MASIH di seputar upaya mengatasi kegalauan sejumlah pihak karena turunnya nilai tukar rupiah terhadap dollar yang kemudian mentrigger kenaikan suku bunga acuan BI, rentetan berikutnya adalah naiknya suku bunga pinjaman perbankan, melemahnya sektor riil karena menurunnya pasokan modal, hilangnya pekerjaan atau setidaknya tidak bertambahnya lapangan pekerjaan, pendek kata masa depan suram bagi para pencari kerja. Tetapi harus kah ini yang terjadi? Adakah jalan lain agar siklus 10 tahunan ini tidak berulang?
De Ja Vu 20 tahun lalu, ketika rupiah jatuh ke titik nadir sempat sesaat sampai Rp 16,000/US$. Krisis besar tahun 1998 tersebut sifatnya regional, bukan hanya Indonesia yang terkena tetapi juga Asia Tenggara pada umumnya. Thailand dan Malaysia-pun kena tetapi yang paling terpuruk memang Indonesia.
Bahkan krismon tahun 1998 tersebut menjadi salah satu penyebab berakhirnya rezim Orde Baru setelah 32 tahun dengan perkasa berkuasa.
Sepuluh tahun kemudian, krisis itu malah lebih besar skalanya secara global yaitu krisis financial 2008. Pemicunya adalah kegagalan subprime mortgage di Amerika Serikat, namun dampaknya sangat luas. Bukan hanya Amerika Serikat sendiri yang sempat sempoyongan, tetapi juga sejumlah negeri di Eropa. Negeri lain di seluruh dunia bahkan juga kena dampaknya meskipun dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda.
Point-nya adalah, sistem keuangan modern yang bertumpu pada produk yang berbasis riba, ternyata memang sangat rentan terhadap krisis. Tidak hanya di negeri berkembang seperti kita, di negara maju sekalipun juga hal ini terjadi. Apakah krisis-krisis ini sifatnya kebetulan?
Tidak ada yang kebetulan, krisis-krisis yang melanda sistem keuangan ribawi adalah inherent(terbawa) di dalam sistem itu sendiri. Itulah mengapa Allah melarang riba, bahkan Dia sendiri yang mengabarkan bahwa riba itu dimusnahkan (QS 2:276) dan diperangi (QS 2:279).
Tinggal masalahnya adalah bagaimana menggantikan sistem ribawi yang sudah terlanjur begitu besar, sehingga tidak ada yang luput dari sistem ini – yang tidak terkena langsung-pun terkena debunya ? Mungkinkah karena upaya kita yang kurang keras saja dalam mencarinya ? Allah melarang satu jalan, tetapi Dia pula memberi dua jalan yang diberkahinya dan disuburkan yaitu perdangan atau jual-beli dan sedekah.
Maka dalam kesempatan ini, saya beri contoh langsung dari suatu kasus yang kami terlibat dalam menanganinya, terlibat dalam upaya menggantikan pembiayaan ribawi untuk suatu proyek besar dengan pembiayaan berbasis jual beli. Pemikiran kami sederhana, kalau untuk proyek besar saja bisa, berarti untuk proyek-proyek yang lebih kecil mestinya lebih mudah untuk dikeluarkan dari sistem ribawi.
Contoh kasus yang saya ambil adalah proyek pembangkit listrik mini hydro dengan kapasitas terpasang 4.2 MW yang memerlukan modal Rp 80 Milyar untuk pembangunannya. Bagaimana membiayai proyek semacam ini secara konvensional? umumnya para pengembang menggunakan dana perbankan.
Untuk saat ini pembiayaan perbankan rata-rata hanya akan membiayai 70% dari biaya pembangunan proyek seperri ini, dan suku bunga yang diterapkan adalah sekitar 12 % – ini sebelum BI menaikkan suku bunga acuannya beberapa hari lalu. Kesepakatan pembiayaan baru setelah kenaikan suku bunga acuan tersebut bisa saja berubah naik.
Dengan tingkat suku bunga tersebut, pengembang perlu membayar sekitar Rp 14 Milyar per tahun untuk 8 tahun setelah 2 tahun masa konstruksi. Pengembang yang tidak bener-bener perkasa juga akan kesulitan untuk punya power plan berikutnya karena setiap proyek seukuran ini dia harus menyediakan modal sendiri sebesar 30%-nya atau Rp24 Milyar setiap proyek.
Dalam proses ini, saya juga mengenal ada sejumlah konglomerat perlistrikan yang telah memiliki power plan ratusan megawatt, sulit untuk berkembang lagi karena tidak lagi punya equity yang cukup untuk menyediakan 30% dari setiap proyek berikutnya. Walhasil power plan hanya akan didominasi oleh para pemain yang bener-bener kaya, yang uangnya seperti sumur tanpa dasar! Maka jangan kaget kalau power plan – power plan berikutnya diambil oleh kapitalis negara – yaitu seperti negeri China.
Bagaimana kalau proyek tersebut kita gantikan dengan sistem perdagangan atau jual beli?, Mungkinkah? Pasti mungkin karena yang haram (riba) bisa, masak yang halal (jual-beli) tidak bisa ? Padahal Allah jelas-jelas menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS 2:275). Ayatnya jelas, tafsirnya juga jelas, yang menjadi challenge adalah bagaimana membumikan ayat ini untuk proyek riil tersebut di atas.
Maka inilah yang kami lakukan. Pertama adalah jenis perdagangan seperti apa yang bisa menggantikan pembiayaan proyek dengan skala yang cukup besar tersebut di atas?
Kami pilih jual beli secara salam, karena jual beli salam inilah yang telah menopang kemajuan dunia Islam selama lebih dari seribu tahun lamanya. Jadi jual beli salam bukanlah teori semata, salaml adalah best practice yang sudah sangat lama, tidak terganggu oleh krisis per sepuluh tahunan tersebut di atas.
Mengapa salam? Mengapa bukan istishna’ karena yang dibiayai kan project pembangkit listrik? Inilah diperlukan ulama yang juga pedagang seperti jamannya Imam Abu Hanifah, yang sangat memahami ilmu fiqih tetapi juga sangat mengetahui seluk beluk dunia perdagangan.
Sebab hingga kini masih banyak para pelaku ekonomi yang memahami jual beli tunai dari tangan ke tangan itu harus bener-bener barangnya diserah terimakan dari tangan ke tangan secara fisik dan harfiah. (BERSAMBUNG)
Oleh: Muhaimin Iqbal
HIDAYATULAH.com