Saat kita berbicara tentang intoleransi maka akan banyak hal yang mudah kita ingat. Entah peristiwa di masa lalu ataupun yang baru-baru ini terjadi, seperti penyerangan klenteng di Kediri, bom bunuh diri di gereja Katolik St Yosep Medan, Teror simpatisan ISIS di gereja Oikumene Samarinda, dan masih banyak lagi lainnya.
Selain kasus korupsi yang terus menggerogoti negeri ini, kini intoleransi menjadi salah satu masalah besar yang mengancam keutuhan negara tercinta kita Indonesia ini. Intoleransi seakan terus membelah diri dan menyebarkan propaganda jahatnya lewat beragam organisasi dan kajian-kajian yang mereka sampaikan dari tempat ke tempat.
Jika kita mau membaca sejarah ulang betapa kelamnya akibat dari paham intoleransi ini, maka kita akan merasakan kemirisan yang luar biasa. Bagaima kita mau aman-aman saja saat ideologi Pancasila mau digerogoti oleh ormas macam HTI, peristiwa bunuh diri di gereja dan tempat aparat keamanan oleh simpatisan ISIS, pelarangan kegiatan peribadatan para biksu di Tangerang, dan yang baru-baru ini adalah pelarangan pendirian sebuah gereja di Tanjung Balai Karimun Kepualauan Riau.
Beragam kasus intoleransi dari aksi pelarangan, teror hingga pembunuhan manusia tak berdosa haruslah mengingatkan peran wanita yang kini kian terabaikan dalam menciptakan insan yang toleran.
Toleran, SARA dan finansial
Intoleransi tentunya muncul dari bearagam aspek, menurut penelitian yang dilakukan oleh FIDKOM UIN Jakarta, paham intoleran muncul disebabkan oleh empat faktor, yaitu pertama pandangan keagamaan sektarian, kedua populisme agama, ketiga politisi yang memanfaatkan agama. Dan yang terakhir, yaitu pendirian rumah ibadah yang dilarang atas dasar agama, sehingga menimbulkan intoleransi,” jelasnya. (rdk.fidkom.uinjkt.ac.id, 2021)
Berbicara soal tempat yang digunakan sebagai lembaga pendidikan dan pengawasan, tentunya rumah dan sekolah menjadi ujung tombak dalam membentuk akhlak atau sikap seorang generasi mendatang. Mengapa penulis katakan demikian, karena sejatinya tetes ilmu atau pendidikan pertama akan berlangsung di rumah kemudian dilanjutkan dalam jenjang pendidikan formal ataupun non formal macam pondok pesantren. Tak hanya membentuk sikap toleran didalam lingkungan keluarga dan lembaga pendidikan, tentunya sifat seseorang akan teruji apabila ia mulai hidup dalam tengah-tengah masyarakat.
Hidup ditengah-tengah masyarakat inilah yang akan menampakan beragam keragaman “perbedaan” yang ada dalam lingkungan masyarakat itu sendiri. Mulai dari perbedaan keyakinan, suku, ras, budaya, hingga finansialpun pasti terdapat perbedaan. Segala perbedaan itulah yang akan mulai membentuk sifat seseorang, apakah ia termasuk yang toleran atau malah intoleran atas semua perbedaan yang ada tersebut.
Toleran dalam perspektif penulis bukan hanya sebatas menghormati perbedaan dalam SARA belaka, lebih daripada itu, setiap manusia harus pula menghormati dari segi finansial juga, mengapa harus sampai sejauh itu. Anda tahu flexing? Betapa banyak yang dalam masa sulit seperti pandemi ini banyak orang yang tak toleran flexing harta.
Maka wajar bila penulis menganggap bahwasannya toleran selain dalam isu suku, agama, rasa dan budaya, mengedepankan skap toleran juga haruslah dalam aspek finansial adalah penting. Maka, toleran ini harus disamaratakan untuk menjadikan kehidupan yang lebih humanis dan indah dalam keberagaman tanpa menciptakan krisis sosial.
Perempuan benteng intoleransi
Ngalor-ngidul berbicara tentang sikap toleransi, membuat penulis berpikir mungkin saatnya perempuan memiliki andil besar dalam melestarikan sifat toleransi ini.
Toleransi kini dalam bahasa millennial ini lebih dikenal dengan istilah moderasi beragama sebagai pengejawantahan dari islam washatiyah itu sendiri. Moderasi beragama adalah sikap dan pandangan yang tidak berlebihan, tidak ekstrem, dan tidak pula radikal. Dalam agama manapun, termasuk Islam, sikap moderasi diperlukan untuk menjalin kerukunan antar umat.
Bersumber dari buku yang berjudul Moderasi Beragama oleh Kementerian Agama, ragam kepercayaan di Indonesia dapat menjadi ancaman terbesar yang bisa memecah belah bangsa. Hal ini disebabkan oleh egoisme disertai dengan sikap intoleran dan merasa mau benar sendiri menjadi hal yang paling sulit untuk diselesaikan hingga kini.
Bukti konkret dari hal ini adalah dengan munculnya kasus ektremisme yang tidak mengedepankan nilai toleransi yang kini kian marak terjadi dan parahnya lagi terekspos oleh media. Banyak media yang telah memberitakan hal demikan. Sepertai kasus di SMKN Padang dimana Waka Kesiswaan mewajibkan semua siswanya untuk memakai hijab, termasuk pula siswa non-muslim (Tribun Jateng, 2021)
Menyedihkan memang sikap intoleransi yang sebenarnya menjadikan orang lain juga akan menjadi ekstremis hingga radikalis dalam menyikapi beragam aspek, seperti suku, agama, ras dan budaya yang memang dari asalnya telah berbeda. Maka, peran seluruh lapisan masyrakat terkhusus wanita sangatlah diperlukan untuk membentuk dan mengembangkan sikap toleransi ini.
Mengapa demikian, karena perempuan lebih memiliki kepekaan luar biasa dalam mendidik buah hati, murid, hingga segenap orang disekitarnya. Perempuan juga diunggulkan dengan memiliki bahasa ibu yang dapat lebih dekat berbicara hati ke hati untuk membentuk jiwa yang toleran atau moderat.
Perempuan menjawab tantangan
Jika perempuan diberikan ruang lebih dan mau untuk melestarikan nilai toleransi atau moderat ini kebanyak manusia, maka niscaya keteraan gender juga akan tercipta. Menurut Menteri PPA, ketiadaan toleransi hanya akan melanggengkan praktek diskriminasi dan justru menambah tantangan dalam mencapai kesetaraan.
Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) Indonesia pada tahun 2019 berada pada angka 75,24. Indeks ini mengukur peran aktif perempuan terutama dalam bidang politik, pengambilan keputusan, serta ekonomi. Perolehan angka IDG maupun berbagai indeks lainnya yang belum maksimal merefleksikan bahwa masih ada ketimpangan gender di Indonesia. (kemenpppa.go.id, 2021)
Seyogyanya peran perempuan dalam mengatasi beragam masalah yang mengancam keutuhan kehidupan berbangsa dan bernegara ini, seperti radikalisme, ekstremisme, liberalism, hingga sikap intoleransi lainnya patut diperhitungkan.
Selain menciptakan kesetaraan gender, peran perempuan dalam membebaskan ataupun mengentaskan generasi Bangsa Indonesia dari paham intoleransi ini. Sehingga diharapkan dikedepannya semua warga Indonesia dapat bersikap moderat “tengah-tengah” dalam menyikapi beragam hal dan bersikap toleransi dalam semua perbedaan dikarenakan rasa persaudaraan yang tergabung dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.