Resapi Makna Miqat, Jamaah Jangan Tinggi Hati

Miqat atau tempat berniat dan ber-ihram sebagai titik awal ibadah haji bukanlah sekadar penanda telah dimulainya ritual haji dan umrah. Ada makna mendalam yang dapat menjadi hikmah menuju kehidupan Muslim sejati.

Apabila melintasi miqat, seseorang yang ingin mengerjakan haji perlu mengenakan kain ihram dan memasang niat di Bir Ali atau Dzul Hulaifah yang terletak kira-kira 8 mil di sebelah selatan Madinah atau Miqat yang lain. Sementara bagi penduduk Makkah atau orang yang bermukim, bisa dari rumah atau tempat pemondokannya.

“Disinilah sang aktor (manusia) harus berganti pakaian. Mengapa demikian? Karena pakaian akan menutupi diri dan watak manusia,”terang khotib wukuf di Arafah KH Miftakhul Akhyar, Minggu (11/09/2016).

Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa pakaian melambangkan pola, preferensi, status dan perbedaan-perbedaan tertentu. Pakaian melahirkan batas palsu yang menyebabkan perpecahan atau diskriminasi di antara umat manusia. Selanjutnya, perpecahan akan timbul konsep ‘aku’, bukan ‘kami/kita’.

“Aku digunakan dalam konteks-konteks seperti rasku, kelasku, kelompokku, kedudukanku, keluargaku, nilai-nilaiku, bukan sebagai manusia,” ujar Wakil Rais Aam PBNU tersebut.

Walhasil, terjadilah hubungan vertikal sesama manusia, ada yang menjadi tuan dan yang diperhamba, yang zalim dan yang madzlum (terzalimi), ada yang kaya dan miskin, yang berasal dari Barat dan yang berasal dari Timur.

“Umat manusia terpecah-pecah menjadi berbagai ras, bangsa, kelas, subkelas, kelompok, dan keluarga yang masing-masing di antaranya memiliki status, nilai, nama, dan kehormatannya sendiri. Tetapi apa gunanya semua itu dimiliki? Yang tidak lain hanya untuk menonjolkan ” diri sendiri yang tertutup oleh lapisan ‘bedak’ yang amat tebal itu,”urai Kiai Miftah.

Maka, keberadaan dan fungsi miqat, di matanya, sebagai tempat menanggalkan segala status dunia. Digantikan dengan selembar kain putih saja yang melekat di tubuh.

“Janganlah tinggi hati karena kalian semua di sini bukan untuk mengunjungi seorang manusia, tetapi hendaklah kalian semua (khususnya bangsa Indonesia) berendah hati karena kalian sedang mengunjungi Allah SWT. Hendaklah kalian semua menjadi manusia yang menyadari kefanaan yang menyadari eksistensi Allah SWT,” jelas Kiai Miftah.

Ia berharap, jamaah Indonesia meninggalkan semua pakaian dunia di miqat dan berganti peran sebagai Nabi Adam AS dan para Anbiya’ (nabi) dan Rasul bahkan para ulama, auliyah, dan manusia-manusia tangguh di sisi Alah selama wukuf, tawaf hingga sa’i nanti.

OKEZONE