Pengantar Ilmu Terjemah Bahasa Arab (Bag. 1)

Pengantar Ilmu Terjemah Bahasa Arab (Bag. 2)

Bismillah wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala rasulillah. Amma ba’du,

Contoh-contoh aplikatif pengadaptasian perbedaan antara bahasa sumber dan bahasa sasaran dalam menerjemah

Menerjemahkan jumlah fi’liyyah dengan mengadaptasikan pola kalimat

Contoh:

حجّ محمد إلى بيت الله

Arti harfiahnya:

حجّ : Telah berhaji

محمد : Muhammad (nama orang)

إلى : ke

بيت الله : Baitullah (rumah Allah/ ka’bah)

Sehingga apabila kalimat di atas diterjemahkan sesuai pola bahasa sumbernya (bahasa Arab) yang berpola PSK, maka :

“Telah berhaji Muhammad ke Baitullah.

Telah berhaji: Predikat

Muhammad : Subjek

Ini tidaklah sesuai dengan pola kalimat dalam bahasa sasaran (bahasa Indonesia), sehingga perlu diadaptasikan dengan merubah polanya dari PSK ke SPK menjadi:

“Muhammad telah berhaji ke Baitullah.

Menerjemahkan jumlah ismiyyah dengan menambahkan kata

Contoh:

المصحف جميل

Arti harfiahnya adalah:

المصحف : mushaf

جميل : indah

Sehingga apabila kalimat di atas diterjemahkan sesuai pola bahasa sumbernya (bahasa Arab) yang hanya dua kata, maka ,enjadi

“Mushaf indah.”

Mushaf : Mubtada’ (Subjek)

Indah : Khabar (Predikat)

Terjemah ini kurang tepat, karena seolah-olah terkesan sebagai sebuah frasa, dan bukan kalimat lengkap. Sehingga dalam bahasa sasaran (bahasa Indonesia) perlu diadaptasikan dengan menambahkan kata penunjuk “itu” untuk menerjemahkan khabar (جميل), karena menerjemahkan pola kalimat “mubtada’- khabar” pada umumnya perlu tambahan kata yang diletakkan antara mubtada dan khabar.

Dan tambahan kata untuk menerjemahkan khabarul mubtada’ itu bisa berupa kata penunjuk (contoh : “ini” atau “itu”) atau kata penghubung/verba perakit (contoh : yaitu, ialah, adalah, merupakan, menjadi).

Jadi, terjemahan kalimat di atas yang tepat, yaitu:

“Mushaf itu indah.”

Mushaf itu : subjek

Catatan: gabungan dua kata “Mushaf itu” berfungsi sebagai subjek, karena di antara ciri subyek adalah bisa ditambah kata ini atau itu apabila maksudnya adalah subjek tertentu.

Indah: Predikat

Menerjemahkan kata bentuk pasif (fi’il mabni majhul dan isim maf’ul) tidak harus dengan bentuk pasif pula, terkadang dengan bentuk aktif

سُرِرْتُ بلقاء المشايخ

أنا مسرور بلقاء المشايخ

Arti harfiah kedua kalimat di atas:

Saya telah disenangkan dengan pertemuan bersama para syekh.

Kata pasif “telah disenangkan” diubah menjadi kata aktif “senang”, sehingga menjadi:

سُرِرْتُ بلقاء المشايخ

“Saya senang telah bertemu dengan para syekh.”

أنا مسرور بلقاء المشايخ

“Saya senang telah bertemu dengan para syekh.” (mengabarkan kejadian telah berlalu)

Bisa pula diterjemahkan:

“Saya senang bertemu dengan para syekh.” (mengabarkan kejadian yang sedang dialami)

Menerjemahkan fi’il tidak selalu dengan kata kerja

Contoh:

جَمُلَ أحمدُ وَجْهًا

Arti harfiahnya:

“Telah menjadi indah Ahmad wajahnya.”

Pada kata-kata “Telah menjadi indah” yang merupakan kata kerja, perlu diganti dengan terjemahan “ganteng”  yang merupakan kata sifat.

Jadi terjemahannya:

“Ahmad, wajahnya ganteng.”

Ada 3 trik cara mengetahui makna sebuah kata

Cara pertama

Memperkirakan dengan bekal makna kata yang mirip (dengan tiga huruf asli yang sama) yang telah diketahui maknanya oleh penerjemah sebelumnya dengan menyesuaikan konteks kalimatnya. Hal ini terutama saat penerjemah berada pada kondisi tidak sempat membuka kamus atau referensi bahasa lainnya.

Contoh :

Seorang penerjemah belum mengetahui arti kata سَحُوْرٌ . Namun, ia telah mengetahui makna kata سِحْرٌ , bahwa sihir adalah tindakan membahayakan orang lain yang bersifat mistik, yaitu tanpa sebab yang jelas alias tersembunyi, sehingga secara tiba-tiba korban sihir terkena bahaya.

Maka penerjemah bisa memperkirakan makna سَحُوْرٌ dengan bekal makna سِحْرٌ , dibantu dengan konteks kalimatnya,

Berdasarkan hal itu, arti سَحُوْرٌ adalah makanan yang dimakan saat tersembunyi dari pengetahuan manusia, karena di akhir malam saat banyak manusia tidur.

Karena kedua kata tersebut memiliki tiga huruf dasar yang sama, yaitu : sin – ha’- ra’ yang menunjukkan makna samar (tidak diketahui), sehingga keduanya masih ada kesamaan akar makna bahasanya.

Cara kedua

Menggunakan kamus

Cara ketiga

Menggunakan makna istilah, via: kitab makna ayat Al-Qur’an yang musykil bagi banyak penerjemah, kamus Gharibul Haditssyarah ulama dalam disiplin ilmu yang sedang diterjemahkan.

Teknik menerjemah

Tahap analisa 

Membaca dan memahami dengan baik daftar isi buku yang akan diterjemahkan dan alur pembahasan yang terkandung dalam daftar isi.

Memahami makna global dan gagasan utama buku tersebut dengan cara membaca secara keseluruhan pasal/ bab/ suatu poin pembahasan, setidaknya sekali, diiringi dengan mencatat dan menandai kata/ istilah/ poin pembahasan yang terpenting.  Apabila buku yang diterjemahkan itu tipis, usahakan membaca dari awal sampai akhir semua isi buku tersebut sebelum menerjemahkan, agar mendapatkan gambaran isinya secara utuh sebelum mulai menerjemahkannya.

Tahap pengalihan makna

Mulai menerjemahkan per alinea, atau per pasal, atau per bab dengan memberi perhatian lebih besar kepada kata/ istilah/ poin pembahasan yang terpenting.

Pada tahapan ini, asal menerjemahkan sebuah alinea/ pasal/ bab secara keseluruhan saja, dengan menitikberatkan kepada pengalihan makna yang subtansial, tanpa memperhatikan terlebih dahulu kesempurnaan hasil terjemahan secara detail.

Catatan:

Penerjemah tidak harus urut dalam menerjemahkan bab per bab, sehingga apabila ia mendapatkan kemacetan dalam menerjemah sebuah bab, ia bisa beralih pada bab lain yang mudah baginya. Oleh karena itu, penerjemah perlu menempatkan terjemahan setiap bab pada file masing-masing secara tersendiri, sehingga ia bisa melanjutkan ataupun menghentikan penerjemahan sebuah bab, tanpa harus menunggu selesainya terjemahan bab yang sebelumnya.

Trik ini untuk menghindari berhenti menerjemah dalam waktu yang lama, karena macet saat menerjemah sebuah bab tertentu.

Tahap rekonstruksi (penyusunan ulang)

Penyusunan ulang kalimat terjemahan dengan detail dan sempurna sesuai kaidah-kaidah dalam ilmu menerjemah dan sesuai disiplin ilmu yang sedang diterjemahkan.

Tahap revisi (koreksi)

Pemeriksaan kemungkinan adanya kesalahan pada pokok pembahasan, tata bahasa, kosakata, istilah, kaidah, tanda baca, dan lainnya serta menghaluskan bahasa dengan memperhatikan gaya bahasa, sastra dan dzauq lughawi (citra seni berbahasa) serta penjiwaan latar belakang kandungan buku yang sedang diterjemahkan.

Tahap finishing (penyempurnaan)

Pengendapan di pikiran secukupnya, dengan cara penerjemah tidak membaca buku hasil terjemahannya untuk beberapa waktu lamanya, agar tidak terbawa perasaan bahwa hasil terjemahannya sudah sempurna, sehingga penerjemah bisa memeriksa untuk terakhir kalinya dengan pikiran yang segar, sebelum hasil terjemahannya diterbitkan.

Lama waktu pengendapan pikiran ini kondisional, sesuai tebal tipisnya buku yang diterjemahkan, deadline hasil terjemah, dan kondisi pikiran penerjemah, bisa satu jam, satu hari, atau bahkan satu pekan.

Membaca lagi dan menyempurnakan hasil terjemahan setelah masa pengendapan untuk terakhir kali, karena biasanya masih ada saja kekurangan atau kesalahan setelah diendapkan dalam waktu tertentu.

Hubungan menerjemah dengan membaca kitab kuning

Menerjemahkan tidak bisa dipisahkan dengan membaca kitab. Hal ini karena biasanya, seorang non-Arab tidaklah bisa membaca dan memahami kitab kuning dengan benar, kecuali dalam hatinya menerjemahkan teks Arab yang dibacanya.

Jadi, pengguna ilmu terjemah bukan hanya orang yang berprofesi sebagai penerjemah, namun juga setiap pembaca teks Arab, dari mulai dai, penulis, editor, praktisi, akademisi, bahkan setiap pembaca Al-Qur’an dan hadis yang ingin tahu makna keduanya. Wallahu Ta’ala a’lam.

الحمد لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ

[Selesai]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/83335-pengantar-ilmu-terjemah-bahasa-arab-bag-2.html