Baca pembahasan sebelumnya Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 2)
Bismillah.
Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah berkata,
“Semoga Allah menjadikan kamu termasuk orang yang bersyukur ketika diberi nikmat, bersabar ketika diberi cobaan/musibah, dan beristigfar apabila berbuat dosa. Karena sesungguhnya ketiga hal ini merupakan tanda-tanda kebahagiaan.”
Penjelasan
Pada bagian sebelumnya, kita telah membahas salah satu tanda kebahagiaan yaitu bersyukur kepada Allah atas nikmat yang dilimpahkan kepada kita. Berikutnya kita akan membahas tanda kebahagiaan yang kedua, yaitu bersabar saat tertimpa musibah dan bencana.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, segala sesuatu yang terjadi di alam dunia ini telah tertulis dalam lauhul mahfuzh 50 ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Sebagaimana telah diterangkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Termasuk di dalamnya musibah yang kita alami. Tidaklah menimpa musibah melainkan dengan izin dari Allah.
Kewajiban kita sebagai seorang muslim adalah bersabar menghadapinya. Sabar yaitu menahan diri dari marah kepada ketetapan Allah, menahan anggota badan dari ekspresi ketidakpuasan seperti merobek-robek kerah baju atau menampar-nampar pipi, dan menahan lisan dari meratap. Sebagaimana digambarkan oleh para ulama salaf, bahwa sabar dalam iman seperti kepala di dalam badan. Apabila sabarnya hilang maka tidak ada lagi kehidupan pada badan.
Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah dalam Kitab Tauhid juga membuat bab khusus dengan judul “Termasuk keimanan kepada Allah adalah bersabar menghadapi takdir Allah“. Maksudnya adalah takdir yang terasa menyakitkan seperti musibah dan bencana. Iman kepada Allah mencakup iman kepada uluhiyah, rububiyah, dan asma’ wa shifat-Nya. Iman kepada takdir merupakan bagian dari iman kepada rububiyah Allah.
Mengimani Allah sebagai Rabb mengandung makna keyakinan bahwa Allah satu-satunya pencipta, penguasa dan pengatur alam semesta. Sementara takdir Allah merupakan salah satu perbuatan Allah dan kekuasaan Allah. Ketika Allah menakdirkan kita mendapat kebaikan dan nikmat maka yang diperintahkan kepada kita adalah mensyukuri nikmat itu dengan menggunakan nikmat dalam ketaatan. Ketika Allah menakdirkan kita mendapat musibah dan sesuatu yang tidak kita sukai maka yang diperintahkan kepada kita adalah bersabar menerimanya.
Cobaan menempa keimanan
Allah berfirman,
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَعْبُدُ ٱللَّهَ عَلَىٰ حَرْفٍ ۖ فَإِنْ أَصَابَهُۥ خَيْرٌ ٱطْمَأَنَّ بِهِۦ ۖ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ ٱنقَلَبَ عَلَىٰ وَجْهِهِۦ خَسِرَ ٱلدُّنْيَا وَٱلْءَاخِرَةَ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْخُسْرَانُ ٱلْمُبِينُ
“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata” (QS. Al-Hajj: 11).
Para ulama tafsir, diantaranya Qatadah dan Mujahid menafsirkan bahwa yang dimaksud beribadah kepada Allah di tepian yaitu di atas keragu-raguan. Abdurrahman bin Zaid bin Aslam menafsirkan bahwa yang dimaksud ayat ini adalah orang munafik. Apabila urusan dunianya baik maka dia pun beribadah tetapi apabila urusan dunianya rusak maka dia pun berubah. Bahkan pada akhirnya dia pun kembali kepada kekafiran. Mujahid menafsirkan “berpaling ke belakang” maksudnya adalah menjadi murtad dan kafir (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 5/400-401).
Syekh Shalih al-Fauzan mengatakan, “Sebagian manusia apabila terkena fitnah atau cobaan maka dia pun menyimpang dari agamanya, hal itu disebabkan dia sejak awal tidak berada di atas pondasi yang benar -dalam beragama, pent- …” (lihat Syarh Kitab al-Fitan, hlm. 10).
Beliau juga menjelaskan, “Fitnah-fitnah ini apabila datang, maka manusia menghadapinya dengan sikap yang berbeda-beda. Ada diantara mereka yang tetap tegar di atas agamanya walaupun dia harus mendapati kesulitan-kesulitan bersama itu, dan ada pula orang yang menyimpang; dan mereka yang semacam itu banyak…” (lihat Syarh Kitab al-Fitan, hlm. 11).
Hasan al-Bashri Rahimahullah menjelaskan termasuk golongan orang yang beribadah kepada Allah di tepian itu adalah orang munafik yang beribadah kepada Allah dengan lisannya, tetapi tidak dilandasi dengan hatinya (lihat Tafsir al-Baghawi, hlm. 859-860).
Syekh as-Sa’di menafsirkan bahwa termasuk cakupan ayat ini adalah orang yang lemah imannya. Dimana imannya itu belum tertanam di dalam hatinya dengan kuat, dia belum bisa merasakan manisnya iman itu. Bisa jadi iman masuk ke dalam dirinya karena rasa takut -di bawah tekanan- atau karena agama sekedar menjadi adat kebiasaan sehingga membuat dirinya tidak bisa tahan apabila diterpa dengan berbagai macam cobaan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 534).
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang paling aku khawatirkan menimpa kalian. Akan tetapi yang aku khawatirkan adalah ketika dunia ini dibukakan untuk kalian sebagaimana ia telah dibukakan untuk orang-orang sebelum kalian. Maka kalian pun berlomba-lomba untuk meraupnya sebagaimana mereka berlomba-lomba untuk meraupnya. Maka dunia itu membinasakan kalian sebagaimana ia membinasakan mereka” (HR. Bukhari).
Syekh Abdul Karim al-Khudhair berkata, “Ujian dalam bentuk kesulitan/musibah bisa dilalui oleh banyak orang. Akan tetapi ujian dalam bentuk kelapangan, terbukanya dunia, dan kekayaan; betapa sedikit orang yang bisa melampauinya. Ini merupakan perkara yang bisa disaksikan oleh semuanya. Kenyataan yang terjadi pada umumnya kaum muslimin ketika dibukakan untuk mereka dunia ternyata mereka justru menyepelekan perintah-perintah Allah ‘Azza wa jalla dan berpaling dari jalan kebenaran. Dan mereka pun menukar nikmat yang Allah berikan dengan kekafiran yang mereka kerjakan…” (lihat Syarh Kitab al-Fitan min Shahih al-Bukhari, hlm. 13).
Musibah adalah cobaan
Diantara bentuk cobaan itu adalah musibah yang menimpa kaum beriman. Allah berfirman,
أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتۡرَكُوٓاْ أَن يَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَنُونَ (٢) وَلَقَدۡ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡۖ فَلَيَعۡلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْ وَلَيَعۡلَمَنَّ ٱلۡكَٰذِبِينَ(٣)
“Apakah manusia itu mengira mereka dibiarkan begitu saja mengatakan, ‘Kami telah beriman’ kemudian mereka tidak diberi ujian? Sungguh Kami telah memberikan ujian kepada orang-orang sebelum mereka, agar Allah mengetahui siapakah orang-orang yang jujur dan siapakah orang-orang yang pendusta” (QS. al-’Ankabut: 2-3).
Musibah dan bencana ini adalah cobaan dari Allah. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala tidaklah menimpakan cobaan atau musibah untuk mencelakakannya, hanya saja Allah memberikan musibah kepadanya untuk menguji kesabaran dan penghambaannya kepada Allah. Karena sesungguhnya Allah berhak mendapatkan penghambaan dikala susah sebagaimana Dia juga berhak mendapatkan penghambaan di kala senang…” (lihat al-Wabil ash-Shayyib, hlm. 4 penerbit Maktabah Darul Bayan).
Ya, dengan adanya musibah dan diikuti dengan kesabaran akan membuahkan keutamaan dan pahala yang sangat besar dari Allah. Allah berfirman,
وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلصَّٰبِرِينَ
“Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar” (QS. Ali ‘Imran: 146).
Allah juga berfirman,
وَٱصۡبِرُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ
“Dan bersabarlah, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar” (QS. al-Anfal: 46).
Allah berfirman,
مَن يُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُۥ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan berikan petunjuk ke dalam hatinya” (QS. at-Taghabun: 11).
Alqomah -seorang ulama tabi’in– mengatakan, “Maksud ayat ini adalah berkenaan dengan seorang yang tertimpa musibah; dia mengetahui bahwa musibah itu datang dari sisi Allah, maka dia pun rida dan pasrah.” Diantara faidah ayat itu adalah bahwa sabar merupakan sebab datangnya hidayah ke dalam hati, selain itu diantara balasan bagi orang yang sabar adalah mendapatkan tambahan hidayah (lihat al-Mulakhkhash fi Syarhi Kitab at-Tauhid, hlm. 278 karya Syekh Shalih al-Fauzan).
Karena itulah tidak heran apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah timpakan musibah kepadanya” (HR. Bukhari). Oleh sebab itulah dikisahkan bahwa sebagian para ulama terdahulu apabila dia melihat bahwa dirinya tidak pernah tertimpa musibah baik berupa tertimpa penyakit/sakit atau yang lainnya maka dia pun mencurigai dirinya sendiri (lihat at-Tam-hid li Syarhi Kitab at-Tauhid, hlm. 379).
Dari Anas Radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabilah Allah menghendaki kebaikan pada hamba-Nya maka Allah segerakan untuknya hukuman di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada hamba-Nya maka Allah tahan hukuman itu akibat dosanya sampai Allah akan sempurnakan hukumannya nanti di hari kiamat” (HR. Tirmidzi dan Baihaqi, dinyatakan sahih oleh al-Albani).
Dari sinilah kita mengetahui bahwa sesungguhnya adanya musibah-musibah adalah salah satu cara untuk menghapuskan dosa-dosa. Selain itu dengan adanya musibah akan membuat orang kembali dan bertaubat kepada Rabbnya. Bahkan dihapuskannya dosa-dosa itu merupakan salah satu bentuk nikmat yang paling agung, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah (lihat Ibthal at-Tandid, hlm. 175).
Dengan demikian kesabaran adalah kebaikan yang sangat besar. Sebab dengan bersabar ketika tertimpa musibah akan mendatangkan pahala dan sekaligus menghapuskan dosa-dosa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah seorang diberikan suatu anugerah yang lebih baik dan lebih lapang daripada kesabaran” (HR. Bukhari dan Muslim).
Para ulama juga menjelaskan bahwa sabar dalam makna yang luas mencakup sabar dalam melaksanakan perintah dan sabar dalam menjauhi larangan. Selain itu ada juga sabar dalam menghadapi musibah (sebagaimana yang sedang kita bahas). Sabar melaksanakan perintah dan menjauhi larangan adalah bagian dari syukur kepada Allah; sebab hakikat syukur adalah beramal saleh. Oleh sebab itu dikatakan oleh para ulama salaf bahwa iman mencakup dua bagian; sabar dan syukur.
Dari sini kita juga mengetahui bahwa sesungguhnya sebab kebahagiaan hamba itu ada pada iman dan amal saleh, sabar dan syukur, serta tunduk patuh kepada perintah dan larangan Allah. Allah berfirman,
وَٱلۡعَصۡرِ (١) إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ(٢) إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ(٣)
“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 1-3).
Demikian pembahasan kita pada kesempatan ini, semoga Allah berikan kemudahan untuk bertemu lagi dalam seri yang akan datang masih bersama risalah al-Qawa’id al-Arba’ karya Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah.
Barakallahu fiikum.
Penulis: Ari Wahyudi
Sumber: https://muslim.or.id/69221-penjabaran-empat-kaidah-utama-bag-3.html