untuk bermain-main dan urusan dunia. Jadikanlah urusan dunia sebagai tujuan sekunder. Adapun tujuan primer, semua anggota badanmu wajib engkau wakafkan untuk ketaatan kepada Allah ‘Azza Wajalla. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَـٰلَمِينَ

Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam.’” (QS. Al-An’am: 162)

Hanya kepada Allah kita kembali

Semua orang Islam mengatakan inna lillah wa inna ilahi raji’un. Apakah makna kalimat ini? Kita harus benar-benar melihat dan memikirkan kata-kata yang kita ucapkan. Innaa lillah bermakna kita adalah milik Allah ‘Azza Wajalla. Kita adalah hamba Allah dan kita akan berpisah dari dunia ini untuk bertemu dengan-Nya.

مَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ ٱللَّهِ فَإِنَّ أَجَلَ ٱللَّهِ لَـَٔاتٍۢ ۚ

Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah pasti datang.” (QS. Al-‘Ankabut: 6)

Berdiri di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah suatu kepastian. Engkau akan bertemu Rabbmu dan Dia akan menghisab amalmu.

Saudara-saudara sekalian, ini adalah realita yang perlu kita letakkan di pelupuk mata kita. Sebab, banyak orang yang tak paham realita ini, tersesat di berbagai arus kehidupan dunia. Seperti kata pepatah, “Kompas hilang, tak tahu arah dituju.” Akan tetapi, apabila engkau diberi taufik oleh Allah ‘Azza Wajalla, kemudian engkau beriman dan mengesakan-Nya serta mengikuti Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka engkau berada dalam kebaikan. Berjalan dalam kehidupan dengan jelas ke arah depan.

أَفَمَن يَمْشِى مُكِبًّا عَلَىٰ وَجْهِهِۦٓ أَهْدَىٰٓ أَمَّن يَمْشِى سَوِيًّا عَلَىٰ صِرَٰطٍۢ مُّسْتَقِيمٍۢ

Apakah orang yang merangkak dengan wajah tertelungkup yang lebih terpimpin (dalam kebenaran) ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?” (QS. Mulk: 24) Yaitu, jalan yang jelas. Engkau menjalani kehidupan ini dengan jelas di hadapanmu,

قُلْ هَـٰذِهِۦ سَبِيلِىٓ أَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِى ۖ وَسُبْحَـٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ

Katakanlah (Muhammad), ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan bashīrah.”  (QS. Yusuf: 108)

‘Alā bashīrah maknanya seseorang hidup dengan penglihatan yang ia gunakan untuk melihat hal-hal secara hakikatnya. Tidak tertipu dengan dunia ini dan pernak-pernik perhiasannya. Tidak tertipu dengan suatu hal yang dapat memalingkannya dari realita yang gamblang, apa tujuan ia diciptakan. Ia akan menghadapi realita tersebut setelah ia berpindah alam dari dunia ini dengan penerangan dari Rabb-nya

أَفَمَن كَانَ عَلَىٰ بَيِّنَةٍۢ مِّن رَّبِّهِۦ كَمَن زُيِّنَ لَهُۥ سُوٓءُ عَمَلِهِۦ وَٱتَّبَعُوٓا۟ أَهْوَآءَهُم

Maka, apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Tuhannya, sama dengan orang yang dijadikan terasa indah baginya perbuatan buruknya dan mengikuti keinginannya?” (QS. Muhammad: 14)

Ia memiliki penerangan dan kejelasan pada setiap langkah yang ia tempuh di kehidupan ini.

Lupa Allah, lupa diri sendiri

Demikianlah, demi Rabb Pencipta dan Pemilik langit, hanya Dialah yang dapat memberikan taufik orang yang bahagia. Sayangnya, banyak orang yang tidak demikian. Banyak orang yang bangun dan beraktivitas dalam kehidupan ini, dan tidur lalu bangun, kemudian pergi lalu kembali, dalam keadaan tidak tahu arah. Ia lupa terhadap dirinya manakala ia melupakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan melupakan realita yang ia hadapi. Yaitu, statusnya sebagai seorang hamba Allah, yang diciptakan untuk menghidupi realita itu dengan cara mengesakan Allah. Hal itu dikarenakan Allah ‘Azza Wajalla membuat ia lupa terhadap dirinya. Betapa anehnya, ada orang yang hidup, tetapi ia lupa terhadap dirinya sendiri.

Mungkin ada yang bertanya-tanya, “Bagaimana bisa orang lupa dengan dirinya sendiri?” Orang bisa lupa telponnya, lupa pulpennya, lupa kunci rumah, tetapi lupa dirinya sendiri? Bagaimana bisa? Ya. Ia lupa kemaslahatan dirinya dan tidak berusaha menyelamatkan dirinya dari azab Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sehingga ia tersesat dan tak tahu ke mana ia pergi. Ia menyangka dirinya sedang sibuk. Jika ditanya, ia selalu bilang ‘saya sibuk’. Tetapi sibuk dalam hal apa? Apakah ia sibuk dalam hakikat tujuan ia diciptakan? Atau sibuk hal lain?

Saudaraku sekalian, di sinilah letak petunjuk dan ketersesatan. Semua orang dalam hidup ini, pada semua urusan mereka, setiap gerak dan diam, serta semua tindak-tanduk mereka, semuanya berjalan di atas kaidah petunjuk dan ketersesatan.

Ada orang yang diberi hidayah dan ada orang yang tersesat. Orang yang mendapat hidayah ialah orang yang Allah beri petunjuk. Dan orang yang tersesat ialah orang yang Allah sesatkan. Saudaraku sekalian, demi Allah, orang yang jujur kepada Rabbnya, maka Dia akan penuhi janji-Nya kepadanya. Jika kamu jujur kepada Allah, Allah akan beri ganjaran. Orang yang mendatangi Allah, Allah tidak akan mengusirnya. Siapa yang menyambut Allah, Allah akan menyambutnya. Allah, Dialah Yang Maha Menerima syukur hamba-Nya.

أَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَٱتَّقَىٰ صَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ

Maka, barangsiapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga), maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan).” (QS. Al-Lail: 5-7)

Lanjut ke bagian 2: [Bersambung]

***

Penerjemah: Al-Faqir Ilallah Faadhil Fikrian Nugroho

Sumber: https://muslim.or.id/91346-seuntai-wasiat-untuk-penuntut-ilmu-bag-1.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Sholat Tahajud dan Keutamaannya

Sholat Tahajud dan Keutamaannya

Sholat tahajud merupakan ibadanya orang-orang shaleh, yang menjadikan Allah sebagai muara dari segala amal perbuatannya. Karena ketakwaannya juga, mereka selalu bersedia bungun malam untuk melaksanakan shalat tahajud dan mengusir nafsu tidurnya.

Berikut ini beberapa hadits Rasulullah saw yang menjelaskan tentang keutamaan-keutamaan shalat tahajud

 Pertama, shalat tahajud adalah ibadah yang mendekatkan kita kepada Allah swt

 “Hendaklah kalian mengerjakan sholat malam, karena itu merupakan kebiasaan orang saleh sebelum kalian, mendekatkan diri kepada Allah, mencegah dari perbuatan dosa, menghapus keburukan, dan mencegah penyakit dari badan.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Hakim)

Semua ibadah tentu akan mendekatkan kita pada Allah. Tapi, shalat Tahajud yang sangat dianjurkan pada sepertiga malam yang terakhir, atau sebelum Subuh karena pada waktu-waktu ini  memang istimewa. Mengapa demikian? 

Rasulullah bersabda, “Rabb kita turun ke langit dunia setiap malam, yaitu pada sepertiga malam yang terakhir. Dia berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku akan Aku berikan, dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku akan Aku ampuni.”

Sehingga ketika Shalat Tahajud yang kita kerjakan pada sepertiga malam yang terakhir bertepatan waktunya dengan turunnya Allah ke langit dunia. Tentu kita tak perlu membayangkan bagaimana turunnya Allah itu. Yang pasti, itu menunjukkan bahwa waktu tersebut istimewa. Ibadah istimewa yang dikerjakan pada waktu yang istimewa pasti memberikan manfaat yang juga istimewa.

 Dua,  terbebas dari ikatan setan

 Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadis bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Setan mengikat kuduk (tengkuk) seseorang dengan tiga ikatan ketika dia tidur. Pada setiap skatan setan berbisik, “tidurlah, kamu mempunyai waktu malam yang panjang” Bila seseorang itu bangun dan berzikir kepada Allah Swt., maka lepaslah satu ikatan. Lalu, jika setelah itu dia berwudhu, satu ikatan lainnya terlepas. Dan jika setelah itu dia melakukan shalat malam, ikatan terakhir telah lepas. Sehingga keesokan harinya dia menjadi bersemangat dalam beribadah, terlepas segala ikatan kesempitan jiwa dan terlindungi dari rasa malas.” (HR Bukhari dan Muslim)

Setan mengikat tengkuk kepala kita agar kita merasa berat untuk beribadah kepada Allah. Namun jika kita berhasil mengatasi rasa malas itu dan bangun di sepertiga malam yang terakhir untuk shalat Tahajud, artinya kita berhasil keluar dari tiga ikatan setan itu.

 Tiga, Dijanjikan surga dan ruangan yang istimewa

 Diceritakan dari Abdullah bin Amr bin Ash ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya di dalam surga ada sebuah ruangan yang bagian luarnya bisa dilihat dari bagian dalamnya dan bagian dalamnya bisa dilihat dari bagian luarnya.” Abu Musa Al-Asy’ari bertanya, “Bagi siapakah ruangan tersebut, Rasulullah?” Betjau menjawab, “Bagi orang yang berbicara dengan lemah lembut, memberikan makanan, dan shalat di waktu malam karena Allah di saat manusia terlelap tidur.” (HR. Ahmad)

Shalat Tahajud dikatakan istimewa karena waktu mengerjakannya penuh tantangan. Malam yang larut, udara yang dingin, rasa kantuk yang menyiksa, dan kondisi badan yang lesu karena baru bangun tidur. Karena itulah, diberikan janji surga bagi siapa saja yang mampu melewati semua tantangan itu dan diberikan penghormatan lebih bagi orang-orang yang mau mengerjakan ibadah yang istimewa.

Empat, menjadi sebab turunnya Rahmat Allah

Dikisahkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, ‘Semoga Allah merahmati seorang suami yang bangun di waktu malam dan mengerjakan shalat, lalu ia membangunkan istrinya. Jika istrinya enggan bangun, ia memercikkan air ke wajah istrinya. Semoga Allah merahmati seorang istri yang bangun di waktu malam dan mengerjakan shalat, lalu ia membangunkan suaminya. Jika suaminya enggan bangun, ia memercikkan air ke wajah suaminya.‘” (HR. Abu Dawud)

Setiap makhluk yang hidup di dunia ini pasti mendapatkan limpahan rahmat atau kasih sayang oleh Allah. Hanya saja, kasih sayang-Nya berbeda-beda, beda bentuknya, beda pula besarnya. Apa yang membedakan ini, tentu saja ketakwaan kita 

Dengan mengerjakan shalat Tahajud, kita hakikatnya meminta kepada Allah agar diberi limpahan karunia terbaik sebagai wujud rahmat atau kasih sayang dari-Nya.

Apa yang dibutuhkan oleh orang yang butuh uang? Pekerjaan. Apa yang dibutukan oleh orang yang sedang sakit? Kesembuhan. Shalat Tahajud insya Allah bisa menjadi ikhtiar batin kita agar kebutuhan-kebutuhan ini dipenuhi oleh Allah.

Sumber:

Penuntun Mengerjakan Shalat Tahajud oleh Acmad Al-Firdaus

IHRAM

Ketika Demokrasi Krisis, Kritik Sosial Hukumnya Wajib!

Artikel ini akan membahas tentang ketika demokrasi krisis, kritik sosial hukumnya wajib!. Pasca statement pak Presiden yang mengundang kontroversi – Presiden boleh menentukan sikap secara eksplisit bahkan mengampanyekannya senyampang tidak menggunakan fasilitas negara – maka tak sedikit rakyat geram. Mulai dari para petani hatta akademisi. Terlebih nasib sistem demokrasi yang mulai terkoyak-koyak di Indonesia.

Hingga akhirnya kritik mulai berseliweran dari berbagai kalangan sebagai seruan moral untuk mengawal nasib demokrasi. Tidak hanya individual, kritik itu dilakukan secara serempak oleh para organisasi akademik maupun sosial kemasyarakatan. Misalnya, Muhammadiyah telah melakukan tugas tersebut (mengkritik) sebagai civil society menghadapi krisis demokrasi.

Dari kalangan akademik, Universitas Gadjah Mada – yang menjadi sarang kaum intelek terkhusus roda kepemimpinan Indonesia, mulai dari Jokowi, Imin, Ganjar, dan Anis – secara resmi merilis kritikan dan mendeklarasikan petisi Bulak Sumur untuk penguasa saat ini.

Sehari setelahnya UII mengikuti mendeklarasikan dalam menentukan sikap politik tersebut guna melakukan kritik terkait keadaan demokrasi. Dan diikuti beberapa rektor dari berbagai kampus serentak melakukan kritik bersama-sama. Kritik yang dilayangkan atas nama seruan moral mengawal demokrasi. 

Tentu saja kritik sangatlah urgen dalam sistem bernegara apa lagi sistemnya demokrasi. Kritik itu penting, bahkan dalam Islam bukan semata-mata seruan moral tetapi juga merupakan kewajiban sosial. Kritik dalam Islam adalah merupakan implementasi jihad yang paling utama. Nabi Muhammad pernah menyampaikan dalam hadisnya bahwa jihad yang paling utama dan menantang adalah mengkritik penguasa yang lalim.

“‌أَفْضَلُ ‌الْجِهَادِ ‌كَلِمَةُ ‌عَدْلٍ ‌عِنْدَ ‌سُلْطَانٍ ‌جَائِرٍ

“Jihad yang paling utama adalah melayangkan kritik yang bagus kepada penguasa yang lalim” (HR. Ibnu Majah: 5/144).

Kritik Sosial Hukumnya Wajib

Hadis tersebut mendorong kepada semua rakyat untuk melakukan kritik terhadap penguasa yang lalim, diktator, dan dan menyalahgunakan kewenangan. Namun demikian, penting memahami batas antara kritik dan membangkang. Mengkritik adalah menyampaikan kekeliruan para penguasa untuk mengembalikan dari penyelewengan pada jalan yang seharusnya.

Hal tersebut harus dipahami betul sebab dengan menguaknya banyak kritik dari para cendekiawan mengundang segelintir orang, untuk memakzulkan Presiden. Merespons irama fenomena tersebut, KH. Afifuddin Muhajir memberikan statmennya di laman Facebook pribadinya, “Untuk menghindari chaos, jangan ada upaya memakzulkan penguasa yg bengkok. Cukup dikasi nasehat sampai lurus”. (Postingan 8 Februari 24).

Bahkan ada segelintir masyarakat yang sudah mengotak-atik nasib sistem demokrasi masa mendatang di Indonesia. Buya Husein cukup jeli membaca gelagat tersebut, “Sebagian masyarakat lalu terpicu atau terprovokasi untuk kemudian menuntut kembali pada sistem politik lain yang pernah berjalan di muka bumi di Barat maupun di Timur: ialah sistem Politik/Pemerintahan Dinasti. Khilafah. Kerajaan. Imperium, Kekuasaan otoritarian. Mereka menganggap sistem Demokrasi telah gagal mensejahterakan Masyarakat”, tulis Buya Husein. (Postingan 3 Februari 24)

Merombak Demokrasi

Lalu bagaimana sikap kita menghadapi krisis demokrasi? Tentu saja merombak sistem “demokrasi” — yang sudah mengalami redefinisi menurut Islam — bukanlah yang terbaik. Alih-alih keadilan tegak, kekacauan sosial akan merambah di bumi Indonesia. Yang dalam bahasa kaidah fikih, al-dlarar a’dzamu min maslahat).

Dan hal ini bertentangan dengan doktrin (keyakinan) politik Sunni yang umumnya lebih menempuh jalan aman. sesuai kaidah yang menjadi landasannya, “Lebih memprioritaskan penangkalan mudlarat ketimbang mendapat kemaslahatan”.

Oleh karenanya, jangankan mengubah sistem demokrasi –memakzulkan Presiden dengan kesalahan yang mencuat: tidak netral — adalah bertentangan dengan doktrin politik mazhab sunni. Maka tidak heran bila KH. Afifuddin Muhajir tidak setuju terhadap sikap pemakzulan, apalagi mengubah sistem demokrasi.

Sikap Rakyat Menghadapi Penguasa Lalim

Bertolak dari doktrin politik Sunni, — bahwa kritik bukan saja seruan moral tetapi kewajiban sosial — maka untuk melakukan kritik terhadap penguasa yang lalim mesti dilakukan rakyat sesuai kemampuannya. Keharusan mengkritik tetap berlaku meskipun kritikannya tak didengarkan atau diabaikan.

Abdul Muhsin al-Ubbad, salah satu interpretator kitab Arba’in Nawawi, menarasikan sikap-sikap orang yang menghadapi penguasa lalim dengan mengklasifikasi menjadi tiga (Syarah Al-‘Arbain al-Nawawiyah, 9/30).

Pertama, mengkritik dan mengecam secara terbuka bagi orang atau komunitas yang tidak takut dengan ancaman penguasa. Tidak takut dengan intimidasi serta kebrutalan penguasa. 

Kedua, mengkritik secara tertutup bila mendapatkan tekanan bahkan tindakan agresi penguasa, yang kemudian dengan mengingkari dengan hati. 

Ketiga, rakyat yang tidak mengkritik penguasa lalim justru menyetujui tindakan penguasa. Maka rakyat demikian hinaan Tuhanlah yang ia dapatkan. Karena ia seolah bersekongkol dengan penguasa.

Maka dalam konteks Indonesia, pertama-tama melakukan kritik dengan berdiplomasi. Setelah itu, maka rakyat dan komunitas yang tidak takut agresi penguasa melakukan kritik terbuka. Dan bila perlu turun ke jalan (demo) bisa dilakukan selama tidak merusak fasilitas negara apalagi punya rakyat? karena saat demokrasi krisis maka mengkritik bukan semata seruan moral tetapi kewajiban sosial dan jihad yang afdhal.

BINCANG SYARIAH

Mengapa Muslim Tidak Merayakan Valentine?

Salah satu fenomena tahunan yang banyak dirayakan dan diramaikan oleh orang-orang adalah apa yang disebut dengan “Hari Valentine”. Hari di mana mereka yang merayakannya saling bertukar bunga, coklat, dan berbagai hadiah lainnya dengan dalih bukti tanda kasih sayang. Sebuah perayaan yang pada akhirnya mendukung hubungan antara lawan jenis yang Allah haramkan. Bahkan, lebih parahnya mengantarkan pelakunya kepada perzinaan. Wal’iyyadzu billah.

Merunut sejarahnya, Hari Valentine merupakan hari raya Romawi kuno yang terus dirayakan hingga bangsa Romawi masuk agama Kristen. Hari raya ini dikaitkan dengan pendeta mereka yang bernama Valentine, yang dijatuhi hukuman mati pada tanggal 14 Februari 270 M. Hari raya ini sayangnya banyak dirayakan oleh saudara-saudara kita yang mengaku beriman kepada Allah Ta’ala dan menaati Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.

Nabi sudah mengingatkan akan adanya sebagian umatnya yang ikut-ikutan

Fenomena yang kita jumpai di masa sekarang, berupa adanya sebagian kaum muslimin yang merayakan perayaan Valentine ataupun perayaan-perayaan yang semisalnya, sudah dari jauh-jauh hari dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam sabda-sabda beliau. Di antaranya beliau bersabda,

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَن قَبْلَكُمْ شِبْرًا بشِبْرٍ، وَذِرَاعًا بذِرَاعٍ، حتَّى لو سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ، قُلْنَا: يا رَسُولَ اللَّهِ، اليَهُودَ وَالنَّصَارَى؟ قالَ: فَمَنْ؟

“Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta. Sampai sekiranya mereka masuk ke dalam lubang dhab (jenis kadal gurun) pun, kalian pasti akan mengikuti mereka.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. Bukhari no. 3456 dan Muslim no. 2669)

Di hadis yang lain, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ. فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ. فَقَالَ  وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ

“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu, ada yang menanyakan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi? (HR. Bukhari no. 7319)

Kedua hadis ini menunjukkan kebenaran sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menunjukkan juga bahwa tidaklah keluar satu ucapan pun dari lisan beliau, melainkan hal tersebut merupakan wahyu dari Allah Ta’ala.

Sikap muslim yang seharusnya terhadap Valentine

Valentine merupakan salah satu hari raya orang-orang Kristen. Sedangkan seorang muslim dilarang untuk ikut merayakan dan meramaikan perayaan milik orang-orang kafir. Karena hari raya dalam ajaran kita termasuk salah satu syariat yang harus diikat dengan dalil dan sumber yang jelas dari Allah dan Rasul-Nya.

Di dalam berhari raya, Islam hanya memiliki dua hari raya besar, yaitu Idulfitri dan Iduladha. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika pertama kali sampai ke kota Madinah dan menyaksikan penduduknya merayakan dua hari raya di mana mereka bersenang-senang di dalamnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟ قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الأَضْحَى، وَيَوْمَ الْفِطْرِ

“Apa maksud dua hari ini?” Mereka menjawab, “Kami biasa bermain (bergembira) pada dua hari ini sejak zaman Jahiliyah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menggantikan untukmu dengan dua hari raya yang lebih baik dari padanya, yaitu hari raya Iduladha dan hari raya Idulfitri.” (HR. Abu Dawud no. 1134, An-Nasa’i no. 1556 dan Ahmad no. 12006)

Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah menjelaskan perihal merayakan hari raya,

“Hari raya adalah salah satu ciri, tata cara, dan ritual di mana Allah Ta’ala berfirman tentangnya (yang artinya), ‘Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan/ritual dan jalan yang terang)’ dan Dia berfirman (yang artinya), ‘Bagi tiap-tiap umat, Kami telah tetapkan syariat tertentu yang mereka lakukan.’” (QS. Al-Hajj: 67). Layaknya kiblat, salat, dan puasa.

Sehingga, tidak ada perbedaan antara keikutsertaan pada hari raya mereka dengan keikutsertaan dalam seluruh ritual mereka yang lainnya. Menyetujui hari raya mereka sama saja dengan menyetujui kekafiran mereka. Dan menyetujui sebagian dari turunan ritual perayaan mereka berarti menyetujui sebagian dari bentuk kekafiran mereka. Bahkan, hari raya adalah salah satu ciri yang paling spesifik dari sebuah syariat dan sebuah agama dan paling nampak ritualnya.

Menyetujui dan ikut serta dalam perayaan hari raya mereka berarti menyetujui ciri-ciri kekafiran yang paling spesifik dan ritual-ritualnya yang paling jelas. Dan tidak diragukan lagi bahwa persetujuan dan keikutsertaan semacam ini bisa berakhir dengan kekafiran secara keseluruhan.” (Iqtidha’ Sirath Al-Mustaqim, 1: 207)

Keburukan dalam merayakan Valentine

Seorang muslim yang ikut merayakan Valentine, maka ia telah melakukan perbuatan tasyabbuh/penyerupaan terhadap orang-orang kafir. Perbuatan semacam ini dilarang oleh Allah Ta’ala dan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِينَ تَفَرَّقُوا۟ وَٱخْتَلَفُوا۟ مِنۢ بَعْدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلْبَيِّنَٰتُ ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (QS. Ali Imran: 105)

Orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih yang disebutkan di dalam ayat, maksudnya adalah orang kafir dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Di ayat tersebut, Allah Ta’ala dengan tegas melarang kita untuk menyerupai mereka dalam hal-hal yang berkaitan dengan agama dan tradisi mereka.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  juga bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Daud no. 4031 dan Ahmad no. 5114)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan kepada kita bahwa siapa saja yang menyerupai suatu kaum dalam hal beragama, adat istiadat, cara berpakaian, merayakan hari raya mereka, maka ia masuk dalam bagian mereka dan mendapatkan hukum sebagaimana mereka. Jika yang ditiru dan diserupai tersebut adalah orang-orang kafir, maka na’udzubillah min dzalik, bisa jadi akan mengantarkan pelakunya kepada kekafiran dan menyebabkan pelakunya mendapatkan azab sebagaimana orang-orang kafir mendapatkan azab di akhirat kelak.

Pakar ilmu dan ulama juga telah menfatwakan haramnya merayakan hari Valentine. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya mengenai fenomena banyaknya kaum muslimin yang ikut serta di dalam merayakan hari Valentine, kemudian beliau menjawab,

“Merayakan hari Valentine terlarang karena beberapa sebab:

Pertama: Sesungguhnya ia merupakan hari raya yang diada-adakan dan tidak ada contohnya serta asalnya dalam syariat kita.

Kedua: Mengantarkan seseorang untuk terpikat dan tertarik kepada lawan jenis (dengan sesuatu yang diharamkan).

Ketiga: Membuat hati tersibukkan dengan hal-hal sepele dan tidak ada manfaatnya yang juga bertentangan dengan petunjuk orang-orang saleh terdahulu.

Tidak boleh menampakkan ritual perayaan tertentu pada hari ini, baik berupa makanan, minuman, pakaian, bingkisan dan bertukar kado, atau yang lainnya. Seorang muslim harus menjunjung tinggi agamanya dan tidak menjadi orang bodoh yang mengikuti setiap ajakan.

Aku memohon kepada Allah Yang Maha Esa untuk melindungi umat Islam dari segala godaan dan fitnah, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Dan semoga Allah Ta’ala senantiasa melindungi kita dengan bimbingan dan petunjuk-Nya.” (Majmu’ Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin, 16: 199)

Hati-hati! Merayakan Valentine membahayakan keimanan kita

Allah ‘Azza Wajalla berfirman,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Pada hari ini, telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam sebagai agama bagimu. (QS. Al-Ma’idah: 3)

Sebagaimana sudah kita sampaikan sebelumnya, merayakan hari raya merupakan salah satu syiar dan identitas dalam sebuah agama. Di dalam menjalaninya, seorang muslim dituntut untuk sejalan dengan apa yang diperintahkan oleh syariat ini.

Allah Ta’ala di dalam ayat yang baru saja kita sebutkan telah menegaskan bahwa syariat Islam telah sempurna. Tidak ada hari raya lain, kecuali Idulfitri dan Iduladha. Dengan ikut merayakan hari raya Valentine, maka itu sama saja dengan mengatakan bahwa agama Islam masih belum sempurna. Sungguh, ini adalah keyakinan yang keliru, keyakinan yang merusak keimanan kita kepada kesempurnaan ajaran Islam yang mulia ini.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga diri kita dan keluarga kita dari terjatuh ke dalam perangkap orang-orang kafir, tersesat karena mengikuti jalan mereka. Allah Ta’ala mengajarkan kepada kita doa yang sangat agung,

ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ، صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ

“(Ya Allah,) tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai (Yahudi) dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (Nasrani).” (QS. Al-Fatihah: 6-7)

Wallahu A’lam bisshawab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/91386-mengapa-muslim-tidak-merayakan-valentine.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

MUI: Golput Haram!

Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang akan memilih presiden, wakil presiden, dan wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tinggal dua hari lagi. Untuk itu, masyarakat, khususnya umat Islam bahwa wajib memilih salah satu calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres) dalam pemilu ini.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Muhammad Cholil Nafis mengajak masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya pada pemilu lusa. Menurutnya, memilih capres dan cawapres dalam pemilu ini juga bagian dari tanggung jawab keagamaan.

Kiai Cholil juga masyarakat yang golongan putih (golput) atau tidak memilih pada pemilu hukumnya haram. Bahkan, berkenaan dengan ini, MUI pernah mengeluarkan fatwa tentang kewajiban memilih pemimpin.

“Dalam fatwa yang dikeluarkan pada Ijtima Ulama II se-Indonesia pada 2009 menegaskan memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah (kepemimpinan) dan imarah (pemerintahan) dalam kehidupan bersama,” kata Kiai Cholil pada laman MUI Digital, Sabtu (16/12/2023).

Kiai Cholil menjelaskan, masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya disebut tidak bertanggung jawab terhadap jalannya bangsa ini. Oleh karena itu, dia secara tegas mengajak masyarakat untuk tidak golput.

Kiai Cholil meminta masyarakat untuk memilih satu dari tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden yang maju pada Pilpres 2024. Jika masyarakat tidak memilih salah satu dari calon presiden, maka Indonesia bisa kacau.

“Indonesia tanpa presiden pasti kita kacau, kacau itu lebih buruk daripada pemimpin yang tidak ideal itu, karena pemimpin yang tidak ideal itu masih bisa kita kontrol melalui DPR, isu masyarakat masih bisa,” ujar Pengasuh Pondok Pesantren Cendekia Amanah, Depok, Jawa Barat ini.

Menurutnya, setiap warga negara yang sudah memiliki hak pilih mempunyai tanggung jawab untuk mencoblos siapa yang akan memimpin Indonesia ke depan. Oleh karena itu, Ketua MUI ini mengingatkan, agar jangan sampai masyarakat memilih ketiga calon presiden dan wakil presiden sehingga, suaranya tidak sah.

“Kita meminta pilihlah salah satu dari yang tiga. Mau nomor satu, dua, dan tiga silahkan mana yang sesuai, kita sudah lihat dari visi misinya, debatnya siapa yang ngomongnya lebih bagus, mana yang lebih konsisten melaksanakannya,” ujarnya.

Kiai Cholil berharap masyarakat bisa menggunakan hak pilihnya untuk mencari sosok yang dirasa ideal untuk memimpin Indonesia ke depan.

“Jadi pemimpin adalah cermin dari masyarakat. Oleh karena itu, apapun alasannya tidak boleh tidak memilih di pemilu yang akan datang (Pemilu 2024). Jadi harus memilih,” kata Kiai Cholil.

ISLAMKAFFAH

Sya’ban Sebagai Bulan Momentum Pembersihan Diri

Bulan Sya’ban ialah bulan ke-8 dalam kalender Hijriyah, bulan yang mulia dan utama, yang mendapatkan perhatian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah telah mengingatkan kepada kita tentang pentingnya bulan Sya’ban ini, yang banyak orang melupakannya atau tidak memperhatikannya. Dalam sebuah hadits disebutkan:

عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ!، لَمْ أَرَكَ تَصُوْمُ مِنْ شَهْرٍ مِنَ الشُّهُوْرِ مَا تَصُوْمُ مِنْ شَعْبَانَ؟ قَالَ ذٰلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ، بَيْنَ رَجَبَ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيْهِ اْلأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ. فَأُحِبُّ أَنْ يُّرْفَعَ عَمَلِيْ وَأَنَا صَائِمٌ

Artinya: “Dari Usâmah bin Zaid ra. ia berkata: aku bertanya: Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihat engkau (memperbanyak) berpuasa pada suatu bulan pun sebagaimana engkau berpuasa pada bulan Sya’ban? Beliau menjawab: (Sya’ban) itu adalah bulan di mana manusia melupakannya (tidak memperhatikannya), antara Rajab dan Ramadhan, padahal ia adalah bulan di mana diangkat dan dilaporkanlah semua amal perbuatan manusia kepada Tuhan semesta alam. Oleh karena itulah aku senang amalku akan dilaporkan ketika aku sedang berpuasa.” (HR. al-Nasâ’î).

Hadits di atas menunjukkan kepada kita mengenai kemuliaan bulan Sya’ban. Kemuliaan bulan Sya’ban ini tampak dari begitu perhatian Rasulullah memuliakannya dengan memperbanyak berpuasa Sya’ban. Sya’ban yang letaknya di antara bulan Rajab dan Ramadhan, justru banyak orang melupakannya atau tidak memberikan perhatian kepadanya. Padahal ia adalah bulan di mana semua amal perbuatan manusia diangkat dan dilaporkan kepada Tuhan semesta alam.

Begitu menyenangkan bila saat amal kita diangkat dan dilaporkan ke hadirat Allah SWT, sedang kita dalam keadaan berpuasa, melakukan amal kebaikan. Hadits ini pun menunjukkan kesunahan untuk menghidupkan waktu-waktu di mana banyak manusia terlena, dengan melakukan berbagai ketaatan dan kebaikan.

Berpuasa dan Membersihkan Diri

Di bulan Sya’ban ini kita disunnahkan untuk memperbanyak berpuasa Sya’ban, tentu saja bukan semata-mata berpuasa hanya menahan diri dari makan dan minum dan segala yang membatalkan puasa sejak fajar shadiq, waktu shalat subuh, sampai terbenamnya matahari, waktu shalat maghrib, tetapi betul-betul berusaha untuk mencapai esensi puasa itu sendiri, yaitu meninggalkan perkataan yang keji (qaul al-zûr) dan perbuatan kotor (maksiat).

Di era media sosial saat ini, terlebih lagi dalam menghadapi dinamika politik, yang dalam beberapa hari ke depan kita akan melaksanakan Pemilu Pilpres dan Pileg serentak tanggal 14 Februari 2024, kita harus berpuasa dari membuat status ataupun mengunggah dan membagikan postingan yang berisi caci maki, hoaks, fitnah ataupun ujaran kebencian (hate speach), karena merupakan perbuatan keji dan maksiat yang wajib dihindarkan.

Di era medsos ini kita harus bertobat, dengan menghentikan dan menjauhkan diri kita dari segala bentuk kemaksiatan dalam menggunakan smartphone dan medsos, dari segala keburukan dan kezaliman, terutama yang berkaitan dengan orang lain. Sebab kezaliman kita terhadap orang lain, bisa menjadikan amal kebaikan dan amal shalih kita hangus, habis dan justru menjadikan kita orang yang muflis (bangkrut).

Berpuasa yang demikian ini berarti merupakan cara untuk mendapatkan keberkahan di bulan Sya’ban. Sebagaimana telah diajarkan oleh Nabi SAW bahwa sejak kita masuk bulan Rajab agar kita berdoa memohon keberkahan di Bulan Rajab, bulan Sya’ban dan bulan Ramadhan. Doa dimaksud adalah doa yang tersebut dalam riwayat Imam Ahmad yang berbunyi:

اَللّٰهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَارِكْ لَنَا فِيْ رَمَضَانَ

“Wahai Allah, berikanlah kepada kami keberkahan di bulan Rajab dan bulan Sya’ban, dan berikanlah kepada kami keberkahan di bulan Ramadhan.”

Dengan demikian, cara kita meningkatkan kualitas kebajikan di bulan Sya’ban, di antaranya dengan memperbanyak berpuasa di bulan Sya’ban, dalam arti menjalankan substansi puasa itu sendiri, yakni meninggalkan segala perbuatan yang keji dan kotor (maksiat) dan dosa. Cara yang baik ini merupakan upaya kita untuk meraih keberkahan hidup, yakni bertambahnya kebaikan-kebaikan, kemanfaatan-kemanfaatan dan kemaslahatan-kemaslahatan bagi kita.

Dalam keadaan berbuat kebajikan itulah, kitab berharap mudah-mudahan amal perbuatan kebajikan kita itulah yang dilaporkan kepada Allah Swt. Semoga kita mendapatkan keberkahan di bulan Sya’ban ini dan bulan Ramadhan yang akan datang.

ISLAMKAFFAH