Meski hak dan kewajiban antara Muslim dan non-Muslim setara, tetapi dalam pandangan Islam sejatinya Muslim dengan non-Muslim itu tidak sama
DALAM sebuah kuliah umum, Syed Muhammad Naquib al-Attas ditanya, “Apakah masih boleh digunakan sebutan (istilah) kafir kepada kaum non-Muslim, karena hal itu dianggap mengganggu keharmonisan hubungan antara pemeluk agama?”
Ketika itu, Syed al-Attas menjawab bahwa istilah itu adalah istilah dalam al-Qur’an, beliau tidak berani mengubahnya. Namun, dengan catatan, sebutan tersebut bukan berarti digunakan untuk menunjuk-nunjuk dan memanggil kaum non-Muslim, “Hai, Kafir!”. Kaum Muslim cukup memahami bahwa mereka kafir dan bukan Muslim (Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi Kristen Islam, (Jakarta: Gema Insani), thn 2004, h. 14).
Baru-baru ini, berbagai polemik, spekulasi, tuduhan, dan cibiran timbul dari hasil bahtsul masa’il tentang penggantian sebutan kafir menjadi muwathin. Sebagai umat yang menjunjung tinggi adab dan akhlak, tentu kita harus berhati-hati dan bijaksana dalam melontarkan pendapat ataupun komentar. Tidak boleh gegabah.
Penggantian sebutan kafir digagas karena katanya dalam istilah tersebut mengandung kekerasan teologis serta dalam fikih siyasah tidak ditemukan istilah non-Muslim untuk mereka yang tinggal di negara Indonesia yang didasarkan atas kesepakatan antara Muslim dengan non-Muslim ini. Statusnya tetap kafir, namun sebutannya saja yang diganti.
Hal inilah yang mengundang kontroversi. Perlukah sebutan itu diganti? Menurut Humboldt, dalam suatu istilah, kata atau bahasa terkandung makna dan memengaruhi worldview (pandangan hidup) seseorang atau suatu bangsa (lihat Wilhelm von Humboldt, On Language: On the Diversity of Human Language Construction and it’s Influence on the Mental Development of the Human Species, ed. Michael Losonsky, transl. Peter Heath, (Cambridge: Cambridge University Press), thn. 1999, h. 60).
Term “kafir” yang merupakan isim fa’il dari kafara, kufr dan kufranan yang artinya “lawan dari iman”, “menutupi”, “menghalangi” atau “mengingkari” (Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, (Kairo: Dar al-Ma’arif), t.t., h. 3897) memiliki konotasi makna yang negatif karena sikap orang yang menutupi, menghalangi atau mengingkari kebenaran dalam konteks apapun, khususnya akidah, adalah jelas merupakan suatu keburukan, bahkan kejahatan terbesar dalam Islam. Inilah nilai penting dan worldview yang tersemat di dalamnya.
Penerapan istilah yang tepat dengan makna yang juga tepat sangatlah krusial agar pandangan kita terhadap kandungan yang ada di dalamnya tidak luntur atau tidak bergeser. Maka dari itu, para ilmuwan bahasa dari kalangan Muslim selalu menyusun leksikon secara berkala guna menjaga orisinalitas bahasanya. Salah satu yang termasyhur adalah Lisan al-Arab-nya Ibn Manzhur.
Karenanya, penukaran panggilan kafir dengan muwathin menjadi bermasalah dalam aspek ini sebab kata “kafir” dalam konteks yang sedang dibahas ini bersangkutan dengan agama, sedangkan sebutan “muwathin“ hanya berarti “warga negara” saja, menyamakan semua orang dengan memisahkan atau meniadakan agamanya.
Padahal, meski di negara ini hak dan kewajiban antara Muslim dan non-Muslim dinilai setara, tetapi dalam pandangan Islam sejatinya Muslim dengan non-Muslim itu tidak sama (lihat Surat al-Sajdah ayat 18, al-Bayyinah ayat 6-7), maka dalam hak dan kewajibannya pun terdapat perbedaan. Namun hal ini tidak berarti meninggalkan sikap adil dan toleransi antarpemeluk agama.
Di negara Islam dahulu, meskipun istilah dan label kafir melekat bagi non-Muslim yang tinggal di dalam wilayahnya, mereka tetap diperlakukan sebagai warga negara dengan berhak mendapatkan jaminan keamanan, perlindungan hukum, bebas memeluk agamanya dan tidak diganggu ketika beribadah di tempat sucinya, berhak memperoleh pendidikan, dan lainnya. Sebutan bagi mereka adalah kafir dzimmi.
Secara umum, saat ini hukum waris diatur oleh negara. Bilamana non-Muslim dipandang sama, maka ia menjadi berhak untuk mendapatkan harta warisan dari Muslim. Sedangkan dalam Islam tidak diperkenankan.
Pun dalam hukum menikah secara resmi (dicatat oleh negara), kalau semua warga dianggap sama haknya, maka laki-laki non-Muslim berhak menikahi wanita Muslim. Hal ini bertentangan dengan hukum pernikahan dalam Islam.
Oleh karena itu, meskipun negara ini bukan negara Islam dan non-Muslim yang hidup berdampingan saat ini tidak masuk dalam kategori kafir dzimmi sepenuhnya, kalau tetap meyakini bahwa mereka yang tidak beriman itu statusnya adalah kafir, maka seharusnya predikat kafir itu tidak boleh dihilangkan.
Islam tidak memisahkan urusan sosial atau berwarganegara dengan agamanya. Lantaran itu, walaupun bentuk dan sistem negara berubah lalu menyamaratakan semua warganya tanpa memandang agama, seorang Muslim tidak perlu ikut mengubah pandangan hidupnya dan menghapus sebutan kafir bagi non-Muslim. Jika ahli fikih perlu membuat penamaan baru, maka predikat kafir itu tidak usah ditanggalkan. Sesuai kata Profesor al-Attas, istilah itu adalah istilah Al-Quran. Jadi siapa berani mengubahnya?*
Oleh: Muhamad Ridwan
Penulis alumni PAAP Unpad, Alumni Ma’had al-Imarat Bandung, mahasiswa STAIPI Bandung