Artikel ini akan membahas perempuan penyintas 65 dan kemerdekaan. Perempuan penyintas, merupakan tema yang ideal dalam momentum kemerdekaan Indonesia hari ini.
‘Di balik peristiwa politik, akan selalu ada cerita kemanusiaan yang samar-samar dibicarakan. Salah satu peristiwa politik sekaligus kemanusiaan yang seringkali luput dari perhatian saat peringatan kemerdekaan Indonesia yang diperingati setiap tanggal 17 Agustus adalah terkait penyintas 1965, khususnya dari sudut pandang penyintas perempuan.
Upaya melawan amnesia sejarah dan mengingat kembali ini perlu, sebagaimana yang dikatakan oleh sastrawan Cekoslovakia, Milan Kundera, “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa.”
Sejarah mencatat, jutaan rakyat Indonesia mati karena peristiwa 65. Kebanyakan dituduh sebagai komunis, kemudian ada yang dipenjara, dieksilkan, hingga dibon (dibunuh). Sementara, mereka yamg masih bertahan akan menjadi eksil atau eks-tapol.
Berdasarkan penelitian Triningsih dkk (2020), dijelaskan para eks-tapol (penyintas) masih mengalami tunduhan atas tindakan yang tidak pernah mereka lakukan sebagai pihak yang terlibat dalam Gerakan 30 September (G30S).
Telah ada beberapa kalangan yang mengupayakan rekonsiliasi untuk eks-tapol dengan beragam cara, khususnya cara-cara halus seperti seminar, diskusi, film, hingga musik yang didirikan oleh eks-tapol dan keluarganya bernama Dialita (Di Atas Lima Puluh Tahun).
Grup musik ini didirikan juga sebagai upaya dalam membangun rekonsililiasi bagi penyintas, terlebih bagi perempuan penyintas 65. Tulisan ini akan membahas terkait Dialita, yang meski telah “disakiti” oleh rezim di bawah negara masa itu, tak ada lagu bernada balas dendam yang dinyanyikan. Namun kebalikannya, Dialita menyanyikan lagu yang merayakan dan memuji Indonesia.
Paduan Suara Dialita
Suara denting piano dari musisi perempuan Frau (Leliani Hermiasih) mengalun sangat syahdu di bawah Pohon Beringin Soekarno, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 1 Oktober 2016. Frau malam itu mengiringi paduan suara yang berisi ibu-ibu para penyintas ’65 dan keluarganya yang bernama Dialita.
Dialita menyanyikan lagu dengan suara merdu, mereka terlihat sangat tegar. Malam itu, Dialita sedang melakukan launching album pertama mereka yang diberi judul besar “Dunia Milik Kita”. Debut album ini digarap oleh berbagai musisi dari Jakarta hingga Jogja.
Peluncuran tanggal 1 Oktober juga dipilih Dialita karena bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila, yang dalam sejarahnya tak bisa dilepaskan dari peristiwa G30S. Hari Kesaktian Pancasila dianggap sebagai hari pengingat gugurnya para pahlawan revolusi pada 30 September 1965.
Dalam konteks ini, Hari Kesaktian Pancasila dijadikan momentum negara untuk mempertahankan “ideologi” bangsa. (Baca juga: Sejarah Hari Lahir Pancasila).
Salah satu lagu yang dinyanyikan Dialita pada peluncuran hari itu berjudul “Ujian”. Penggalan liriknya berbunyi: “Dari balik jeruji besi, hatiku diuji, apa aku emas sejati, atau imitasi… Tiap kita menempat diri, jadi kader teladan, yang tahan angin tahan hujan. Tahan musim dan badai….” Lirik ini berkisah terkait perjuangan sebagai penyintas di balik penjara.
Iman mereka diuji dengan segala kejadian yang dialami di penjara, banyak dari mereka tidak bersalah tapi mengalami hukuman yang tidak sepatutnya. Selain itu, lagu-lagu Dialita lain yang menyuarakan terkait kehidupan pahit, getir, dan kehidupan di penjara seperti “Taman Bunga Plantungan” dan “Salam Harapan”.
Lagu-lagu yang Dialita buat, diciptakan dan ditulis sebelum tahun 1965. Namun setelah 65, lagu-lagu tersebut tidak terdengar lagi. Lagu yang tak pernah dinyanyikan itu disebut oleh Koordinator Dialita Uchikowati sebagai “lagu-lagu yang dibungkam”.
Lagu-lagu Dialita berisi tentang pesan-pesan persahabatan, perjuangan, kedamaian, hingga kebenaran sejarah. Karya Dialita juga menjadi sumbangsih bagi generasi berikutnya, membuat generasi muda menjadi lebih melek sejarah.
Bahkan ada yang mengatakan, sebagaimana yang ditulis Aris Setyawan dalam tulisannya di The Jakarta Post, lagu-lagu dari Dialita tidak memiliki hubungan atau koneksi politik. Seni yang ditampilkan Dialita menurut Aris menjadi media yang efektif dalam menyampaikan pesan, terlebih bagi generasi muda.
Dengan mendengarkan Dialita, seseorang akan terhubung dengan konteks sejarah yang lebih besar, yaitu tragedi 1965.
Para penyintas dan tahanan politik (tapol) mengalami hal-hal yang berat dalam hidup mereka. Seperti terpaksa meninggalkan suami/istri, anak, orangtua, dan keluarga besar. Para tapol tidak hanya mengalami tekanan dari segi mental saja, tapi juga sanksi sosial.
Mereka sering dikucilkan dan mendapat label yang berkaitan dengan peristiwa 65. Dampak dialami tidak hanya oleh generasi pertama, tapi juga generasi kedua dan ketiga. Dialita di sisi lain juga memberi harapan dan mimpi dari penyintas untuk bertemu dengan sanak saudara mereka kembali.
Kemerdekaan Bagi Penyintas
Dalam buku Magdalena Sitorus berjudul “Onak dan Tari di Bukit Duri” (Tanda Baca, 2021), diceritakan salah satu penyintas dan anggota Dialita bernama Utati. Utati juga merupakan bagian dari anggota Dialita. Buku ini menceritakan bagaimana Utati yang juga istri dari penulis Koesalah Soebagyo Toer (adik Pramoedya Ananta Toer), sebagian besar masa tahanannya dihabiskan di Rutan Bukit Duri.
Bersama tahanan perempuan lainnya, Utati tinggal di penjara tanpa ada kepastian dari pengadilan. Utati dan penyintas lain direnggut “kemerdekaan” di berbagai hal, dari berbicara, berekspresi, mengeluarkan pendapat, dan yang berhubungan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) lainnya.
Padahal di penjara itu, Utati bersama kawan-kawannya sempat melaksanakan upacara bendera 17 Agustus sekaligus melakukan senam irama di halaman penjara. Bahkan saat melakukan senam irama dengan lagu baru berjudul “Indonesia Jaya” yang liriknya dibuat sendiri oleh Utati.
Penggalan lirik tersebut berbunyi: “Sinar mentari menghangati bumi. Bunga mekar mewangi. Hiasan suntingan ibu pertiwi. Indonesia tanahku yang jaya.”
Sementara itu, Dialita dibentuk dengan tujuan untuk membantu penyintas ’65 memperoleh kembali hak-hak mereka yang masih mendapatkan tindakan diskriminasi sosial dan pembatasan sebagai masyarakat sipil.
Dialita juga melakukan bantuan bagi sesama penyintas dengan menjual barang-barang bekas, dan menjalin solidaritas sosial dengan sesama penyintas.
Pada peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke-77, makna “merdeka” tidak sepenuhnya hadir untuk penyintas. Padahal merdeka bagi penyintas ’65 tentu bukan sekadar seremonial maupun jargon merdeka.
Sementara masih banyak penyintas yang mengalami gangguan post-traumatic stress disorder (PTSD), tidak memiliki keluarga, tidak jelas kehidupan ekonominya, dan hidup dengan nyala mata redup dengan semakin bertambahnya usia.
Sementara di sisi lainnya, pembengkokan sejarah masih terjadi dan dimuseumkan menjadi prasasti-prasasti dan film-film terkait penyintas ’65 yang tak sepenuhnya benar.
Di ulang tahun Indonesia ke-77 yang bertema “Pulih Lebih Cepat Bangkit Lebih Kuat” yang dibuat dengan harapan rakyat bisa bangkit setelah peristiwa Covid-19, tentu tema ini juga relevan bagi penyintas. Negara perlu memberikan keadilan bagi korban kekerasan masa lalu. Negara dalam upaya mewujudkan itu bagi penyintas perlu memberikan perannya.
Di antaranya, memperbaiki kondisi kehidupan penyintas hingga mereka bisa puluh dan bangkit lebih kuat. Selain itu, penyintas juga diberi ruang aktif dan bisa bergotong royong berdampingan dengan masyarakat lain secara fleksibel dan dinamis, tidak ada diskriminasi di beberapa sektor.
Harapan ini tentunya seperti yang diserukan Dialita dalam lagunya:
“Meskipun kini hujan deras menimpa bumi… Penuh derita topan badai memecah ombak Untuk patria tembok tinggi memisah kita… Namun yakin dan pasti masa depan kan datang, kita pasti kembali….”
Demikian kisah terkait perempuan penyintas 65 dan kemerdekaan. Semoga bermanfaat.