Mengutip Imam Syafii, Aa Gym: Kebenaran akan Buat Orang Bodoh Tersinggung

KH Abdullah Gymnastiar atau yang akrab disapa Aa Gym, memberikan pernyataan terkini, di tengah ramainya perbincangan tentang film dokumenter “Dirty Vote”.

“Saat kamu menyampaikan kebenaran, maka kamu akan menemukan dua reaksi yang berbeda
Orang cerdas akan merenung, orang bodoh akan tersinggung,” ujar Aa Gym mengutip Imam Syafi’i melalui akun @aagym (12/02/2024).

Sejumlah warganet lantas menghubungkan unggahan tersebut dengan “Dirty Vote,” sebuah film dokumenter yang menyimpulkan adanya rencana kecurangan terstruktur dan sistematis terhadap pemilu selama 10 tahun terakhir.

“Saya percaya @aagym abis Nonton Film Dirty Vote,” komentar @emerson_yuntho.

Sementara, netizen lain menafsirkan bahwa kritik keras sivitas akademik yang belakangan banyak terjadi juga merupakan kebenaran yang terungkap.

“Saat kebenaran d ungkap 1. Kritik keras Sivitas Akademika 2. Film dokumenter Dirty Vote. Dan benar, orang bodoh akan tersinggung,” kata @J4ckPippo.

“Orang yang merenung itu akan diam… Sementara yang tersinggung langsung konferensi pers,” imbuh @kebo_ijo_reborn.

Meramaikan Masa Tenang

Film ‘Dirty Vote’ dirilis di saat masa tenang untuk Pemilu 2024. ‘Dirty Vote’ artinya suara kotor, dirilis hari Ahad (11/2/2024), oleh rumah produksi WatchDoc di platform YouTube.

Film Dokumenter tersebut menjelaskan potensi-potensi kecurangan untuk memenangkan pemilu 2024 dan akan merusak tatanan demokrasi.

Di samping itu bukti-bukti kecurangan pada pemilu yang melibatkan kepala daerah juga ditampilkan. Seperti seorang gubernur dan bupati yang dengan sengaja mempromosikan salah satu calon presiden ketika berada di tengah-tengah masyarakat.*

HIDAYATULLAH

10 Jasad yang Tidak Hancur dalam Kubur

Artikel ini akan membahas 10 jasad yang tidak hancur dalam kubur. Mati dalam keadaan khusnul khotimah merupakan impian yang diinginkan banyak orang. Kematian merupakan sebuah misteri yang tak terelakkan. Bagi banyak orang, kematian identik dengan pembusukan dan kehancuran jasad.

Namun, ada fenomena langka yang bertentangan dengan anggapan tersebut, yakni adanya jasad yang tidak hancur setelah dikuburkan. Fenomena ini telah ditemukan di berbagai belahan dunia dan memicu rasa penasaran, sekaligus kekaguman.

Tentunya jasad yang utuh merupakan tanda bahwa si mayit memiliki amalan yang istimewa sehingga allah swt memberikan keistimewaan tersendiri. Lantas siapa sajakah jasad yang tidak hancur dalam kubur itu?

Kematian dalam Islam merupakan hal yang pasti dialami oleh setiap makhluk hidup di alam semesta ini. Oleh karenanya kita wajib mempersiapkan bekal amal baik untuk menghadapi maut yang datang dalam waktu yang tidak ketahui. Sebagaimana firman Allah Swt berikut:

كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۗوَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ

Artinya: “Setiap yang bernyawa pasti akan mati. Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan Hanya kepada Kamilah kalian dikembalikan. (QS. Al Anbiya: 35)

Perihal jasad siapa saja yang tidak hancur di dalam kubur telah dijelaskan dalam kitab an Nawadir halaman 138, bahwa jasad yang tidak hancur dalam kubur ada 10 kelompok, yakni; 

  1. Jasad orang yang bereperang di jalan Allah Swt (jihad fi sabilillah)
  2. Jasad orang alim 
  3. Jasad muadzin (tukang adzan)
  4. Jasad penghafal al qur’an
  5. Jasad para nabi 
  6. Jasad orang yang mati syahid
  7. Jasad perempuan yang mati saat nifas
  8. Jasad orang yang menjalankan sunnah Nabi Saw
  9. Jasad orang yang terbunuh karena dizalimi
  10. Jasad orang yang meninggal di hari Jum’at

Penjelasan lebih lengkapnya sebagai berikut:

فائدة في الاجساد التي لا تبلى ذكر أن عشرة لا تبلى أجسادهم الغازي والعالم والمؤذن وحامل القران والنبي والشهيد والمرأة اذا ماتت في نفاسها وأهل السنة ومن قتل مظلوما ومن مات يوم الجمعة.

Artinya:”Faedah tentang beberapa jasad yang tidak hancur, disebutkan ada 10 jasad yang tidak hancur yakni; orang yang berperang di jalan allah swt, orang alim, muadzin, penghafal al qur’an, para nabi, orang yang mati syahid, perempuan yang mati saat menjalani nifas, orang yang terbunuh karena dizalimi, dan orang yang mati di hari Jum’at”.

Syekh Al Munawi dalam kitabnya Faidhul Qadir menjelaskan alasan mengapa jasad orang saleh tidak hancur. Penjelasan lengkapnya sebagai berikut:

تنبيه قال أبو الحسن المالكي في شرح الترغيب حكمة عدم أكل الأرض أجساد الأنبياء ومن ألحق بهم أن التراب يمر على الجسد فيطهره والأنبياء لا ذنب لهم فلم يحتج إلى تطهيره بالتراب

Artinya: “Pengingat: Imam Abul Hasan al-Maliki dalam kitab Syarah al-Targhib menyebutkan bahwa hikmah bumi tidak menghancurkan jasad para Nabi dan orang yang semisal dengannya (wali atau orang saleh) itu karena tanah yang melewati jasad (jenazah sampai menjadi tengkorak) itu bertujuan untuk mensucikannya dari dosa. Sementara itu, para Nabi tidak punya dosa. Karena itu, mereka tidak butuh penyucian dengan cara (penghancuran jasad) dengan debu.” 

Demikian penjelasan 10 jasad yang tidak hancur di dalam kubur. Semoga bermanfaat Wallahu a’lam bissawab.

BINCANG SYARIAH

Fikih Wakaf (Bag. 4): Status Kepemilikan Harta Wakaf

Dalam bagian ini, kami akan membahas tentang perpindahan status kepemilikan harta. Dalam hukum fikih, kepemilikan harta benda wakaf dibahas oleh ulama-ulama dari empat mazhab. Mereka berbeda pendapat, siapakah pemilik harta wakaf setelah seorang wakif mewakafkan hartanya?

Pandangan empat mazhab terhadap kepemilikan harta wakaf

Mazhab Maliki

Mazhab Maliki berpendapat bahwa kepemilikan harta benda wakaf tetap berada pada wakif karena wakaf tidak menghilangkan kepemilikan wakif atas harta benda yang diwakafkan. Akan tetapi, kepemilikannya tersebut bersifat terikat. Wakif tidak berhak menjualnya atau tidak melakukan tindakan hukum terhadap harta benda itu. Dalil yang digunakan mazhab Maliki adalah:

Pertama, hadis Nabi yang menjelaskan wakaf ‘Umar radhiyallahu ‘anhu. Menurut sebagian riwayat berbunyi,

حبس الأصلَ وسبِّلِ الثمرةَ

Menahan pokok harta dan mengalirkan hasilnya.”

Menahan pokok harta tidak menyebabkan keluarnya harta dari kepemilikan wakif, tetapi tetap dalam kepemilikan wakif.

Kedua, wakaf adalah tindakan terhadap hasil pengelolaan harta yang diwakafkan dan bukan terhadap harta bendanya itu sendiri, kecuali sebatas tindakan yang diperlukan untuk memperoleh hasil. Dan itu tidak sampai menghilangkan kepemilikan wakif atas harta benda wakaf karena tidak ada sebab yang menghilangkannya. Sehingga kepemilikan harta benda wakaf tetap berada pada wakif. Adapun manfaatnya dan hasil dari benda wakaf, itulah yang diperuntukkan untuk mauquf ‘alaihi.

Mazhab Hanbali

Mazhab Hanbali berpendapat bahwa kepemilikan harta benda wakaf berpindah menjadi milik mauquf ‘alaihi. Contohnya adalah seseorang yang mewakafkan rumahnya kepada anak dari saudara laki-lakinya. Maka, rumah itu menjadi milik mereka. Dan ini juga menunjukkan bahwa mereka telah mendapatkan hak miliknya.

Mazhab Syafi’i dan Hanafi

Adapun pendapat terkuat dalam Mazhab Syafi’i dan pendapat Mazhab Hanafi, bahwa harta yang diwakafkan kepemilikannya telah berpindah dari milik wakif menjadi milik Allah. Pendapat ini berdasarkan dalil dari sebagian riwayat dalam hadis wakaf Umar radhiyallahu ‘anhu, Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu mengisahkan,

فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ

“Maka, ‘Umar mensedekahkannya di mana tidak dijual, tidak dihibahkan, dan juga tidak diwariskan. Dia sedekahkan untuk para fakir, kerabat, untuk membebaskan budak, fii sabilillah, ibnu sabil, dan untuk menjamu tamu.”

Mensedekahkan (mewakafkan) pokok harta mengharuskan keluarnya harta dari kepemilikan wakif. Dan tidak mungkin juga memasukkannya dan memindahkannya ke dalam kepemilikan yang lain (mauquf ‘alaihi) karena ia hanya berhak atas hasilnya.

Berdasarkan juga bahwa keluarnya harta untuk diwakafkan tersebut tujuannya adalah mengharap rida Allah. Maka, harta benda wakaf itu menjadi milik Allah.

Itulah ringkasan pendapat mazhab fikih tentang kepemilikan harta benda wakaf.

Bagaimana kepemilikan wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan kita?[1]

Dr. Fahruroji, Lc., MA., dalam bukunya yang berjudul “Wakaf Kontemporer” menyebutkan,

“Menurut pendapat penulis, tidak ada ketentuan yang tegas mengatur tentang siapa pemilik harta benda wakaf; milik Allah, milik wakif, atau milik mauquf ‘alaihi. Hanya ada satu ayat yang menegaskan soal kepemilikan harta benda wakaf, yaitu ayat (2) pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang menyebutkan bahwa,

‘Terdaftarnya harta benda wakaf atas nama nazhir tidak membuktikan kepemilikan nazhir atas harta benda wakaf. Sesungguhnya sudah jelas bahwa nazhir bukanlah sebagai pemilik harta benda wakaf karena ia hanya sebagai pihak yang menerima harta benda wakaf untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya dan/atau untuk kepentingan mauquf ‘alaihi. Demikian juga dengan mauquf ‘alaihi, bukan sebagai pemilik harta benda wakaf. Namun, hanya sebagai pihak yang ditunjuk untuk memperoleh manfaat dari peruntukan harta benda wakaf sesuai pernyataan kehendak wakif yang dituangkan dalam akta ikrar wakaf.’”

Penulis melanjutkan,

“Melalui pasal 3 ayat (2) di atas, dapat dipahami bahwa tidak ada orang atau pihak yang memiliki harta benda wakaf karena dengan telah diserahkannya harta benda sebagai wakaf, maka berpindah kepemilikannya kepada pemilik mutlak harta benda, yaitu Allah Ta’ala. Dengan demikian, pemilik harta benda wakaf secara tersirat adalah Allah Ta’ala. Dan inilah yang sesuai dengan pendapat mazhab Syafi’i sebagai mazhab yang dianut oleh umat Islam di Indonesia.

Meskipun demikian, secara tersirat juga disebutkan kepemilikan wakif atas harta benda wakaf dalam beberapa hal, misalnya dalam Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 6 ayat (2) disebutkan,

‘Dalam hal di antara nazhir perseorangan berhenti dari kedudukannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 untuk wakaf dalam jangka waktu terbatas dan wakaf dalam jangka waktu tidak terbatas, maka nazhir yang ada memberitahukan kepada wakif atau ahli waris wakif apabila wakif sudah meninggal dunia.’

Kemudian Pasal 6 ayat (4) disebutkan,

‘Apabila nazhir dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak AIW (Akta Ikrar Wakaf) dibuat tidak melaksanakan tugasnya, maka kepala KUA (Kantor Urusan Agama) baik atas inisiatif sendiri maupun atas usul wakif atau ahli warisnya berhak mengusulkan kepada BWI (Badan Wakaf Indonesia) untuk pemberhentian dan penggantian nazhir.’

Meskipun tidak ada penjelasan siapa pemilik harta benda yang diwakafkan untuk jangka waktu sementara, namun secara tersirat dapat dipahami bahwa harta benda wakaf sementara tetap milik wakif. Sehingga, ketika jangka waktu yang ditentukan berakhir, maka wajib dikembalikan kepada wakif atau kepada ahli warisnya apabila wakif sudah meninggal dunia. Hal ini justru sejalan dengan pendapat mazhab Maliki yang membolehkan wakaf sementara dan menetapkan kepemilikan harta benda wakaf tetap menjadi milik wakif.”

Kesimpulan

Dr. Fahruroji, Lc., MA., kemudian menyampaikan sebuah saran dan kesimpulan yang sangat baik.

Seharusnya, ada ketegasan (dari pemerintah) dalam mengatur kepemilikan harta benda wakaf. Misalnya, harta benda yang telah diwakafkan selamanya telah keluar kepemilikannya dari wakif atau ahli warisnya; atau tidak lagi menjadi milik wakif atau ahli warisnya apabila wakif sudah meninggal dunia, tetapi berpindah kepemilikannya menjadi milik Allah yang dikelola dan dikembangkan oleh nazhir untuk kepentingan mauquf ‘alaihi. Dengan sudah jelasnya harta benda wakaf milik Allah, maka tidak ada lagi penyebutan wakif atau ahli warisnya sebagai pihak yang masih punya hak dalam pengusulan penggantian nazhir misalnya, atau dalam segala urusan yang terkait dengan wakaf, kecuali hak melakukan pengawasan dan pelaporan atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dilakukan oleh nazhir.

Demikian juga, dengan harta benda yang diwakafkan untuk jangka waktu tertentu atau sementara, dibuatkan aturannya secara jelas. Misalnya, kepemilikannya berpindah selama jangka waktu tertentu dari milik wakif menjadi milik Allah. Sehingga selama jangka waktu itu, wakif atau ahli warisnya -apabila wakif sudah meninggal dunia- tidak berhak mengambilnya, menggunakannya, menjualnya, menghibahkannya, atau melakukan transaksi pemindahan kepemilikan lainnya. Wakif atau ahli warisnya, apabila wakif sudah meninggal dunia, baru berhak melakukan apa saja terkait kepemilikan harta benda manakala jangka waktu wakafnya sudah berakhir dan telah menerima kembali hartanya yang diwakafkan untuk jangka waktu tertentu.

Harta benda wakaf memang tidak sama dengan harta benda lainnya dalam hal berhentinya atau tertahannya harta benda wakaf dari perpindahan kepemilikan, kecuali penukaran harta benda wakaf dengan harta benda lainnya sebagai penggantinya (istibdal atau ruislagh). Akan tetapi, harta benda wakaf dan harta benda selain wakaf memiliki persamaan, yaitu harus berfungsi untuk kesejahteraan manusia. Harta benda yang telah diserahkan sebagai wakaf harus dikelola dan dikembangkan untuk keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.

Dengan demikian, wakif akan memperoleh pahala yang berlipat ganda dan berkelanjutan karena wakafnya bukan karena sebagai pemilik harta benda wakaf. Mauquf ‘alaihi meningkat kesejahteraannya karena sebagai penerima manfaat wakaf, bukan karena sebagai pemilik harta benda wakaf. Nazhir memperoleh imbalan karena sebagai pengelola harta benda wakaf, bukan karena memegang hak milik harta benda wakaf. Karena sejatinya, pemilik harta benda wakaf adalah Allah Ta’ala. Wallahu A’lam bisshawab.

[Bersambung]

Lanjut ke bagian 5: [Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

[1] Dikutip dari buku “Wakaf Kontemporer” karya Dr. Fahruroji, Lc, MA., hal. 69-72.

Sumber: https://muslim.or.id/91384-fikih-wakaf-bag-4-status-kepemilikan-harta-wakaf.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Hukum Menggambar Makhluk Bernyawa dengan Bantuan AI

Pertanyaan:

Apa hukum membuat gambar makhluk bernyawa dengan bantuan AI (Artificial Intelligence) atau kecerdasan buatan? Yaitu pengguna hanya memasukkan perintah-perintah dan kata-kata berupa deskripsi gambar diinginkan. Kemudian komputer akan mengolah perintah tersebut kemudian membuatkan gambar sesuai deskripsi yang diinputkan. Mohon pencerahannya.

Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du.

Perbuatan tashwir (membuat gambar makhluk bernyawa) hukumnya haram. Sebagaimana hadis Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

إنَّ أشدَّ النَّاسِ عذابًا عندَ اللَّهِ يومَ القيامةِ المصوِّرونَ

Orang yang paling keras azabnya di hari kiamat, di sisi Allah, adalah tukang gambar (makhluk bernyawa).” (HR. Bukhari no. 5950, Muslim no.2109)”

Dari Aisyah radhiyallahu’anha, ia berkata:

أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ، وَأُمَّ سَلَمَةَ ذَكَرَتَا كَنِيسَةً رَأَيْنَهَا بِالحَبَشَةِ فِيهَا تَصَاوِيرُ، فَذَكَرَتَا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «إِنَّ أُولَئِكَ إِذَا كَانَ فِيهِمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ فَمَاتَ، بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا، وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّوَرَ، فَأُولَئِكَ شِرَارُ الخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ القِيَامَةِ»].

“Bahwa Ummu Habibah dan Ummu Salamah menceritakan ada gereja yang mereka lihat di Habasyah, di dalamnya terdapat gambar-gambar (makhluk bernyawa). Mereka berdua menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Beliau lalu bersabda, “Gambar-gambar tersebut adalah gambar orang-orang yang dahulunya merupakan orang shalih lalu meninggal. Kemudian dibangunkan tempat ibadah di atas kuburan mereka, dan digambarlah gambar-gambar tersebut. Orang-orang yang menggambar itu adalah orang-orang yang paling bejat di sisi Allah di hari kiamat” (HR. Bukhari no.3873, Muslim no. 528).

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

وفي الحديث دليل على تحريم التصوير

“Dalam hadis ini terdapat dalil tentang terlarangnya tashwir (menggambar makhluk bernyawa)” (Fathul Bari, 1/525).

Dan membuat gambar makhluk bernyawa dengan bantuan AI (Artificial Intelligence) tidak berbeda hukumnya dengan membuatnya menggunakan cara konvensional. Karena intinya adalah membuat gambar makhluk bernyawa, hanya berbeda alatnya saja. 

Syariat Islam tidak membedakan hukum untuk dua hal yang serupa. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:

فالشريعة لا تفرِّق بين متماثلين البتَّة ، ولا تسوِّي بين مختلفين ، ولا تحرِّم شيئاً لمفسدة ، وتبيح ما مفسدته مساوية لما حرَّمته ، ولا تبيح شيئاً لمصلحة ، وتحرِّم ما مصلحته مساوية لما أباحته البتة ، ولا يوجد فيما جاء به الرسول صلى الله عليه وسلم شيء من ذلك البتة

“Syariat tidak akan pernah membedakan antara dua hal yang serupa. Dan tidak akan menyamakan antara dua hal yang berbeda. Tidak akan mengharamkan sesuatu yang merusak, namun membolehkan sesuatu yang lain yang sifat merusaknya sama. Tidak membolehkan sesuatu yang maslahat namun mengharamkan sesuatu dengan maslahat yang sama. Tidak akan ada ajaran dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam yang demikian”. (Bada’iul Fawaid, 3/663).

Kemudian salah satu ‘illah terlarangnya menggambar makhluk bernyawa adalah karena menandingi ciptaan Allah. Dan hadis Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

قال اللهُ عزَّ وجلَّ : ومن أظلم ممن ذهبَ يخلقُ كخَلْقي ، فلْيَخْلُقوا ذرَّةً ، أو : لِيخْلُقوا حبَّةً ، أو شعيرةً

“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: ‘Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mencipta seperti ciptaan-Ku?’. Maka buatlah gambar biji, atau bibit tanaman atau gandum” (HR. Bukhari no.7559, Muslim no.2111).

Sedangkan ‘illah ini juga ada dalam perbuatan menggambar makhluk bernyawa dengan bantuan AI. Sehingga ia memiliki hukum yang sama. 

Oleh karena itu menggambar makhluk bernyawa dengan bantuan AI hukumnya haram sebagaimana haramnya menggambar makhluk bernyawa dengan cara konvensional. 

Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak hafizhahullah ketika ditanya tentang hukum menggambar dengan bantuan AI, beliau menjelaskan:

فكل تصوير لذوات الأرواح من إنسان أو حيوان فإنه حرام، بل من كبائر الذنوب؛ سواء أكانت الصورة مجسَّمة لها ظلٌّ، أو كانت رسمًا بالقلم أو بالريشة أو بالفُرشة أو بالكاميرا أو بالحاسب، كما جاء في السؤال، ويستوي في ذلك إيجاد صورة لإنسان أو حيوان دفعة واحدة، أو بطريق جمع أجزاء الصورة، وتركيب بعضها إلى بعض، أو اختيار الأشكال والألوان بطريقة النقر، أو إعطاء الحاسب الصفات المطلوبة، فالنتيجة لذلك إيجاد الصورة يقصدها المصور بيده أو بالحاسب، فكل ذلك داخل فيما دلت عليه السنة من تحريم التصوير ووعيد المصوِّر

“Maka semua perbuatan menggambar makhluk bernyawa, berupa manusia atau hewan, hukumnya haram. Bahkan termasuk dosa besar. Baik gambar tersebut tiga dimensi yang memiliki bayangan atau gambar yang menggunakan pena, atau dengan bulu, atau dengan kuas, atau dengan kamera, atau dengan komputer, sebagaimana yang ditanyakan. 

Sama saja hukumnya menggambar gambar manusia atau hewan dengan konvensional, ataukah dengan menggabungkan beberapa elemen gambar menjadi satu kemudian disusun sedemikian rupa, atau dengan memilih bentuk dan warna menggunakan mouse, atau dengan menginputkan sifat-sifat gambar yang diinginkan, sehingga kemudian jadilah gambar yang diinginkan oleh pengguna baik dibuat dengan tangan langsung atau dilakukan oleh komputer. Ini semua termasuk dalam yang ditunjukkan di dalam hadis tentang larangan menggambar makhluk bernyawa dan hadis tentang ancaman bagi tukang gambar” (Fatawa Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak, no.9056).

Kecuali jika gambar makhluk bernyawa dibuat tidak sempurna seperti tidak ada kepalanya atau tidak ada wajahnya. Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

الصُّورَةُ الرَّأْسُ، فَإِذَا قُطِعَ الرَّأْسُ فَلَيْسَ بِصُورَةٍ

“Inti dari shurah adalah kepalanya, jika kepalanya dipotong, maka ia bukan shurah” (HR. Al-Baihaqi no.14580 secara mauquf dari Ibnu Abbas, Al-Ismai’ili dalam Mu’jam Asy-Syuyukh no. 291 secara marfu‘. Dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no.1921).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan:

إذا لم تكن الصورة واضحة، أي: ليس فيها عين، ولا أنف، ولا فم، ولا أصابع: فهذه ليست صورة كاملة، ولا مضاهية لخلق الله عز وجل

“Jika gambar makhluk bernyawa tersebut tidak jelas, yaitu tidak ada matanya, tidak ada hidungnya, tidak ada mulutnya, dan tidak ada jari-jarinya, maka ini bukan gambar makhluk bernyawa yang sempurna dan tidak termasuk menandingi ciptaan Allah” (Majmu’ Fatawa war Rasail, 2/278-279).

Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom. 

***

KONSULTASI SYARIAH

Orang Yang Tidak Boleh Menjadi Pemimpin Menurut Islam

Adanya pemimpin dalam  suatu negara hukumnya wajib menurut Islam. Karena pemimpin yang bisa menengahi permasalah yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sebagaimana dikatakan oleh Wahbah Zuhaili: Keputusan hakim dapat menghilangkan perbedaan pendapat.

Ini menunjukkan pentingnya ada pemimpin dalam satu negara. Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra mengatakan:

لَا بُدَّ مِنْ إِمَارَةٍ بَرَّةً كَانَتْ اَوْ فَاجِرَةً

Artinya: Harus ada pemimpin (dalam suatu negara), baik itu baik atau jahat

Akan tetapi sekali pun harus ada pemimpin dalam satu negara, tidak semua warga negara berhak menjadi pemimpin menurut Islam, yaitu orang-orang yang tidak menjalankan syariat Islam. Rasulullah saw kepada Ka’ab bin Ujroh ra:

أَعَاذَكَ اللهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ قَالَ وَمَا إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ ؟ قَالَ أُمَرَاءُ يَكُوْنُوْنَ بَعْدِيْ لَا يَقْتَدُوْنِ بِهَدْيِيْ وَلَا يَسْتَنُوْنَ بِسُنَّتِيْ فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذْبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُوْلَئِكَ لَيْسُوْا مِنِّيْ وَلَسْتُ مِنْهُمْ وَلَا يَرُدُّوْا عَلَى حَوْضِيْ

Artinya: Semoga Allah memberikan perlindungan kepadamu dari pemimpin yang sufaha’. Kaab bin Ujroh ra bertanya: Siapa pemimpin yang sufaha ?. Rasulullah saw menjawab: Pemimpin-pemimpin setelahku, yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak mengikuti sunnahku. Barangsiapa yang membenarkan kedustaannya dan membantu kedzalimannya, maka mereka bukan golonganku, dan aku bukan golongan mereka. Mereka tidak akan kembali kelak ke telagaku (HR. Ahmad bin Hanbal)

Hadits ini memberikan dua peringatan kepada kita: Pertama, Larangan memilih pemimpin yang tidak mengikuti anjuran-anjuran agama Islam. Artinya haram memilih pemimpin yang tidak mau menjalankan syariat Islam dan senang dengan perbuatan-perbuatan maksiat. Kedua, Orang-orang yang membantu pemimpin yang demikian kelak diancam tidak masuk dalam golongan Nabi Muhammad saw, dan tidak akan berkumpul di telaganya.

Secara ideal, pemimpin suatu negara harus cakap dalam pemerintahan serta menjalankan syariat Islam. Namun mana kala pemimpin dengan kriteria seperti itu tidak mungkin bisa di peroleh, maka suatu negara harus tetap ada pemimpinnya sekalipun itu pelaku maksiat. Sebab suatu negara tanpa ada pemimpin dalam satu hari saja lebih buruk keberadaannya dibanding lima tahun bersama pemimpin yang dzolim. Sebagaimana pepatah ulama’ yang masyhur:

سِتُّوْنَ سَنَةً مَعَ إِمَامٍ جَائِرٍ خَيْرٌ مِنْ لَيْلَةٍ وَاحِدَةٍ بِلَا إِمَامٍ

Artinya: Enam puluh tahun bersama imam yang jahat masih lebih baik dari pada satu malam tanpa ada imam

Semoga dalam Pemilu ini kita mendapatkan pemimpin seperti yang dikehendaki oleh Rasulullah saw. Amin ya rabbal alamin.

ISLAMKAFFAH

Nabi Pernah Salah Mendoakan Anak Tidak Bertambah Tua

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

كَانَتْ عِنْدَ أُمِّ سُلَيْمٍ يَتِيمَةٌ وَهِيَ أُمُّ أَنَسٍ فَرَأَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْيَتِيمَةَ فَقَالَ آنْتِ هِيَهْ لَقَدْ كَبِرْتِ لَا كَبِرَ سِنُّكِ فَرَجَعَتْ الْيَتِيمَةُ إِلَى أُمِّ سُلَيْمٍ تَبْكِي فَقَالَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ مَا لَكِ يَا بُنَيَّةُ قَالَتْ الْجَارِيَةُ دَعَا عَلَيَّ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا يَكْبَرَ سِنِّي فَالْآنَ لَا يَكْبَرُ سِنِّي أَبَدًا أَوْ قَالَتْ قَرْنِي فَخَرَجَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ مُسْتَعْجِلَةً تَلُوثُ خِمَارَهَا حَتَّى لَقِيَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا لَكِ يَا أُمَّ سُلَيْمٍ فَقَالَتْ يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَدَعَوْتَ عَلَى يَتِيمَتِي قَالَ وَمَا ذَاكِ يَا أُمَّ سُلَيْمٍ قَالَتْ زَعَمَتْ أَنَّكَ دَعَوْتَ أَنْ لَا يَكْبَرَ سِنُّهَا وَلَا يَكْبَرَ قَرْنُهَا قَالَ فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ يَا أُمَّ سُلَيْمٍ أَمَا تَعْلَمِينَ أَنَّ شَرْطِي عَلَى رَبِّي أَنِّي اشْتَرَطْتُ عَلَى رَبِّي فَقُلْتُ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أَرْضَى كَمَا يَرْضَى الْبَشَرُ وَأَغْضَبُ كَمَا يَغْضَبُ الْبَشَرُ فَأَيُّمَا أَحَدٍ دَعَوْتُ عَلَيْهِ مِنْ أُمَّتِي بِدَعْوَةٍ لَيْسَ لَهَا بِأَهْلٍ أَنْ يَجْعَلَهَا لَهُ طَهُورًا وَزَكَاةً وَقُرْبَةً يُقَرِّبُهُ بِهَا مِنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Dahulu Ummu Sulaim, yaitu ibu Anas, memiliki seorang anak yatim perempuan. Pada suatu ketika, Rasulullah melihat anak yatim tersebut dan berkata, “Oh, kamu rupanya anak perempuan yang dulu! Semoga kamu tidak bertambah tua (tidak bertambah umurmu).”

Mendengar ucapan tersebut, anak yatim perempuan itu kembali kepada Ummu Sulaim sambil menangis. Kemudian Ummu Sulaim bertanya; “Ada apa denganmu, hai anakku?”

Anak perempuannya itu menjawab, “Rasulullah telah mendoakan (mengatakan) sesuatu yang jelek kepada saya bahwasanya saya tidak akan menjadi tua (bertambah umur dan menjadi dewasa selamanya).”

Mendengar pengaduan anak perempuannya itu, akhirnya Ummu Sulaim pun segera keluar (tergesa-gesa) dari rumah dengan mengenakan kerudungnya untuk bertemu Rasulullah. Setelah bertemu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Iangsung bertanya, “Ada apa denganmu, ya Ummu Sulaim?”

Ummu Sulaim menjawab, “Anak perempuan saya mengadu kepada saya bahwasanya engkau mengucapkan kata-kata yang menyedihkan hati anak perempuan saya yang yatim.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam balik bertanya, “Apakah maksudmu, hai Ummu Sulaim?”

Ummu Sulaim mulai menjelaskan, “Kata anak perempuan saya, engkau telah mengatakan bahwasanya ia tidak akan menjadi dewasa (bertambah umurnya).”

Mendengar keterangan itu, Rasulullah pun tertawa dan berkata, “Hai Ummu Sulaim, tidak tahukah kamu apa yang pernah aku syaratkan kepada Tuhanku? Sesungguhnya ada syarat yang harus aku penuhi terhadap Tuhanku. Aku berkata, ‘Ya Tuhanku, aku hanyalah seorang manusia (biasa). Aku dapat bersikap rida sebagaimana orang lain, dan aku juga dapat marah sebagaimana orang lain. Apabila ada seseorang dari umatku yang tersakiti oleh kata-kataku yang semestinya tidak layak aku ucapkan kepadanya, maka jadikanlah hal tersebut sebagai pelebur dosa dan sebagai pahala yang dapat mendekatkannya kepada-Mu di hari kiamat kelak.” (HR. Muslim no. 4712)

Faedah hadis

Pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga manusia biasa

Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan,

قُلْ لَّآ اَمْلِكُ لِنَفْسِيْ نَفْعًا وَّلَا ضَرًّا اِلَّا مَا شَاۤءَ اللّٰهُ ۗوَلَوْ كُنْتُ اَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِۛ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوْۤءُ ۛاِنْ اَنَا۠ اِلَّا نَذِيْرٌ وَّبَشِيْرٌ لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ

“Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudaratan, kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudaratan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman. (QS. Al-A’raaf: 188)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنما أنا بشرٌ، أنسى كما تنسَوْن، فإذا نسِيتُ فذكِّروني

Sesungguhnya aku adalah manusia seperti kalian. Maka, jika aku lupa, ingatkanlah aku. (HR. Bukhari)

Meskipun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang rasul dan mempunyai banyak kesitimewaan, akan tetapi beliau juga seperti manusia lainnya yang kadang salah dan lupa. Bedanya, jika beliau salah, langsung Allah yang memberi teguran sebagaimana firman-Nya,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَآ أَحَلَّ ٱللَّهُ لَكَ ۖ تَبْتَغِى مَرْضَاتَ أَزْوَٰجِكَ ۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Wahai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu? Kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Tahrim: 1)

Nabi  shallallahu ‘alaihi wasallam diutus sebagai manusia seperti kita agar dapat memberi teladan dan contoh kepada manusia lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21)

Tatkala Nabi lupa, tidaklah menjadikan beliau tercela atau turun derajatnya. Karena yang dimaksud lupa di sini, bukan karena tidak terjaga atau tidak khusyuk saat beribadah, tetapi sengaja dilupakan Allah untuk dijadikan hukum-hukum syariat. Sebagaimana ketika Nabi lupa jumlah rakaat salat, turunlah hukum terkait tata cara sujud sahwi.

Bayangkan saja, jika yang diutus menjadi Nabi dan Rasul adalah jin yang tak terlihat atau malaikat yang tak pernah salah.

Kedua, hukum rujuk (revisi) dari doa

Rujuk berasal dari bahasa Arab, yaitu raja’a – yarji’u – ruju’an yang berarti kembali atau mengembalikan (merevisi, berbalik, atau mengulangi). Rujuk dalam doa misalnya ketika ada perempuan berdoa kepada Allah meminta si A untuk berjodoh dan menjadi suaminya kelak. Namun, seiring perjalanan waktu, ternyata perempuan itu mengetahui banyak aib dan kejelekan pria A tersebut sehingga si perempuan itu tidak lagi tertarik dengan pria tersebut. Maka, diperbolehkan mengganti doanya sebagaimana hadis di atas.

Ketiga, Nabi sangat perhatian terhadap anak kecil

Hadis di atas menunjukkan betapa Nabi perhatian kepada anak-anak kecil. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَيْسَ مِنَّا؛ مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا

Bukanlah termasuk golongan kami, orang yang tidak menyayangi anak kecil. (HR. Tirmidzi no. 1919)

Banyak riwayat yang mengisahkan bagaimana kasih sayang dan perhatian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada anak kecil. Nabi bermain dengan anak kecil (Lihat HR. Bukhari no. 77), beliau bercanda dengan anak kecil (Lihat HR. Tirmidzi no. 3828), mengusap kepala dan mendoakan anak kecil (Lihat HR. Bukhari no. 7210), beliau memberikan hadiah kepada anak kecil (Lihat HR. Muslim no. 1373),  mengajarkan ilmu kepada anak kecil (Lihat HR. Ibnu Majah no. 52), dan beliau memberikan salam kepada anak kecil (Lihat HR. Bukhari no. 6247 dan Muslim no. 2168).

***

Penulis: Arif Muhammad N

Referensi:

Al-Arba’ina fi Dhahiki wa Tabassumi Sayyidil Mursalin hal. 55.

Sumber: https://muslim.or.id/91350-hadis-nabi-pernah-salah-mendoakan-anak-tidak-bertambah-tua.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Salah Satu Tanda Kiamat: Orang Bodoh Dijadikan Pemimpin

Baik buruknya masyarakat ditentukan oleh para pemimpinnya. Jika pemimpinnya baik, maka masyarakat pun akan menjadi baik. Namun, bila pemimpinnya rusak, maka masyarakat pun akan rusak. Rasulullah s.a.w. sudah mewartakan, bahwa diantara tanda-tanda Kiamat adalah diserahkannya tampuk kepemimpinan kepada orang-orang bodoh, yang tidak mau mengambil petunjuk dari al-Qur’an dan Sunnah, serta tidak mau menerima nasihat.

Jabir ibn Abdillah r.a.a meriwayatkan, bahwa Rasulullah s.a.w. berkata kepada Ka’ab ibn ‘Ajrah, “ Semoga Allah melindunginya dari kepemimpinan orang bodoh, wahai Ka’ab. ” Ka’ab lantas bertanya, “ Apakah yang dimaksud kepemimpinan orang-orang bodoh, wahai Rasulullah ?

Nabi menjawab, “ Sepeninggalku nanti, akan muncul para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak pula mengambil sunnah-sunnahku. Barangsiapa membenarkan kedustaan mereka serta mendukung kezaliman mereka, maka mereka itu bukan termasuk golonganku dan aku pun bukan bagian dari mereka. Mereka tidak akan dapat mendekati telagaku. Barangsiapa tidak membenarkan kedustaan mereka dan tidak emndukung kezaliman mereka, maka mereka termasuk golonganku dan aku pun merupakan bagian dari mereka, dan mereka akan mendapatkan bagian dari telagaku. Wahai Ka’ab ibn ‘Ajrah, puasa adalah perisai, sedekah dapat menghapus kesalahan, dan shalat merupakan kedekatan atau petunjuk. Wahai Ka’ab ibn ‘Ajrah, daging yang tumbuh dari barang haram tidak akan masuk surga, dan neraka lebih utama untuknya. Wahai Ka’ab ibn ‘Ajrah, manusia ada dua, ada yang menyerahkan jiwanya (kepada Allah) dan ada yang membiarkannya atau membinasakannya. “ (HR. Ahmad dan Bazzar),

Yang dimaksud dengan orang-orang bodoh disini adalah orang yang kemampuan berpikirnya lemah, dan tak bisa memimpin. Jangankan mengatur orang lain, mengatur dirinya sendiri saja ia tak bisa.

Dalam hadits lain, Nabi bersabda, “ Hari Kiamat belum akan terjadi sampai nanti kabilah-kabilah dikuasai oleh orang munafk dari kalangan mereka. “ (HR. Thabrani).

Apabila para penguasa, pemimpin, dan pejabat publik seperti ini, maka masyarakat oun akan rusalk. Pembohong dianggap benar, orang jujur dianggap pendusta, pengkhianat dipercaya, orang yang bisa dipercaya malah dianggap pengkhianat, orang bodoh akan berbicara, dan orang pintar diam saja.
Asy-Sya’bi berkata, “ Hari Kiamat belum akan terjadi sampai ilmu dianggap kebodohan dan kebodohan dianggap sebagai ilmu. “

Semua ini adalah kenyataan yang akan terjadi pada Akhir Zaman. Abdullah ibn Amr r.a. meriwayatkan, bahwa Nabi s.a.w. bersabda, “ tanda-tanda Hari Kiamat adalah disingkirkannya orang-orang baik dan diangkatnya orang-orang jahat. “ (HR. Hakim dalam al-Mutadrak)

Disarikan dari buku ” Kiamat Sudah Dekat? “ (kl/gr)

ERAMUSLIM

Pentingnya Memilih Teman dalam Mencari Ilmu

Selain keluarga, teman juga memiliki peran besar terhadap perubahan karakter individu seseorang. Tidak sedikit orang rusak karena lingkungan teman yang tidak baik. Begitu sebaliknya, banyak orang yang berubah menjadi baik akibat bergaul dengan oarng-orang baik. Abu Bakar al Khawarizmi berkata dalam syi’irnya:

كَمْ صَالِحٍ بِفَسَادِ آخَرَ يَفْسُدُ

Artinya: “Berapa banyak orang shalih yang rusak sebab rusaknya teman”

Ini menunjukkan bahwa lingkungan mampu merubah seseorang menjadi baik atau buruk.

Syaikh Az Zarnuji di dalam kitab Ta’limul Muta’allim memberikan empat kriteria seseorang yang pantas dijadikan teman, khususnya di dalam mencari ilmu.

Pertama, Orang yang tekun belajar. Ilmu akan mudah diterima dan dipahami jika selalu dipelajari, dibaca berulang-ulang, dan direnungkan.

Kedua, Wara’. Di dalam al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah, yang dimaksud dengan wara’ yaitu:

اجْتِنَابُ الشُّبُهَاتِ خَوْفًا مِنَ الْوُقُوعِ فِي الْمُحَرَّمَاتِ

Artinya: “Menghindari perbuatan-perbuatan yang syubhat (tidak jelas halal haramnya) karena takut terjerumus kepada perbuatan haram”

Orang yang memiliki sifat wara seperti ini penting dijadikan teman. Sebab teman yang wara’ akan menjaga temannya agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan haram dan maksiat.

Ketiga, Bertabiat baik dan lurus. Syaikh Ibrahim Al Khawwas berkata:

دَوَاءُ الْقَلْبِ خَمْسَةُ أَشْيَاءَ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ بِالتَّدَبُّرِ وَخَلَاءُ الْبَطْنِ وَقِيَامُ اللَّيْلِ وَالتَّضَرُّعُ عِنْدَ السَّحَرِ وَمُجَالَسَةُ الصَّالِحِيْنَ

Artinya: Obat hati itu ada lima: Membaca al Quran sambil merenungkan maknanya, mengosongkan perut (mengurangi makan), bangun di waktu malam, berdoa di waktu malam, dan duduk bersama orang-orang shalih (Hilyatul Awliya, juz 10, hal 327)

Keempat, Memiliki pemahaman terhadap pelajaran. Teman yang memiliki pengetahuan dan pemahaman banyak ilmu akan sangat memotivasi dan membantu temannya yang kurang peka dengan pelajarannya. Inilah mengapa penting berteman dengan orang-orang yang pandai, agar kepandaiannya dapat menular kepada temannya yang lain.

Secara umum, Rasulullah saw menasehati agar memilih dalam berteman. Rasulullah saw bersabda:

الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

Artinya: Seseorang itu tergantung agama (akhlak) temannya. Sebab itu, hendaknya di antara kalian perlu melihat siapa yang akan dijadikan teman (HR. Abu Dawud dan At Tirmidzi)

Ini artinya, bahwa teman sangat berpengaruh terhadap kita dalam mencari ilmu. Selain guru, keberhasilan mencari ilmu dan tidaknya, juga tergantung orang yang dijadikan kawan dalam belajar. Orang yang pandai dan shalih sebagaimana kriteria di atas, dapat memotivasi orang lain untuk menjadi pandai dan shalih. Begitu juga sebaliknya berteman dengan orang yang malas, akan membawa dirinya kepada bermalas-malasan juga.

ISLAMKAFFAH

Pahami Makna Religius Isra Miraj

Isra Miraj adalah bentuk kekuasaan Allah.

Guru Besar Sosiologi Agama dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung Prof Dadang Kahmad mengimbau kepada umat Islam di Indonesia untuk memahami makna religius di balik peristiwa Isra Miraj.

“Saya kira umat Islam itu harus merayakan atau mengingat momentum ini (Isra Miraj), dengan memahami makna atau religious meaning dari peristiwa ini,” katanya dikonfirmasi di Jakarta, Kamis.

Dadang mengatakan pada momentum ini, terjadi peristiwa luar biasa yang berada di luar nalar manusia, terutama pada perspektif umat manusia pada zaman dahulu.

Di mana pada zaman tersebut, katanya, Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dan diangkat ke langit ketujuh pada satu malam.

“Saya kira itu jadi suatu kekuasaan Allah luar biasa, tidak bisa kita ukur menggunakan akal pikiran manusia, sesuatu yang terjadi dan perlu kita imani,” ujarnya yang juga Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah bidang Pustaka, Informatika, dan Digitalisasi itu.

Selain itu, Dadang juga mengimbau kepada umat Muslim di Indonesia untuk mengucapkan kalimat Subhanallah (Maha Suci Allah) ketika melihat sesuatu yang membuat takjub, sebagaimana Allah mengawali surat Al-Isra menggunakan kalimat tersebut.

Tak hanya memahami makna religius dalam peristiwa Isra Mikraj, ia juga mengimbau umat Muslim di Indonesia untuk saling toleran dan menghargai antar sesama manusia sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.

“(Peringatan Isra Mikraj) berdekatan dengan Tahun Baru Imlek no problem, tidak masalah, justru kita diajarkan oleh Nabi (Muhammad SAW) untuk hidup toleran, berdampingan baik dengan umat agama yang lain. Sebagaimana dicontohkan Nabi (Muhammad SAW) di Madinah dengan membuat piagam perdamaian antara Muslimin dan Non Muslim di Madinah,” tutur Dadang Kahmad.

Untuk diketahui, peristiwa Isra Mikraj adalah dua bagian perjalanan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, lalu di angkat hingga ke Sidratul Muntaha (tempat tertinggi di atas langit ketujuh) dalam satu malam. Pada malam ini pula, Rasulullah SAW mendapatkan perintah langsung dari Allah SWT untuk menunaikan shalat lima waktu.

sumber : Antara

Tanda Dekatnya Kiamat

Tanda-tanda yang mengawali terjadinya kiamat tidak saja bersifat alamiah.

Tanda-tanda yang mengawali terjadinya kiamat tidak saja bersifat alamiah. Tetapi ada juga yang tampak secara sosial di kalangan masyarakat manusia. 

Jika tanda-tanda alam semesta berupa fenomena kerusakan bumi dan langit, yang bersifat sosial berbentuk peristiwa yang muncul di tengah masyarakat. Terkait ini, Sayyid Sabiq menyampaikan bahwa tanda-tanda datangnya kiamat terbagi dua, yaitu tanda-tanda yang kecil (al-‘alamah as-sugra) dan tanda-tanda yang besar (al-‘alamah al-kubra).

Di antara tanda-tanda yang kecil (al-‘alamah as-sugra) adalah diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul terakhir. Nabi Muhammad SAW mendapat amanat meluruskan akidah manusia yang menyimpang untuk kembali ke ajaran tauhid. 

Risalah Nabi Muhammad SAW berlaku untuk semua umat sampai akhir zaman. Dengan demikian, setelah Nabi Muhammad SAW tidak ada Rasul lagi. Kenabian berakhir dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW. Sesudahnya, yang akan tiba adalah hari akhir yakni kiamat. 

Rasulullah berpesan, “Aku diutus (oleh Allah) dan jaraknya dengan kiamat itu bagai dua jari ini. (Beliau bersabda demikian sambil menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya).” (Riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim dari Anas)

Pesan ini menjelaskan bahwa kurun waktu antara Nabi Muhammad SAW dengan tibanya hari akhir itu sedemikian dekat. Nabi Muhammad SAW adalah Nabi terakhir. Karenanya, antara dua peristiwa ini tidak ada lagi kejadian yang dianggap penting dalam kehidupan manusia. Jarak antara keduanya sudah dekat, sedekat jarak antara jari telunjuk dan jari tengah. Namun demikian, tidak dijelaskan secara pasti kapan kiamat tiba, dan selang berapa lama setelah kenabiannya.

Diriwayatkan bahwa pada suatu hari Malaikat Jibril bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kapan kiamat akan terjadi. 

Nabi Muhammad SAW menjawab, “Orang yang ditanya (tentang waktu terjadinya kiamat) tidak lebih tahu daripada penanya.” 

Malaikat Jibril berkata, “(Kalau begitu), beritahulah aku tentang tanda-tandanya.” 

Nabi Muhammad SAW menjawab, “Ketika budak wanita melahirkan tuannya, dan jika kau lihat orang-orang yang tidak beralas kaki, telanjang lagi miskin, dan menggembala kambing, bermegah-megahan dalam urusan tempat tinggal.” (Riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim dari Umar)

Dilansir dari buku Tafsir Ilmi: Kiamat Dalam Perspektif Alquran dan Sains yang disusun Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 2011.

IHRAM