Perempuan dan laki-laki sebetulnya diberi hak yang sama untuk beribadah kepada Allah. Termasuk dalam hal ini laki-laki dan perempuan sama-sama dianjurkan untuk beribadah di masjid, karena masjid bukan monopoli laki-laki. Tapi realitas di masyarakat, dalam beberapa kasus masih ada saja orang yang melarang perempuan pergi ke masjid dengan alasan perempuan lebih baik salat di rumah ketimbang di masjid.
Secara umum, terdapat dua hadis yang seringkali dijadikan dalil keutamaan perempuan salat di rumah ketimbang di masjid. Pertama, kisah istri Abu Hummayd al-Sa‘idi yang meminta izin kepada Rasulullah untuk selalu salat berjamaah dengannya, namun Rasulullah mengatakan salat di rumah lebih baik. Berikut kutipan lengkap riwayatnya:
عن عبد الله بن سويد الأنصاري، عن عمته امرأة أبي حميد الساعدي أنها جاءت إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقالت: يارسول الله إني أحب الصلاة معك. فقال: قد علمت أنك تحبين الصلاة معي، وصلاتك في بيتك خير من صلاتك في حجرك، وصلاتك في حجرك خير من صلاتك في دارك، صلاتك في دارك خير من صلاتك في مسجد قومك، وصلاتك في مسجد قومك خير من صلاتك في مسجدي
Artinya: “Dari ‘Abdullah Ibn Suwayd al-Anshari, dari bibinya, yaitu istri Abu Humayd al-Sa‘idi, bahwa ia pernah menemui Rasulullah Saw. dan bertanya, ‘Wahai Rasululullah saw., saya sangat senang salat bersamamu’. Rasul Saw. menjawab, ‘Saya tahu kamu senang salat bersamaku, tetapi salat di ruangan paling kecil dan tertutup di kamarmu lebih baik dari salat di kamarmu, salat di kamarmu lebih baik dari salat di ruangan tengah rumahmu, salat di rumahmu lebih baik dari salat di masjid kampungmu, dan salat di masjid kampungmu lebih baik dari salat di masjidku’” (HR: Ibn Khuzaymah, Ibn Hibban, dan lain-lain).
Kedua, hadis riwayat Aisyah yang merasa prihatin dengan fenomena perempuan di masanya, sehingga ia berkata:
لو أدرك رسول الله صلى الله عليه وسلم ما أحدث النساء لمنعهن (أي المساجد) كما منعت بني أسرائيل
Artinya: “Andaikan Rasulullah Saw. tahu apa yang terjadi pada perempuan sekarang, niscaya beliau akan melarang perempuan ke masjid, sebagaimana dilarangnya perempuan Bani Israil.” (HR: Malik, Ibn Khuzaymah, Muslim, dan lain-lain).
Berdasarkan kedua hadis di atas, sebagian ulama memakruhkan perempuan salat berjamaah di masjid bersama laki-laki, terlebih lagi perempuan muda. Al-Nawawi (w. 676 H) mengatakan bahwa perempuan lebih utama salat di rumah, khususnya pada bagian rumah yang paling tertutup berdasarkan hadis di atas.
Dalam mazhab Syafi‘i dimakruhkan perempuan dewasa atau muda salat bersama laki-laki di masjid dan dimakruhkan pula bagi orang tua atau pun suami untuk mengizinkan mereka salat di masjid. Akan tetapi, mayoritas ulama membolehkan perempuan tua, aman dari fitnah, dan tidak syahwat melihatnya, untuk salat berjamaah di masjid.
Kemakruhan perempuan salat di masjid sesungguhnya dikarenakan adanya kekhawatiran terjadinya fitnah. Fitnah yang dimaksud berupa gangguan terhadap perempuan atau perempuan dapat menggoda kekhusyukan laki-laki pada saat salat. Oleh sebab itu, ulama yang membolehkan perempuan salat di masjid bersama laki-laki mensyaratkan agar mereka tidak menggunakan pakaian ketat, tidak memakai wangi-wangian, dan berusaha menjaga aurat.
Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H) mengatakan bahwa penyebab larangan perempuan salat di masjid dikarenakan mereka menggunakan pakaian dan perhiasan yang dapat menggoda laki-laki.
Dengan demikian, pendapat yang dikemukakan oleh Aisyah bersifat temporal dan situasional serta tidak berlaku umum. Penggunaan hadis Aisyah untuk melarang total perempuan masuk masjid juga dikritik oleh al-Syawkani (w. 1250 H), karena yang dilarang dalam hadis tersebut adalah menggunakan pakaian bagus, parfum, perhiasan yang dapat menimbulkan fitnah.
Dalam pandangan Jasser Auda, ijtihad Aisyah dalam konteks ini lebih cenderung kepada sadd al-dhari‘ah, yaitu melarang perbuatan baik untuk menghindari kemungkinan buruk dan terjadinya kemudaratan. Pada dasarnya salat berjamaah di masjid adalah boleh bagi perempuan, namun dikarenakan ada sesuatu negatif yang dapat membahayakan dan merusak, maka perempuan dianjurkan salat di rumah.
Oleh sebab itu, pernyataan Aisyah ini tidak berlaku umum dan bersifat temporal. Ibn Qudamah (w. 629 H) mengatakan sunah Rasulullah Saw. lebih utama diikuti dan pendapat Aisyah bersifat situasional dan tidak berlaku untuk seluruh perempuan.
Seiring dengan perubahan sosial dan perkembangan Islam, pendekatan sadd al-dhari‘ah dalam memahami persoalan ini tampaknya tidak relevan lagi. Menurut Jasser, dalam konteks dunia modern, seharusnya yang dilakukan adalah fath al-dhari ‘ah, yaitu membuka kemungkinan baik dan selalu berusaha berpikir positif.
Perempuan harus dimotivasi dan didorong untuk aktif beribadah di masjid, mengikuti pengajian agama, dan mengikuti kegiatan apapun yang bermanfaat untuk dirinya sendiri dan keluarga. Apalagi saat ini, umat Islam tengah dilanda krisis moral dan sebagian muda-mudi Islam sudah tidak tertarik lagi pergi ke masjid. Mereka lebih tertarik pergi ke tempat hiburan daripada salat berjamaah di masjid.
Abd al-Halim Abu Shiqqah, sebagaimana dikutip Jasser, mengatakan andaikan Aisyah melihat kondisi perempuan pada zaman sekarang, niscaya dia akan menarik pernyataannya dan mewajibkan perempuan pergi ke masjid.
Adapun alasan larangan perempuan salat di masjid yang didasarkan pada kisah Umm Humayd, menurut Jasser hadis tersebut perlu diperhatikan secara komprehensif. Hadis tidak dapat dipahami setengah-setengah dan mesti dikomprasikan dengan hadis lain guna mendapatkan pemahaman yang utuh. Sebagaimana hadis Aisyah, kisah Umm Humayd juga tidak berlaku umum untuk seluruh perempuan.
Jasser memahami hadis tersebut berdasarkan teori pemilahan posisi Nabi untuk melihat konteks dan tujuan pembicaraan Nabi Saw. Berdasarkan konteksnya terlihat bahwa Nabi saw. sedang menasihati dan memberi masukan untuk Umm Humayd yang sedang bertengkar dengan suaminya.
Konteks hadis ini dapat diketahui dari riwayat al-Bayhaqi (w. 458 H), sebab hampir sebagian besar riwayat tidak menyebutkan konteks hadisnya. Dalam riwayat al-Bayhaqi disebutkan:
قالت: يارسول الله، إنا نحب الصلاة تعني معك فيمنعنا أزواجنا
Artinya: “Umm Humayd berkata, ‘Wahai Rasulullah Saw., kami sangat senang salat bersamamu, tapi suami kami melarangnya’”. (HR: al-Bayhaqi)
Abu Humayd melarang istrinya untuk salat bersama Nabi Saw. dikarenakan rumah mereka jauh dari masjid Nabi dan ia merasa sangat keberatan bila istrinya salat lima waktu bersama Nabi Saw. Sebab itu, Rasul Saw. menyarankan agar Umm Humayd lebih baik salat di rumah supaya mereka tidak bertengkar.
Tujuan Nabi Saw. melontarkan pernyataan ini hanya untuk melerai pertengkaran dan mencari solusi terbaik untuk Umm Humayd dan suaminya. Apabila hadis ini dipahami bermakna umum, maka ia akan bertentangan dengan riwayat lain, bahkan Alquran, yang menunjukan praktik salat jamaah laki-laki bersama perempuan pada masa Rasulullah Saw. Untuk menghindari kontradiksi dalil dan pengabaian salah-satunya, semua hadis terkait perempuan salat di masjid perlu dipahami berdasarkan konteks dan maksud tujuan Nabi Saw.