MESKI sakit bagi kebanyakan orang menjadi penghalang perjuangan, namun tidak bagi ulama karismatik ini. Di akhir hayatnya, beliau menderita sakit yang begitu parah, namun sakit yang mederanya sama sekali tak menghalanginya untuk berjuang dalam pendidikan, dakwah dan kepenulisan. Beliau adalah Imam Syafi’i rahimahullah (150-204 H/ 767-819).
Dalam tesis magister berjudul “Manhaj al-Imâm al-Syâfi’i fî Tafsîr Âyât al-Ahkâm” (1407: 127, 128), Muhibbuddin Abu al-Sajjan menceritakan dengan sangat menarik bagaimana sakitnya Imam Syafi’i menjelang wafatnya. Menjelang meninggal, Imam yang dikenal dengan buku “al-Risâlah” ini didera penyakit wasir (ambien) yang parah.
Rabi’ bin Salman bertutur, “Beliau didera sakit parah. Saat berkendara, darah keluar hingga memenuhi celana panjang, kendaraan dan khuf (teromapah) nya.” Darah yang mengucur deras menunjukkan bahwa sakitnya begitu parah. Sementara Yunus bin Abd al-A’la memberi kesaksian, “Belum pernah aku melihat seseorang yang menghadapi rasa sakit seperti yang diderita Syafi’i rahimahullah.” Bisa dibayangkan betapa menderitanya Imam Syafi’i saat itu.
Suatu ketika, Muzanni –salah satu muridnya- membesuk Imam Syafi’i saat sedang sakit yang kemudian mengantarkan pada kematiannya, ia bertanya, “Wahai ustadz! Bagamanai kabarmu pagi ini?” Imam yang dikenal dengan karya “al-Umm” ini pun menjawab, “Kondisiku pagi ini akan meninggalkan dunia, berpisah dengan saudara-sauadaraku, menenggak gelas kematian, akan datang bersua Allah dengan amal-amalku.” Dari jawaban beliau, sama sekali tidak tersirat putus asa dalam menghadapi cobaan yang sedang dihadapi.
Menariknya, dalam buku “Manâqib al-Syâfi’î” (1970 :291) karya Imam Baihaqi ragimahullah, disebutkan penuturan Rabi’ bin Salman tentang Imam Syafi’i, bahwa selama empat tahun mengalami sakit, beliau mampu mendiktekan seribu limaratus lembar catatan; mengeluarkan kitab ‘al-`Umm’ sebanyak dua ribu lembar, serta kitab-kitab Sunan dan lain sebagainya, semuanya dicapai dalam jangka empat tahun.
Ini berarti, dalam kondisi sakit sekalipun beliau tidak pernah letih untuk tetap melakukan kegiatan pengajaran, bahkan terlihat betapa produktifnya beliau dalam masalah penulisan. Bila saat sakit saja beliau begitu produktif, lalu bagaimana ketika beliau dalam kondisi bugar dan sehat? Ini patut diteladani bagi setiap orang yang merasa terbebani atau terhalangi dengan sakit yang sedang menimpa. Sebab, Imam Syafi’i telah memberi contoh bahwa sakit bukanlah halangan dalam perjuangan.
Pertanyaan kemudian: apa rahasia kegigihan imam Syafi’i yang tetap berjuang dan semangat meski dalam kondisi sakit? Salah satu jawabannya adalah beliau adalah orang yang begitu piawai dalam masalah menjaga waktu dan sangat menghormati ilmu. Dalam buku “Qîmah al-Zaman ‘Inda al-Ulamâ’” (Abu Ghuddah: 29) digambarkan bahwa beliau begitu bernafsu dalam menuntut ilmu. Waktu tidak akan dibiarkan berlalu begitu saja. Ketika beliau ditanya, “Bagaimana Anda menuntut ilmu?” Beliau menjawab, “Bagaikan seorang ibu yang kehilangan anak satu-satunya.”
Bisa dibayangkan, mencari ilmu bagai ibu yang kehilangan anak satu-satunya, menunjukkan bahwa beliau begitu antusias, tidak menyia-nyiakan waktu, fokus hingga tercapai keinginannya walaupun menghadapi berbagai halangan dan rintangan.
Pada akhirnya, memang beliau wafat pada malam Jum’at setelah makan malam terakhir bakda shalat Maghrib di akhir bulan Rajab dan beliau dikubur di pemakaman Qurasyiyin di Muqaththam di antara kubur Abdullah bin Abdul Hakam rahimahullah.
Meski telah meninggal dunia, namun karya-karyanya akan senantiasa hidup dan abadi. Dari beliau bisa diambil pelajaran berharga: bahwa sakit bukanlah menjadi penghalang perjuangan, justru itu menjadi pemantik perjuangan yang tidak pernah padam.*/Mahmud Budi Setiawan