Puasa Sepanjang Masa

Ramadhan sudah mulai beranjak menuju akhir. Ketika Ramadhan telah benar-benar meninggalkan kita, masihkah kita membawa pesan puasa dalam diri kita untuk waktu selanjutnya? Ada baiknya kita merenungkan makna puasa yang pernah diutarakan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani.

Dalam kitabnya Sir al-Asrar, Syekh Abdul Qadir al-Jailani menyebutkan bahwa makna puasa, dilihat dari segi rentang waktunya, ada dua. Yakni, puasa yang waktunya terbatas (muaqqat) dan puasa yang tidak terbatas (muabbad). Puasa yang waktunya terbatas adalah puasa sebagaimana yang kita pahami selama ini. Yakni, mencegah dari yang hal membatalkan dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Inilah yang disebut dengan puasa syariat (shaum al-syari’ah).

Pada puasa ini, seseorang biasanya terfokus pada hal-hal yang terkait dengan hukum puasa secara lahiriah. Tatkala sudah terpenuhi syarat rukun secara fikih, maka dianggap cukup dan sahlah puasa tersebut. Dan, memang demikianlah batasan syar’inya. 

Seruan-seruan moral, semisal tidak boleh berkata buruk (qaul al-zuur) dan melakukan hal-hal buruk lainnya, sering kali dianggap sebagai pelengkap dan bukan sebagai bagian integral dari makna puasa itu. Oleh karenanya, masih banyak umat Islam yang meskipun melaksanakan ibadah puasa, tetapi perilaku akhlaknya tidak selaras dengan semangat puasa.

Pada tahap ini, maka selayaknya kita beranjak menuju pemahaman puasa yang kedua, yakni puasa yang tidak terbatas. Artinya, sepanjang hayat manusia harus melaksanakan puasa. Pada pengertian ini, puasa dimaknai sebagai menahan diri dari perilaku yang diharamkan Allah, menjauhi hal yang dilarang-Nya, serta menghindari perkataan dan perbuatan yang dapat menyakiti sesama. 

Inilah yang disebutnya sebagai puasa tarekat (shaum al-thariqah). Pada fase ini, seseorang di sepanjang hidupnya harus senantiasa “berpuasa” dengan berusaha tetap pada jalan kebaikan dan menghindar dari jalan keburukan. 

Meskipun Ramadhan usai, seseorang tetap pada tekadnya untuk berpuasa dari hal yang diharamkan dan dilarang oleh Allah. Pemahaman ini sebagai tindak lanjut puasa lahiriah untuk menemukan makna batin dari puasa. Sehingga, puasa melahirkan akhlak mulia, tidak sekadar lapar dan dahaga sebagaimana termaktub dalam hadis Rasulullah SAW. 

Hingga pada saatnya, manusia akan sampai pada puasa yang ketiga, yakni puasa hakikat (shaum al-haqiqah). Pada tahap ini, seorang Muslim berusaha sekuat tenaga untuk menahan diri dari mencintai sesuatu apa pun bukan karena Allah. Puasa hakikat meniscayakan ketulusan niat dan kebulatan tekad bahwa setiap ibadah dan perasaan cinta hakikatnya hanya untuk Allah, bukan semata karena persoalan duniawi. 

Semoga kita mampu menapaki setahap demi tahap menuju hakikat puasa sehingga mampu meluaskan makna puasa untuk kebaikan semua. Wallahu a’lam.

Oleh: Ahmad Munir / Republika Online