Tidak seperti tentara salib yang berpakaian warna-warni, Saladin biasanya mengenakan baju berbahan wol sederhana atau jubah linen. Untuk jaga-jaga, ia tetap mengenakan baju zirah di balik jubahnya.
Pengawal pribadi yang bersedia mati untuknya juga mengikuti cara berpakaian ini. Dalam tahun-tahun berikutnya, ia mengenakan mantel tebal saat menunggang kuda untuk menahan udara dingin.
Berbeda dengan otokrat lainnya, Saladin tak memerlukan penghormatan dan protokol yang berlebihan. Yang lebih penting, mungkin, adalah hubungannya dengan perwira dan amir utama pasukannya. Selama satu tur panjang inspeksi, temannya, Baha al-Din, yang kemudian menulis sejarah
Saladin, sedang menunggang kuda di depan sang sultan. Ia tidak sengaja memercik lumpur ke seluruh tubuh Saladin hingga mengotori pakaiannya. “Tapi, Saladin hanya tertawa dan menolak membiarkan temannya menunggang kuda di belakangnya,” begitu tertulis dalam suatu catatan sejarah.
Diskusi bersama Saladin berjalan bebas dan tidak perlu ada pujian yang berlebihan. Dalam suatu pertemuan, Sultan Saladin meminta minum, tetapi tak seorang pun memperhatikannya. Hingga dia harus mengulangi permintaannya beberapa kali. Para pengikutnya merasa tidak segan saat harus berhadapan dengan pemimpinnya.
Hanya sedikit yang diketahui tentang istri Saladin. Yang jelas, Saladin menikahinya di Mesir. Dari pernikahannya, mereka dikaruniai 16 anak laki-laki. Tidak ada catatan yang menyebutkan bahwa Saladin ber poligami.
Tidak ada hal yang ia sukai selain me nik mati taman istana di Da maskus dan bermain dengan anak-anaknya. Putra sulungnya, al-Afdhal, menjadi salah satu tangan kanannya, tapi ada satu petunjuk dalam sejarah bahwa anak kesayangannya adalah putra ketiga, al-Zahir.