Siapa Manusia yang Sholatnya Diterima Allah?

Dalam Ihya Ulumuddin dijelaskan bahwa sholat merupakan tiang agama.

Imam Al Ghazali bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali dikenal sebagai Hujjatul Islam Zainuddin al-Thusi, seorang ahli fiqih bermazhab al-Syafi’i. Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al Ghazali meriwayatkan kisah Nabi Daud Alaihissalam yang bertanya kepada Allah SWT.

Nabi Daud Alahissalam bertanya kepada Allah SWT, siapa orang yang akan menghuni rumah Allah dan siapa orang yang sholatnya diterima.

Diriwayatkan, dalam munajatnya Nabi Daud Alaihissalam pernah berdoa, “Ya Rabb-ku, siapakah yang akan menghuni rumah-Mu, dan sholat siapakah yang akan Engkau terima?”

Maka Allah SWT mewahyukan kepada Nabi Daud Alaihissalam, “Orang- orang yang akan menghuni rumah-Ku, dan orang-orang yang akan Aku terima sholat mereka adalah yang merendahkan dirinya di hadapan keagungan-Ku, menjalani kehidupannya dalam zikir kepada-Ku, mengendalikan nafsunya demi Aku, memberi makan orang yang lapar, menjamu musafir dan menunjukkan simpati kepada siapa saja yang tengah menderita kesulitan. Cahaya orang-orang seperti itulah yang akan menerangi langit dan bumi.”

“Apabila ia berdoa kepada-Ku, niscaya Aku (Allah) akan mengabulkan doanya. Aku akan menjadikan kebijakan dalam ketidaktahuannya, zikir kepada-Ku dalam kelalaiannya, dan cahaya dalam kegelapannya. Perumpamaan orang seperti itu laksana Taman Firdaus di puncak surga, yang sungainya tidak akan kering, dan buah-buahannya tidak akan pernah membusuk.”

Dalam Ihya Ulumuddin dijelaskan bahwa sholat merupakan tiang agama, dan sekaligus pengawal serta pondasi (dasar) keyakinan bagi diberlakukannya syari’at Islam. Rahasia di balik perintah mendirikan sholat menjadi aktivitas rutin yang sangat utama di antara amal kebajikan yang mengiringinya. 

Dalam rangkaian awal pada pelaksanaan sholat dimulai dengan bentuk seruan yang jika diakumulasikan, maka seruan dimaksud senantiasa menghiasi alam raya ini sepanjang waktu. Oleh karena itu, rahasia dan keutamaan di balik perintah menyeru (adzan) ini digambarkan melalui sabda Nabi Muhammad SAW ini.

“Ada tiga kelompok manusia yang pada Hari Kiamat kelak akan ditempatkan di bukit Misik Adzfar, di mana mereka tidak memperdulikan hisab dan tidak merasa takut hingga selesainya pemeriksaan seluruh amalan manusia. Mereka itu adalah orang-orang yang gemar membaca Alquran karena mengharap keridhaan Allah SWT semata. Juga orang-orang yang diuji oleh Allah dengan status sebagai budak ketika berada di dunia, namun hal itu tidak membuat mereka lalai dari melakukan amalan akhirat, dan orang-orang yang menyerukan panggilan untuk menegakkan sholat (muadzin).” (HR Imam At-Tirmidzi)

IQRA

Kesehatan Mental: Islam dan Praktik Hidup Sehat

Jika anjuran ibadah yang telah ditulis dalam Al-Quran dan hadis dilaksanakan dengan baik, sesungguhnya umat Islam otomatis telah menjaga pola hidup sehat, termasuk masalah kesehatan mental

PIKIRAN  yang sehat secara umum dapat dipahami melalui kemampuan individu tentang kemampuan diri, mampu menangani stres dengan baik, mampu bekerja secara produktif dan mampu berkontribusi pada masyarakat.

Tidak ada satu orang pun yang memiliki seluruh karakteristik kesehatan mental yang baik sepanjang waktu. Hal ini sangat bergantung pada faktor individu, sosial dan lingkungan.

Beberapa faktor sosial, psikologis, dan biologis diilai menentukan tingkat kesehatan mental seseorang pada suatu waktu. Kesehatan mental seseorang juga dapat dipengaruhi oleh masalah sosial ekonomi, perubahan kondisi lingkungan dan sosial.

Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, terdapat lebih dari 19 juta penduduk Indonesia usia lebih dari 15 tahun memiliki gangguan mental emosional. Selain itu, sebanyak lebih dari 12 juta penduduk dengan rentang usia sama diketahui mengalami depresi.

Data Sistem Registrasi Sampel yang diimpun Badan Litbangkes 2016 menemukan, ada sekira 1.800 orang yang melakukan bunuh diri setiap tahunnya. Angka tersebut jika dirata-rata terdapat lima orang bunuh diri setiap tahunnya.

Mirisnya pelaku bunuh diri tersebut diketahui sekitar 47,7 persennya memiliki usia 10-39 tahun. Golongan ini masuk dalam kategori usia anak remaja dan usia produktif.

Mengutip laman Sehat Negeriku Kemenkes, Indonesia memiliki prevalensi orang dengan gangguan jiwa kurang lebih 1 dari 5 orang.  Jika dikaitkan dengan jumlah penduduk yang mencapai 250 juta jiwa, jumlah mereka yang rentan mengalami masalah gangguan jiwa mencapai 20 persen dari populasi penduduk di negeri ini.

Masalah kesehatan mental yang terdeteksi antara lain masalah emosional dan perilaku, termasuk gangguan stres akut, depresi, kecemasan, kelelahan, dan perilaku bunuh diri. Dari statistik tersebut juga dapat dengan mudah disebutkan bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat mengkhawatirkan.

Psikolog dan pakar medis telah menyarankan berbagai tindakan pencegahan dan perbaikan yang perlu diambil secara proaktif dalam mencegah masalah kesehatan mental menjadi lebih buruk.

Islam dan Kesehatan Mental

Sehat berasal dari bahasa Arab “Ash-Shihhah” yang berarti sehat, tidak sakit, atau aman. Secara harafiah, “sehat” diartikan sebagai keadaan sehat, baik jasmani maupun rohani.

Dalam bahasa Arab terdapat sinonim dari kata ash-shihhah yaitu al-‘afiah  berarti ash-shihhah at-tammah (sehat yang sempurna ). Kedua kata ash-shihah dan al-afiah sering digabung digabung menjadi satu yaitu ash-shihhah wa al’afiah, artinya sehat secara sempurna.

Islam sebagai agama yang sempurna dan utuh sangat memperhatikan masalah kesehatan. Kesehatan merupakan salah satu nikmat terbesar yang Allah SWT berikan kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, kita sebagai hamba Allah hendaknya mensyukuri nikmat sehat yang diberikan-Nya. Rasulullah ﷺ bersabda, yang artinya. “Ada dua nikmat yang banyak ditipu, yaitu kesehatan yang baik dan waktu luang.” (HR Bukhari).

Hidup Sehat, Berpikir positif & Hindari Konflik

Menjalani pola hidup sehat juga perlu dilakukan dengan melakukan olah raga, rekreasi atau melakukan aktivitas fisik yang dapat membuat kita merasa bahagia, dapat bersosialisasi dengan keluarga dan teman serta memenuhi hobi atau aktivitas favorit kita.

Demikian pula Islam juga memberikan pedoman yang berbeda mengenai persoalan dan permasalahan ini. Secara umum, proses penyembuhan gangguan jiwa juga dapat diobati dan dicegah secara spiritual.

Di bawah ini dapat dilihat sebagai salah satu alternatif terbaik untuk mengobati gangguan mental ini dengan cara yang islami :

  • Menjaga Pola Makan

Islam  menetapkan berbagai prinsip untuk menjaga keseimbangan tubuh manusia agar tetap dalam kondisi sehat. Upaya menjaga kesehatan jasmani salah satunya dapat dilakukan dengan menjaga pola makan dan minum yang baik.

فَلۡيَنۡظُرِ الۡاِنۡسَانُ اِلٰى طَعَامِهٖۤۙ

 “Maka hendaklah manusia memperhatikan makanannya.” (QS. ‘Abasa 80: 24).

كُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ وَلَا تُسْرِفُوٓا۟ ۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلْمُسْرِفِينَ

“Makan dan minumlah, namun jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebihan.” (QS: al-A’raf 7: 31).

Ada banyak cara untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan spiritual atau mental. Bahkan banyak amal dan ibadah yang dianjurkan Islam sesungguhnya berdampak pada kesehatan mental pelakunya.

  • Memperbanyak Membaca Al-Quran;

Selain muktizat, sesungguhnya isi kandungan Al-Quran adalah obat bagi jiwa jiwa yang sakit, yang hatinya galau, resah atau gunda gulana. Sebuah studi di Universitas Salford, Inggris menemukan  orang-orang yang membaca dan melantunkan Al-Qur’an menjadi lebih rileks dan tenang dibanding mereka yang membaca buku biasa.

Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam Surah Ar-R’ad ayat 28.

الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ

“Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS: Ar-R’ad; 28).

  • Sholat dengan sempurna dan banyak berdoa;

Allah Swt sendiri dalam Al-Quran telah berjanji, bahwa shalat mencegah perbuatan buruk. Karena itu bagi yang sholatnya benar dan sungguh-sungguh, pasti jaminan Allah Swt ini akan terbukti mencegah hal hal buruk.

Allah Ta’ala telah bersabda mengenai hal ini dalam Firma-Nya.

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

“Sesungguhnya Shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.. (QS:. Al-‘Ankabut Ayat 45).

Dampak umum dari melaksanakan Shalat dengan benar seharusnya menjadi mereka yang disinggung ke dalam sebuah ayat Al Qur’an.

اِنَّ الْاِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًاۙ اِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوْعًاۙ وَّاِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوْعًاۙ اِلَّا الْمُصَلِّيْنَۙ الَّذِيْنَ هُمْ عَلٰى صَلَاتِهِمْ دَاۤىِٕمُوْنَۖ

“Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir, kecuali orang-orang yang melaksanakan Shalat”. [Al Maarij 19-23).

  • Menghadiri majelis-majelis ilmu(ulumuddin);

Banyak orang stres, depresi, justru larinya ke diskotik, minum alcohol (Miras), yang justru dilarang agama, dan yang berangkutan tetap saja tidak bisa menyelesaikan masalah. Yang terjadi hatinya tetap saja galau.

Padahal, Allah Swt telah benyak memberikan resepnya. Salah satunya menghadiri majelis ilmu (ulumuddin), ikut kajian agama, pengajian dll.

Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

“Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah membaca Kitabullah dan saling mengajarkan satu dan lainnya melainkan akan turun kepada mereka sakinah (ketenangan), akan dinaungi rahmat, akan dikeliling para malaikat dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di sisi makhluk yang dimuliakan di sisi-Nya.” (HR. Muslim, no. 2699).

  • Banyak berdzikir dan bershalawat;

فَٱذْكُرُونِىٓ أَذْكُرْكُمْ وَٱشْكُرُوا۟ لِى وَلَا تَكْفُرُونِ

Artinya: Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS: Al-Baqarah: 152).

وقال صلى الله عليه وسلم : أكثروا عليَّ من الصَّلاةِ يومَ الجمعةِ وليلةِ الجمعةِ ، فمَن فعل ذلك كنتُ له شهيدًا وشفيعًا يومَ القيامةِ. (رواه البيهقي)

Artinya: “Rasulullah bersabda: Perbanyaklah kalian untuk bershalawat kepadaku di hari Jumat dan malam Jumat. Barang siapa yang melakukan hal itu, aku akan menjadi saksi baginya dan memberikan syafaat padanya di hari kiamat,” (HR Imam Baihaqi).

  • Tidur yang Dianjurkan Islam dan Al-Quran

Kurang tidur dan gangguan tidur adalah masalah kesehatan yang paling umum namun sering diabaikan dan mudah diobati. Diperkirakan 50 hingga 70 juta orang Amerika secara kronis menderita gangguan tidur dan terjaga, yang menghambat fungsi sehari-hari dan berdampak buruk pada kesehatan dan umur panjang (NHLBI, 2003).

Gejala utama kurang tidur adalah rasa kantuk yang berlebihan di siang hari, namun gejala lainnya termasuk suasana hati yang tertekan dan daya ingat atau konsentrasi yang buruk (Dinges et al., 2005)

Kualitas tidur sama pentingnya untuk kesehatan seperti halnya diet dan olahraga. Tidur yang baik meningkatkan kinerja otak, suasana hati, dan kesehatan Anda.

Sebaliknya, kurang tidur berkualitas secara teratur meningkatkan risiko berbagai penyakit dan gangguan. Mulai dari penyakit jantung dan stroke hingga obesitas dan demensia.

Tidur nyenyak lebih dari sekadar waktu yang dihabiskan di tempat tidur, kata Dr. Marishka Brown, pakar tidur di NIH. “Tidur yang sehat mencakup tiga hal utama,” jelasnya. “Salah satunya adalah seberapa banyak Anda tidur. Hal lainnya adalah kualitas tidur—yaitu Anda mendapatkan tidur yang tidak terganggu dan menyegarkan. Yang terakhir adalah jadwal tidur yang konsisten.”

Dr. Maiken Nedergaard, yang mempelajari masalah tidur di Universitas Rochester menemukan,  bahwa otak memiliki sistem drainase yang menghilangkan racun saat tidur. “Saat kita tidur, fungsi otak berubah total,” jelasnya. “Ini menjadi hampir seperti ginjal, membuang limbah dari sistem.”

Dr. Kenneth Wright, Jr., peneliti tidur di University of Colorado. “Ada proses perbaikan tertentu yang sebagian besar terjadi di dalam tubuh, atau paling efektif, saat tidur,” jelasnya. “Jika Anda tidak cukup tidur, proses tersebut akan terganggu.”

Meski demikian, ada waktu waktu tidur yang justru menyehatkan, tapi ada waktu tidur yang justru berbahaya bagi kesehatan. Setidaknya, Islam telah melarang 4 waktu untuk tidur.

Pertama, Tidur pagi hari (setelah shalat Subuh)

Dalam riwayat lainnya, Rasulullah ﷺ bersabda, “Apabila engkau telah selesai salat Subuh janganlah kamu tidur tanpa mencari rezeki,” (HR. Thabrani).

Kedua, tidur setelah shalat Ashar – Maghrib

Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha, Rasulullah ﷺ  bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang tidur setelah salat Asar lalu akalnya hilang, maka janganlah dia mencela (menyalahkan) kecuali dirinya sendiri.”

KetigaTidur sebelum shalat Isya

Dalam hadits tersebut Rasulullah ﷺ  bersabda,

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ وَعَبْدُ الْوَهَّابِ قَالُوا: حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ أَبِي الْمِنْهَالِ سَيَّارِ بْن سَلَامَةَ, عَنْ أَبِي بَرْزَةَ الْأَسْلَمَى قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَحِبُّ أَنْ يُؤَخِّرَ الْعِشَاءَ وَكَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَهَا وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا. [صحيح: الروض ٩١٥, الثمر المستطاب:ق]

Dari Muhammad bin Basyar, dari Yahya bin Sa’id, Muhammad bin Ja’far, dan Abdul Wahab, dari Auf dari Abu Minhal Sayyar bin Salamah, dari Abu Barzah al-Aslami, ia berkata, “Rasulullah  suka mengakhirkan shalat Isya, dan beliau tidak suka tidur sebelumnya, juga tidak berbicara setelahnya.” (Shahih: ar- Raudhun Nadhiir, No. 915, ats-Tsamarul Mustathab: Muttafaq ‘alaih)

Keempat, Tidur setelah makan

Hadis riwayat Aisyah mewanti-wanti hal tersebut sebagaimana berikut.

أذِيبُوا طَعامَكُمْ بِذِكْرِ الله والصَّلاةِ وَلَا تَنامُوا عليه فتقسوا قلوبكم

“Cernalah makanan kalian dengan (terlebih dahulu) berzikir pada Allah dan shalat. Janganlah kalian tidur dalam keadaan kenyang, karena itu dapat membuat hati Anda keras.” (HR Ibnu Suni dan Abu Nu‘aim).

Kelima,  Tidur sepanjang hari (tidur terlalu lama)

Rasulullah ﷺ  selalu mengkhawatirkan akan menjangkitnya penyakit tersebut (banyak tidur) kepada umatnya. Sabdanya,

أخشى ما خشيتُ على أمتى: كَبِرُ البطنِ, ومُداوَمَةُ النوم والكسَلُ وضَعْفُ اليقيــنِ

“Hal-hal yang paling aku khawatirkan melanda umatku ialah besar perut, banyak tidur, pemalas, dan lemah keyakinan.” (HR Daruquthni dari Jabir)

Kesimpulannya, Islam mendorong umatnya untuk menjadi generasi yang tangguh, sehat dan semangat dalam menghadapi segala tantangan hidup yang sangat membebani jiwa dan emosi. Walluhua’lam.*  

HIDAYATULLAH

Jika Ragu Buang Angin atau tidak Saat Sedang Sholat

Kentut adalah salah satu yang dapat menyebabkan batalnya sholat.

Ketika kita sedang sholat, terkadang timbul perasaan ragu apakah ada kentut yang keluar atau tidak. Perasaan seperti ini disebut juga dengan was-was, yang dapat menimbulkan keragu-raguan dalam diri seseorang.

Jadi apabila kita merasakan buang angin yang tanpa suara (apakah itu kentut atau bukan), apakah kita harus membatalkan shalat itu?

Dalam kaidah fiqih telah diajarkan al yaqinu la yuzalu bi syak bahwasanya keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keragu-raguan. 

Para ulama fiqih telah membahas hal tersebut bahwa apabila seseorang merasa ragu apakah dia kentut atau tidak ketika dia sedang sholat maka jangan langsung membatalkan sholatnya. Kecuali dia merasa yakin mendengar suara kentut tersebut atau mencium baunya. 

Dikutip dari buku “Kitab Fikih Sehari-Hari” karya Shohibul Ulum, berikut perinciannya sebagaimana yang tertera dalam Hasyiyah Bujairamu ‘alal Khatib dan Raudlatu ath-Thalibin.

Jika yakin memang buang angin maka batal wudhunya, dan jika terjadi saat sedang sholat otomatis batal shalatnya meskipun tidak keluar suara atau tidak berbau.

Namun jika ragu-ragu buang angin atau tidak maka tidak batal wudhunya dan haram hukumnya apabila dia membatalkan shalatnya hingga dia benar yakin mendengar suara kentut tersebut dan mencium baunya.

“Dari Ibnu Abbas RA, dia berkata, Rasulullah bersabda: “Setan itu datang kepada seseorang yang sedang sholat, lalu dia embus di pantat orang itu, maka orang itu pun merasa berhadas, padahal sebenarnya tidak berhadas. Oleh karena itu, apabila seseorang berperasaan demikian, janganlah dia berpaling dari shalatnya sehingga dia mendengar suara kentutnya atau mencium baunya,”

Kentut adalah salah satu yang dapat menyebabkan batalnya wudhu seseorang, dan apabila wudhu batal, maka sholatnya pun menjadi tidak sah. 

IHRAM

Kisah Debat Ulama Nahwu; Imam Sibawaih dan Imam Al-Kisa’i

Dalam ilmu Nahwu, terdapat dua rival yang sangat fenomenal. Yaitu Imam Sibawaih yang menjadi pemimpin linguis daerah Bashrah, dan Imam Al-Kisa’i yang menjadi pemimpin daerah Kufah. Keduanya menjadi 2 kutub besar, dalam kajian sastra Arab. Nah berikut ini kisah debat ulama Nahwu antara Imam Sibawaih dan Imam Al-Kisa’i.

Di antara kisah yang masyhur debat ulama Nahwu itu, yang paling monumental adalah terkait struktur kalimat dalam peribahasa Arab, perdebatan ini jamak disebut dengan Al-Zanbur. (Al-Dzahabi, Tarikh Al-Islam, Juz 11 H. 155) 

Sebuah perdebatan yang membahas sastra, suatu bidang yang sangat disegani pada masa itu. Namun sayangnya diskusi ini menjadi tidak sehat, karena ada sisi politisnya. Berikut adalah kisah lengkapnya;

Ketika Imam Sibawaih datang ke daerah Baramikah, Maka Yahya bin Khalid bertekad untuk mempertemukan antara Sibawaih dengan Al-Kisa’i untuk menyelesaikan perdebatan di antara keduanya.

Namun sebelum itu, Imam Sibawaih menghadapi Al-Farro’ dan Khalaf. Maka Khalaf bertanya, namun setelah dijawab malah berkata kepadanya: Anda keliru. Demikian terjadi sampai 3x. Maka Sibawaih berkata kepadanya; Ini adalah Adab yang buruk!.

Kemudian majulah Al-Farro’ dan berkata; lelaki ini memiliki sifat temperamental dan tergesa-gesa. Begini: Apa pendapatmu terhadap orang yang mengatakan; هؤلاء أبون (orang-orang ini adalah para ayah) dan, مررت بأبين (aku melewati para ayah). Bagaimana pula engkau mengatakan yang semisal dengan itu pada kasus وأيت (aku berjanji/menjamin) atau أويت (aku berlindung)? Al-Farro’ berkata; Maka beliau (Sibawaih) menjawab dengan teori Taqdir (perkiraan) dan itu keliru. Maka aku berkata: Telitilah lagi. Maka beliau (Sibawaih) menjawab dengan teori Taqdir (perkiraan) lagi dan itu keliru. Maka aku berkata: Telitilah lagi. Demikian sampai tiga kali, namun disalahkan terus.

Sibawaih berkata: Saya tidak berdebat dengan kalian berdua (Al-Farro’ dan Khalaf), saya mau sahabat kalian (yakni Al-Kisa’i) hadir hingga saya berdiskusi dengan beliau. Maka Al-Kisa’ipun datang. Kemudian beliau menghadap ke arah Sibawaih. Lalu beliau bertanya; “Anda bertanya kepada saya (dulu) ataukah saya bertanya kepada Anda”? Sibawaih menjawab; “Tidak. Andalah yang bertanya kepada saya”. Maka Al-Kisa’i menghadap kepadanya dan bertanya:” apa pendapat Anda terhadap kalimat berikut (mana yang benar;

قد كنت أظن أن العقرب أشد لسعة من الزنبور فإذا هو هي،

(Saya telah menduga bahwa kalajengking lebih hebat sengatannya daripara Zunbur/kumbang. Ternyata sama saja)

ataukah

فإذا هو إياها؟

Sibawaih menjawab; (yang benar) فإذا هو هي dan tidak boleh dinashobkan.Maka Al-Kisa’i berkata kepadanya: Anda telah melakukan Lahn (kesalahan berbahasa). Kemudian Al-Kisa’i menanyainya lagi dengan sejumlah kasus yang sejenis dengan pertanyaan sebelumnya seperti;

خرجت فإذا عبد الله القائمُ، أو القائمَ؟

(Aku keluar. Ternyata Abdullah berdiri)

Yang ditanyakan: mana yang benar, apakah القائمُ ataukah القائمَ ? maka semuanya dijawab Sibawaih dengan jawaban Rofa’ bukan Nashob. Maka Al-Kisa’i berkata; “Ini bukan bahasa orang-orang Arab. Orang-orang Arab merofa’kan itu semua dan menashobkan”. Maka Sibawaih membantah pendapat tersebut.

Yahya bin Khalid berkata: kalian telah berbeda pendapat, padahal kalian adalah panutan di negeri masing-masing. Lalu siapa yang bisa menjadi juri untuk kalian berdua? Al-Kisa’i berkata; “Ini ada orang-orang Arab (Badui) di pintu Anda. Anda telah mengumpulkan mereka dari berbagai penjuru. Dan telah datang kepada Anda dari berbagai daerah. Mereka adalah orang-orang yang paling fasih. Penduduk dari berbagai kota telah bisa menerima mereka.

Penduduk Kufah dan Bashrah juga telah mengambil dalil ucapan dari mereka. Orang-orang Arab Badui ini datang, dan mereka menanyainya.” Yahya berkata: Anda adil. Maka Yahya memerintahkan agar mereka dihadirkan, ternyata mereka mengikuti Al-Kisa’i dan berpendapat dengan pendapat yang diadopsi Al-Kisa’i. Al-Farro’ berkata: maka Yahya menghadap ke arah Sibawaih dan berkata: Anda telah mendengarnya. Al-Farro’ berkata; maka Sibawaihpun tunduk.

Kemudian Al-Kisa’i menghadap kepada Yahya; Semoga Allah selalu membenahi urusan Wazir. Sesungguhnya dia telah datang kepada engkau dari negerinya dalam keadaan berharap. Jika engkau melihat bahwa engkau tidak menolaknya dalm keadaan kecewa, saya kira itu baik. Maka Yahya memerintahkan agar Sibawaih diberi 10.000 dirham. Usut punya usut, ternyata panelis itu takut pada Imam Al-Kisa’i, atau mereka demikian ini karena pengaruh dan kedudukannya di hadapan Khalifah Harun Al-Rasyid. (Ibnu Hisyam, Mughni Al-Labib an kutub al-a’arib, Halaman 121) 

Menurut Reportase Yaqut Al-Hamwi, ternyata yang menjadi panelis debat tersebut adalah orang yang memiliki hubungan dekat dengan Al-Kisa’i. Bahkan beliau bergaul dengan mereka, di antaranya adalah Abu Faq’as, Abu Datsar, Abu Tsarwan dll. Tentunya pengikut Imam Sibawaih merasa ini tidak adil, sehingga mereka memberikan penjelasan kepada para fans sang Imam, bahwa yang benar adalah pendapat Imam Sibawaih. 

Namun perdebatan ini membuat sang Imam sangat terpukul, bahkan beliau sampai tidak pulang ke Bashrah. Pasca debat, beliau berlabuh ke Persia untuk menetap di sana. Hingga pada akhirnya beliau meninggal dengan menyimpan rasa gundah atas kejadian tersebut. 

Lain halnya dengan Imam Al-Kisa’i, pasca kejadian ini beliau malah belajar kepada Al-Akhfasy mengenai karyanya Imam Sibawah (judulnya Al-Kitab) di setiap hari jumat dengan membayar sejumlah 70 Dinar. Kegiatan ini pun juga berlanjut ke anaknya Imam Al-Kisa’i. Syahdan, ini menjadi kritikan publik. Sebab yang demikian ini menjadi kebanggaan masyarakat Bashrah, bahwa meski dinegasikan kepakarannya, ternyata karyanya ulama’ mereka malah dikaji. (Mu’jam Al-Udaba’, Juz 4 Halaman 1745)

Namun menurut Al-Zajaji, yang menjadi panelis dalam debat tersebut adalah Abu Faq’as, Abu Ziyad, Abu Al-Jarrah dan Abu Tsarwan. Dan yang menjadi partner Al-Farra’ bukan Khalaf, melainkan Al-Ahmar. (Majalis Al-Ulama’, halaman 10) 

Imam Khatib Al-Baghdadi menepis kabar yang beredar di masyarakat bahwa panelis yang disediakan oleh Imam Yahya merupakan settingan, karena jika demikian, niscaya para keluarga dan penghuni istana sudah mengetahuinya. (Tarikh Baghdad, Juz 13 Halaman 591) 

Dari kisah ini seyogyanya kita belajar bahwa harusnya bisa menjaga integritas ketika menjadi panelis debat, dan seharusnya yang menjadi panelis pun merupakan pihak yang independen dan bebas dari intervensi pihak manapun.

Padahal tukar pikiran ini adalah dalam rangka menjaga konstitusi ilmu, sehingga tidak boleh dikotori agar tidak mendegradasi ruang akademik, demi mendapatkan hasil yang terbaik.

Demikian kisah debat ulama nahwu antara imam Sibawaih dan Imam Al-Kisa’i. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

3 Pertanyaan Cara Mengenal Tuhan (1)

Betapa pentingnya sebuah kesadaran diri. Bayangkan jika manusia mengalami kecelakaan hebat dan dia bisa sembuh, tetapi ia lupa tentang dirinya sendiri. Orang seperti ini sejatinya lebih mengalami siksaan yang lebih menyakitkan. Ia harus memulai kembali ingatan sementara orang sekelilingnya sudah mempunyai ingatan dan kesadaran tentang orang itu.

Begitu pula manusia di dunia ini. Sadarkah manusia di dunia ini sedang melakukan perjalanan yang sangat singkat dan nantinya akan kembali menghadap pemiliknya? Sadarkah manusia ini sejatinya pernah berjanji dan berkomitmen dengan Tuhannya pada saat penciptaannya?

Hampir mayoritas manusia lupa terhadap hakikat dirinya ketika menjalani kehidupan fana ini.  Kehidupan fana dengan penuh keindahan materi ini seketika melupakan janji-janji, komitmen dan kesadaran diri manusia diciptakan di muka bumi ini. Manusia menjadi terlena seolah kehidupan ini abadi dan seolah dirinya tidak akan pernah mati.

Kenapa manusia tidak mengenal Tuhan yang sesungguhnya karena dia lupa akan dirinya sendiri. Tetapi bukankah manusia saat ini sudah beragama? Betul tetapi mereka kebanyakan tidak berTuhan. Mereka beragama dan beribadah, tetapi tidak merasakan Tuhan hadir dalam dirinya. Kehidupan agama tidak lebih bagian dari dimensi keduniaan seperti kebutuhan ekonomi, sosial, politik dan agama.

Mengenali Tuhan sebenarnya tidak susah. Jika kamu mengenali dirimu sendiri, kamu akan mengenal Tuhanmu. Bagaimana caranya?  Pertanyaan pertama adalah dari mana datangnya kita? Pernahkah kita mempertanyakan itu lebih jauh? Pernahkah kita menyediakan sedikit waktu merenungkan dari mana datangnya kita?

Pertanyaan tentang dari mana Asal Manusia

Mungkin bagi kita yang sudah mengalami kehidupan tanpa penasaran dan pertanyaan sudah meninggalkan pertanyaan dasar tersebut. Para filusuf, orang bijak dan para Nabi bergelut dengan pertanyaan tersebut. Pernahkah terpikir dari mana sesungguh datangnya kita dan bagaimana jika kita sebenarnya tidak dilahirkan?

Islam memberikan jawaban tentang asal usul manusia dengan banyak ayat misalnya dalam Al Alaq : 3, Al-Mu’minun ayat 12-14, Ar-Rahman ayat 14 dan bahkan ada surat khusus terkait manusia seperti Al Insan ayat 2. Manusia adalah makhluk sebagaimana makhluk lainnya dari ciptaan Tuhan di alam semesta. Hanya saja, Tuhan memberikan perhatian besar manusia sebagai makhluk dalam bentuk yang paling sempurna di antara makhluk lainnya sebagai Surat At-Thin ayat 4.

Manusia adalah makhluk yang sama secara asal usul dan tidak ada sejatinya perbedaan antara satu dengan lainnya. Manusia diciptakan dari bahan dasar yang sama yang tidak memiliki kelebihan antar satu dengan lainnya. Bahkan semua manusia apapun bentuknya ketika dilahirkan adalah terdapat ruh yang ditiupkan Tuhan. “Kemudian Dia menjadikan (manusia) itu, dan meniupkan kepadanya ruh (ciptaan)-Nya. Dan Dia memberikan bagi kalian pendengaran, penglihatan, dan hati; betapa sedikitnya kalian bersyukur.” (Surah As-Sajdah, 32:9).

Hakikat manusia sejatinya adalah makhluk Tuhan yang mendapatkan ruh Tuhan dalam diri mereka sebagai ciptaannya. Manusia adalah pancaran kekuasaan ruh Tuhan yang ada dalam diri manusia. Sehingga manusia dengan warna, bentuk dan perbedaan lainnya tidak boleh dilecehkan karena sama halnya akan melecehkan dan menghina Tuhan.

Prinsip mengenali diri manusia akan menghantarkan kepada pencarian ketuhanan sekaligus mengajarkan tentang etika terhadap sesama manusia. Manusia yang diciptakan sama dengan bentuk yang beragam. Tidak ada satu pun yang melebihi atas yang lainnya. Ketundukan sepenuhnya hanya kepada Allah.

Kesadaran ini telah tertutup lama karena kebiasaan menjalani kehidupan yang normal. Manusia lupa akan kesadaran dirinya sebagai makhluk ciptaannya. Segala hal yang ada di bumi dengan kenikmatannya membutakan kesadaran manusia. karena itulah, Allah selalu mengajak untuk berpikir dan merenung tentang hakikat manusia.

Sungguh merugi orang yang tidak sadar akan hakikat dirinya sebagai manusia. Ia akan lupa dari mana asalnya dan menjadi tidak punya arah dalam kehidupannya.

ISLAMKAFFAH

Fikih Wakaf (Bag. 2): Wakaf Pertama dalam Islam

Wakaf merupakan salah satu kekhususan kaum muslimin. Jenis sedekah ini belum ada dan belum dikenal oleh masyarakat jahiliah (zaman pra-Islam) di masa silam. Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan,

لم يحبس أهل الجاهلية فيما علمته دارا ولا أرضا تبررا بحبسها وإنما حبس أهل الإسلام 

“Orang-orang pada masa Jahiliyyah (pra-Islam) sepengetahuanku tidak menahan harta mereka dan mewakafkan rumah atau tanah mereka dengan tujuan kebaikan dan ibadah. Sesungguhnya, menahan harta lalu mewakafkannya barulah ada dan baru dilakukan oleh orang-orang Islam.” (Al-Umm karya Imam As-Syafi’i, 4: 54)

Wakaf pertama dalam Islam

Tidak diragukan lagi bahwa pembangunan masjid Quba lalu Masjid Nabawi merupakan wakaf ta’abbud (dengan tujuan peribadatan) pertama dalam Islam. Sebagaimana hal ini dikisahkan oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitabnya “Al-Bidayah Wa An-Nihayah”,

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, maka persinggahan pertama beliau di sana adalah di rumah Bani ‘Amr bin ‘Auf, yaitu perkampungan Quba. Beliau tinggal di sana -sebagaimana yang dikatakan banyak orang- selama dua puluh dua malam, atau delapan belas malam.

Selama waktu ini, di antara yang beliau lakukan adalah mendirikan masjid Quba. Yaitu, masjid yang Allah Ta’ala berfirman tentangnya,

لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى ٱلتَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا۟ ۚ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُطَّهِّرِينَ

‘Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu salat di dalamnya. Di dalam masjid itu, ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang membersihkan diri.’ (QS. At-Taubah: 108).”

Kemudian, beliau rahimahullah juga membawakan hadis sahih yang mengisahkan awal mula wakaf pembangunan masjid Nabawi,

“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, beliau singgah di dataran tinggi Madinah, sebuah perkampungan yang mereka kenal sebagai Suku ‘Amru bin ‘Auf. Anas berkata, ‘Maka, beliau tinggal selama empat belas malam. Kemudian, beliau mengutus seseorang untuk menemui pemimpin suku Bani Najjar. Maka, mereka datang sambil menyarungkan pedang di badan mereka.’ Anas melanjutkan, ‘Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas tunggangannya, sedangkan Abu Bakar membonceng di belakang beliau, sementara para pembesar suku Najjar mendampingi di sekeliling beliau hingga sampai di sumur milik Abu Ayyub.’ Anas berkata, ‘Beliau lalu bersegera mendirikan salat saat waktu sudah masuk. Beliau salat di kandang kambing. Kemudian, beliau memerintahkan untuk membangun masjid. Lalu, beliau mengutus seseorang untuk menemui pembesar suku Najjar.’ Utusan itu berkata, ‘Wahai suku Najjar, sebutkan berapa harga kebun kalian ini?’ Mereka berkata, ‘Tidak, demi Allah. Kami tidak akan menjualnya, kecuali kepada Allah!’ Anas berkata, ‘Aku beritahu kepada kalian bahwa kebun itu banyak terdapat kuburan orang-orang musyrik, juga ada sisa-sisa reruntuhan rumah dan pohon-pohon kurma.’ Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk membongkar kuburan-kuburan tersebut. Sedangkan reruntuhan rumah supaya diratakan dan untuk pohon-pohon kurma ditumbangkan, lalu dipindahkan di depan arah kiblat masjid. Anas berkata, ‘Maka mereka bekerja membuat pintu masjid dari pohon dan mengangkut bebatuan yang besar-besar sambil bersenandung. Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ikut bekerja bersama mereka sambil mengucapkan, ‘Ya Allah, tidak ada kebaikan, kecuali kebaikan akhirat. Maka, tolonglah kaum Anshar dan Muhajirin.’” (HR. Bukhari no. 3932 dan Muslim no. 524)

Di hadis yang lain, juga dikisahkan tentang siapakah pemilik tanah yang akan dibangun di atasnya masjid Nabawi tersebut,

“Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengendarai untanya yang diikuti oleh lainnya, sehingga untanya berhenti dan menderum di tempat di mana masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (akan didirikan) di kota Madinah, tempat yang sekarang menjadi lokasi orang-orang untuk melaksanakan salat (masjid Nabawi). Tempat tersebut mulanya merupakan tempat untuk menjemur kurma milik Suhail dan Sahal, dua anak yatim di bawah penjagaan Sa’ad bin Zurarah. Lalu, tatkala untanya menderum di lokasi tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  berkata, “InsyaAllah di sinilah tempat tinggal saya.” Kemudian, beliau berbincang dengan kedua anak yatim tersebut untuk bernegosiasi mengenai harga tanah tersebut. Karena tempat tersebut hendak didirikan masjid. Keduanya menjawab, “Tidak perlu wahai baginda Nabi, kami menghibahkannya untuk Anda, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Namun, beliau enggan menerima hibah dari dua anak yatim tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun membeli dari keduanya dan didirikanlah masjid di sana. Mulailah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan batu pertama sebagai pertanda pembangunan dimulai.” (HR. Bukhari no. 3906)

Dari kisah tersebut, dapat kita ketahui bahwa cikal bakal masjid Nabawi merupakan tanah milik dua anak yatim yang kemudian dibeli oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau wakafkan kepada umat Islam. Sebuah sunah dan pengajaran yang indah tentang pelaksanaan wakaf dari suri teladan terbaik umat ini.

Sejarah wakaf khairy (untuk tujuan kebaikan)

Adapun wakaf dengan tujuan kebaikan secara umum (wakaf khairy), maka para ahli ilmu berbeda pendapat tentang siapakah yang pertama kali melakukannya di dalam Islam?

Ada yang berpendapat bahwa wakaf dengan tujuan kebaikan (khairy) pertama kali dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan inilah pendapat kaum Anshar. Yaitu, wakaf beliau berupa kebun buah-buahan yang sebelumnya milik Mukhayriq setelah terjadinya perang Uhud.

Ibnu Sa’ad dan Imam Al-Khassaf dalam kitab mereka meriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Ka’ab bin Malik, bahwasanya ia berkata,

أول صدقة كانت في الإسلام وقف رسول الله صلى الله عليه وسلم أمواله

“Sedekah (wakaf) pertama dalam Islam adalah wakaf Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari harta beliau.” (At-Thabaqat karya Ibnu Sa’ad, 1: 501 dan Ahkam Al-Awqaf karya Al-Khassaf, hal. 4)

Adapun di dalam riwayat Ibnu Sa’ad dari Muhammad bin Ka’ab, disebutkan,

أول صدقة في الإسلام وقف رسول الله صلى الله عليه وسلم أمواله، لما قتل مخيريق بأحد، وأوصي إن أصبت فأموالي لرسول الله صلى الله عليه وسلم، فقبضها رسول الله صلى الله عليه وسلم وتصدق بها

“Amal sedekah pertama dalam Islam adalah wakaf Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari hartanya. Ketika Mukhayriq (seorang rabbi/ulama Yahudi yang kaya raya dan mengagumi Nabi lalu ikut berperang dalam barisan kaum muslimin pada peperangan Uhud) terbunuh di Uhud, ia berwasiat, ‘Jikalau aku terbunuh dalam peperangan ini, maka seluruh hartaku (berupa kebun) menjadi milik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.’ (Ia terbunuh dalam peperangan tersebut). Maka, Rasulullah menerima harta tersebut dan mengeluarkannya sebagai sedekah.” (At-Thabaqat karya Ibnu Sa’ad, 1: 501)

Para ulama berselisih pendapat di dalam menghukumi kesahihan riwayat ini. Akan tetapi, cukup bagi kita untuk menunjukkan kesahihannya dan keabsahannya ketika para ulama yang terpercaya memberitahukan kepada kita bahwa ketujuh kebun ini masih ada di kota tersebut, dan orang-orang mendapatkan manfaat dari buahnya hingga masa Tabi’in dan para pengikutnya, yaitu masa Umar bin Abdul Aziz, dan bahkan hingga zaman-zaman selanjutnya.

Adapun kaum Muhajirin, mereka berpendapat bahwa wakaf khairy (dengan tujuan kebaikan) yang pertama adalah wakaf sahabat ‘Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Hal ini disampaikan oleh anak beliau Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,

أَنْ عُمَرَ بنَ الخَطَّابِ أصابَ أرْضًا بخَيْبَرَ، فأتَى النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فيها، فقالَ: يا رَسولَ اللَّهِ، إنِّي أصَبْتُ أرْضًا بخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مالًا قَطُّ أنْفَسَ عِندِي منه، فَما تَأْمُرُ بهِ؟ قالَ: إنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أصْلَها، وتَصَدَّقْتَ بها قالَ: فَتَصَدَّقَ بها عُمَرُ، أنَّه لا يُباعُ ولا يُوهَبُ ولا يُورَثُ، وتَصَدَّقَ بها في الفُقَراءِ، وفي القُرْبَى وفي الرِّقابِ، وفي سَبيلِ اللَّهِ، وابْنِ السَّبِيلِ، والضَّيْفِ لا جُناحَ علَى مَن ولِيَها أنْ يَأْكُلَ مِنْها بالمَعروفِ، ويُطْعِمَ غيرَ مُتَمَوِّلٍ قالَ: فَحَدَّثْتُ به ابْنَ سِيرِينَ، فقالَ: غيرَ مُتَأَثِّلٍ مالًا.

”Umar bin Al Khatthab radhiyallahu ‘anhu mendapat bagian lahan di Khaibar, lalu dia menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta pendapat beliau tentang tanah lahan tersebut dengan berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku mendapatkan lahan di Khaibar, di mana aku tidak pernah mendapatkan harta yang lebih bernilai selain itu. Maka, apa yang engkau perintahkan tentang tanah tersebut?’ Maka, beliau bersabda, ‘Jika kamu mau, kamu tahan (pelihara) pepohonannya, lalu kamu dapat bersedekah dengan (hasil buah)nya.’ Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Maka, ‘Umar menyedekahkannya, di mana tidak dijualnya, tidak dihibahkan, dan juga tidak diwariskan. Namun, dia menyedekahkannya untuk para fakir, kerabat, untuk membebaskan budak, fisabilillah, ibnu sabil, dan untuk menjamu tamu. Dan tidak ada dosa bagi orang yang mengurusnya untuk memakan darinya dengan cara yang makruf (benar) dan untuk memberi makan orang lain bukan bermaksud menimbunnya.” Perawi berkata, “Kemudian, aku ceritakan hadis ini kepada Ibnu Sirin, maka dia berkata, ‘Ghairu muta’atstsal malan artinya tidak mengambil harta anak yatim untuk menggabungkannya dengan hartanya.’” (HR. Bukhari no. 2737 dan Muslim no. 1632).

Kisah wakaf Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu

Tsumamah bin Hazn Al-Qusyairi bercerita,

“Aku sedang berada di dalam rumah saat Utsman menampakkan kemuliaannya kepada para sahabat. Ia berkata, ‘Aku bertanya kepada kalian dan bersumpah dengan nama Allah dan Islam. Apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke Madinah dan tidak ada padanya air segar selain sumur Rumah (nama sumur), kemudian beliau bersabda,

من يشتري بئرَ رومةَ فيجعلُ فيها دلوَه معَ دلاءِ المسلمينَ بخيرٍ لَه منها في الجنَّةِ

‘Barangsiapa membeli sumur Rumah kemudian meletakkan padanya embernya bersama dengan ember orang-orang muslim dengan kebaikan darinya, maka ia akan berada dalam surga.’

Lalu, aku membelinya dari hartaku secara murni. Kemudian, aku meletakkan padanya emberku dari ember orang-orang Muslim, dan kalian melarangku minum darinya hingga aku minum dari air laut?’ Mereka mengatakan, ‘Ya Allah, benar.’

Utsman berkata kembali, ‘Aku bertanya kepada kalian dan bersumpah dengan nama Allah dan Islam. Apakah kalian mengetahui bahwa aku telah mempersiapkan pasukan Al-‘Usrah dari hartaku?’ Mereka berkata, ‘Ya Allah, benar.’

Utsman berkata lagi, ‘Aku bertanya kepada kalian dan bersumpah dengan nama Allah dan Islam. Apakah kalian mengetahui bahwa masjid telah sesak dengan penghuninya, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Siapakah yang membeli lahan keluarga Fulan kemudian menambahkannya di masjid, ia akan mendapatkan kebaikan di surga?’ Lalu, aku membelinya dari hartaku secara murni, kemudian aku tambahkan di dalam masjid dan kalian melarangku untuk melakukan salat dua rakaat di dalamnya?’ Mereka menjawab, ‘Ya Allah, benar.’

Utsman berkata lagi, ‘Aku bertanya kepada kalian dan bersumpah dengan nama Allah dan Islam. Apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berada di atas bukit Makkah bersama Abu Bakr, Umar, dan aku. Kemudian, gunung itu bergerak sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjejakkan kakinya seraya bersabda, ‘Diamlah, hai bukit! Sesungguhnya di atasmu terdapat seorang nabi, shiddiq, dan dua orang syahid.’ Mereka berkata, ‘Ya Allah, benar.’ Utsman lalu berkata, ‘Allahu akbar! Mereka telah bersaksi demi Tuhan Ka’bah, bahwa aku adalah orang yang syahid.’” (HR. Tirmidzi no. 3703 dan Nasa’i no. 3608)

Utsman bin Affan merupakan teladan yang sempurna dalam hal kedermawanan dan sedekah. Bahkan, wakaf beliau berupa sumur Rumah dan kebun yang ada di samping sumur tersebut masih terus mengalir manfaatnya hingga saat ini. Di mana kebun tersebut saat ini berada di bawah pengelolaan Badan Wakaf Kerajaan Saudi Arabia, dan hasil manfaatnya diperuntukkan untuk kepentingan pengelolaan Masjid Nabawi.

Subhanallah! Sungguh besar keutamaan yang didapatkan oleh sahabat Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, dan sungguh ini merupakan salah satu bukti kebenaran sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan adanya amalan yang pahalanya tidak akan terputus meskipun pelakunya telah meninggal dunia. Semoga Allah meridai beliau dan para sahabat lainnya.

Wallahu A’lam bish-shawab

Kembali ke bagian 1: Pengertian, Hukum, dan Dalil Pensyariatannya

Lanjut ke bagian 3: [Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/91240-fikih-wakaf-bag-2-wakaf-pertama-dalam-islam.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Menjadi Muslim Produktif di Era Disruptif

Perampas prioritas

Sungguh, media modern telah banyak merampas fokus dan perhatian kita dari hal-hal prioritas yang semestinya kita kerjakan. Gadget dengan segala apps-nya yang memiliki manfaat dan mudarat, pada kenyataannya justru banyak melalaikan manusia dari menyembah Rabb-Nya.

Adalah fenomena yang lumrah saat ini, ketika kita melihat seorang anak muda dengan waktu luangnya karena liburan sekolah atau kuliah, atau seorang tua dengan waktu libur weekend-nya, kemudian mengisi waktu dengan berbaring santai sambil melihat screen gadget, mengusap-usap (scrolling) layar gadget dengan berbagai konten. Satu, dua, tiga, bahkan hingga beberapa jam terlewatkan hanya fokus pada tontonan yang ada.

Kadangkala, tidak peduli dengan halal-haram konten yang ditonton. Semua tontonan itu telah membawanya lalai dari segala hal yang bermanfaat yang bisa dikerjakan saat itu. Bahkan, tidak jarang pula, kewajiban ibadah seperti salat 5 waktu pun terlewatkan saking asyiknya dengan gadget di tangan. Wal’iyadzu billah.

Padahal, jelas banyak hal yang lebih utama untuk dilakukan daripada menghabiskan waktu di depan layar gadget. Dan jelas pula bahwa kegiatan melalaikan diri itu merupakan perbuatan yang tidak bermanfaat. Melakukan hal yang tidak bermanfaat merupakan pertanda keislaman seseorang perlu diperbaiki. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” (HR. Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih)

Misi Kehidupan

Fenomena perampasan fokus dan perhatian oleh teknologi modern ini patut kita sadari dengan mata terbuka. Sebab, sedikit saja kita lalai, maka bisa saja kita terlupakan oleh apa yang menjadi tujuan hidup yang sebenarnya. Kita lupa bahwasanya kita memiliki misi yang harus diselesaikan dengan baik selama diberikan kesempatan hidup di dunia ini. Misi itu tidak lain adalah menyembah Allah Ta’ala.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku.” (QS. Adz-dzariyat: 56)

Saudaraku, tidakkah kita sadar bahwasanya setiap waktu minimal 17 kali dalam sehari, kita mengikrarkan penghambaan kita kepada Allah Ta’ala dalam setiap bacaan Al-Fatihah pada salat-salat kita?

Ya, adalah kalimat اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan) merupakan pengakuan kita sebagai seorang hamba Allah Ta’ala.

Ketahuilah bahwa kalimat  نَعْبُدُ merupakan fi’il mudhari’ yang memiliki sifat dan makna ‘terus menerus’. Artinya, penghambaan kita kepada Allah Ta’ala adalah nonstop setiap waktu. Tidak sedetik pun kita pernah berubah dari status sebagai seorang hamba Allah Ta’ala. Inilah misi kita. Inilah job desk kita, full-time 24 jam.

Oleh karenanya, sadarilah bahwa tujuan kita hidup di dunia ini adalah semata-mata untuk menyembah Allah Ta’ala. Maka, tidak berlebihan kiranya apabila kami mengistilahkan hal ini dengan sebuah kalimat,

“Kehidupan ini hanyalah menunggu waktu salat ke waktu salat berikutnya.”

Maksudnya, tujuan kita hidup di dunia hanyalah beribadah kepada Allah Ta’ala semata. Sementara, seluruh aktivitas yang kita lakukan, baik itu bekerja, belajar, mengasuh, mendidik, dan segala pekerjaan yang dilakoni adalah faktor pendukung agar kita dapat beribadah kepada Allah Ta’ala dengan semaksimal mungkin.

Pertanggungjawaban di hadapan Allah

Sebab, selain karena pertanggungjawaban dan kewajiban kita sebagai hamba Allah Ta’ala, kelak di akhirat, kita pun akan ditanya tentang segala hal yang pernah kita jalani dalam kehidupan di dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ

Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: (1) umurnya, di manakah ia habiskan, (2) ilmunya, di manakah ia amalkan, (3) hartanya, bagaimana ia peroleh dan di mana ia infakkan dan (4) mengenai tubuhnya, di manakah usangnya.” (HR. Tirmidzi no. 2417, dari Abi Barzah Al-Aslami. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih)

Oleh karenanya, sebagai seorang hamba Allah yang beriman dan sebagai bentuk syukur kita terhadap nikmat usia yang telah diberikan Allah, hendaklah kita benar-benar menyadari segala potensi yang dapat menjerumuskan kita pada kelalaian dari mengingat dan beribadah kepada Allah Ta’ala. Mari kita mengatur waktu dan menjadi bos atas manajemen waktu diri kita sendiri. Hiasi semua waktu yang diberikan kepada kita setiap hari dengan tujuan ibadah dan bekerja untuk ibadah.

Aktivitas harian seorang muslim

Pada kesempatan yang baik melalui artikel ini, kami bermaksud ingin berbagi beberapa poin terkait dengan aktivitas harian seorang muslim ideal di zaman disrupsi teknologi digital ini. Mudah-mudahan, dengan memfokuskan diri pada hal-hal yang bermanfaat dan memang menjadi bagian dari kewajiban kita sebagai seorang muslim ini, dapat menjadikan kita lebih produktif dan lebih dapat bermanfaat bagi sesama, serta yang lebih penting mendapatkan rida Allah Ta’ala.

Pertama: Aktivitas pagi

Salat malam, salat Subuh plus qabliyah, zikir pagi, membaca Al-Qur’an, olah raga ringan, salat Duha, merencanakan aktivitas harian dan bekerja.

Kedua: Aktivitas siang

Salat Zuhur plus rawatib, istirahat sejenak (15 – 30 menit) untuk bekal tenaga melaksanakan salat malam, lanjut bekerja.

Ketiga: Aktivitas sore

Salat Asar, zikir petang, bercengkrama bersama keluarga, menambah ilmu agama (mengikuti kajian, membaca buku, dan belajar meningkatkan keterampilan untuk menambah pendapatan).

Keempat: Aktivitas malam

Salat Magrib plus ba’diyah, membaca Al-Qur’an, bercengkrama dengan keluarga, salat Isya plus ba’diyah, dan istirahat.

Menggapai rida dan kasih sayang Allah

Saudaraku, ingat! Jangan pernah berhenti untuk memohon karunia Allah Ta’ala agar dimudahkan dalam beribadah kepada-Nya. Keistikamahan dan ketekunan dalam melakukan ibadah-ibadah bukanlah semata-mata perkara fisik yang prima. Namun juga, karena petunjuk dan pertolongan Allah Ta’ala. Tergeraknya hati kita untuk selalu berzikir mengingat Allah, melaksanakan kewajiban salat 5 waktu secara tepat waktu, gerakan hati dan fisik untuk segera berwudu dan melaksanakan salat tahajud, serta melaksanakan segala aktivitas yang bermanfaat, semuanya karena kasih sayang Allah Ta’ala.

Begitu pula sebaliknya, abainya kita terhadap prioritas yang semestinya kita lakukan, lalainya kita dalam kubangan teknologi digital dengan segala konten penyita waktu dan fokus, serta enggannya kita untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban kita kepada Allah Ta’ala, juga bisa saja karena kita jauh dari kasih sayang Allah Ta’ala.

Adakah hati yang tergerak untuk segera menggapai rida dan kasih sayang-Nya?

Wallahu a’lam.

***

Penulis: Fauzan Hidayat

Sumber: https://muslim.or.id/91100-menjadi-muslim-produktif-di-era-disruptif.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Sya’ban Tangga Penting Sukses Ramadhan

DALAM dunia marketing ada istilah “gagal merencanakan sama dengan merencanakan kegagalan.” Nampaknya hal itu bukan sekedar candaan, sebab pada kenyataannya, semua hal baik tidak ada yang bisa dicapai tanpa perencanaan yang baik.

Sayyidina Ali berkata, “Kebenaran yang tidak diorganisir akan dikalahkan oleh kebathilan yang diorganisir.”

Ungkapan Khalifah ke empat itu bisa kita maknai bahwa sekalipun Ramadhan akan menyapa kehidupan kita, jika tidak ada upaya mengorganisir diri dengan sebaik-baiknya, maka kesia-siaan bukan tidak mungkin akan banyak mewarnai puasa kita sebulan penuh. Alasannya jelas, memang tidak ada perencanaan. Jadi, bagaimana mungkin bisa meraih kemenangan?

Terlebih Ramadhan bukan saja momentum bagi kita yang benar-benar ingin meningkatkan iman dan taqwa. Ramadhan juga menjadi momentum emas para pencari dunia, di antaranya adalah media massa, terutama televisi yang sangat gencar mengemas beragam program tontonan yang seringkali menjadikan kita lupa dan lalai bahwa kita sedang berada di bulan puasa, sehingga nyaris waktu tersedot untuk menonton dan membicarakan tayangan-tayangan yang menyita perhatian kita sendiri.

Belum lagi, kala nanti memasuki 10 hari terakhir Ramadhan, bombardir iklan sangat luar biasa, yang jika kita termasuk orang yang tidak punya niat dan benar-benar ingin beri’tikaf bukan tidak mungkin akan menjadi sasaran empuk para pelaku pasar. Belum lagi ‘rayuan’ dari istri dan anak yang sudah barang tentu teriak-teriak belanja untuk lebaran.

Oleh karena itu, memasuki Sya’ban sangat elok jika segera menyusun perencanaan. Sebab, tanpa tantangan budaya seperti di atas, Rasulullah sejak dini telah menjadikan Sya’ban sebagai bulan persiapan.

Persiapan Rasulullah

Bagaimana Rasulullah melakukan persiapan Ramadhan di bulan Sya’ban bisa kita lihat dari bagaimana beliau menata atau mengorganisir aktivitasnya. Pertama, aktivitas jiwa. Kedua, persiapan aktivitas raga, yang pada hakikatnya semua bersumber dari kekuatan iman.

Persiapan jiwa meliputi memperbanyak doa dan mengingat-ngingat Ramadhan dan keutamaannya.

Sedangkan persiapan aktivitas beliau lakukan dengan memperbanyak puasa sunnah dan memperbanyak tilawah Al-Qur’an.

Memperbanyak Puasa

Terkait memperbanyak puasa Sayyidah Aisyah radhiyallahu anha berkata, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah puasa satu bulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan, dan aku tidak pernah melihat beliau memperbanyak puasa kecuali pada bulan Sya’ban” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits lain menyebutkan bahwa Rasulullah melakukan itu agar dirinya benar-benar siap menyambut dan mengisi Ramadhan.

Usamah bin Zaid radhiyallahu anhu berkata, “Aku bertanya, ‘Ya Rasulullah, saya tidak pernah melihat engkau memperbanyak puasa seperti yang engkau lakukan pada bulan Sya’ban?’

Rasulullah menjawab, “Karena seringkali pada saat itu, pada bulan antara Rajab dan Ramadhan, orang-orang lali, padahal saat itulah, di bulan itu, seluruh amalan manusia disapaikan kepada Rabbul ‘Alamin. Maka aku sangat senang bila ketika amalanku disampaikan kepada Allah Ta’ala, aku sedang dalam keadaan berpuasa.” (HR. Ahmad dan Nasa’i).

Meningkatkan Tilawah Al-Qur’an

Anas bin Malik radhiyallahu anhu bertutur, “Jika datang bulan Sya’ban, kaum muslimin memendamkan muka mereka pada mushaf-mushaf Al-Qur’an untuk membacanya, dan mereka mengeluarkan zakat dari harta-harta mereka, agar kaum dhuafa dan miskin menjadi kuat dalam menghadapi bulan Ramadhan.”

Tidak bisa kita pungkiri, tilawah Qur’an bukanlah perkara mudah, terlebih bagi mereka yang sudah terbiasa tenggelam dalam aktivitas mencari nafkah dan tidak menyempatkan diri membaca kitab suci.

Hal serupa juga terjadi di masa lalu, dimana seorang ulama pernah ditanya oleh seseorang yang sudah lama tidak membaca Al-Qur’an. Begitu dia kembali ingin membaca, ia tak mampu membaca kecuali hanya beberapa ayat saja. Sang ulama menyarankan agar orang itu melawan perasaannya. Begitu ia mengamalkan kembali tilawah Qur’an dengan tertib dan disiplin, ia berkata, “Aku sangat ingin terus membacanya, aku belum merasakan perasaan seperti itu sebleumnya.”

Memperbanyak doa

Berdoa adalah wujud keinginan jiwa kemantaban hati akan sesuatu. Jadi, berdoa untuk bisa dipertemukan dengan bulan Ramadhan bukan hal yang salah. Meskipun dalam beberapa ulasan, ada perbedaan pendapat mengenai redaksi doa yang digunakan oleh Rasulullah. Tetapi, pada prinsipnya, berdoa itu baik dan itu bagian dari ibadah.

Mengingat-ingat Keutamaan Ramadhan

Ramadhan memang bulan diwajibkannya umat Islam berpuasa, namun Ramadhan juga memiliki banyak keutamaan.

Ramadhan bulan Al-Qur’an. Ramadhan bulan dimana pintu neraka ditutup dan pintu surga dibuka. Di bulan Ramadhan juga ada satu malam istimewa, yakni malam Lailatul Qadar. Selain itu Ramadhan adalah bulan dimana amalan sunnah dinilai setara wajib dan setiap kebaikan yang diamalkan akan mendapat balasan berlipat ganda langsung dari Allah Ta’ala.

Terlepas dari apapun, mari jadikan Sya’ban sebagai bulan penempaan diri seutuhnya, sehingga Ramadhan nanti Allah anugerahkan kita iman dan taqwa yang akan terus menyala-nyala di dalam dada sampai ajal tiba. Wallahu a’lam.*

HIDAYATULLAH

Empat Kisah dalam Surat Al Kahfi, Salah Satunya Yakjuj dan Makjuj

Surat Al Kahfi ini sangat dianjurkan Rasulullah SAW untuk diamalkan umat Islam, terutama di malam atau hari Jumat.

Oleh Syahruddin El Fikri

Sahabat yang dirahmati Allah SWT.

Surat Al-Kahfi terdiri atas 110 ayat. Surat ini secara umum menceritakan kisah perjuangan para pemuda yang taat dan beriman kepada Allah, namun menghadapi tantangan yang cukup karena selalu diintimidasi dan dikerja-kejar oleh pemimpin yang zalim. Akhirnya para pemuda tersebut pergi dari kampungnya dan bersembunyi di sebuah gua (al kahfi).

Selain kisah pemuda gua (ashabul kahfi), banyak pula kisah lainnya dalam surat tersebut. Surat Al Kahfi ini sangat dianjurkan Rasulullah SAW untuk diamalkan umat Islam, terutama di malam atau hari Jumat.

Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيقِ

“Barang siapa yang membaca surat Al Kahfi pada malam Jumat, dia akan disinari cahaya antara dirinya dan Ka’bah,” (HR Ad-Darimi).

Sedikitnya ada empat kisah yang terdapat dalam Surat Al Kahfi. Kelima kisah itu adalah:

1. Kisah Ashabul Kahfi

Surat Al Kahfi, secara khusus menceritakan tentang Kisah Pemuda yang Tertidur di dalam Gua selama 309 tahun. Disebut Al Kahfi karena surat ini menceritakan tentang kisah Ashabul Kahfi yang rela meninggalkan kampung halamannya dalam keadaan terusir demi mempertahankan agamanya.

2. Kisah Shohibul Jannatain

Kisah berikutnya yang terdaat dalam Surat Al Kahf adalah tentang pemilik dua kebun (Shohibul Jannatain). Kisah ini mengajarkan umat Islam untuk tidak mudah terpukau oleh harta dan tidak meninggalkan agama hanya demi urusan dunia.

3. Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir

Kisah kedua Nabi Allah SWT ini mengajarkan pentingnya ilmu dan hidayah. Di atas langit masih ada langit. Kisah kedua nabi ini mengajarkan pula akan pentingnya kesabaran, tidak gampang buru-buru, serta tingginya ilmu Allah.

4. Kisah Nabi Zulkarnain, serta Yakjuj dan Makjuj

Surat Al Kahfi pasda ayat ke-83 hingga menjelang akhir, menceritaan tentang kisah Dzulqarnain serta Yakjuj dan Makjuj. Kisah ini mengajarkan pentingnya amanat seorang pemimpin. Dzulqarnain adalah pemimpin yang memiliki kekuasaan sangat luas, dan ia menggunakannya untuk menegakkan keadilan dan syariat agama Allah ke seluruh dunia.

Kemudian, kapankah waktu terbaik untuk membaca Surat Al-Kahfi? Berdasarkan hadits Rasulullah SAW dan pendapat para ulama, waktu terbaik membaca surat Al Kahfi adalah pada malam jumat atau di hari jumat.

مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ فِي يَوْمِ الْجُمْعَةِ سَطَعَ لَهُ نُوْرٌ مِنْ تَحْتِ قَدَمِهِ إِلَى عَنَانِ السَّمَاءَ يُضِيْءُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَغُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَ الْجُمْعَتَيْنِ

“Siapa yang membaca surat Al Kahfi pada hari Jumat, maka akan memancar cahaya dari bawah kakinya sampai ke langit, akan meneranginya kelak pada hari kiamat, dan diampuni dosanya antara dua Jumat,” (HR Ibnu Umar).

Demikianlah isi kandungan Surat Al Kahfi yang menceritakan sejumlah kisah untuk dijadikan pelajaran bagi umat Islam. Serta waktu terbaik membaca dan mengamalkannya. Semoga bermanfaat. (sajada.id)

KHAZANAH REPUBLIKA

Keutamaan Membaca Shalawat  Nabi Muhammad SAW

Ada keutamaan bagi yang membaca shalawat Nabi Muhammad.

Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali yang lebih dikenal sebagai Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menyampaikan keutamaan membaca shalawat untuk Nabi Muhammad SAW.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ  يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

Innallāha wa malā’ikatahū yuṣallūna ‘alan-nabiyy(i), yā ayyuhal-lażīna āmanū ṣallū ‘alaihi wa sallimū taslīmā(n).

Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya berselawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya. (QS Al-Ahzab Ayat 56)

Diriwayatkan bahwa dengan wajah yang menampakkan kegembiraan Rasulullah SAW pernah bersabda, “Jibril Alaihissalam telah datang kepadaku seraya berkata, ‘Ya Muhammad, apakah engkau tidak rela bahwa apabila salah seorang di antara pengikutmu menyampaikan shalawat kepadamu, aku akan menyampaikan kepadanya sepuluh salam dan berdoa (memintakan rahmat) untuknya?'” (HR Imam An-Nasa’i)

Rasulullah SAW juga pernah bersabda, “Siapa saja yang bershalawat kepadaku, niscaya para malaikat akan mengirimkan shalawat kepadanya. Oleh karena itu, perbanyaklah shalawat untukku.” (HR Imam Ibnu Majah)

Rasulullah SAW juga pernah bersabda, “Siapa saja yang mengirimkan shalawat sebanyak-banyaknya kepadaku, maka ia adalah yang paling utama bagiku.” (HR Imam Ibnu Hibban)

Nabi Muhammad SAW pernah bersabda dalam hadits lainnya, “Kerugian besar akan menimpa seorang Mukmin apabila disebut namaku di hadapannya, ia tidak mengucapkan shalawat kepadaku.” (HR Imam At-Tirmidzi)

Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda, “Perbanyaklah membaca shalawat kepadaku pada hari Jumat.” (HR Imam Abu Dawud)

Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Siapa saja di antara para pengikutku bershalawat kepadaku, niscaya dituliskan baginya sepuluh pahala, dan akan diampuni sepuluh dosanya.” (HR Imam Ibnu Hibban)

Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang ketika mendengar adzan dan iqamat mengucapkan, Allahumma rabba hadzihidda’watittämmali, washshalátil gáimah, shalli alâ muhammadin ‘abdika wa rasûlika wa’thihil washilata wal fadhilah, wa darajatarrafi’ah, wasysyafa’ata yaumal qiyâmah, (ya Allah, Rabb yang menyempurnakan panggilan ini, dan yang membuat shalat ditegakkan, semoga rahmat dilimpahkan kepada Muhammad, hamba-Mu serta Rasul-Mu, dan berilah ia washilah (keutamaan), karunia, derajat yang tinggi, dan syafa’at pada Hari Kebangkitan kelak, maka wajib bagiku menjadi wasilah baginya.” (HR Imam Bukhari)

IHRAM