SUATU ketika di sebuah tempat pengungsian terdengar pengumuman akan berlangsung pembagian makanan dari seorang dermawan. Makanan ini istimewa, berbeda dengan makanan yang dibagikan setiap harinya.
Makanan yang disediakan jumlahnya sangat berlimpah. Setiap pengungsi boleh mengambil makanan pembagian itu sebanyak-banyaknya.
Tapi karena waktunya sempit, pembagian makanan hanya berlangsung satu kali saja. Karena itu, panitia mempersilakan para pengungsi untuk membawa wadah sebesar-besarnya agar dapat menampung makanan sebanyak-banyaknya.
Sayangnya, kebanyakan pengungsi tidak memperhatikan himbauan panitia. Saat berlangsung pembagian makanan, kebanyakan pengungsi hanya membawa wadah sebesar piring dan mangkuk kecil, sehingga hanya sebesar wadah itulah mereka dapatkan jatah makanan. Bahkan ada yang tidak membawa wadah apapun, sehingga cuma bisa mencicipi makanan itu dengan ujung jarinya.
Yang lebih bodoh lagi, ada yang tidak mau mendatangi tempat pembagian makanan. Mereka hanya menatap dari kejauhan, sehingga jangankan dapat makanan, sekedar baunya pun mereka dapat.
Dari sekian banyak pengungsi, hanya ada segelintir orang yang membawa wadah berukuran besar. Mereka yang sedikit ini tahu benar bahwa makanan yang dibagikan sangatlah lezat dan bergizi.
Sebagian mereka ada yang membawa baskom besar, dan sebagian lainnya membawa panci besar. Dan ada satu-dua orang di antara mereka yang membawa drum serta ember yang besar.
“Saya tahu makanan yang dibagikan sangat lezat dan bergizi, sehingga rugi rasanya kalau saya hanya mendapat sedikit,” kata si pembawa drum menjelaskan alasannya.
“Kok banyak sekali makanan yang Anda ambil.
“Apakah tidak khawatir dituduh serakah?” tanya pengungsi yang lain.
“Tidak,” jawab pembawa drum dengan mantap, “Karena saya juga tahu, Sang Pemberi makanan ini punya stok tak terbatas. Jadi sebanyak apapun makanan yang kita ambil, bahkan hingga satu truk pun kita ambil, stok masih tetap tersedia. Para pengungsi lain dijamin tetap kebagian, meski masing-masing juga membawa wadah sebesar truk.”
Subhanallah!
Kira-kira seperti itu pula kondisi kaum Muslimin dalam menyambut kedatangan bulan Ramadhan.
Allah Yang Mahakaya dan Mahadermawan telah menyediakan pahala yang berlimpah-ruah untuk dibagi-bagikan kepada siapa Saja yang berhasrat mendapatkannya. Begitu melimpahnya pahala yang Dia sediakan, sehingga setiap orang dapat mengambil sebanyak mungkin tanpa khawatir yang lain tidak kebagian.
Berapa banyak pahala yang dapat diraih seseorang? Tergantung dari seberapa besar “wadah” yang kita persiapkan. Dalam hal ini “wadahnya” adalah diri kita sendiri, yakni dengan cara men- setting hati, pikiran, jasad, dan harta kita sehingga siap menangguk pahala Ramadhan sebanyak- banyaknya.
Ma’la Bin Fadhal berkata: “Dulu Sahabat Rasulullah berdoa kepada Allah sejak enam bulan sebelum masuk Ramadhan agar Allah sampaikan umur mereka ke bulan yang penuh berkah itu. Kemudian selama enam bulan sejak Ramadhan berlalu, mereka berdoa agar Allah terima semua amal ibadah mereka di bulan itu. Di antara doa mereka ialah : Yaa Allah, sampaikan aku ke Ramadhan dalam keadaan selamat. Yaa Allah, selamatkan aku saat Ramadhan dan selamatkan amal ibadahku di dalamnya sehingga menjadi amal yang diterima.” (HR. at Thabrani: 2/1226).
Melihat kepada sikap dan doa yang mereka lakukan, terlihat jelas bagi kita bahwa para sahabat dan generasi setelahnya sangat merindukan kedatangan Ramadhan. Mereka sangat berharap dapat berjumpa dengan Ramadhan demi mendapatkan semua janji dan tawaran Allah dan Rasul-Nya dengan berbagai keistimewaan yang tidak terdapat di bulan-bulan lain.*