Refleksi Kemerdekaan RI ke-78: Mengenang Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir, Seorang Ulama Pejuang

Refleksi Kemerdekaan RI ke-78: Mengenang Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir, Seorang Ulama Pejuang

Abdul Kahar Mudzakkir pernah menjadi anggota BPUPKI, dan anggota Tim Sembilan perumus Piagam Jakarta. Nama tokoh yang masih memiliki hubungan dengan KH. Munawwir (PP Al-Munawwir, Krapyak) ini banyak ‘dipinggirkan’ dalam catatan sejarah SOSOKNYA mungkin tak seterkenal Mohammad Hatta, Ir. Soekarno, Mohammad Yamin, dan para tokoh pendiri bangsa (founding fathers) lainnya. Apalagi, dalam buku-buku pelajaran sejarah di sekolah, namanya nyaris tak terdengar.

Abdul Kahar Mudzakkir pernah menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan anggota Tim Sembilan yang merumuskan dan menandatangani Piagam Jakarta 22 Juni 1945.

Abdul Kahar bin Kiai Mudzakkir bin Kiai Abdullah Rosyad bin Kiai Hasan Bashari, adalah tokoh Muhammadiyah kelahiran Yogyakarta, 16 April 1907. Buku Muhammadiyah, 100 Tahun Menyinari Negeri (2013) mencatat bahwa dia seorang saudagar yang tumbuh dan besar di Kota Gede, kota para ulama.

Ayahnya seorang guru agama di Masjid Gede Jogjakarta, sekaligus seorang pengusaha. Pamannya, KH. Munawwir, adalah pendiri Pesantren Al-Munawwir di Krapyak, Yogyakarta.

Pamannya yang lain, H Muchsin, adalah saudagar paling kaya di Kota Gede, sebelum meletusnya revolusi. H. Muchsin inilah yang membiayai Abdul Kahar Muzakir untuk belajar ke Saudi Arabia, kemudian ke Kairo, Mesir.

Istri ketiga H. Muchsin adalah keponakan KH. Ahmad Dahlan, pendiri Persyarikatan Muhammadiyah. Inilah yang kemudian membawa H. Muchsin aktif di organisasi yang berdiri pada tahun 1912 itu.

H Muchsin yang dikenal kaya raya, membidangi urusan wakaf Muhammadiyah. Bahkan setiap tahun, tak kurang 500 gulden ia sumbangkan untuk organisasi ini.

H. Muchsin juga memiliki besan bernama Atmosudigdo, seorang yang terpandang di Kota Gede, ayah dari Saridi bin Atmosudigdo, yang kemudian hari terkenal dengan nama Haji Mohammad Rasjidi, Menteri Agama RI pertama.  Bersama Rasjidi, Abdul Kahar Muzakkir kuliah di Mesir dan aktif dalam pergerakan mahasiswa di sana era tahun 1930-an.

Selain itu, bersama Mahmud Yunus, dkk, Abdul Kahar Muzakkir juga aktif menyuarakan kemerdekaan lewat buletin “Seruan Azhar”, di saat Indonesia belum merdeka.

Selama di Mesir, mantan Rektor Magnificus yang dipilih Universitas Islam Indonesia untuk pertama kali dengan nama STI selama 2 periode 1945—1948 dan 1948—1960 ini aktif dalam pergerakan mahasiswa-mahasiswa asal Asia Tenggara untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Pahlawan Nasional yang pernah mengajar di Universitas Pesantren Islam Islam (UPI) Bangil ini rajin menulis artikel di sejumlah koran Mesir.Di antaranya Al-Balagh, Al Hayat.

Tahun 1931, mufti besar Palestina, Sayid Amin Huseini, meminta Kahar untuk hadir dalam Muktamar Islam Internasional di Palestina mewakili Asia Tenggara.

Mengenang sahabat dan juga familinya ini, H.M. Rasjidi mengatakan, “Pemuda Abdul Kahar Mudzakkir pada tahun 1930-an merupakan lambang daripada  Indonesia di Timur Tengah.”

"Abdul Kahar Mudzakkir adalah personifikasi Indonesia tahun 1930-1937 di Kairo dan Timur Tengah. Orang mengenal Indonesia, bersimpati kepada Indonesia, karena aktivitas pemuda Abdul Kahar....," demikian testimoni yang disampaikan H.M Rasjidi dalam mengenang wafatnya Abdul Kahar Mudzakkir pada tahun 1973, sebagaimana ditulis dalam Majalah Panji Masyarakat, No. 141 Tahun XV, 15 Desember 1973.

Dalam Refleksi 78 Tahun Kemerdekaan RI, umat Islam harus menyerukan: Jas Hijau! (Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama!).*/Artawijaya, penulis buku-buku sejarah

HIDAYATULLAH