Hal-hal yang tidak boleh dilakukan terkait Nama dan Sifat Allah Ta’ala adalah:
Pertama: al-Taḥrīf (التحريف), yaitu mengubah lafaz suatu dalil, sehingga maknanya pun ikut berubah, atau mengubah maknanya saja.
Contoh dari mengubah lafaz suatu dalil, sehingga maknanya pun ikut berubah:
Firman Allah Subḥānahu wa Ta’alā,
وَكَلَّمَ اللَّـهُ مُوسَىٰ تَكْلِيمًا
“Dan Allah berbicara kepada Musa secara langsung.” (QS. an-Nisā’: 164)
Orang-orang yang menyimpang mengubah ayat ini menjadi: وكلَّم اللهَ موسى تكليما (wa kallamallāha mūsā taklīma).
Firman Allah Subḥānahu wa Ta’alā,
الرَّحْمَـٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ
“Zat yang Maha Pemurah beristiwa’ di atas ‘Arsy.” (QS. Ṭāhā: 5)
Orang-orang yang menyimpang mengubah kata استوى (istawā) menjadi استولى (istaulā) yang bermakna ‘menguasai’.
Ketahuilah bahwa mengubah lafaz al-Qur’an seperti ini adalah jalannya orang-orang Yahudi!
Contoh dari mengubah makna saja, tanpa mengubah lafaz:
Firman Allah Subḥānahu wa Ta’alā,
بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ
“Kedua Tangan Allah terbuka, Dia menafkahkan sebagaimana yang Dia kehendaki.” (QS. al-Mā’idah: 64)
Sifat Tangan Allah pada ayat ini diubah maknanya menjadi kekuatan Allah atau nikmat Allah, padahal tidak ada dalilnya atas hal ini.
Menyimpangkan makna sebuah lafazh dari makna zhahirnya ini juga dikenal dengan istilah al-ta’wīl (التأويل).
Kedua: al-Ta’ṭīl (التعطيل), yaitu menafikan Sifat Allah, seluruhnya atau sebagiannya.
Jika taḥrīf dilakukan pada dalil, maka ta’ṭīl dilakukan pada kandungan dalil.
Contoh ta’ṭīl (menafikan) seluruh Sifat Allah adalah apa yang dilakukan oleh Jahmiyyah, di mana mereka mengingkari semua Sifat Allah Subḥānahu wa Ta’alā.
Contoh ta’ṭīl (menafikan) sebagian Sifat Allah adalah apa yang dilakukan oleh Asy’ariyyah, di mana mereka hanya menetapkan sebagian sifat saja dan mentakwil sifat-sifat lainnya. Sifat yang mereka tetapkan adalah: wujūd, qidām, baqā’, mukhālafatu lilhawādiṡi, qiyāmuhū binafsihi, wahdāniyyah, qudrah, irādah, ‘ilmu, hayāh, samā’, baṣar, kalām, qādiran, murīdan, ‘āliman, hayyan, samī’an, baṣīran, mutakalliman.
Kita katakan kepada mereka, di mana Sifat Rahmat dari Allah, di mana Sifat Ridha dari Allah, di mana Sifat Istiwa’ di atas ‘Arsy, dan di mana Sifat-Sifat Allah lainnya yang disebutkan di dalam Qur’an dan Sunnah? Yang mereka lakukan adalah mentakwil atau menyelewengkan makna dari Sifat-Sifat ini menjadi makna lain yang berbeda dengan makna zahirnya, padahal tidak ada dalilnya sama sekali dari Qur’an dan Sunnah yang mendukung keyakinan mereka tersebut.
Baca Juga:
Ketiga: al-Takyīf (التكييف), yaitu menanyakan bagaimana Sifat Allah.
Imam Malik rahimahullāh pernah ditanya tentang firman Allah Subḥānahu wa Ta’alā,
الرَّحْمَـٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ
“Zat yang Maha Pemurah beristiwa’ di atas ‘Arsy.” (QS. Ṭāhā: 5)
كيف استوى؟
“Bagaimana Allah beristiwa’?
Maka, beliau rahimahullāh menjawab,
الاستواء معلوم، والكيف مجهول، والإيمان به واجب، والسؤال عنه بدعة.
“al-Istiwā’ itu ma’lūm (diketahui), dan bagaimananya majhūl (tidak diketahui), mengimaninya itu wajib, dan menanyakan tentang hal itu adalah bid’ah.”
Istilah yang terkait dalam bahasan ini adalah at-tafwīḍ (التفويض), yaitu menyerahkan kepada Allah Subḥānahu wa Ta’alā. Apa yang diserahkan kepada Allah? Ada dua kemungkinan:
Pertama, menyerahkan makna suatu Sifat kepada Allah Subḥānahu wa Ta’alā, karena tidak ada yang tahu maknanya kecuali Allah. Ini adalah akidah orang-orang yang menyimpang.
Contoh: Apa makna Sifat Istiwā’ di atas ‘Arsy? Tidak tahu, karena yang tahu maknanya hanyalah Allah.
Kedua, menyerahkan hakikat dan bagaimananya suatu Sifat kepada Allah Subḥānahu wa Ta’alā. Ini adalah akidah ahlussunnah waljamā’ah.
Contoh: Apa makna Sifat Istiwā’ di atas ‘Arsy? Kita tahu maknanya, yaitu tinggi di atas ‘Arsy. Adapun hakikat Sifat Istiwā’, bagaimana Allah ber- istiwā’ di atas ‘Arsy, maka kita tidak tahu, karena tidak ada yang tahu hakikatnya dan bagaimananya kecuali Allah.
Keempat: al-Tamṡīl (التمثيل), yaitu menyerupakan Sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya.
Takyīf itu lebih umum daripada tamṡīl. Orang yang men-takyīf belum tentu men- tamṡīl, tetapi orang yang men- tamṡīl maka pasti men-takyīf.
Contoh: Kita mengimani bahwa Allah memiliki Sifat Tangan, tetapi tidak boleh bagi kita untuk menyerupakan Tangan Allah dengan tangan makhluk-Nya (tamṡīl, sekaligus juga takyīf) atau membayangkan kira-kira bagaimana Tangan Allah itu walaupun tidak diserupakan sama sekali dengan tangan makhluk-Nya (takyīf, tetapi bukan tamṡīl). Oleh karena itu, yang harus kita yakini adalah bahwa Allah memiliki Sifat Tangan, dengan Sifat Tangan yang sesuai dengan Keagungan Allah Subḥānahu wa Ta’alā, dan tidak serupa dengan tangan makhluk-Nya.
***
Penulis: Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.
Artikel: Muslim.or.id