Ramadan, Idul Fitri, dan Budaya Literasi

Hari ini Ramadan 1438 H beranjak pergi meninggalkan kita. Setelah menjalankan proses pembentukan diri selama satu bulan lamanya, umat Islam berbondong-bondong merayakan kemenangan di hari raya penuh kesucian, Idul Fitri 1438 H.

Namun jika diamati, satu momentum yang hampir terlewatkan oleh sebagian kaum muslim pada Ramadan kali ini. yaitu peristiwa nuzulul quran. Ramadan merupakan bulan diturunkannya (wahyu) Alquran pertama kali kepada Nabi Muhammas SAW. Hal tersebut terjadi bertepatan dengan 17 Ramadan ketika nabi sedang berkhalwat di Gua Hira.

Iqra’ (bacalah!), menjadi sepenggal ayat pertama dari lima ayat Surat Al-‘Alaq yang diturunkan sebagai wahyu pertama. Kiranya, umat Islam perlu merenungkan kembali perintah yang terkandung dalam ayat tersebut. Apakah budaya iqra’ sudah mengakar di masyarakat kita? Apakah sudah dilaksanakan dengan baik?

Berdasarkan hasil penelitian The World’s Most Literate Nation yang dilakukan oleh Central Connecticut State University (2016), menempatkan Indonesia di urutan ke-60 dari 61 negara sebagai negara dengan tingkat literasi atau minat baca rendah. Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61).

Ditambah data dari International Standard Book Number (ISBN) pada tahun yang sama, Indonesia tercatat minim soal produksi buku dengan hanya memproduksi 64 ribu buku per tahun. Berbanding jauh dengan Tiongkok yang memproduksi 440 ribu buku per tahun.

Menurut UNESCO, literasi adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menerjemahkan, menciptakan, mengkomunikasikan dan memperhitungkan, menggunakan bahan tertulis maupun tercetak yang berhubungan dengan berbagai konteks. Ringkasnya, literasi itu sendiri berkaitan erat dengan kemampuan membaca dan menulis.

Ramadan merupakan bulan penuh kebaikan, sudah seyogianya momentum ini dimanfaatkan untuk memperbaiki sekaligus meningkatkan budaya literasi kita. Agar membaca bisa menjadi budaya perlu beberapa tahapan. Dimulai dari belajar dan mengajarkan, lalu membiasakan sehingga membentuk karakter, lantas budaya itu terbentuk. Misalnya, Ramadan kali ini giat melakukan tadarus (saling belajar) Alquran, mengkaji kitab-kitab, maupun membaca buku-buku lainnya.

Kemudian, solusi lain yang lebih efektif dalam meningkatkan minat baca adalah membuat sebuah movement atau gerakan. Contoh konkretnya, Gerakan Literasi Nasional dengan didukungnya pengiriman buku gratis hingga ke pelosok nusantara setiap tanggal 17 –di hari angka kemerdekaan Indonesia. Alhasil, gerakan tersebut menyebar secara masif bukan karena program, dana ataupun perintah, melainkan adanya faktor “penularan”.

Perihal minimnya produksi buku di Indonesia, hal tersebut merupakan peluang sekaligus tantangan bagi pegiat literasi untuk lebih produktif dalam menuangkan gagasan, resah pemikiran, serta pengalamannya ke dalam buku. Singkatnya, semakin banyak buku diproduksi, semakin banyak juga pilihan buku yang menarik untuk dibaca, sehingga diharapkan minat baca masyarakat Indonesia meningkat pesat.

Pada dasarnya, Ramadan menggiring kita menjadi pribadi pemenang pada Idul Fitri mendatang. Kemenangan bagi mereka yang membudayakan baca di atas rata-rata, sebab membaca merupakan modal melesatnya kemajuan bangsa. Hal ini merupakan tantangan yang harus kita upayakan sepenuh hati, bersama turun tangan untuk budaya literasi. (ded/ded)

 

CNN Indonesia