Rasulullah saw. memang manusia, tetapi tidak seperti manusia pada umumnya. Beliau laksana yakut, sedang manusia yang lain seperti batu-batu pada biasanya. Pendapat ini diabadikan secara indah dalam kasidah yang sangat menawan dan disenandungkan dengan merdu oleh Mayada: “Muhammadun basyarun wa laisa kal basyari. Bal huwa yaqutuhu wa an-nasu kal hajari.”
Makanya, tidak heran apabila Rasulullah saw. memiliki keunggulan rohani dan jasmani daripada manusia pada umumnya, baik sebelum dilahirkan (berupa nur Muhammad) maupun hendak dilahirkan dan setelah dilahirkan ke muka bumi. Menurut ahli hadis (muhaddits) dan sufi terkemuka Imam ‘Abdurrahman ad-Diba‘i, pada suatu malam Allah memerintahkan malaikat Jibril (yang merupakan pemimpin para malaikat) agar memberikan kabar gembira kepada seluruh makhluk di alam semesta (Mawlid ad-Diba‘i, hlm. 19 dalam Majmu‘ah al-Mawalid wa Ad‘iyyah, penerbit al-‘Aidrus Jakarta).
Kabar gembira tersebut adalah nur Muhammad yang merupakan rahasia tersembunyi yang senantiasa dijaga oleh Allah dan diciptakan sebelum segala sesuatu diciptakan akan dipindahkan ke rahim ibunya, Sayyidah Aminah as., pada malam itu dengan penuh gembira. Mengingat Allah akan memenuhi alam semesta dengan pancaran cahaya melalui nur Muhammad. Kelak, nur Muhammad yang mewujud manusia bernama Muhammad itu akan lahir dalam keadaan yatim. Namun demikian, Allah menyucikan Muhammad dan keluarganya (hlm. 19-20).
Dalam hal ini, Allah secara tegas berfirman: “sesungguhnya Allah bermaksud hendak Menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait (keluarga Rasulullah saw.) dan Membersihkan kamu sebersih-bersihnya (al-Ahzab (33): 33). Salah satu keluarga (ahlul bait) Rasulullah saw. adalah Imam ‘Ali al-Murtadha as., Sayyidah Fatimah az-Zahra’ as., Imam Hasan as., Imam Husein as., dan para keturunannya yang sampai sekarang tersebar di berbagai penjuru dunia.
Sebuah hadis menyebutkan bahwa semua nasab akan terputus di hari kiamat kelak, kecuali nasab Rasulullah saw. (Syekh Yusuf bin Isma‘il an-Nabhani, Majmu‘ Arba‘inat fi Fadha’il Rasulillah, 2009: 30). Menurut Imam ad-Diba‘i, ahlul bait Rasulullah saw. adalah orang-orang yang disucikan oleh Allah. Mereka adalah pengaman dunia, sehingga patut dihormati dan dikenang (Mawlid ad-Diba‘i, hlm. 4).
Di Indonesia sendiri banyak ahlul bait (keturunan) Rasulullah saw. yang berperan besar dalam menyebarkan ajaran Islam yang ramah dan moderat ke pelosok negeri. Mereka tidak hanya menjadi pengaman bagi perkembangan ajaran Islam yang ramah dan keharmonisan hidup masyarakat Muslim Nusantara, tetapi juga menjadi pengaman bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang multi etnis, agama, suku, dan budaya.
Selain itu, Imam ad-Diba‘i menyebutkan beberapa ahlul bait Rasulullah saw. yang menjadi panutan dalam sepanjang sejarah, seperti Imam ‘Ali al-Murtadha as., Imam Hasan as., Imam Husein as., Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin as., Imam Muhammad al-Baqir as., dan Imam Ja‘far ash-Shadiq, dan Imam ‘Ali ar-Ridha as. Mereka adalah orang-orang yang memperoleh petunjuk dan beruntung serta bahagia karena mendapatkan keutamaan dari Allah. Tujuan mereka dalam menjalani peliknya hidup hanyalah Allah dan senantiasa berpedoman kepada al-Qur’an dalam sepanjang masa (hlm. 3-4).
Memang, Rasulullah saw. adalah manusia, tetapi tidak seperti manusia pada umumnya. Beliau memiliki keagungan dan keistimewaan luar biasa yang tidak dimiliki oleh orang lain, seperti pendengaran dan penglihatannya yang sangat tajam. Sehingga beliau bisa mendengar gorerasan “pena langit” yang mencatat segala sesuatu dan bisa melihat tujuh lapis langit dan bumi. Pepohonan mengucapkan salam kepada Rasulullah saw. dan bebatuan pernah berbicara kepadanya (hlm. 8-9).
Dalam kesempatan lain, Sayyidah ‘Aisyah ra. pernah menjahit sesuatu pada waktu sahur (dini hari). Tiba-tiba jarum jahitnya terjatuh dan damarnya mati. Tidak lama kemudian, Rasulullah saw. datang, sehingga rumah Sayyidah ‘Aisyah ra. yang sedang gelap gulita itu menjadi terang benderang karena pancaran cahaya Rasulullah saw. Oleh karena itu, Sayyidah ‘Aisyah ra. bisa menemukan jarum jahit yang terjatuh tersebut (Habib Zein bin Smith, al-Fawa’id al-Mukhtarah, 2008: 218).
Lalu, Sayyidah ‘Aisyah ra. berkata: “sungguh terang wajahmu, ya Rasulallah!” Rasulullah saw. menjawab: “celaka bagi orang yang tidak melihatku.” Ketika ditanya siapa orang yang tidak melihat Rasulullah saw. itu, maka Nabi saw. menjawab: “yaitu orang yang pelit.” Ketika ditanya siapa orang yang pelit itu, maka Nabi saw. menjawab: “yaitu orang yang tidak membaca salawat ketika mendengar namaku” (hlm. 218). Wa Allah wa A‘lam wa A‘la wa Ahkam…