Perkara yang Bukan Termasuk Riya’

Perkara yang Bukan Termasuk Riya’

Riya’ (pamer) adalah perilaku atau perbuatan yang dilakukan seseorang yang bertujuan untuk menunjukkan kelebihan atau kebaikan dirinya di hadapan orang lain. Riya‘ sering terkait dengan upaya untuk mendapatkan pengakuan atau pujian dari orang lain.

Ada perkara-perkara tertentu yang sebagian kaum muslimin menyangkanya sebagai perbuatan riya’, padahal hal tersebut bukanlah bagian dari riya’.

Pertama, mendapatkan pujian setelah beramal kebaikan

Ketika seseorang beramal kebaikan dan setelahnya ada yang memuji amalan yang telah ia lakukan, maka hal ini bukan termasuk riyaselama ia ikhlas dalam beramal. Walaupun tidak termasuk riya’, hendaknya seseorang berhati-hati dengan pujian, dan berdoa agar dirinya lebih baik dari apa yang disangkakan orang lain.

Dalam suatu riwayat, ada orang yang sering dipuji oleh manusia. Sehingga terkesan bahwa orang tersebut riya‘, padahal bukan riya‘.

عَنْ أَبِي ذَرٍّ رضي الله عنه قَالَ : قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ الْعَمَلَ مِنْ الْخَيْرِ وَيَحْمَدُهُ النَّاسُ عَلَيْهِ ؟ قَالَ : ( تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ )

Dari Abu Dzar radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah ditanya, ‘Bagaimana seseorang yang beribadah atau berbuat suatu kebaikan, lalu dipuji oleh manusia?’ Rasulullah menjawab, ‘Itu adalah kabar gembira bagi seorang mukmin yang dipercepat oleh Allah.’ (HR. Muslim)

Di antara bentuk kabar gembira kepada seorang mukmin, yaitu tatkala manusia memberikan pujian yang baik kepadanya. Karena pujian manusia kepadanya merupakan persaksian bahwa dirinya adalah golongan orang yang baik. (Lihat Fatawa Nur Ala Ad-Darb, hal. 111)

Tatkala dipuji, Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berdoa,

اللَّهُمَّ أَنْتَ أَعْلَمُ مِنِّى بِنَفْسِى وَأَنَا أَعْلَمُ بِنَفْسِى مِنْهُمْ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ وَاغْفِرْ لِى مَا لاَ يَعْلَمُوْنَ وَلاَ تُؤَاخِذْنِى بِمَا يَقُوْلُوْنَ

“Allahumma anta alamu minni bi nafsiy, wa ana alamu bi nafsi minhum. Allahummaj alniy khairam mimma yazhunnun, waghfirliy ma la yalamun, wa la tu’akhidzniy bima yaqulun.”

“Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri. Dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan. Ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku. Dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 4: 228)

Kedua, bersemangat ketika berkumpul bersama ahli ibadah atau jamaah

Tatkala ia sendiri di rumah, terasa malas beribadah. Kemudian ia pergi bertemu sahabatnya yang saleh untuk mendapatkan motivasi dan ia pun bersemangat setelah itu. Hal demikian bukanlah riya’.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur).” (QS. At-Taubah:119)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

“Seseorang itu mengikuti din (agama dan akhlak) kawan dekatnya. Oleh karena itu, hendaknya seseorang di antara kalian memperhatikan siapa yang dia jadikan kawan dekat.” (HR. Abu Dawud no. 4833. Lihat Silsilah Ash-Shahihah no. 927)

Dalam kitab Al-Adzkar karya Al-Imam an-Nawawi rahimahullah juga disebutkan lima obat hati. Salah satunya adalah berkumpul (duduk) dengan orang-orang saleh untuk menambah semangat beramal dan beribadah,

دَوَاءُ الْقَلْبِ خَمْسَةُ أَشْيَاءَ: قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ بِالتَّدَبُّرِ، وَخَلَاءُ الْبَطْنِ، وَقِيَامُ اللَّيْلِ، وَالتَّضَرُّعُ عِنْدَ السَّحَرِ، وَمُجَالَسَةُ الصَّالِحِيْنَ

“Penawar hati itu ada lima: 1) membaca Al-Quran dengan tadabbur (perenungan), 2) kosongnya perut (dengan puasa-pen), 3) qiyamul lail (salat malam), 4) berdoa di waktu sahur (waktu akhir malam sebelum Subuh), dan 5) duduk bersama orang-orang saleh.(Lihat Al-Adzkar An-Nawawi, hal. 107)

Terkadang seseorang bermalam bersama orang-orang yang saleh, dan mereka pun salat bersama semalam suntuk. Padahal biasanya ia hanya salat beberapa waktu saja, atau biasanya ia tidak salat. Akan tetapi, karena bersama mereka, ia pun ikut salat. Sehingga motivasi ibadahnya meningkat disebabkan dirinya bersama orang-orang yang saleh tadi. (Lihat Minhajul Qashidin, hal. 288)

Ketiga, memperbagus dan memperindah pakaian

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika ditanya tentang seseorang yang senang berpakaian dan memakai sandal yang bagus,

إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.(HR. Muslim)

Terlebih lagi jika hendak menegakkan salat, maka ditekankan untuk memperindah pakaiannya.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap kali (memasuki) masjid. Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.(QS. Al-A’raf: 31)

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa berdasarkan ayat ini dan juga dalil dari As-Sunnah, dianjurkan memperindah penampilan ketika salat, terlebih pada hari Jumat dan hari raya (hari ‘id). Dianjurkan pula memakai wangi-wangian, karena hal itu termasuk dalam perhiasan, dan bersiwak sebagai perkara yang menyempurnakannya.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 3: 402)

Keempat, menutupi aib dan dosa dirinya

Dosa yang dilakukan itu wajib ditutupi, sehingga tidak diperbolehkan seseorang itu menceritakan dan menampak-nampakkan maksiat yang pernah ia lakukan.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. An Nur: 19)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كلّ أمّتي معافى إلّا المجاهرين، وإنّ من المجاهرة أن يعمل الرّجل باللّيل عملا، ثمّ يصبح وقد ستره اللّه فيقول: يا فلان عملت البارحة كذا وكذا، وقد بات يستره ربّه، ويصبح يكشف ستر اللّه عنه

“Setiap umatku akan mendapat ampunan, kecuali mujahirin (orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa). Dan yang termasuk terang-terangan berbuat dosa adalah seseorang berbuat (dosa) pada malam hari, kemudian pada pagi hari dia menceritakannya, padahal Allah telah menutupi perbuatannya tersebut. Yang mana dia berkata, Hai Fulan, tadi malam aku telah berbuat begini dan begitu.Sebenarnya pada malam hari Rabb-nya telah menutupi perbuatannya itu. Akan tetapi, pada pagi harinya dia menyingkap perbuatannya sendiri yang telah ditutupi oleh Allah tersebut. (HR. Bukhari dan Muslim)

Kelima, mendapatkan popularitas tanpa dicari dan diinginkan

Seseorang yang mendapatkan ketenaran tanpa ia mencarinya, maka hal ini bukan termasuk riya’. Hanya saja, jika ia mendapatkan popularitas sedangkan imannya lemah, maka dapat terjerumus ke dalam fitnah. Bahkan, karena popularitas yang dimilikinya, bisa menjadikan amal jariyah atau dosa jariyah karena ada yang mengidolakannya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Barangsiapa mencontohkan dalam Islam suatu contoh yang baik, maka ia akan mendapatkan pahalanya, dan pahala orang yang melakukannya setelahnya tanpa berkurang sesuatu apapun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang mencontohkan dalam Islam suatu contoh yang buruk, maka ia menanggung dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya setelah dia, tanpa berkurang sesuatu pun dari dosa-dosa mereka.” (HR. Muslim)

Imam Ghazali rahimahullah mengatakan, “Yang tercela adalah apabila seseorang mencari ketenaran. Namun, jika ia tenar karena karunia Allah tanpa ia cari-cari, maka itu tidaklah tercela.” (Lihat Ihya Ulumuddin, 3: 278)

***

Penulis: Arif Muhammad N.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/88595-perkara-yang-bukan-termasuk-riya.html