Para Jawara Al-Qur’an pada Bulan Ramadhan

Para Jawara Al-Qur’an pada Bulan Ramadhan

Para jawara Al-Qur’an hari-harinya dipenuhi dengan membaca dan menadaburkannya

BULAN Bulan Ramadhan biasa disebut dengan bulan Al-Qur`an karena di dalamnya adalah momentum diturunkannya Al-Qur`an. Tidak mengherankan jika sejak masa Nabi hingga saat ini, ibadah yang khas di antaranya yang terdapat pada bulan ini adalah: tilawah dan tadarus Al-Qur`an.

Banyak sekali data melimpah mengenai interaksi umat Islam bersama Al-Qur`an khususnya di bulan Ramadhan. Secara global bisa disebutkan dalam ringkasan berikut.

Untuk pengkhataman Al-Qur`an durasinya, ada yang setengah, satu, tiga, tujuh hari hingga satu bulan.

Dari sisi kuantitas pengkhataman, ada yang bisa mengkhatamkan satu kali, sepuluh, hingga enam puluh bahkan sembilan puluh kali. Adapun dari sisi kualitas, maksudnya dari paradigma bacaan yang disertai menadaburkannya, kalau dilihat dari durasi waktunya berbeda dengan yang sekadar membaca.

Data yang akan diungkap pertama secara global adalah berasal dari kitab Lathā`ifu al-Ma’ārif karya Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hanbali. Diceritakan bahwa para salafush-shālih ada yang mengkhatamkan Al-Qur`an dalam bulan Ramadhan setiap tiga hari sekali. Ada juga yang seminggu sekali.

Contohnya adalah Ibnu Qatadah di luar Ramadhan. Adapun di dalam Ramadhan beliau khatam hari sekali, sedangkan pada 10 terakhir, beliau khatam tiap malam sekali.

Misal lainya: Abu Raja Al-Atharidi (dalam sepuluh hari sekali). Contoh lain: Al-Aswad (tiap dua malam sekali). An-Nakha’i mengkhatamkan tiap dua malam sekali pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan.

Adapun 20 hari pertama tiap tiga hari sekali. Mereka membaca Al-Qur`an pada saat shalat dan di luar shalat. Sehingga tidak mengherankan jika nanti terdapat jumlah yang sangat mencengangkan dalam mengkhatamkan Al-Qur`an pada bulan Ramadhan.

Imam Syafi’i Rahimahullah biasanya dalam bulan Ramadhan bisa mengkhatamkan Al-Qur`an sebanyak 60 kali yang kebanyakan dibaca dalam shalatnya. Data ini bisa dibaca juga dalam buku Hilyah al-Auliyā karya Abu Nu’aim Al-Ashbahani.

Imam Ahmad bin Hanbal, sebagaimana penuturan anaknya yang bernama Abdullah, terbiasa mengkhatamkan Al-Qur`an seminggu sekali.

Dalam kitab Qūt al-Qulūb (I/73) Abu Thalib Al-Makky dikatakan bahwa nama seperti Malik bin Dinar, Yazid Ar-Raqasyi, Habib bin Abi Tsabit dan masih banyak yang lainnya, bisa mengkhatamkan dalam sebulan sebanyak 90 kali.

Dalam kitab at-Tabshirah (I/380) karya Ibnu Jauzi seorang bernama Kahmas bin Al-Hasan bisa mengkhatamkan Al-Qur`an sebanyak sembilanpuluh kali. Masih dalam kitab yang sama ada data cukup mencengangan, adalah terkait sosok bernama Kurz bin Wabarah yang bisa mengkhatamkan Al-Qur`an tiga kali dalam sehari.

Abu Abbas bin Atha’ setiap hari bisa khatam Al-Qur`an. Sedangkan dalam bulan Ramadhan sehari semalam bisa khatam tiga kali. Dalam khataman terakhirnya beliau membacanya dengan menadaburkan dan ini berlangsung 12 sampai 19 tahun lamanya dan sampai akhir hayatnya belum bisa menyelesaikannya karena dibaca dengan menadaburkan. (Ibnu Jauzi, Shifatu ash-Shafwah, I: 533).

Mereka yang disebutkan dalam contoh ini bisa dikatakan sebagai jawara Al-Qur`an. Baik di dalam maupun di luar Ramadhan.

Dari data-data ini, ada pertanyaan yang cukup menarik: dari sekian banyak khatam Al-Qur`an itu, apa mereka sekadar berhenti pada membaca saja? Kalau dilihat dari contoh-contoh yang disebutkan tadi, rata-rata adalah orang alim yang menguasai bahasa Arab. Sangat kecil kemungkinan kalau mereka membaca Al-Qur`an tanpa pemahaman dan menadaburkan.

Dalam kitab Ihyā ‘Ulumiddīn(I/282), Imam Al-Ghazali menjelaskan kondisi salaf dalam mengkhatamkan Al-Qur`an. Ada yang setiap Jum’at sekali, sebulan sekali, setahun sekali bahkan ada yang sudah tiga puluh tahun belum juga khatam Al-Qur`an.

Intensitas khatam mereka –menurut Imam Ghazali—berdasarkan tingkatan menadaburkan Al-Qur`an. Oleh karena itu, beliau memberi nasihat penting:

فَقِرَاءَةُ آيَةٍ بِتَفَكُّرٍ وَفَهْمٍ خَيْرٌ مِنْ خَتْمَةٍ بِغَيْرِ تَدَبُّرٍ وَفَهْمٍ

“Membaca Al-Qur`an dengan pemikiran dan pemahaman, lebih baik daripada khatam tanpa menadaburkan dan pemahaman.” Senada dengan hal ini, ada juga ungkapan:

وَلَا خَيْرَ فِي عِبَادَةٍ لَا عِلْمَ فِيهَا، وَلَا خَيْرَ فِي عِلْمٍ لَا فَهْمَ فِيهِ، وَلَا خَيْرَ فِي قِرَاءَةٍ لَا تَدَبُّرَ فِيهَا»

“Tidak ada kebaikan dalam suatu ibadah yang tidak ada ilmu padanya, dan tidak ada kebaikan pada suatu ilmu yang tidak ada pemahaman di dalamnya. Dan tidak ada kebaikan pada bacaan yang tidak ada menadaburkan di dalamnya.” (Hilyah al-Auliyā, I: 77).

Dari kisah para salafush-shalih tersebut ada banyak pelajaran penting selain banyaknya mereka bisa mengkhatamkan Al-Qur`an, yaitu: mereka juga berusaha untuk meresapi dan menmenadaburkan Al-Qur`an yang mereka baca. Mengapa mereka bisa berlama-lama dengan Al-Qur`an? Apa rahasia di balik intensitas mereka dalam berinteraksi dengan Al-Qur`an.

Salah satu jawabannya adalah yang pernah disampaikan oleh Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu:

لَوْ طَهُرَتْ قُلُوبُكُمْ مَا شَبِعْتُمْ مِنْ كَلامِ رَبِّكُمْ.

“Sekiranya hati kalian suci, kalian tidak akan merasa kenyang dengan kalam Rabb kalian (Al-Qur`an.” (Ibnu Jauzi, at-Tabshirah, 380).

Rahasianya adalah hati mereka suci. Mereka membaca Al-Qur`an bukan karena pamrih duniawi, bacaannya diorientasikan untuk kepentingan akhirat. Terlebih di bulan suci Ramadhan, semangat mereka seakan meledak.

Hari-hari para ulama seolah-olah dipenuhi dengan Al-Qur`an. Maka jika para pembaca ingin menjadi jawara Al-Qur`an pada bulan Ramadhan, bahkan pada bulan lainnya, maka bisa belajar dari mereka.

Dalam membaca Al-Qur`an mereka bukan sekadar berlomba-lomba paling banyak khatam, tapi juga berusaha untuk menadaburkannya. Mereka sangat memahami tujuan diturunkannya Al-Qur`an:

كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS. Shad [38]: 29). */Mahmud B Setiawan

HIDAYATULLAH