Petunjuk Nabi dalam Bepergian dan Melakukan Perjalanan (Bag.2)

Keenam: Nabi melarang wanita untuk bepergian sendirian

Sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحرمٍ، وَلَا تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

“Janganlah sekali-kali seorang lelaki menyendiri dengan seorang wanita, kecuali wanita itu disertai mahramnya. Dan tidak boleh seorang wanita bepergian, kecuali bersama mahram.”

Seorang lelaki kemudian berdiri dan mengatakan,

يَا رَسُولَ اللَّهِ: إِنَّ امْرَأَتِي خَرَجَتْ حَاجَّةً، وَإِنِّي اكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا

“Sesungguhnya istriku telah keluar untuk menjalankan ibadah haji, sementara aku telah diwajibkan untuk mengikuti sebuah peperangan.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda,

اِنْطَلِقْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ

“Pergilah dan kerjakan haji bersama istrimu.” (HR. Bukhari no. 3006 dan Muslim no. 1341)

Nabi memerintahkan lelaki tersebut untuk mendahulukan kepentingan menemani istrinya pergi berhaji (sehingga istrinya tidak safar sendirian tanpa mahram) daripada menjawab panggilan berjihad yang mana merupakan kewajiban bagi dirinya sebagai seorang lelaki. Ini menunjukkan betapa pentingnya mahram bagi seorang wanita tatkala melakukan safar. Sebuah perintah Nabi yang sayangnya banyak dihiraukan oleh wanita muslimah di zaman sekarang.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga keluarga kita dari kalangan perempuan untuk melakukan hal serupa.

Ketujuh: Memanfaatkan momentum safar untuk berdoa

Safar merupakan salah satu kondisi di mana doa seorang muslim menjadi mustajab dan mudah dikabulkan oleh Allah Ta’ala. Saat seorang muslim sedang dalam perjalanan safarnya, alangkah baiknya untuk berdoa bagi dirinya sendiri, kedua orang tuanya, dan bagi kemaslahatan kaum muslimin. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

ثلاثُ دعواتٍ مستجاباتٌ لا شَكَّ فيهِنَّ ؛ دَعوةُ المظلومِ ، ودعوةُ المسافرِ ، ودعوةُ الوالدِ على ولدِهِ

“Tiga doa yang tidak ada keraguan akan diterima: doa orang yang teraniaya, doa seorang musafir, dan doa orang tua (ayah dan ibu) kepada anaknya.” (HR. Abu Dawud no. 1536, Tirmidzi no. 1905, Ibnu Majah no. 3862, dan Ahmad no. 7501)

Kedelapan: Disunahkan mengqasar (memendekkan) salat dan diperbolehkan untuk menjamaknya

Mengqasar salat adalah mengerjakan salat Zuhur, Asar, dan Isya menjadi dua rakaat saja. Adapun salat Subuh dan Magrib, maka tidak bisa diqasar.

Qasar (memendekkan) salat merupakan salah satu sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam setiap perjalanan panjangnya. Sahabat Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu mengatakan,

صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ لَا يَزِيدُ فِي السَّفَرِ عَلَى رَكْعَتَيْنِ ، وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ كَذَلِكَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ

“Aku menemani Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam (dalam perjalanan safarnya) dan beliau tidak pernah menambah salat lebih dari dua rakaat dalam safar. Demikian juga Abu Bakar, Umar, dan Utsman radhiyallahu ’anhum.” (HR. Bukhari no. 1102, Muslim no. 689)

Adapun menjamak salat bagi musafir, maka hukumnya adalah diperbolehkan, baik itu menggabungkan salat Zuhur dengan Asar, ataupun salat Magrib dengan Isya’. Yaitu, apabila terdapat kesulitan dalam perjalanannya untuk melaksanakan setiap salat tepat pada waktunya. Seperti menaiki kendaraan umum yang tidak berhenti di setiap waktu salat, atau tatkala bepergian dengan transportasi yang terikat dengan jadwal keberangkatan ketat, seperti pesawat dan kereta.

Perlu kita bedakan juga antara sunah qasar dan sunah menjamak salat. Di mana yang menjadi keringanan secara khusus bagi seorang musafir adalah mengqasar. Adapun menjamak salat, maka ia bukanlah sunah yang terikat dengan safar secara khusus.

Menjamak salat dilakukan dengan menyesuaikan kondisi perjalanan kita. Jika menemukan kondisi yang menyusahkan untuk melaksanakan setiap salat tepat pada waktunya, maka kita diperbolehkan untuk menjamak salat. Namun, apabila dimungkinkan untuk melaksanakan setiap salat tepat pada waktunya (meskipun diqasar), maka itu lebih utama.

Terlebih lagi, apabila kita sedang singgah di suatu tempat atau telah sampai di tempat tujuan kita, maka melaksanakannya tepat pada waktunya itu lebih utama. Syekh Binbaz rahimahullah pernah mengatakan,

وله الجمع، يجوز له الجمع بين الظهر والعصر، بين المغرب والعشاء، لكن تركه أفضل، إذا كان نازلًا ليس عليه مشقة تركه أفضل.

“Orang yang safar dibolehkan menjamak salat Zuhur dan Asar, salat Magrib dan Isya. Namun, meninggalkan hal tersebut lebih utama. Jika ia sedang singgah di suatu tempat dan tidak ada kesulitan (untuk melaksanakan setiap salat pada waktuya), maka meninggalkan jamak itu lebih utama.” (Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darbi)

Kesembilan: Segera pulang menemui keluarganya tatkala sudah selesai dari urusannya

Saat telah menyelesaikan urusan yang menyebabkan kita melakukan safar dan perjalanan jauh, serta meninggalkan keluarga, maka syariat memerintahkan kita untuk bersegera pulang dan tidak menunda-nunda bertemu dengan keluarga. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ العَذَابِ، يَمْنَعُ أحَدَكُمْ طَعَامَهُ وشَرَابَهُ ونَوْمَهُ، فَإِذَا قَضَى نَهْمَتَهُ، فَلْيُعَجِّلْ إلى أهْلِه

“Bepergian (safar) itu adalah sebagian dari siksaan yang menghalangi seseorang dari kalian dari makan, minum, dan tidurnya. Maka, apabila dia telah selesai dari urusannya, hendaklah dia segera kembali kepada keluarganya.” (HR. Bukhari no. 1804 dan Muslim no. 1927)

Kesepuluh: Membaca doa tatkala perjalanan pulang dari safarnya

Saat perjalanan pulang dari safar, disunahkan membaca doa safar kembali,

سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبونَ  ثمَّ قالَ الحمدُ للَّهِ – ثلاثَ مرَّاتٍ – ثمَّ قالَ اللَّهُ أَكبرُ – ثلاثَ مرَّاتٍ – ثمَّ قالَ سبحانَك إنِّي ظلمتُ نفسِي فاغفِر لي فإنَّهُ لا يغفِرُ الذُّنوبَ إلَّا أنتَ

“Mahasuci Zat yang telah menundukkan untuk kami hewan ini, dan tidaklah kami dapat memaksakannya, dan hanya kepada Tuhan kami, niscaya kami akan kembali.” Kemudian ia mengucapkan, “Alhamdulillaah.” tiga kali, “Wallaahu akbar ” tiga kali, kemudian dilanjutkan dengan “Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku, maka ampunilah aku. Karena sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa, kecuali engkau.” (HR. Abu Dawud no. 2602, Tirmidzi no. 3446, dan Ahmad no. 753)

Kemudian dilanjutkan dengan membaca doa,

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ في سَفَرِنَا هذا البِرَّ وَالتَّقْوَى، وَمِنَ العَمَلِ ما تَرْضَى، اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هذا، وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ، اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ في السَّفَرِ، وَالْخَلِيفَةُ في الأهْلِ، اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بكَ مِن وَعْثَاءِ السَّفَرِ، وَكَآبَةِ المَنْظَرِ، وَسُوءِ المُنْقَلَبِ في المَالِ وَالأهْلِ

“Ya Allah, kami memohon kepada-Mu dalam perjalanan ini kebaikan dan takwa serta amal perbuatan yang Engkau ridai. Ya Allah, mudahkanlah perjalanan ini dan dekatkanlah jaraknya bagi kami. Ya Allah, Engkaulah teman dalam bepergian dan pelindung terhadap keluarga yang ditinggalkan. Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari kelelahan dalam bepergian, pemandangan yang menyedihkan, dan kepulangan yang menyusahkan dalam harta benda, keluarga, dan anak.” (HR. Muslim no. 1342)

Kemudian ditambah dengan bacaan,

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ سَاجِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ صَدَقَ اللَّهُ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ

“Tidak ada Ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah, satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya segala kerajaan, dan pujian dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Kita kembali, sebagai hamba yang bertobat, beribadah, sujud untuk Rabb kita dan yang memuji-Nya. Allah Mahabenar dengan janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan menghancurkan sendiri musuh-musuh-Nya.”

Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

أنَّ رَسولَ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كانَ إذَا قَفَلَ مِنَ الغَزْوِ، أوِ الحَجِّ، أوِ العُمْرَةِ؛ يَبْدَأُ فيُكَبِّرُ ثَلَاثَ مِرَارٍ، ثُمَّ يقولُ: لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ، وحْدَهُ لا شَرِيكَ له، له المُلْكُ، وله الحَمْدُ، وهو علَى كُلِّ شيءٍ قَدِيرٌ، آيِبُونَ تَائِبُونَ، عَابِدُونَ سَاجِدُونَ، لِرَبِّنَا حَامِدُونَ، صَدَقَ اللَّهُ وعْدَهُ، ونَصَرَ عَبْدَهُ، وهَزَمَ الأحْزَابَ وحْدَهُ

“Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah kembali dari peperangan, haji atau umrah, maka beliau mengucapkan takbir di setiap tempat yang tinggi sebanyak tiga kali, kemudian beliau membaca, ‘Tidak ada Ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya pujian. Dia berkuasa atas segala sesuatu. Kita kembali sebagai hamba yang bertobat, beribadah, dan bersujud kepada Rabb kita dengan terus memuji-Nya. Allah akan menepati janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan mengalahkan golongan-golongan kafir dengan sendiri-Nya.’”  (HR. Bukhari no. 4116 dan Muslim no. 1344)

Kesebelas: Makruh hukumnya pulang malam hari ke rumah setelah melakukan safar dengan durasi yang lama tanpa memberi kabar terlebih dahulu

Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

نَهَى رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ أَنْ يَطْرُقَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ لَيْلًا يَتَخَوَّنُهُمْ، أَوْ يَلْتَمِسُ عَثَرَاتِهِمْ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seorang laki-laki mengetuk pintu rumah isterinya (saat kembali dari perjalanan) di waktu malam dengan maksud hendak memergoki atau mencari-cari kesalahan mereka.” (HR. Bukhari no. 1801 dan Muslim no. 715)

Di hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,

إذا قدمَ أحدُكُمْ لَيْلًا ، فلا يأتيَنَّ أَهْلهُ طُرُوقًا ؛ حتى تَسْتَحِدَّ المُغِيبَه ، و تَمْتَشِطَ الشَّعِثَه

“Jika salah seorang dari kalian tiba (dari perjalanan), janganlah kalian pulang ke rumah keluargamu tengah malam, supaya keluarga yang ditinggalkan dapat bersiap-siap dan menyisir rambut (menyambut kedatanganmu).” (HR. Muslim no. 715)

Sebagaimana disebutkan di dalam hadis, hikmahnya adalah agar seorang istri dapat bersiap diri untuk menyambut suaminya ketika pulang, serta untuk menghindari nampaknya hal-hal kurang baik yang mungkin saja timbul karena lamanya mereka tidak berkumpul dan tidak berjumpa. Wallahu A’lam Bisshawab.

[Selesai]

Kembali ke bagian 1: Petunjuk Nabi dalam Bepergian dan Melakukan Perjalanan (Bag.1)

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/90885-petunjuk-nabi-dalam-bepergian-dan-melakukan-perjalanan-bag-2.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Hikmah Mengapa Banyak Amalan dalam Islam

Salah satu keindahan ajaran Islam adalah sangat bervariasinya amalan yang disyariatkan dalam Islam. Amalan ibadah dalam Islam itu bermacam-macam dan beragam. Bahkan, ada seorang ulama besar, yaitu Imam Al-Baihaqi yang berupaya menuliskan (semampu beliau) buku macam-macam amalan dalam Islam sebanyak 14 jilid dengan judul Al-Jami’ Li Syu’abil Iman.

Kenapa Islam menawarkan dan memberikan banyak alternatif amalan tersebut?

Hal ini dikarenakan potensi antara seseorang dengan orang yang lain adalah berbeda. Allah Ta’ala berfirman,

هُمْ دَرَجَٰتٌ عِندَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ بَصِيرٌۢ بِمَا يَعْمَلُونَ

“(Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah. Dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Ali ‘Imran: 163)

Ada orang yang diberikan kenikmatan harta, maka ia bisa beramal dengan hartanya (misal: zakat, sedekah, kurban, haji, dan umrah). Ada yang Allah berikan kelebihan ilmu (agama atau dunia), maka ia dapat beramal dengan ilmu yang dimilikinya. Ada yang Allah karuniakan fisik yang kuat, maka ia dapat beramal dengan fisiknya (misal: puasa sunah daud, senin-kamis, ayyamul bidh atau salat-salat sunah). Demikianlah, besarnya rahmat Allah kepada hamba-Nya agar para hamba bisa mudah beramal dan masuk surga dengan potensi yang dimiliki masing-masing.

Nabi shallallahu alaihi wasallam, ketika menjawab pertanyaan ibunya Haritsah, beliau bersabda,

وَيْحَكِ، أَوَهَبِلْتِ، أَوَجَنَّةٌ وَاحِدَةٌ هِيَ، إِنَّهَا جِنَانٌ كَثِيرَةٌ، وَإِنَّهُ فِي جَنَّةِ الفِرْدَوْسِ

“Janganlah begitu (tenanglah). Atau kamu merasa berat ditinggal anakmu atau kamu mengira bahwa surga itu hanya satu? Sesungguhnya surga itu banyak, dan anakmu sekarang berada di surga Firdaus.” (HR. Bukhari)

Meskipun amalan-amalan dalam Islam itu banyak, tetapi amalan-amalan tersebut tidak satu level. Ada amalan yang wajib (rukun iman, rukun Islam, amalan fardhu ‘ain) dan ada juga amalan sunah. Sebagaimana ibarat bangunan, maka elemen penyusun bangunan itu banyak. Ada yang sifatnya pokok (pondasi, tiang, atap). Ada yang bersifat pelengkap (ventilasi, perabotan).

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِى وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ

“Allah Ta’ala berfirman, ‘Barangsiapa memerangi wali (kekasih)-Ku, maka Aku akan memeranginya. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib yang Kucintai. (Kemudian setelah yang wajib tertunaikan), hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunah sehingga Aku mencintainya….” (HR. Bukhari)

Beramal jangan sesuai selera

Ada sebagian orang yang beramal hanya sesuai hawa nafsu dan selera dirinya saja. Ia memilah dan memilih amalan tanpa didasari ilmu, berlebih-lebihan, meremehkan, malas, menunda-nunda, bahkan beramal hanya karena ingin dilihat dan dipuji orang lain.

Allah Ta’ala mencela orang yang salat tetapi lalai,

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

Maka, kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya.” (QS. Al-Ma’un: 4-5)

Ia celaka karena: 1) Salat tanpa ilmu dan berlebihan (tidak sesuai dengan contoh Nabi shallallahu alaihi wasallam); 2) Meremehkan, malas, dan menunda hingga keluar waktunya; 3) Tidak tuma’ninah; dan 4) Tidak khusyuk dan ingin dipuji manusia.

Selain itu, ada juga yang meninggalkan amalan-amalan karena hanya menganggap itu hanya sunah. Padahal, makna sunah adalah jika dikerjakan, mendapat pahala, dan jika ditinggalkan, tidak mendapat apa-apa alias rugi. Hal ini berbeda dengan para ulama terdahulu. Ketika ulama terdahulu mempelajari amalan sunah, untuk berusaha diamalkan. Zaman sekarang, banyak yang mempelajari sesuatu jika hukumnya sunah, maka ditinggalkan.

Padahal, amalan sunah itu jika dikerjakan, dapat menjadikannya sebagai wali Allah (HR. Bukhari no. 2506 dan no. 6502) dan menjadi penyempurna atau melengkapi kekurangan amalan wajib.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلاَةُ قَالَ يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلاَئِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ انْظُرُوا فِى صَلاَةِ عَبْدِى أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِى مِنْ تَطَوُّعٍ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ أَتِمُّوا لِعَبْدِى فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ ثُمَّ تُؤْخَذُ الأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ

Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab pada manusia di hari kiamat nanti adalah salat. Allah ‘Azza Wajalla berkata kepada malaikat-Nya dan Dialah yang lebih tahu, ‘Lihatlah pada salat hamba-Ku! Apakah salatnya sempurna ataukah tidak? Jika salatnya sempurna, maka akan dicatat baginya pahala yang sempurna.’ Namun, jika dalam salatnya ada sedikit kekurangan, maka Allah berfirman, ‘Lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki amalan sunah! Jika hamba-Ku memiliki amalan sunah,’ Allah berfirman, ‘Sempurnakanlah kekurangan yang  ada pada amalan wajib dengan amalan sunahnya!’ Kemudian amalan lainnya akan diperlakukan seperti ini.” (HR. Abu Daud no. 864)

***

Penulis: Arif Muhammad N.

Sumber: https://muslim.or.id/90883-hikmah-mengapa-banyak-amalan-dalam-islam.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Al Hakam Billah dan Perhatiannya pada Ilmu 

Para sejarawan menyebut di masanya,  “puncak keemasan ilmu pengetahuan dan sastra Arab di Spanyol” lebih dari itu, ia merupakan dikenal negarawan dengan kecintaan akan perdamaian

AL-HAKAM AL-MUNSTANSHIR BILLAH atau Abu al-Ash al-Mustashir Billah al-Hakam. Merupakan khalifah kesembilan di Andalusia apabila Abdurrahman ad-Dakhil dihitung sebagai khalifah pertama dan khalifah kedua setelah ayahnya, Abdurrahman III.

Dia mampur menduduki dan mempertahankan mahkota kekuasaannya selama enam belas tahun setelah ayahnya wafat dan hidup hingga usia enam puluh tiga tahun. Al-Hakam Al-Mustanshir Billah merupakan sosok pemimpin yang baik, baik ucapan, sikap maupun perilakunya serta memuliakan orang yang menghadap kepadanya.

Al-Hakam mampu mengoleksi buku-buku dalam jumlah besar, menarik, dan istimewa, dengan ketenaran, memiliki reputasi yang pengetahuan, kecerdasan, keagungan, baik, dan perilaku yang terhormat.

AI-Hakam seringkali mendatangkan karya-karya ilmiah dari berbagai penjuru negeri dan daerah dengan menggelontorkan dana dalam jumlah besar untuk mensukseskan agenda tersebut hingga menguras simpanan kekayaannya.

Meskipun demikian, Al-Hakam sangat menyukainya lebih mengutamakannya dibandingkan kesenangan-kesenangan para penguasa pada umumnya. Karena itu, tidak mengherankan apabila ilmu dan pengetahuannya semakin luas sehingga pandangan-pandangannya semakin mendalam dan tajam.

Di masa pemerintahannya sangat bagus dan cukup terpandang. Para sejarawan menyebut masa ini dengan sebutan “puncak keemasan sastra Arab di Spanyol”. Lebih dari itu, ia merupakan seorang cendekiawan dan negarawan yang terkenal dengan kecintaan akan perdamaian.

Di masa kekuasaannya, Kota Cordova mencapai puncak kemajuan dan keemasannya. Apalagi kota ini dijadikan sebagai ibu kota Daulah Umayyah II dan tempat istana kekhalifahan di dunia Barat.

Al-Hakam memiliki pengetahuan yang bait tentang tokoh-tokoh dan nasab mereka serta berbagai peristiwa penting yang menemani kesendiriannya.

Saudaranya bernama Abdullah, yang lebih dikenal dengan AI-Walad juga memiliki karakter yang sama, yaitu sangat mencintaì ilmu. Abdullah dibunuh ketika ayahnya masih berkuasa.

Al-Walad adalah istilah masyarakat Andalusia yang hanya disematkan kepada para pemimpin, dan biasanya menjadi sebutan khusus bagi Putra Mahkota.

Al-Hakam merupakan sosok yang dapat dipercaya dalam periwayatan yang dikutip dan disampaikannya.  Ibnul Abar berkata; “Inilah realitanya dan masih banyak buku-buku yang berhasil dikoleksinya.”

Dalam kesempatan lain, Ibnul Abar berkata, “Sungguh mengherankan, bagaimana lbnu Al-Faradhi dan lbnu BasykAwwal tidak menyebutkannya. Gelarnya Abu Al-Ash dan menjabat sebagai kepala pemerintahan pada tahun tiga ratus lima puluh Hijriyah setelah ayahnya.

Jarang kami mendapati sebuah buku koleksinya, kecuali ia telah membacanya terlebih dahulu atau memperhatikan klasifikasinya, termasuk bidang apa buku tersebut. Al-Hakam juga menulis nasab penulis, kelahiran, dan wafatnya.

Kemudian mengemukakan tentang peristiwa-peristwia asing, yang tiada ditemukan kecuali darinya. Karena ia mempunyai kepedulian tentang hal itu.

Al-Hakam Al-Mustanshir Billah wafat di Istana Cordova pada tanggal dua Shafar tahun 366 H. Semoga Allah Swt senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepadanya.

Al-Hakam merupakan salah seorang pemimpin yang tegas dan keras dalam membersihkan budaya minum-minuman keras dari lingkungan pemerintahannya. Al-Hakam wafat di Al-Falij.

Kekuasaan selanjutnya diserahkan kepada puteranya bernama Al-Mu’ ayyad Billah Hisyam, yang ketika itu baru berusia sembilan tahun. Jalannya roda pemerintahan diserahkan kepada Al-Hajib Abu Amir Muhammad bin Abdullah bin Abu Amir Al-Amiri Al-Qahthani yang bergelar Al-Manshur, dan kepada dialah semua urusan pemerintahan dilimpahkan.*

HIDAYATULLAH

Ini 4 Hal Agar Proses Demokrasi Berjalan Lancar Menurut KH Marsudi Syuhud

Kesabaran seorang hamba akan memerangi takabur ketika sedang mampu dan berkuasa.

Oleh: Kholis S, Wakil Ketua PDM Cilacap

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى فَضْلِهِ وَإِحْسَانِهِ، وَأَشْكُرُهُ عَلَى تَوْفِيْقِهِ وَامْتِنَانِهِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ تَعْظِيْمًا لِشَأْنِهِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِه.

أَمَّا بَعْدُ : فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، اُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِىْ بِتَقْوَى اللهِ، كَمَا قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ :  يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

Hadirin Jamaah Jumat Rahimakumullah

Puji syukur kita panjatkan ke hadhirat Allah SwT atas karunia nikmat yang telah Allah berikan kepada kita semua, terutama ni’mat iman dan Islam, sehingga berkat ni’mat iman dan islam ini maka dengan ringan kita langkahkan kaki kita menuju masjid ini untuk melakukan sebagian ketaatan kita kepada-Nya, shalat jumu’ah berjamaah.

Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita Nabiyullah Muhammad Saw, keluarganya, para sahabatnya dan para pengikutnya sampai akhir zaman. Dan semoga dengan izin Allah SwT kita akan mendapatkan syafaatnya di hari qiamat.

Kaum Muslimin Rahimakumullah

Kehidupan ini adalah sebuah misteri. Sebagai manusia biasa, kita tidak mengetahui apa yang akan terjadi dalam hidup ini meski semenit kemudian. Allah SwT berfirman dalam QS. Luqman ayat 34 :

… وَمَا تَدۡرِي نَفۡسٞ مَّاذَا تَكۡسِبُ غَدٗاۖ وَمَا تَدۡرِي نَفۡسُۢ بِأَيِّ أَرۡضٖ تَمُوتُۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرُۢ  

… Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada diri kita besok. Jangankan apa yang terjadi besok. Yang akan terjadi nanti saja kita tidak tahu. Lebih-lebih tentang kapan dan di mana tempat kita mati.

Kita benar-benar tidak tahu tentang nasib kita ke depan. Bisa jadi Allah mencoba kita dengan berbagai kesulitan dan kesusahan.

Namun, boleh jadi kita diberikan segala kemudahan dalam segala urusan. Itu semua pada dasarnya adalah ujian dan cobaan dari Allah SwT.

Allah SwT memiliki cara yang tak terhingga dan unik luar biasa dalam rangka mengangkat derajat manusia. Oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk mengembangkan sikap dan perilaku sabar dalam diri kita, baik sabar ketika mendapatkan kesulitan maupun ketika memperoleh kemudahan.   

Rasulullah saw pernah bersabda dalam sebuah kesempatan bahwa, “Kesabaran itu terbagi menjadi tiga. Sabar dalam menghadapi musibah, sabar dalam menjalankan ketaatan dan sabar dalam meninggalkan kemaksiatan.”

Setidaknya sabar dalam tiga hal ini.

1. Sabar ketika menghadapi musibah

Misalnya saja musibah kecelakaan. Secara lahiriah, mungkin kita akan beranggapan bahwa kecelakaan itu terjadi lantaran kurangnya kewaspadaan dalam berkendara.

Namun, sebenarnya, ada makna tersirat dari cobaan itu. Bisa jadi itu sebuah teguran, atau mungkin pula cobaan dari Allah SwT yang tak lain adalah untuk mendidik kita agar naik ke tingkat keimanan yang lebih tinggi.

Bagi orang yang sabar maka dia akan mengingat Allah dengan meyakini bahwa kita semua ini milik Allah dan semuanya akan kembali kepadaNya. (Innaa lillaahi wainnaa ilaihi raaji’uun). Dengan demikian dia tidak akan terlalu menyesali akan kejadian tersebut karena semuanya adalah kehendak Allah, bahkan dia yakin bahwa ini adalah hal yang terbaik baginya menurut Allah. Dia yakin, bahwa dibalik musibah tersebut pasti ada hikmahnya.

2. Sabar dalam menjalankan ketaatan

Ketaatan itu membutuhkan kesabaran yang harus terus menerus dijaga. Mengapa? Karena ketaatan itu akan membebani seseorang, karena dengan menjalankan ketaatan berarti ada kewajiban yang harus selalu dilakukan.

Shalat malam itu berat, karena harus melawan kantuk dan dinginnya malam. Infaq itu berat, apalagi ketika dalam kesusahan. Itu semuanya membutuhkan kesabaran.

3. Sabar dalam meninggalkan kemaksiatan

Kita sadar, bahwa di dalam jiwa kita ini ada yang namanya nafsu yang selalu memerintahkan kepada kejelekan. Itu artinya, bahwa kita harus senantiasa sabar dengan menahan diri darinperbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama, seperti menipu, berzina, menyebarkan kebencian, mengganggu orang lain dan sebagainya.

Hadirin Jamaah Jumat Rahimakumullah

Kita perlu menakar tingkat kesabaran itu dalam diri kita, mengoreksi diri, apakah selama ini kita telah benar-benar bersabar atas ujian-Nya? Ataukah sabar kita hanya sampai di mulut dan belum turun ke hati? Atau bahkan kita lebih sering berprasangka atas ujian-Nya, kendati sebenarnya kita tahu ada ‘hikmah’ dalam setiap kejadian yang tidak diperkenankan.

Menakar sabar berarti menghadirkan seluruh hati, pikiran, jiwa dan raga untuk lebih meyakini, bahwa Allah SwT tidak mungkin menghendaki sesuatu yang buruk bagi setiap hamba-Nya. Dia selalu memberikan apa yang kita butuhkan di saat yang tepat dengan cara dan waktu yang telah ditetapkan-Nya…

Kesabaran seorang hamba akan memerangi sifat takabur ketika sedang mampu dan berkuasa. Sabar juga dapat menghilangkan kegelisahan dan putus asa ketika sedang berada dalam kesulitan dan kekurangan. Allah SwT berfirman,

وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُولَٰئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ

“Dan orang yang sabar karena mengharap keridhaan Tuhannya, melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang itulah yang mendapat tempat kesudahan yang baik.” (QS. Ar-Ra’d: 22)

Sabar ketika susah, sabar ketika senang, sabar ketika jaya, sabar ketika terkena musibah, sabar dalam menjalankan ibadah dan beristiqamah dalam kebaikan maka Allah Azza wa Jalla menjanjikan kabar gembira kepada mereka dengan nasib yang baik di dunia dan akhirat, ia akan mendapat kesudahan yang baik.

Semoga Allah SwT mengaruniakan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita tetap istiqamah senantiasa bersabar untuk mendapatkan kesudahan yang baik, di dunia dan diakhirat…

بَارَكَ اللَّهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيهِ مِنَ الْآيَاتِ وَذِكَرَ الْحَكِيمَ وَتَقَبَّلْ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Khutbah Kedua

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّم عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يوْمِ القِيَامَةِ.

اَمَّا بَعْدُ : فَيَااَ يُّهَاالنَّاسُ !! اِتَّقُوا اللهَ تَعَالىَ. وَذَرُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ منها وَمَا بَطَنْ. وَحَافِظُوْا عَلىَ الطَّاعَةِ وَحُضُوْرِ الْجُمْعَةِ وَالْجَمَاعَةِ. وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهَ اَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ. وَثَنَّى بِمَلاَئِكَةِ قُدْسِهِ. فَقَالَ تَعَالىَ: اِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِىْ يَاَ يُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمسْلِمَاتِ وَالمؤْمِنِيْنَ وَالمؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ

رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.  اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى، والتُّقَى، والعَفَافَ، والغِنَى.

اللهم أَعِزَّ الْإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. رَبَّنَا أَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

IQRA REPUBLIKA

Ini 4 Hal Agar Proses Demokrasi Berjalan Lancar Menurut KH Marsudi Syuhud

Proses demokrasi menuju Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 terus bergulir. Berbagai dinamika pun terjadi mengiringi pesta demokrasi lima tahunan itu.

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Marsudi Syuhud mengatakan ada empat hal agar demokrasi di Indonesia berjalan lancar.

Empat syarat itu meliputi, pertama, melakasanakan hasil-hasil dari kesepakatan bersama (wujubu al-syuro al wulati al-umur).

“Dalam konteks bernegara dan berbangsa, kesepakatan itu berupa undang-undang atau keputusan. Jika hal itu diingkari, maka aktivitas bernegara akan carut-marut,” ujar Kiai Marsudi pada Silaturrahim Nasional bertema “Mengawal Pemilu Damai, Jujur, Adil, dan Bermartabat” di Jakarta, Selasa (16/1/2024).

Kedua, lanjut Kiai Marsudi, adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara (al-masuliyyah al-fardhiyyah). Suara rakyat dalam pemilu, kata dia, harus dijunjung tinggi tanpa intimidasi dan intervensi.

“Bahwa dalam pemilu ini ada hak masuliyyah, fardhiyyah, individu-individu yang akan memilih kemaslahatan untuk menyiapkan pemimpinnya,” ucapnya dikutip dari MUIDIgital.

Kemudian hal ketiga dalam keberlangsungan demokrasi adalah aktivitas bernegara harus menyangkut kepentingan bersama (umumi al-huquq baina al-nas). Kepentingan rakyat harus menjadi orientasi dari kebelangsungan suatu pemerintahan.

Terakhir, tegaknya demokrasi juga ditentukan oleh adanya penghargaan dan penghormatan terhadap adanya setiap perbedaan di antara sesama (at-tadhomu baina ar-ra’yati ala ikhtilafi ath-thawaif wa at-tabaqat).

Dalam rangka itu, kata Kiai Marsudi, tokoh-tokoh mejelis lintas agama berkumpul untuk menjaga satu pilar dari keberlangsungan demokrasi itu sendiri, yaitu pemilu damai, jujur, adil, dan bermartabat.

Dalam deklarasi tersebut, sejumlah tokoh perwakilan dari ormas Islam, majelis-majelis agama, KPU, Bawaslu, TNI, serta Polri turut membacakan deklarasi yang dikomandoi Ketua Umum MUI KH Anwar Iskandar.

ISLAMKAFFAH

Perbedaan Ilmu Allah dengan Ilmu Manusia

Di antara sifat wajib bagi Allah swt adalah al Ilmu artinya mengetahui. Allah swt sebagai Tuhan tidak pantas memiliki sifat al Jahl (bodoh). Sebab itu, al Jahl dikategorikan sifat mustahil berada dalam diri Allah swt.

Bukti bahwa Allah swt memiliki sifat al Ilmu yaitu firman Allah swt sendiri yang tertuang di dalam al Qur’an. Jika diperinci, ada sekitar 106 ayat lebih di dalam al Qur’an yang menyebutkan Allah swt memiliki sifat mengetahui. Di antaranya:

إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Artinya: “Allah maha mendengar dan maha mengetahui”

إِنَّهُ يَعْلَمُ الْجَهْرَ مِنَ الْقَوْلِ وَيَعْلَمُ مَا تَكْتُمُونَ

Artinya: Sesungguhnya Allah swt mengetahui terhadap perkataan yang kalian ucapkan secara terang-terangan dan Allah swt juga mengetahui kepada ucapan yang kalian sembunyikan (QS. Al Anbiya: 110)

Sekalipun manusia juga memiliki sifat mengetahui, namun mengetahuinya manusia tidak sama dengan mengetahuinya Allah swt. Syaikh Muhammad al Hasyimi menjelaskan karakteristik sifat Allah swt:

أَنَّ عِلْمَ اللهِ مَوْجُوْدٌ وَقَدِيْمٌ وَبَاقٍ وَمُخَالِفٌ لِعِلْمِنَا الْحَادِثِ وَغَنِيٌّ عَنِ الْمُخَصِّصِ وَوَاحِدٌ وَعَامُّ التَّعَلُّقِ بِجَمِيْعِ الْوَاجِبَاتِ وَالْجَائِزَاتِ وَالْمُسْتَحِيْلَاتِ

Artinya: “Sesunggunnya ilmu Allah itu ada, dan qadim, abadi, berbeda dengan ilmu kita yang baru, tidak butuh kepada mukhasshis, esa dan umum berkaitan dengan seluruh sifat wajib, jaiz dan mustahil”

Dari keterangan tersebut, ada tujuh perbedaan antara ilmu Allah swt dengan ilmu manusia. Pertama, ilmu Allah selalu ada pada diri Allah swt tanpa harus ada yang mengadakan. Berbeda dengan sifat manusia, yang membutuhkan untuk di adakan. Seperti anak baru lahir ia tidak mengetahui apa-apa. Padahal wujud dari anak tersebut sudah ada.

Kedua, ilmu Allah swt qadim (dahulu), tidak ada yang mendahuluinya. Sebab sifat ilmu Allah swt melekat pada dzat yang memang tidak ada awalnya, yaitu Allah swt.

Ketiga, ilmu Allah swt selamanya akan ada, kekal abadi tanpa ada akhir. Sebab ia bersandar kepada dzat yang tanpa akhir. Berbeda dengan ilmu manusia, ilmu itu akan ada selama pemilik ilmu masih ada. Manakala mati, atau menjadi gila, maka ilmu tersebut sudah tidak ada.

Keempat, ilmu Allah swt tidak sama dengan ilmu manusia dalam aspek apapun. Jika manusia hanya mampu mengetahui terhadap yang nampak-nampak saja, maka Allah swt mampu mengetahui yang jelas dan yang samar sekalipun.

إِنَّهُ يَعْلَمُ الْجَهْرَ وَمَا يَخْفَى

Artinya: “Allah mengetahui yang jelas dan yang samar”

Sebab jelas dan samar sama-sama ciptaan Allah swt. tentu yang menciptakannya lebih kuasa dari yang diciptakan.

Kelima, tidak butuh kepada mukhassis, sesuatu yang mengkhususkan. Keenam, ilmu Allah esa, tidak ada yang sama dengan ilmu Allah swt. berbeda dengan ilmu makhluk, banyak yang sama bahkan saling melebihi antara satu dengan lainnya. Ketuhuh, mencakup hubungannya dengan sifat-sifat wajib, jaiz dan mustahil bagi Allah. Hal ini berbeda dengan manusia yang hanya mampu mencerna apa yang terjadi kepada dirinya sendiri. Sementara yang di luar itu, manusia tidak mampu mengetahuinya. Seperti benda apa saja yang terdapat di langit atau apa yang berada di jantung bumi.

Dari sini, Ahlussunnah wal Jama’ah menyimpulkan bahwa ilmu manusia merupakan pengetahuan yang diberikan oleh Allah swt kepadanya. Bukan pengetahuan yang berdiri sendiri, tanpa ada yang lain. Ini dapat dibuktikan, seseorang yang awalnya mengetahui terhadap suatu hal, lalu dikemudian hari ia lupa terhadap hal tersebut karena telah dicabut kembali pengetahuan oleh Allah swt. Dan ini tidak mungkin terjadi bagi Allah swt.

Wallahu a’lam

ISLAMKAFFAH

Biografi Buya Syakur: Ulama Kharismatik Asal Indramayu

Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Telah berpulang ke Rahmatullah salah satu ulama kharismatik asal Indramayu, Jawa Barat, Prof. Dr. KH. Buya Abdul Syakur Yasin, MA, pada hari Rabu, 17 Januari 2024, pukul 02.00 WIB, di Rumah Sakit Mitra Plumbon, Cirebon, Jawa Barat. Nah berikut ini biografi Buya Syakur.

Secara biografi, Buya Syakur lahir di Desa Tulungagung, Kecamatan Kertasmaya, Indramayu, pada tanggal 2 Februari 1949. Ia merupakan putra dari pasangan KH. Yasin dan Hj. Zubaidah. Beliau merupakan pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Cadangpinggan, yang berlokasi di Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.

Buya Syakur, Ulama Indonesia

Masa kecil Buya Syakur dihabiskan di lingkungan pondok pesantren. Beliau belajar agama dari ayahnya, KH. Moh Yasin Ibrohim, yang juga merupakan seorang ulama. Selain itu, Buya Syakur juga belajar di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon, yang diasuh oleh KH. Abdullah Mubarok.

Setelah menyelesaikan pendidikan di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, Buya Syakur melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Pada tahun 1976, beliau berangkat ke Libya untuk belajar Ilmu Al-Qur’an di Fakultas Sastra Universitas Al-Fatah. Pada tahun 1979, beliau menyelesaikan pendidikan sastra Arab di Universitas Al-Fatah.

Pada tahun 1981, Buya Syakur melanjutkan pendidikannya ke Tunisia. Beliau belajar di Fakultas Sastra Universitas Tunis dan meraih gelar magister di bidang sastra linguistik.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di luar negeri, Buya Syakur kembali ke Indonesia. Pada tahun 1983, beliau mendirikan Pondok Pesantren Cadangpinggan. Pondok pesantren ini kemudian berkembang pesat dan menjadi salah satu pondok pesantren besar di Jawa Barat.

Buya Syakur dikenal sebagai ulama yang berilmu luas dan ramah. Beliau aktif dalam berbagai kegiatan keagamaan, baik di dalam maupun di luar negeri. Buya Syakur juga dikenal sebagai ulama yang moderat dan toleran.

Pada tanggal 17 Januari 2024, Buya Syakur wafat pada usia 75 tahun. Kepergian beliau merupakan kehilangan besar bagi umat Islam di Indonesia.

Pemikiran Buya Syakur

Buya Syakur memiliki pemikiran yang moderat dan toleran. Beliau menggabungkan antara ajaran Islam dengan nilai-nilai universal yang ada di dalam agama lain. Buya Syakur juga menekankan pentingnya toleransi dan persaudaraan antar umat beragama.

Buya Syakur juga dikenal sebagai ulama yang kritis terhadap berbagai persoalan sosial dan politik. Beliau sering menyampaikan kritik-kritiknya dalam berbagai kesempatan, baik di dalam maupun di luar negeri.

Lebih jauh lagi, Buya Syakur dikenal sebagai teman Gus Dur sejak lama, namun tidak terkenal luas seperti nama-nama besar Cak Nur dan Quraish Shihab. Mungkin karena baru aktif di Indonesia sejak awal 90-an dan fokus mengajar di Indramayu dan Cirebon. Namun, dengan diunggahnya ceramah di YouTube, Buya Syakur kini banyak dipuji dan popularitasnya kian menanjak.

Salah satu pandangannya yang moderat adalah terkait hukum musik dalam Islam. Menurut Buya Syakur, terdapat fenomena di kalangan masyarakat Indonesia, generasi Islam yang terlalu berani mengharamkan sesuatu. Standar hukum pengharamnya pun cukup unik, yakni implementasi Islam di abad ke-VII ketika masa Nabi Muhammad dan sahabat-sahabat beliau. Itulah standar hukum.

Buya Syakur, ketika ditanya tentang hukum “gitar”, maka orang tersebut sibuk melihat antropologi, arkeologi, dan teks-teks yang merujuk pada masa Nabi dan sahabat. Nah, bila setelah ditelisik “gitar” itu tidak ada pada masa Nabi, maka itu haram.

Pada soal lain, misalnya ketika membahas masalah “gendang”, dibuka kembali teks, antropologi, arkeologi, dan ilmu lain yang standarnya masa Nabi dan sahabat. Ternyata “gendang” ada masa nabi, maka itu halal. Itulah satu pandangan satu kelompok dalam Islam; bila ada pada masa Nabi halal, bila tidak ada, haram.

Menurut Buya Syakur, mendengar musik merasakan kenikmatan tersendiri, bukan menjauhkan dari Allah bahkan mendekatkan pada Ilahi. Dalam ayunan musik kita tersadar betapa Maha Hebat Allah. Pun ketika membaca Al-Qur’an dengan suara indah; tajwid, nada, qiraat sab’ah, yang merdu. Nabi dalam sabdanya sendiri menganjurkan kesenian dalam membaca Al-Qur’an. Nabi Muhammad bersabda;

حسِّنوا القرآنَ بأصواتِكم فإنَّ الصوتَ الحسنَ يزيدُ القرآنَ حُسْنًا

Artinya; baguskan Al-Qur’an dengan suara kamu, maka sesungguhnya suara yang bagus menambahkan kebaikan Al-Qur’an.

Kepergian Buya Syakur merupakan kehilangan yang besar bagi dunia keagamaan Indonesia. Ia merupakan sosok ulama yang telah memberikan banyak kontribusi bagi pengembangan ilmu agama dan masyarakat.

Semoga almarhum husnul khatimah, dan keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan dan kesabaran. Amin ya Rabbal alamin.

BINCANG SYARIAH

Bolehkah Mengganti Lafadz Amin dengan Qabul Ketika Berdoa?

Jelang pesta demokrasi pada Februari 2024, banyak kontroversi yang terjadi ditengah Masyarakat Indonesia. Salah satunya pelafalan lafaz “amin” diganti dengan “qabul” sebagai penutup doa. Lantas bolehkah mengganti lafadz amin dengan qabul ketika mengamini doa?

Kontroversi ini berangkat dari salah satu pasangan capres yang menggunakan tagline amin. Hal ini mengakibatkan sentimen para pendukung lain. Tak pelak, para pendukung paslon lain menghindari lafaz “amin” ketika mengamini sebuah doa dan diganti dengan lafal qabul. 

Lantas bagaimana pandangan Islam terhadap kontroversi tersebut? Bolehkah mengganti lafadz amin dengan kata qabul ketika mengamini doa?

Dalam literatur fikih memang dijelaskan bahwa pelafalan lafadz “amin” saat mengamini sebuah doa, merupakan bentuk dari isim fi’il yang mempunyai arti kabulkanlah. Hal ini yang mungkin menjadi alasan bagi salah satu pendukung pasangan capres untuk menghindari tagline amin diganti dengan lafal qabul.

Sebagaimana dijelaskan Syekh Zainuddin al-Malibari dalam Fathul Muin halaman 2 sebagai berikut:

وَ آمِيْن اِسْمُ فِعْلٍ بِمَعْنَى اسٔتَجِبْ

Artinya;”Dan lafal ‘Amin’ adalah bentuk dari isim fi’il yang bermakna ‘kabulkanlah’.” 

Senada dengan keterangan diatas dalam kitab Al Mausuah Al Fiqhiyyah juz 22 halaman 303 juga dijelaskan bahwa lafaz qabul memiliki makna sama dengan lafaz amin. Penjelasan selengkapnya sebagai berikut;

الْقَبُول فِي اللُّغَةِ….وَقَبِل اللهُ الدُّعَاءَ: اسْتَجَابَهُ

Artinya;”Lafal ‘Qobul’ secara bahasa… bermakna semoga Allah menerima doa.

Namun meski lafaz amin dan qabul mempunyai kemiripan dalam segi arti, Syekh Muhammad Bin Alawi Al Maliki dalam kitabnya Khasais Al Ummah Al Muhammadiyyah halaman 91, berpendapat bahwa lafaz amin tidak dapat digantikan dengan lafaz lain, karena lafaz amin merupakan salah satu kekhususan bagi umat Nabi Saw. berikut penjelasan lengkapnya;

وَمِمَّا خَصَّ اللهُ بِهِ هَذِهِ الأُمَّةَ التَّأْمِيْنُ وَمَعْنَاهُ اللهُمَّ اسٔتَجِبْ

“Dan di antara kekhususan yang diberikan Allah pada umat ini adalah bacaan ‘Amin’ yang bermakna ‘Ya Allah kabulkanlah”.

Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa lafaz amin dan qabul mempunyai kesamaan dalam arti yakni semoga Allah menerima doa. Sehingga seseorang yang mengganti lafaz amin dengan qabul tidak dapat disalahkan sepenuhnya, karena lafaz qabul juga semakna dengan lafal amin.

Namun, mengingat lafal amin merupakan salah satu kekhususan tersendiri yang diberikan Allah Swt kepada umat Nabi Saw, sebaiknya kita tidak menggantinya dengan lafaz lain.

Demikian penjelasan terkait bolehkah mengganti Lafadz Amin dengan Qabul ketika mengamini doa? Semoga bermanfaat. Wallahu alam bissawab.

BINCANG SYARIAH

Kesempurnaan dan Kemudahan dalam Dinul Islam

Dengan  adanya  kemudahan  dalam  syariat,  Allah  SwT  menginginkan  agar  kaum  muslimin  tidak  meninggalkan  satu  perintah  atau  melanggar  satu  larangan  pun 

ISLAM  merupakan  agama  samawi  terakhir  yang  Allah  turunkan  ke  muka  bumi.  Nabi  Muhammad  ﷺ  sebagai  rasul  yang  membawanya  pun  adalah  rasul  terakhir  yang  Allah  utus  bagi  segenap  umat  manusia. 

Sebelum  di  turunkannya  Islam  dan  diutusnya  Nabi  Muhammad  ﷺ  telah  ada  dua  agama  samawi  yang  mendahuluinya.  Pertama  adalah  agama  yang  dibawa  oleh  Nabi  Musa  AS,  dan  yang  kedua  adalah  agama  yang  dibawa  oleh  Nabi  Isa  AS.

وَيُعَلِّمُهُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَٱلتَّوْرَىٰةَ وَٱلْإِنجِيلَ

وَرَسُولًا إِلَىٰ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ أَنِّى قَدْ جِئْتُكُم بِـَٔايَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ ۖ أَنِّىٓ أَخْلُقُ لَكُم مِّنَ ٱلطِّينِ كَهَيْـَٔةِ ٱلطَّيْرِ فَأَنفُخُ فِيهِ فَيَكُونُ طَيْرًۢا بِإِذْنِ ٱللَّهِ ۖ وَأُبْرِئُ ٱلْأَكْمَهَ وَٱلْأَبْرَصَ وَأُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ بِإِذْنِ ٱللَّهِ ۖ وَأُنَبِّئُكُم بِمَا تَأْكُلُونَ وَمَا تَدَّخِرُونَ فِى بُيُوتِكُمْ ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَةً لَّكُمْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

“Dan  Dia  (Allah)  megajarkan  kepadanya  (Isa)  Kitab,  Hikmah,  Taurat,  dan  Injil.  Dan  sebagai  Rasul  kepada  Bani  Israil  (dia  berkata),  “Aku  telah  datang  kepada  kamu  dengan  sebuah  tanda  (mukjizat)  dari  Tuhanmu,  yaitu  aku  membuatkan  bagimu  (sesuatu)  dari  tanah  berbentuk  seperti  burung,  lalu  aku  meniupnya,  maka  ia  menjadi  seekor  burung  dengan  izin  Allah.  Dan  aku  menyembuhkan  orang  yang  buta  sejak  sejak  dari  lahir  dan  orang  yang  berpenyakit  kusta.  Dan  aku  menghidupkan  orang  mati  dengan  izin  Allah,  dan  aku  beritahukan  kepadamu  apa  yang  kamu  makan  dan  apa  yang  kamu  simpan  di  rumahmu.  Sesungguhnya  pada  yang  demikian  itu  terdapat  suatu  tanda  (kebenaran  kerasulanku)  bagimu,  jika  kamu  orang  beriman.”  (QS: Ali-Imran  [3]:  48-49)

Selain  menurunkan  dua  agama  samawi  melalui  utusa-Nya  Musa  dan  Isa,  Allah  SwT  juga  mengutus  rasul-rasul-Nya  secara  silih  berganti  sepanjang  sejarah  dengan  membawa  ajaran  tauhid  untuk  disampaikan  kepada  umatnya  masing-masing.

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولٌ ۖ فَإِذَا جَآءَ رَسُولُهُمْ قُضِىَ بَيْنَهُم بِٱلْقِسْطِ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

“Dan  setiap  umat  (mempunyai)  rasul.  Maka  apabila  rasul  mereka  telah  datang,  diberlakukanlah  hukum  bagi  mereka  dengan  adil  dan  (sedikit  pun)  tidak  dizalimi.”  (QS:Yunus  [10]:  47).

Al-Qur’an  mengisahkan  dua  puluh  lima  nabi  dan  rasul.  Masing-masing  dari  mereka  diutus  kepada  umatnya:  Nabi  Nuh  diutus  kepada  Bani  Rasib  (Al-A’raf  [7]:  59). 

Nabi  Hud  dan  Shalih  diutus  kepada  kaum  Tsamud  (Al-A’raf  [7]:  73),  Nabi  Syuaib  diutus  kepada  kaum  Madyan  (Al-A’raf  [7]:  85),  dan  seterusnya  sampai  kepada  Nabi  Muhammad  ﷺ  diutus  untuk  seluruh  umat  manusia  hingga  akhir  zaman.

وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا كَآفَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan  Kami  tidak  mengutus  engkau  (Muhammad),  melainkan  kepada  semua  umat  manusia  sebagai  pembawa  berita  gembira  dan  sebagai  pemberi  peringatan,  tetapi  kebanyakan  manusia  tidak  mengetahui.”  (QS: Saba’  [34]:  28).

Islam  adalah  agama  termuda  diantara  agama-agama  samawi  sebelumnya.  Sebagai  agama  samawi  terakhir  kedatangannya  membawa  konsekwensi  berupa  kesempurnaan  dan  kelengkapan  ajarannya  bila  dibandingkan  dengan  dua  agama  pendahulunya.

اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ

“Pada  hari  ini  telah  Aku  sempurnakan  agamamu  untukmu,  dan  telah  Aku  cukupkan  nikmat-Ku  bagimu,  dan  telah  Aku  ridhai  Islam  sebagai  agamamu.”  (QS: Al-Maidah  [5]:  3)

Kenikmatan  terbesar  yang  Allah  SwT  anugerahkan  kepada  umat  ini  adalah  disempurnakannya  agama  Islam.  Allah  SwT  telah  menyempurnakan  agama  kaum  muslimin  sehingga  mereka  tidak  membutuhkan  agama  dan  nabi  yang  lain. 

Oleh  karena  itu,  Allah  SwT  menjadikan  Nabi  Muhammad  ﷺ  sebagai  penutup  para  nabi  dan  rasul  yang  diutus  kepada  seluruh  umat  manusia  dan  jin.  Maka,  tidaklah  ada  sesuatu  yang  halal  kecuali  yang  Allah  halalkan  melalui  lisannya,  tidaklah  ada  sesuatu  yang  haram  kecuali  yang  telah  Allah  haramkan  melaui  lisannya.

Sebagai  agama  yang  sempurna  dan  paripurna  sudah  menjadi  ketentuan  Ilahiah  jika  seluruh  rangkaian  syariat  dan  ajaran  Islam  sejalan  dengan  fithrah  penciptaan  manusia.  Allah  SwT  telah  menjamin  hal  ini  dalam  Firman-Nya,

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Maka  hadapkanlah  wajahmu  dengan  lurus  kepada  agama  (Islam);  (sesuai)  fithrah  Allah  disebabkan  Dia  telah  menciptakan  manusia  menurut  (fithrah)  itu.  Tidak  ada  perubahan  pada  ciptaan  Allah.  (Itulah)  agama  yang  lurus,  tetapi  kebanyakan  manusia  tidak  mengetahui.”  (QS: Ar-Rum  [30]:  30)

Fithrah  adalah  nurani  manusia.  Fithrah  telah  ada  jauh  sebelum  manusia  dilahirkan  ke  dunia.  Ketika  semua  janin  ditiupkan  roh  kepadanya  ditanya  oleh  Allah  SwT,  sebagaimana  terekam  dalam  Firman-Nya,

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِىٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا۟ بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَآ ۛ أَن تَقُولُوا۟ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَٰفِلِينَ

“Dan  (ingatlah)  ketika  Tuhanmu  mengeluarkan  dari  sulbi  (tulang  belakang)  anak  cucu  Adam  keturunan  mereka  dan  Allah  mengambil  kesaksian  terhadap  roh  mereka  (seraya  berfirman),  “Bukankah  Aku  ini  Tuhanmu?”  Mereka  menjawab,  “Betul  (Engkau  Tuhan  kami),  kami  bersaksi.”  (Kami  lakukan  yang  demikian  itu)  agar  di  hari  Kiamat  kamu  tidak  mengatakan,  “Sesungguhnya  ketika  itu  kami  lengah  terhadap  ini.”  (QS: Al-A’raf  [7]:  172)

Allah  SwT  menciptakan  manusia  dengan  fithrah  bertuhan,  maka  hati  manusia  akan  merasa  nyaman  jika  kepadanya  disematkan  predikat  “hamba  Allah”.  Sebaliknya,  ia  akan  merasa  resah,  gelisah,  bahkan  marah  jika  dikatakan  sebagai  “hamba  dunia”. 

Ini  semua  merupakan  bukti  bahwa  pada  dasarnya  manusia  memiliki  fithrah  bertuhan.  Dalam  hal  ini  Islam  adalah  satu-satunya  agama  yang  senantiasa  selaras  dengan  fithrah  manusia. 

Hal  ini  sebagaimana  dituturkan  Al-Qur’an,  bahwa  esensi  penciptaan  jin  dan  manusia  adalah  untuk  menghamba  kepada  Allah SwT.

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

 “Aku  tidak  menciptakan  jin  dan  manusia  melainkan  agar  mereka  beribadah  kepada-Ku.”  (QS: Adz-Dzariyat  [51]:  56)

Namun  fithrah  bertuhan  yang  ada  pada  diri  manusia  tersebut  barulah  merupakan  potensi  dasar  yang  harus  terus  menerus  dipelihara  dan  dikembangkan. 

Apabila  fithrah  tersebut  tertutupi  oleh  faktor-faktor  dari  luar  nuraninya,  manusia  akan  berlari  dan  menentang  fithrahnya  sendiri.  Tetapi  bila  dihadapkan  pada  persoalan-persoalan  kehidupan  yang  rumit  dan  dia  sudah  kehilangan  daya  untuk  menghadapinya,  barulah  secara  sepontan  fithrah  tersebut  kembali  muncul.

وَإِذَا مَسَّ ٱلْإِنسَٰنَ ٱلضُّرُّ دَعَانَا لِجَنۢبِهِۦٓ أَوْ قَاعِدًا أَوْ قَآئِمًا فَلَمَّا كَشَفْنَا عَنْهُ ضُرَّهُۥ مَرَّ كَأَن لَّمْ يَدْعُنَآ إِلَىٰ ضُرٍّ مَّسَّهُۥ ۚ كَذَٰلِكَ زُيِّنَ لِلْمُسْرِفِينَ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

“Dan  apabila  manusia  ditimpa  bahaya  dia  berdoa  kepada  Kami  dalam  keadaan  berbaring,  duduk  atau  berdiri,  tetapi  setelah  Kami  hilangkan  bahaya  itu  darinya,  dia  kembali  (ke  jalan  yang  sesat),  seolah-olah  tidak  pernah  berdoa  kepada  Kami  untuk  (menghilangkan)  bahaya  yang  telah  menimpanya.  Demikianlah  dijadikan  terasa  indah  bagi  orang-orang  yang  melampaui  batas  apa  yang  mereka  kerjakan.”  (QS: Yunus  [10]:  12)

Selain  berhubungan  dengan  keimanan,  fithrah  manusia  juga  berkolerasi  dengan  segala  sesuatu  yang  menyangkut  cara  manusia  menjalani  kehidupannya  dengan  berpatokan  pada  pedoman  hidup  yang  telah  ditetapkan  Allah  SwT. 

Apa  yang  menurut  fithrah  manusia  itu  baik  Allah  pasti  memerintahkannya.  Sebaliknya  apa  yang  menurut  fithrah  manusia  itu  buruk  maka  Allah  dengan  tegas  pasti  melarangnya. 

Manusia  memiliki  fithrah  menyukai  keindahan.  Islam  pun  mengajarkan  kepada  pemeluknya  untuk  senantiasa  keindahan,  kebersihan  dan  kerapian.

إن الله طيب يحب الطيب نظيف يحب النظافة

“Sesungguhnya Allah itu baik, mencintai kebaikan. Bersih mencintai kebersihan.”  (dikeluarkan oleh Tirmizi dalam Sunannya, 2799. Abu Ya’la dalam Musnadnya, 791. Bazzar dalam Musnadnya, 1114 dari jalan Abu ‘Amir Al-Aqdi)

Kemudahan Berislam

Sebagai  agama  yang  selaras  dengan  fithrah,  Islam  sangat  memahami  kemampuan  manusia  dalam  menunaikan  ajaran-ajaran  agama.  Allah  SwT  telah  menjamin  bahwa  Dia  tidak  akan  membebani  manusia  di  luar  kemampuannya.  Karena  itu  secara  kodrati,  pada  dasarnya  manusia  mampu  menjalankan  syariat  Islam  dengan  bekal  yang  dianugerahkan  Allah  SwT.

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا ٱكْتَسَبَتْ ۗ

 “Allah  tidak  membebani  seseorang  melainkan  sesuai  dengan  kesanggupannya.  Dia  mendapat  (pahala)  dari  kebajikan  yang  dikerjakannya  dan  dia  mendapat  (siksa)  dari  (kejahatan)  yang  diperbuatnya..”.(QS: Al-Baqarah  [2]:  286)

Salah  satu  dari  kelemah  lembutan  dan  kasih  sayang  Allah  SwT  kepada  manusia  adalah  tidak  membebani  seorang  pun  melainkan  sebatas  kemampuannya. 

Ketika  seorang  hamba  tidak  sanggup  menunaikan  suatu  tanggung  jawab  yang  dibebankan  oleh  Allah  melalui  syariat-Nya,  hamba  tersebut  dapat  mencari  jalan  keluar  dengan  menilik  kemudahan  yang  Allah  SwT  sediakan  dibalik  syariat  tersebut  sesuai  dengan  ketentuan  yang  telah  digariskan.

Islam  telah  mewajibkan  shalat  lima  waktu  dalam  sehari  semalam.  Penetapan  lima  waktu  ini  sudah  diukur  dengan  kemampuan  manusia  untuk  melaksanakannya.

Adapun  dalam  kondisi  dimana  seseorang  tidak  mampu  menunaikan  shalat  dengan  berdiri  karena  sakit  Allah  SwT  telah  memaklumkan  melaksanakannya  dengan  cara  yang  lain  yang  sudah  ditentukan. 

Demikian  juga  dalam  kondisi  sakit  yang  menghalangi  seseorang  dari  prnggunaan  air  sehingga  ia  tidak  dapat  berwudhu,  maka  dipersilahkan  bersuci  dengan  cara  lain  yang  sudah  diatur  di  dalam  syariat.

Allah  SwT  menghendaki  kemudahan  bagi  hamba-hamba-Nya  dalam  melaksanakan  ibadah  dan  menjalani  kehidupannya.  Allah  SwT  tidak  menginginkan  hambanya  mengalami  kesulitan  ketika  menjalankan  syariat-Nya,  karena  syariat  bukanlah  untuk  mempersulit  manusia  melainkan  untuk  mempermudah  manusia.

يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمْ ۚ وَخُلِقَ ٱلْإِنسَٰنُ ضَعِيفًا

“Allah  hendak  memberikan  keringanan  kepadamu,  karena  manusia  diciptakan  (bersifat)  lemah.”  (QS: An-Nisa  [4]:  28)

Dengan  adanya  kemudahan  dalam  syariat,  agama  yang  telah  Allah  SwT  sempurnakan  ini  menginginkan  agar  kaum  muslimin  tidak  meninggalkan  satu  perintah  pun  atau  melanggar  satu  larangan  pun  sebab  segalanya  telah  Allah  SwT  mudahkan. 

Dengan  adanya  kemudahan  ini  pula,  Islam  ingin  menegaskan  kepada  seluruh  umat  manusia  tentang  sifat  dasarnya  sebagai  ajaran  yang  luwes  dan  mudah  diterapkan  oleh  manusia,  sebab  Islam  sangat  menghargai  fithrah  manusia  dan  jauh  dari  kekakuan  serta  kesulitan. Wallahu  A’lam.*/ Suko  Wahyudi

HIDAYATULLAH

Salah Paham Makna Hadis Perempuan Dinikahi karena Empat Hal

“Menikah adalah sunnahku”. Begitulah kira kira isi salah satu hadis Nabi Muhammad Saw. Menikah menjadi salah satu ibadah penting dalam Islam sebab darinyalah lahir generasi generasi penerus bangsa dan agama. Dalam konteks memilih perempuan untuk dinikahi, biasanya kita mengacu pada hadis nabi yang bebunyi perempuan dinikahi karena empat hal yakni hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Namun, pemahaman terkait hadis tersebut seringkali disalahartikan. Sehingga membuat pemaknaan yang tidak tepat.

Rasulullah Saw bersabda,

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

 “Perempuan dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya; maka pilihlah wanita yang taat beragama, niscaya engkau beruntung.” (HR. Bukhari Muslim).

Dari segi arti literal, banyak da’i da’i kita yang keliru mengartikan teks hadisnya. Biasanya diartikan menjadi “Nikahilah perempuan karena empat hal”. Padahal, teks hadisnya menggunakan fi’il mudhori’ yang mengandung makna sekarang (hal) atau yang akan datang (mustaqbal) bukan fi’il amr yang mengandung makna perintah. Selain itu, fi’il mudhori’ nya pun menggunakan majhul atau kata kerja pasif yang artinya “akan dinikahi”. Sehingga arti literal yang sesuai dengan teks hadisnya adalah “akan dinikahi perempuan karena empat hal”.

Dalam hadis tersebut Rasulullah menyinggung kebiasaan masyarakat dalam menentukan pilihan untuk menikah biasanya karena empat hal yakni hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan agamanya. Agama selalu dijadikan urutan terakhir. Maka Rasulullah menegaskan untuk menjadikan agama menjadi pilihan pertama, bukan terakhir. Karena agama adalah hal paling penting dalam pernikahan. Selain mesti satu agama, agamanya pun harus baik. Itulah yang Rasulullah kartakan sebagai kunci keberuntungan atau kebahagiaan.

Bahkan untuk menegaskan kritik terhadap kebiasaan masyarakat dalam memilih pasangan karena kecantikan dan harta, Rasulullah menyinggung dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah. Bunyi hadisnya sebagai berikut:

لَا تَنْكِحُوا النِّسَاءَ لِحُسْنِهِنَّ فَعَسَى حُسْنُهُنَّ أَنْ يُرْدِيَهُنَّ وَلَا تَنْكِحُوهُنَّ عَلَى أَمْوَالِهِنَّ فَعَسَى أَمْوَالُهُنَّ أَنْ يُطْغِيَهُنَّ وَانْكِحُوهُنَّ عَلَى الدِّينِ وَلَأَمَةٌ سَوْدَاءُ خَرْمَاءُ ذَاتُ دِينٍ أَفْضَلُ

“Janganlah kalian menikahi wanita karena kecantikannya, bisa jadi kecantikannya itu membinasakan mereka dan janganlah pula menikahi wanita karena harta-harta mereka, karena bisa jadi hartanya menjadikan mereka sewenang-wenang. Akan tetapi nikahilah mereka berdasarkan agamanya. Seorang wanita budak berkulit hitam yang telinganya sobek tetapi memiliki agama adalah lebih utama dari mereka.” (H.R Ibnu Majah).

Selain itu, ada beberapa alasan kenapa kecantikan, harta, dan nasab itu tidak dijadikan prioritas utama dalam meilih pasangan hidup. Hal tersebut dikarenakan manusia tidak bisa memilih takdir mereka sendiri dalam konteks lahir.

Manusia tidak bisa memilih untuk lahir dari nasab siapa, suku mana, dan dari negara mana. Jika nasab dijadikan prioritas utama dalam memilih pasangan, betapa banyak orang yang akan merasa Allah tidaklah adil. Pun jika kecantikan dijadikan prioritas utama dalam mencari pasangan, betapa banyak perempuan yang merasa Allah itu tidaklah adil. Demikian pula dengan perempuan yang lahir dengan kondisi ekonomi keluarga yang tidak baik, maka betapa banyak pula yang akan merasa bahwa Allah tidaklah adil.

Karena baik kecantikan, keturunan, dan harta merupakan takdir yang manusia dapatkan ketika manusia lahir ke dunia tanpa bisa memilih hendak lahir cantik, kaya, dan berketurunan baik. Oleh karenanya, Rasulullah menyampaikan bahwa pilihlah perempuan karena agamanya. Karena, baik buruknya agama seseorang ditentukan oleh dirinya sendiri, bukan bawaan lahir atau takdir.

Ini bukan berarti kecantikan, keturunan, dan harta tidak penting dalam pernikahan. Kecantikan diperlukan karena laki-laki menyukai keindahan. Keturunan dibutuhkan untuk mempertegas garis keturunan dan keharmonisan dalam berkeluarga. Begitupun harta, sangat diperlukan untuk kelancaran berumah tangga. Namun dengan syarat, agama menjadi pilihan utama. Wallahu a’lamu bi al-Shawab.

ISLAMKAFFAH