Puasa Arafah Ikut Wukuf atau Hasil Sidang Isbat?

Puasa Arafah Ikut Wukuf atau Hasil Sidang Isbat?

Puasa Arafah ikut wukuf atau hasil sidang isbat? Pertanyaan ini sering sekali ditanyakan oleh masyarakat umum, bahkan membuat gaduh di masyarakat. Lebih jauh lagi, beredar pernyataan dari seseorang bahwasanya puasa Arafah dilaksanakan ketika saat jamaah haji Wukuf di padang Arafah, bukan dengan menyesuaikan kalender setempat.

Puasa Arafah Ikut Wukuf atau Hasil Sidang Isbat? 

Benarkah demikian? Jwabannya tidak benar [artinya puasa Arafah itu mengikuti kalender atau hasil isbat], karena ibadah puasa Arafah itu berkaitan dengan waktu. Buktinya adalah disunnahkan pula puasa dari tanggal 1 Dzulhijjah hingga tanggal Arafah, yakni 9 Dzulhijjah. Imam Al-Ramli menyatakan;

(وَ) صَوْمُ يَوْمِ (عَرَفَةَ) وَهُوَ تَاسِعُ الْحِجَّةِ لِخَبَرِ مُسْلِمٍ «صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ» وَالْمُرَادُ بِالسَّنَةِ الَّتِي قَبْلَ يَوْمِ عَرَفَةَ السَّنَةُ الَّتِي تَتِمُّ بِفَرَاغِ شَهْرِهِ وَبِالسَّنَةِ الَّتِي بَعْدَهُ السَّنَةُ أَوَّلُهَا الْمُحَرَّمُ الَّذِي يَلِي الشَّهْرَ الْمَذْكُورَ… وَيُسَنُّ صَوْمُ الثَّمَانِيَةِ أَيَّامٍ قَبْلَ يَوْمِ عَرَفَةَ كَمَا صَرَّحَ بِهِ فِي الرَّوْضَةِ سَوَاءٌ فِي ذَلِكَ الْحَاجُّ وَغَيْرُهُ، أَمَّا الْحَاجُّ فَلَا يُسَنُّ لَهُ صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ يَلِ يُسْتَحَبُّ لَهُ فِطْرُهُ وَلَوْ كَانَ قَوِيًّا لِلِاتِّبَاعِ. رَوَاهُ الشَّيْخَانِ، وَلِيَقْوَى عَلَى الدُّعَاءِ.

“Dan disunnahkan pula untuk berpuasa di hari Arafah, yaitu tanggal 9 Dzulhijjah. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berbunyi “Berpuasa pada hari Arafah ini bisa menghapus dosa setahun sebelumnya dan sesudahnya”. 

Adapun yang dimaksud dengan diampuni dosa di tahun sebelumnya adalah tahun pra hari Arafah, sedangkan yang dimaksud dengan sesudahnya yaitu tahun berikutnya yang dimulai dari bulan Muharram hingga akhir bulan. 

Di samping itu disunnahkan juga untuk berpuasa pada 8 hari sebelumnya yakni dari tanggal 1 Dzulhijjah sampai tanggal 8 sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab Al-Raudhah. Hukum ini berlaku umum bagi mereka yang berhaji dan tidak, hanya saja tidak disunnahkan bagi orang berhaji untuk berpuasa pada hari Arafahnya. 

Justru yang disunnahkan adalah tidak berpuasa meskipun ia masih kuat, hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw yang direportasikan oleh Imam Bukhari dan Muslim, di samping itu juga untuk memberikan nutrisi atau kekuatan dia untuk berdoa”. (Nihayat al-Muhtaj, Juz 3 H. 206) 

Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Syekh Sulaiman al-Jamal, dalam Hasyiyahnya beliau menyatakan;

وَقَدْ قَالُوا لَيْسَ يَوْمُ الْفِطْرِ أَوَّلَ شَوَّالٍ مُطْلَقًا بَلْ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ وَكَذَا يَوْمُ النَّحْرِ يَوْمَ يُضَحِّي النَّاسُ وَيَوْمُ عَرَفَةَ الَّذِي يَظْهَرُ لَهُمْ أَنَّهُ يَوْمُ عَرَفَةَ سَوَاءٌ التَّاسِعُ وَالْعَاشِرُ لِخَبَرِ الْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ وَالْأَضْحَى يَوْمَ يُضَحِّي النَّاسُ رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ وَفِي رِوَايَةٍ لِلشَّافِعِيِّ وَعَرَفَةُ يَوْمَ يَعْرِفُ النَّاسُ وَمَنْ رَأَى الْهِلَالَ وَحْدَهُ أَوْ مَعَ غَيْرِهِ وَشَهِدَ بِهِ فَرُدَّتْ شَهَادَتُهُ يَقِفُ قَبْلَهُمْ لَا مَعَهُمْ وَيُجْزِيهِ إذْ الْعِبْرَةُ فِي دُخُولِ وَقْتِ عَرَفَةَ وَخُرُوجِهِ بِاعْتِقَادِهِ

“Para ulama berkata, ‘Hari raya fitri itu bukan berarti awal Syawal secara mutlak, (namun) adalah hari di mana orang-orang sudah tidak berpuasa lagi, demikian halnya hari nahr adalah hari orang-orang menyembelih kurban, dan begitu pula hari Arafah adalah hari yang menurut orang-orang tampak sebagai hari Arafah, meski tanggal 9 dan 10 Dzulhijjah, mengingat hadits, ‘berbuka (tidak puasa lagi) yaitu hari orang-orang tidak berpuasa dan Idul Adha adalah hari orang-orang menyembelih kurban,’ (HR Tirmidzi, dan ia shahihkan). 

Dalam riwayat Imam Syafi’i ada hadits; hari Arafah adalah hari yang telah dimaklumi oleh orang-orang;

“Barangsiapa melihat hilal sendirian atau bersama orang lain dan ia bersaksi dengannya, lalu kesaksiannya itu ditolak, maka ia harus wuquf sebelum orang-orang, tidak  boleh wuquf bersama mereka, dan wuqufnya mencukupi (sebagai rukun haji). Sebab yang menjadi pedoman perihal waktu masuk dan keluarnya hari Arafah adalah keyakinannya sendiri”. (Futuhat al-Wahhab bi Taudhih Syarh Manhaj al-Thullab, Juz 2 H. 406) 

Dengan demikian bisa diketahui bahwasanya ibadah puasa Arafah ini didasarkan pada daerah (Mathla’) masing-masing, bukan mengikuti pelaksanaan Wukuf di Arafah. Hal ini sebagaimana Hadis yang berbunyi;

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعَدَدَ

“Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Namun jika -hilal- itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari”. (HR. Muslim, No. 1081) 

Dari perintah Rasulullah Saw ini bisa diambil kesimpulan bahwa puasa Arafah dilaksanakan sesuai ru’yah masing-masing, bukan mengikuti rukyatnya daerah lain. 

Puasa Arafah ikut wukuf atau hasil sidang isbat? Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi al-shawab.

BINCANG SYARIAH