Sudahlah maklum bahwasanya Agama Islam adalah agama penerus dari syariatnya para nabi terdahulu, jadi syariat yang ada di Agama ini itu ada kalanya juga merupakan syariat terdahulu semisal haji (Syariatnya Nabi Ibrahim AS), Zakat (Syariatnya Nabi Isa AS) dan Nikah (Syariatnya Nabi Adam AS). Bahkan Perihal poligami itu masih berlanjut pada syariatnya Nabi Muhammad SAW, lantas mengapa islam yang katanya memperjuangkan hak-hak perempuan ternyata malah memberi legitimasi pada ummatnya untuk melakukan Poligami, yang acapkali itu menyakiti hati seorang Perempuan? (Baca: Lima Fakta Poligami Rasulullah yang Perlu Diketahui)
Menurut Sulthan Al-ulama’ Izzudin bin Abdis Salam, poligami dalam Islam itu adalah merupakan sebuah bentuk menjaga kemaslahatannya kedua belah pihak. Berikut adalah redaksinya ;
فَائِدَةٌ : ذَكَرَ ابْنُ عَبْدِ السَّلَامِ أَنَّهُ كَانَ فِي شَرِيعَةِ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ الْجَوَازُ مِنْ غَيْرِ حَصْرٍ تَغْلِيبًا لِمَصْلَحَةِ الرِّجَالِ ، وَفِي شَرِيعَةِ عِيسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ لَا يَجُوزُ غَيْرُ وَاحِدَةٍ تَغْلِيبًا لِمَصْلَحَةِ النِّسَاءِ ، وَرَاعَتْ شَرِيعَةُ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى سَائِرِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ مَصْلَحَةَ النَّوْعَيْنِ.
Artinya; Menurut Sulthan Al-ulama’ Izzudin bin Abdis Salam, alasan Syariat Nabi Musa As Memperbolehkan laki-laki untuk menikahi Perempuan sebanyak mungkin (tanpa ada batasan) itu adalah karena untuk menjaga kemaslahatan kaum laki-laki. Adapun alasan mengapa syariatnya Nabi Isa As Laki-laki tidak diperbolehkan menikah lebih dari satu itu adalah untuk menjaga kemaslahatan kaum Perempuan. Karena Nabi Muhammad SAW adalah Nabi penyempurna syariat terdahulu, maka syariatnya itu menengahi syariat para nabi dan rasul terdahulu demi menjaga kemaslahatan kedua belak pihak (laki-laki dan Perempuan). (Syekh Syamsuddin bin Muhammad Al-Khatib Asy-syirbini, Iqna’ fi hilli Alfadzi Abi Syuja’, DKI, 2/230)
Yang demikian itu dijelaskan lagi oleh Syarih (Komentator) kitab ini, berikut redaksinya ;
فَإِنْ قِيلَ: مَا الْحِكْمَةُ فِي رِعَايَةِ شَرِيعَةِ سَيِّدِنَا مُوسَى لِلرِّجَالِ وَشَرِيعَةِ سَيِّدِنَا عِيسَى لِلنِّسَاءِ؟ قُلْت: يُحْتَمَلُ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ أَنَّ فِرْعَوْنَ لَمَّا ذَبَحَ الْأَبْنَاءَ وَاسْتَضْعَفَ الرِّجَالَ نَاسَبَ أَنْ يُعَامِلَهُمْ سَيِّدُنَا مُوسَى بِالرِّعَايَةِ عَلَى خِلَافِ فِعْلِ ذَلِكَ الْجَبَّارِ بِهِمْ، وَلَمَّا لَمْ يَكُنْ لِسَيِّدِنَا عِيسَى فِي الرِّجَالِ أَبٌ وَكَانَ أَصْلُهُ امْرَأَةً نَاسَبَ أَنْ يُرَاعِيَ جِنْسَ أَصْلِهِ رِعَايَةً لَهُ؛ تَأَمَّلْ وَافْهَمْ ذَكَرَهُ الْعَلَّامَةُ الشَّوْبَرِيُّ مَعَ زِيَادَةٍ.
Artinya ; Apa hikmah dari penjagaan Syariatnya Nabi Musa terhadap kemaslahatannya kaum laki-laki dan syariatnya Nabi Isa terhadap kemaslahatannya kaum perempuan? alasannya adalah sebab di zamannya Nabi Musa itu kaum perempuan banyak yang dibunuh oleh Fir’aun (yang mana ia takut akan lahirnya seorang laki-laki yang diramal bahwasanya ia akan dibunuh olehnya, maka ia membunuh semua perempuan), maka dari itu syariatnya Nabi Musa As itu memperbolehkan laki-laki untuk menikah sebanyak mungkin, dalam rangka menyeimbangkan populasi antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan alasan mengapa syariatnya Nabi Isa As itu mewajibkan monogami adalah untuk menjaga jenis orang tuanya (perempuan), sebab Ia itu tidak lahir tanpa ayah. (Sulaiman Al-bujairomi, Hasyiyah Buajairomi, Dar al-fikr, 3/364)
Adapun Hikmah dari limitasi poligami pada 4 istri adalah sebagai berikut ;
وَالْحِكْمَةُ فِي تَخْصِيصِ بِالْأَرْبَعِ أَنَّ الشخص له أربع طبائع أربع و أن الْمَقْصُودَ مِنْ النِّكَاحِ الْأُلْفَةُ وَالْمُؤَانَسَةُ ، وَذَلِكَ يَفُوتُ بالزِّيَادَةِ عَلَى الْأَرْبَعِ دون الاقتصار عَلَى الْأَرْبَعِ.
Menurut Imam Al-baijuri, alasan legitimasi poligami itu hanya pada 4 istri adalah karena seorang laki-laki itu punya 4 karakter, sedangkan tujuannya nikah itu adalah untuk saling mengasihi dan mencintai, dan yang demikian itu tidak akan terlaksana jika pengalokasiannya itu pada 4 Perempuan lebih., yakni ia hanya bisa mengalokasikannya pada 4 perempuan saja, atau kurang. (Imam Al-baijuri, Hasyiyah Al-baijuri, DKI, 2/174)
Adapun Versi Ibnu An-naqib’, alasan legitimasi itu juga adalah untuk mengejar kesunnahan agar tidak mengosongkan istri dari jatah (qasm) dalam kurun waktu 3 hari. (Syekh Syamsuddin bin Muhammad Al-Khatib Asy-syirbini, Iqna’ fi hilli Alfadzi Abi Syuja’, DKI, 2/230)
قَالَ ابْنُ النَّقِيبِ : وَالْحِكْمَةُ فِي تَخْصِيصِ الْحُرِّ بِالْأَرْبَعِ أَنَّ الْمَقْصُودَ مِنْ النِّكَاحِ الْأُلْفَةُ وَالْمُؤَانَسَةُ، وَذَلِكَ يَفُوتُ مَعَ الزِّيَادَةِ عَلَى الْأَرْبَعِ ، وَلِأَنَّهُ بِالْقَسْمِ يَغِيبُ عَنْ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ ثَلَاثَ لَيَالٍ وَهِيَ مُدَّةٌ قَرِيبَةٌ ا هـ
Demikianlah sekilas mengenai alasan legitimasi poligami, yang demikian itu pada asalnya merupakan perkara yang mubah, tapi syaratnya itu sangatlah ketat. Jadi hukum poligami itu tergantung dari kriteria seorang laki-laki. Ketika ia mampu ya maka ia diperbolehkan, namun ketika ia tidak mampu untuk menafkahi istri kedua maka ia tidak diperkenankan untuk poligami. (Musthafa al-bugha dkk, Al-fiqh Al-manhaji, Dar al-qalam, 4/35)
Jadi jangan sekali-kali berfikiran poligami untuk meneladani sunnah Nabi Muhammad Saw, beliau nikah itu diperintah oleh Allah Azza Wa jalla, bukan atas dasar hawa nafsu. (Syekh Ahmad Khatib Al-minangkabawy, An-nafahat Fi syarh Al-waraqat, DKI, h.178))
Amat sangatlah tidak elok, jika poligami yang sebenarnya atas dasar nafsu, tapi perbuatannya itu disandarkan pada sunnah Nabi, sungguh masih banyak sunnah yang lainnya jika ia memang benar-benar ingin melakukan sunnah Nabi.
Adapun mengapa para elit agama (baik yang shaleh maupun Alim) itu suka poligami, maka hal yang demikian itu telah dijelaskan di Tafsir Al-qurthubi ;
وَيُقَالُ: إِنَّ كُلَّ مَنْ كَانَ أَتْقَى فَشَهْوَتُهُ أَشَدُّ، لِأَنَّ الَّذِي لَا يَكُونُ تَقِيًّا فَإِنَّمَا يَتَفَرَّجُ بِالنَّظَرِ وَالْمَسِّ، أَلَا تَرَى مَا رُوِيَ فِي الخبر: (العينان تزنيان واليد ان تَزْنِيَانِ). فَإِذَا كَانَ فِي النَّظَرِ وَالْمَسِّ نَوْعٌ مِنْ قَضَاءِ الشَّهْوَةِ قَلَّ الْجِمَاعُ، وَالْمُتَّقِي لَا يَنْظُرُ وَلَا يَمَسُّ فَتَكُونُ الشَّهْوَةُ مُجْتَمِعَةٌ فِي نَفْسِهِ فَيَكُونُ أَكْثَرَ جِمَاعًا.
Orang yang benar-benar bertakwa itu justru syahwatnya lebih besar. sebab orang yang tidak bertakwa itu dengan mudahnya bisa melampiaskan syahwatnya dengan cara memandang dan menyentuh pada sesuatu yang haram. Sebagaimana keterangan yang ada dalam hadis: “dua mata yang berzina dan dua tangan yang berzina”. Ketika memandang dan menyentuh itu menjadi bentuk pelampiasan syahwat, maka yang demikian itu akan mengakibatkan gairah seksualnya (sebab ia terlalu sering melampiaskan syahwatnya). Sedangkan orang yang benar-benar bertakwa, dia itu tidak akan pernah memandang dan menyentuh pada hal yang tidak halal baginya. Maka dari itu syahwatnya terpendam di dalam dirinya, sehingga ia itu lebih banyak melampiaskan kebutuhan seksualnya. (Imam Al-qurthubi, Al-jami’ li ahkam al-qur’an, Dar al-kutub al-misriyyah, 5/253)
Wallahu a’lam bi as-shawab