Pandemi Covid-19 telah berjalan dua tahun dan telah berdampak pada banyak sektor. Untuk menangani suatu penyakit tertentu telah ada sejak zaman Rasulullah dengan ramuan obat.
Pendiri Rumah Fiqih Indonesia, Ustadz Ahmad Sarwat, mengatakan dalam bukunya Islam dan Teknologi tentang pentingnya pengobatan yang sesuai takaran dan dosisnya sudah tercantum dalam salah satu hadits.
Dari Sa’ad mengisahkan pada suatu hari dia menderita sakit kemudian Rasulullah menjenguknya. Dia meletakkan tangannya di tengah dadanya sampai-sampai jantungnya merasakan sejuknya tangan Rasulullah. Kemudian Rasulullah bersabda, “Kamu menderita penyakit jantung. Temuilah al-Harits bin Kaladah dari Bani Tsaqif karena sesungguhnya dia adalah seorang tabib dan hendaknya dia mengambil tujuh kurma ‘ajwah lalu ditumbuk dengan biji-bijinya dan kamu meminumnya,” (HR Abu Daud).
Seiring berjalannya waktu, ilmu medis semakin berkembang sampai adanya tiga revolusi besar dalam dunia kedokteran, yaitu vaksin, anestesi, dan anti-biotik.
Pada dasarnya vaksin bukan obat untuk melawan suatu penyakit melainkan vaksin berprinsip untuk meningkatkan kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit. Intinya, bagaimana menciptakan obat yang paling alami dengan menguatkan kekebalan tubuh atau imunitas.
Pemberian vaksin dilakukan agar setiap orang menjadi imun atas penyebaran penyakit. Terlebih di kondisi pandemi Covid-19 ini, vaksin wajib dilakukan. Dengan metode vaksinasi yang telah dilakukan selama puluhan tahun telah menyelamatkan banyak nyawa manusia.
Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat, Abdul Muiz Ali, menjelaskan dalam situs MUI, bangsa Barat percaya vaksin ditemukan sekitar abad ke-17. Pada saat itu, masyarakat Eropa dan belahan dunia lain dihadapkan wabah cacar nanah yang disebabkan virus Smallpox. Disebutkan, pada saat itu, sekitar 400 ribu orang di Eropa meninggal dunia setiap tahun karena Smallpox.
Merujuk pada History of Vaccini, orang Eropa yang pertama kali menemukan teori vaksin adalah Edward Janer, dokter asal Inggris yang lahir di Britania Raya tahun 1749. Dia dikenal dengan sebutan bapak imunologi. Edward Jener disebut sebagai orang yang memelopori konsep vaksin termasuk menciptakan vaksin cacar, yang katanya vaksin pertama di dunia. Pertama kali menemukan penemuan vaksin sekitar tahun 1796.
Namun, pada zaman keemasan Islam, ada tokoh Muslim yang bernama Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi. Orang Barat atau Eropa menyebutnya dengan panggilan Rhazes. Syaikh Abu Bakar ar-Razi hidup antara tahun 864 – 930 dan lahir di Rayy, Teheran Iran pada tahun 251 H./865.
Ar-Razi sejak muda telah mempelajari filsafat, kimia, matematika dan kesastraan. Dalam bidang kedokteran, ia berguru kepada Hunayn bin Ishaq di Baghdad. Muhammad bin Zakariya ar-Razi dalam kitabnya Al-Judari wa Al-Hasbah, yang artinya ‘Penyakit Cacar dan Campak’, menulis secara rinci soal penyakit cacar smallpox dan campak measles. Satu jenis penyakit atau wabah menular, ganas dan mematikan.
Imam ar-Razi menyebutkan cacar smallpox muncul ketika darah terinfeksi dan mendidih, yang menyebabkan pelepasan uap. Pelepasan uap inilah yang menyebabkan timbulnya gelembung-gelembung kecil berisi cairan darah yang matang. Penyakit ini bisa menimpa siapa saja, baik pada masa kanak-kanak maupun dewasa. Hal terbaik yang bisa dilakukan pada tahap awal penyakit ini adalah menjauhinya. Jika tidak, maka akan terjadi wabah.
Yang menarik kitab Al-Judari wa Al-Hasbah ini ditulis sekitar abad ke-9, hampir seribu tahun sebelum vaksin cacar dan campak ditemukan. Dan Al-Razi secara jelas mendeskripsikan bahwa penyakit ini menimbulkan wabah, menular lewat darah, dapat menyerang anak-anak maupun dewasa. Jadi, sejak dulu, para ilmuwan Islam sudah meneliti soal wabah dan cara penanganannya.
Abdul juga menjelaskan dalam ajaran Islam menjaga kesehatan (hifzu al-Nafs) atas diri sendiri dan orang lain termasuk salah satu dari lima prinsip pokok (al-Dhoruriyat al-Khomsi). Vaksinasi sebagai salah satu tindakan medis (min Babi ath-Thibbi al-Wiqoi) untuk mencegah terjangkitnya penyakit dan penularan Covid-19. Menjaga kesehatan, dalam praktiknya dapat dilakukan melalui upaya preventif (al-Wiqoyah), dimana salah satu ikhitiarnya dapat dilakukam dengan cara vaksinasi termasuk perbuatan yang dibenarkan dalam Islam.
Rasulullah juga mengajarkan umat Islam untuk selalu menjaga kekebalan tubuh. Rasulullah bersabda \”Barangsiapa mengkonsumsi tujuh butir kurma Ajwah pada pagi hari, maka pada hari itu ia tidak akan terkena racun maupun sihir,\” (Bukhari dan Muslim).
Selain penerapan vaksin, cara lain untuk mengatasi wabah adalah mematuhi prosedur kesehatan ketat, salah satunya karantina. Siapa sangka karantina adalah warisan dari Dokter Muslim Ibnu Sina. Pakar kesehatan menyarankan karantina adalah salah satu cara paling efektif untuk mengendalikan pandemi virus korona dan membatasi penyebarannya.
Dilansir Morocco World News, Kamis (8/5), Ibnu Sina berargumen tentang penerapan karantina untuk mengendalikan penyebaran penyakit dalam ensiklopedia medis lima jilidnya The Canon of Medicine yang aslinya diterbitkan pada tahun 1025.
Dia menjelaskan penyakit dapat menyebar melalui partikel yang sangat kecil yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Para sejarawan setuju kara Ibnu Sina adalah pelopor dari penerapan karantina yang sedang dilakukan saat ini.
Beberapa orang berpendapat sebutan karantina saat ini berasal dari istilah Arab al-Arba’iniya (keempat puluh) yang digunakan Ibnu Sina untuk menunjuk metode isolasinya. Sementara itu, yang lain percaya istilah tersebut berasal dari kata quarantena dalam bahasa Venesia awal.
The Canon of Medicine diterjemahkan ke dalam bahasa Latin di Spanyol pada abad ke-12. Sejak itu, publikasi buku telah mendominasi bidang kedokteran barat. Universitas Bologna, universitas Eropa tertua, adalah yang pertama mengadopsi Kanon Ibnu Sina sebagai dasar pendidikan kedokterannya, pada abad ke-13.