Perhatikan Dari Mana Engkau Mengambil Akidah

Di antara permasalahan penting yang telah dibahas oleh para ulama’ adalah apa saja sumber yang shahih untuk mengambil ilmu dan akidah. Sebagaimana yang telah ditegaskan oleh para ulama’, kesalahan dalam menentukan sumber ilmu akan berakibat pada kesalahan dalam banyak masalah akidah dan manhaj. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mempelajari apa saja sumber ilmu dan akidah menurut ahlus-sunnah wal-jama’ah, sehingga kita bisa memiliki pondasi yang kuat untuk menentukan mana akidah yang benar dan mana yang salah.

Sumber untuk mengambil ilmu yang lurus dan akidah yang shahihah, yang sering diistilahkan sebagai mashdar talaqqiy dalam literatur para ulama’, menurut ahlus-sunnah wal-jama’ah ada dua jenis:

Pertama: Sumber primer atau utama, yaitu dalil-dalil syar’iy dari Qur’an dan Sunnah, dan ijma’ para ulama’.

Kedua: Sumber sekunder atau penguat, yaitu akal yang lurus, dan fithrah yang selamat.

Sumber utama pertama: Dalil-dalil syar’iy dari Qur’an dan Sunnah

Adapun Qur’an dan Sunnah, maka tidak diragukan lagi bahwa wajib bagi kita untuk berpegang teguh pada keduanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

اتَّبِعوا ما أُنزِلَ إِلَيكُم مِن رَبِّكُم وَلا تَتَّبِعوا مِن دونِهِ أَولِياءَ ۗ قَليلًا ما تَذَكَّرونَ

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).”[1]

فَإِن تَنـٰزَعتُم فى شَىءٍ فَرُدّوهُ إِلَى اللَّـهِ وَالرَّسولِ إِن كُنتُم تُؤمِنونَ بِاللَّـهِ وَاليَومِ الـٔاخِرِ ۚ ذٰلِكَ خَيرٌ وَأَحسَنُ تَأويلًا

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”[2]

وَمَن يَعصِ اللَّـهَ وَرَسولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدودَهُ يُدخِلهُ نارًا خـٰلِدًا فيها وَلَهُ عَذابٌ مُهينٌ

“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan.”[3]

Sebagian orang ada yang hanya ingin mengambil al-Qur’an saja sebagai dalil, akan tetapi tidak mau menjadikan as-Sunnah sebagai hujjah. Padahal, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,

قُل إِن كُنتُم تُحِبّونَ اللَّـهَ فَاتَّبِعونى يُحبِبكُمُ اللَّـهُ وَيَغفِر لَكُم ذُنوبَكُم ۗ وَاللَّـهُ غَفورٌ رَحيمٌ

“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[4]

فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤمِنونَ حَتّىٰ يُحَكِّموكَ فيما شَجَرَ بَينَهُم ثُمَّ لا يَجِدوا فى أَنفُسِهِم حَرَجًا مِمّا قَضَيتَ وَيُسَلِّموا تَسليمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”[5]

فَليَحذَرِ الَّذينَ يُخالِفونَ عَن أَمرِهِ أَن تُصيبَهُم فِتنَةٌ أَو يُصيبَهُم عَذابٌ أَليمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul itu takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa ‘adzab yang pedih.”[6]

Yang dimaksud dengan fitnah (cobaan) pada ayat ini adalah menganggap perkara yang baik sebagai buruk dan menganggap perkara yang buruk sebagai baik. Maka itulah yang memang terjadi pada orang-orang yang menyelisihi Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perkara yang tidak disyari’atkan mereka anggap disyari’atkan dan mereka pertahankan, sementara perkara yang disyari’atkan tidak mereka pedulikan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إني قد تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعدهما: كتاب الله وسنتي، ولن يتفرقا حتى يردا عليَّ الحوض.

“Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh pada keduanya: Kitabullah dan Sunnahku, dan keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di al-haudh.”

Imam asy-Syafi’iy rahimahullah berkata,

لا يلزم قول بكل حال إلا بكتاب الله أو سنة رسوله صلى الله عليه وسلم، وأن ما سواهما تبع لهما.

“Tidak ada perkataan yang wajib diikuti dalam setiap keadaan kecuali Kitabullah atau Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan yang selain keduanya maka hanya mengikuti keduanya.”

Akan tetapi, tidak boleh bagi kita untuk memahami Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman kita sendiri. Wajib bagi kita untuk memahami keduanya sebagaimana pemahaman as-salafush-shalih atau generasi terdahulu. Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

من كان منكم متأسيا فليتأس بأصحاب محمد صلى الله عليه وسلم، فإنهم كانوا أبر هذه الأمة قلوبا، وأعمقها علما، وأقلها تكلفا، وأقومها هديا، وأحسنها حالا، اختارهم الله لصحبة نبيه صلى الله عليه وسلم وإقامة دينه، فاعرفوا لهم فضلهم واتبعوهم في آثارهم، فإنهم كانوا على الهدى المستقيم.

“Barangsiapa di antara kalian yang ingin mengambil teladan maka teladanilah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang paling baik hatinya di kalangan umat ini, paling mendalam ilmunya, paling sedikit sikap berlebih-lebihannya, paling lurus bimbingannya, dan paling baik keadaannya. Allah telah memilih mereka untuk membersamai Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, kenalilah keutamaan mereka dan ikutilah jalan mereka, karena sesungguhnya mereka itu berada di atas petunjuk yang lurus.”

Sumber utama kedua: Ijma’ para ulama’

Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah wafatnya beliau pada sebuah zaman atas sebuah perkara. Perhatikan bahwa ijma’ adalah kesepakatan para ulama’ mujtahid. Adapun orang awam maka pendapat mereka tidak dianggap dalam penetapan adanya ijma’. Walaupun misalnya mayoritas orang awam meyakini suatu pendapat dan para ulama’ mujtahid yang jumlahnya sedikit itu meyakini pendapat yang berbeda, pendapat orang awam walaupun mereka mayoritas maka tidaklah teranggap.

Wajib bagi kita untuk mengikuti ijma’, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَمَن يُشاقِقِ الرَّسولَ مِن بَعدِ ما تَبَيَّنَ لَهُ الهُدىٰ وَيَتَّبِع غَيرَ سَبيلِ المُؤمِنينَ نُوَلِّهِ ما تَوَلّىٰ وَنُصلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَساءَت مَصيرًا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”[7]

Yakni, wajib bagi kita untuk mengikuti jalannya orang-orang mukmin, dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum adalah yang paling berhak dan paling utama untuk dimaksudkan dalam ayat ini.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق، لا يضرهم من ناوأهم حتى تقوم الساعة.

“Akan selalu ada kelompok dari umatku yang senantiasa membela kebenaran, tidak akan membahayakan mereka orang yang menentang mereka, hingga datang hari kiamat.”

Yakni, tidak mungkin seluruh umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu zaman itu semuanya bersepakat di atas kesalahan, dengan cara mereka semua mengambil pendapat yang salah dan meninggalkan pendapat yang benar. Maka, kita menyimpulkan dari hadits ini bahwa jika seluruh umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (yakni, para mujtahid di antara mereka, sebagaimana telah dibahas sebelumnya) telah bersepakat atas suatu pendapat, maka tidak mungkin pendapat ini adalah pendapat yang salah, yang tidak diridhai dan dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sumber penguat pertama: Akal yang lurus

Akal bukanlah sumber primer dan utama untuk mengambil ilmu dan akidah. Akan tetapi, akal adalah alat untuk memahami dalil-dalil syar’iy dan menangkap makna dan kandungan dari dalil-dalil tersebut. Itu mengapa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

كِتـٰبٌ أَنزَلنـٰهُ إِلَيكَ مُبـٰرَكٌ لِيَدَّبَّروا ءايـٰتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُوا الأَلبـٰبِ

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya, dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.”[8]

أَفَلا يَتَدَبَّرونَ القُرءانَ أَم عَلىٰ قُلوبٍ أَقفالُها

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”[9]

Akal yang lurus itu menegaskan dan menguatkan dalil-dalil syar’iy. Tidak mungkin bagi akal yang lurus untuk bertentangan dengan dalil-dalil syar’iy yang shahih dan dipahami dengan pemahaman yang benar. Jika tampak bertentangan, maka bisa jadi akal yang digunakan tersebut tidak lurus, atau dalilnya tidak shahih, atau pemahaman terhadap dalilnya tidak benar.

Demikian pula, akal itu terbatas. Tidak boleh bagi kita untuk memahami perkara-perkara ghaib, seperti sebagian besar dari perkara akidah, dengan akal kita yang terbatas tersebut. Tidak boleh bagi kita untuk memahami kaifiyyah (bagaimananya) Sifat-Sifat Allah dengan akal, karena tidak ada jalan untuk memahami kafiyyah Sifat-Sifat Allah tersebut. Tidak ada dalil yang menerangkannya di Qur’an dan Sunnah, dan akal kita tidak bisa mengetahui hakikat dan kaifiyyah dari Sifat Allah sebagaimana akal kita tidak bisa mengetahui hakikat dan kaifiyyah dari Dzat Allah.

Imam al-Barbahariy rahimahullah berkata,

واعلم رحمك الله أن من قال في دين الله برأيه وقياسه وتأويله من غير حجة من السنة والجماعة، فقد قال على الله ما لا يعلم، ومن قال على الله ما لا يعلم فهو من المتكلفين.

“Ketahuilah, semoga engkau dirahmati oleh Allah, bahwa barangsiapa yang berkata mengenai agama Allah dengan akalnya, qiyasnya, dan ta’wilnya, tanpa hujjah dari Sunnah dan Jama’ah, maka dia telah berkata tentang Allah tanpa ilmu. Dan barangsiapa yang berkata tentang Allah tanpa ilmu, maka dia termasuk orang-orang yang menyusahkan diri.”

Sumber penguat kedua: Fithrah yang selamat

Fithrah adalah kondisi asli, bawaan, dan kecenderungan untuk menerima akidah yang benar. Fithrah yang selamat itu menegaskan dan menguatkan dalil-dalil syar’iy, sehingga secara asalnya dengan fithrah tersebut seluruh manusia menegaskan adanya Allah dan mentauhidkan-Nya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ما من مولود إلا يُولَد على الفطرة، فأبواه يهوِّدانه أو ينصِّرانه أو يمجِّسانه، كما تُنتَج البهيمة بهيمة جمعاء، هل تحسُّون فيها من جدعاء

“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fithrah, kemudian kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi, sebagaimana hewan yang dilahirkan dalam keadaan selamat tanpa cacat, maka apakah kalian merasakan adanya cacat?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وإني خلقت عبادي حنفاء كلهم، وإنهم أتتهم الشياطين فاجتالتهم عن دينهم، وحرَّمت عليهم ما أحللت لهم، وأمرتهم أن يشركوا بي ما لم أنزل به سلطانا

“Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku seluruhnya sebagai orang-orang yang hanif. Akan tetapi, para syaithan mendatangi mereka lalu memalingkan mereka dari agamanya, mengharamkan apa yang Aku halalkan untuk mereka, dan memerintahkan mereka untuk berbuat kesyirikan terhadap-Ku dengan sesuatu yang Aku tidak pernah menurunkan hujjah tentangnya.”

Oleh karena itu, seluruh manusia termasuk orang kafir bahkan Fir’aun sekalipun, sebenarnya mengakui kepada kebenaran secara bathin mereka, akan tetapi mereka mengingkarinya karena kesombongan dan kezhaliman mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

فَلَمّا جاءَتهُم ءايـٰتُنا مُبصِرَةً قالوا هـٰذا سِحرٌ مُبينٌ * وَجَحَدوا بِها وَاستَيقَنَتها أَنفُسُهُم ظُلمًا وَعُلُوًّا ۚ فَانظُر كَيفَ كانَ عـٰقِبَةُ المُفسِدينَ

“Maka tatkala mu’jizat-mu’jizat Kami yang jelas itu sampai kepada mereka (Fir’aun dan kaumnya), berkatalah mereka, ‘Ini adalah sihir yang nyata.’ Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan mereka padahal hati mereka meyakini kebenarannya. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.”[10]

Inilah empat sumber ilmu dan akidah (atau mashdar talaqqiy) menurut ahlus-sunnah wal-jama’ah, di mana dua sumber yaitu dalil syar’iy (Qur’an dan Sunnah) dan ijma’ sebagai sumber utama, dan dua sumber yaitu akal dan fithrah sebagai sumber penguat. Wajib bagi kita untuk mengambil dari sumber-sumber ini agar kita bisa mendapatkan ilmu yang lurus dan akidah yang shahihah.

@ Dago, Bandung, 28 Dzul-Hijjah 1441 H

Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.

Artikel: Muslim.Or.Id