Beberapa pekan terakhir rakyat Indonesia digegerkan dengan tertangkapnya kelompok yang mengkomoditaskan ujaran kebencian atau lebih populer dengan sebutan hate speech. Bisnis kelompok ini bukan saja bisa disebut ilegal, tapi juga merusak serta membahayakan keutuhan NKRI, menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa. Untuk mendapatkan segepok rupiah, kelompok yang menyebut dirinya sebagai Saracen itu menjual jasa yang tidak biasa, yakni menyebar fitnah dan kabar bohong alias hoaks.
Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI), Adrianus Meliala, mengaku terkaget-kaget dengan kejahatan yang dilakukan sindikat tersebut. Saat berbincang dengan Republika.co.id, ia menyampaikan pendapatnya.
Adrianus menyebut, kejahatan tersebut merupakan suatu kemajuan dalam bidang modus kejahatan. “Terus terang saya dari pagi itu terbengong-bengong, kok bisa ya Indonesia begini. (Modus ini) memang terlalu advance ini,” ujar Adrianus.
Kali ini, yang akan dibahas bukanlah perihal tindakan kriminal tersebut. Melainkan nama kelompok itu, mereka menamakan dirinya Saracen. Nama yang diambil dari sejarah Perang Salib.
Di kalangan pecinta sejarah, nama Saracen mungkin tidak asing. Sebab, nama itu sudah populer sejak abad pertengahan, tepatnya pada Perang Salib I. Tentara salib dari pihak Kristen saat itu menyebut tentara-tentara Muslim sebagai Saracen.
Perang Salib, atau Cursades, berlangsung selama kurang lebih dua abad lamanya, mulai dari 1096 Masehi hingga 1272 Masehi. Pertarungan antara pasukan salib (Kristen) dengan pasukan Muslim. Pertempuran yang memakan banyak korban jiwa itu memperebutkan Baitul Maqdis atau tanah suci di Palestina.
“Orang-orang Kristen ketika itu sangat berkepentingan untuk merebut kembali supremasi mereka atas kawasan yang prestisius tadi, yaitu Baitul Maqdis,” ujar seorang sejarawan Islam, Tiar Anwar saat berbincang dengan Republika.co.id di Jakarta, Ahad (3/9) kemarin.
Tiar berkata, barang siapa yang bisa menaklukkan Baitul Maqdis, berarti ia sudah menaklukkan kawasan di sekitarnya. Negeri Syam yang saat ini pecah menjadi Syria, Libanon, dan Yordania, serta Afrika Utara, Mesir, Arab, bisa langsung ditaklukkan dengan hanya merebut Baitul Maqdis itu. Pasalnya, Baitul Maqdis disebut-sebut sebagai jantungnya Jazirah Arab dan Negeri Syam. Sehingga, pihak yang mampu menaklukan daerah tersebut, sudah menggenggam jantungnya dunia.
“Secara strategis, itu merupakan pusat dari persilangan bangsa-bangsa di dunia. Maka kemudian orang-orang Romawi yang berkuasa di sana sebelum zaman Rasulullah berkepentingan untuk mengambil alih Baitul Maqdis,” tutur dia.
Setelah tentara salib berhasil masuk ke wilayah tersebut, lanjut Tiar, terjadilah kemudian yang namanya pembunuhan sangat luar biasa terhadap umat Islam di sana. Selama sekitar 90 tahun, umat Muslim dibantai dengan sangat keji dan hampir tiap hari dilakukan pembunuhan. Sebelum akhirnya kembali dimenangkan tentara Muslim melalui kurang lebih sembilan kali Perang Salib.
Pada saat perang itulah kemudian nama Saracen muncul. Berdasarkan Oxford Dictionaries, terdapat dua makna dari kata Saracen. Pertama, berarti orang Arab atau Muslim, khususnya pada saat terjadinya Perang Salib. Pengertian kedua, seorang pengembara gurun Suriah dan Arab pada masa Kekaisaran Romawi.
Di kamus itu juga disebutkan, kata Saracen berasal dari zaman pertengahan Inggris. Berasal dari bahasa Prancis kuno, yaitu Sarazzin. Sarrazin kemudian diambil dari bahasa Yunani, sarakenos, yang diduga berakar dari bahasa Arab, syarqiyyin, yang berarti orang-orang Timur.
Pada sumber yang lain, John V. Tolan menyebutkan, dalam bukunya berjudul Saracens: Islam in the Medieval European Imagination, dalam teks latin terdahulu Saracen dideskripsikan sebagai orang Arab yang menyembah bebatuan atau berhala. Masih dalam buku yang sama, Tolan menuliskan, penggambaran penyembahan berhala oleh Saracen tersebut tumbuh dari upaya propaganda. Propaganda untuk membenarkan dan mengagungkan tindakan-tindakan dari Perang Salib pertama dan kedua.
Saracen adalah Olokan untuk Umat Islam
Yang dikatakan Tolan tak berbeda jauh dengan yang disebut Tiar usai ia menceritakan sejarah Perang Salib kepada Republika.co.id. Ia menyebutkan, sebutan tersebut dibuat kala itu untuk mendiskreditkan umat Islam. Walaupun sebenarnya bukan hanya sebutan Saracen saja yang dijadikan bahan olokan.
“Mereka kan punya kepentingan untuk menulis sejarah. Ketika mereka menulis sejarah itu, kalaupun mereka kalah, kan tidak mau juga disebut sebagai seorang yang salah? Mereka tidak mau disebut sebagai pecundang,” ungkap Tiar.
Sehingga, perang yang mereka lakukan itu selalu dianggap sebagai suatu hal yang sangat benar dan mereka mengatakan, mereka saat itu sedang menghadapi orang-orang jahat. Orang jahatnya itu tak lain adalah Saracen. Menurut Tiar, itu dibuat sebagai bentuk legitimasi perbuatan mereka ketika perang tersebut.
“Begini, pasukan salib itu kan membunuh banyak orang, membunuh banyak penduduk, jadi mereka harus mempunyai legitimasi. Kenapa mereka harus membunuh? Jadi mereka ingin dibenarkan, orang yang mereka bunuh itu adalah penjahat. Dibuatlah itu Saracen padahal tidak ada kejahatan yang dilakukan,” tuturnya.
Saracen, masih menurut Tiar, juga diasosiasikan sebagai pembunuh. Menurutnya, hal-hal yang berbau ejekan terhadap kaum Muslim seperti itu sebaiknya tidak dihidupkan kembali saat ini.
“Itu adalah istilah yang dibuat oleh para orientalis, orang-orang barat untuk mendiskreditkan umat Islam,” lanjut dia.
Meski tak mengetahui apa motif kemunculan kembali istilah Saracen saat ini, ia menduga ada kaitannya dengan kepentingan-kepentingan politik dan bisnis. Mestinya, kata dia, apabila ada sebuah sindikat yang melakukan tindakan kriminal, yang perlu diusut adalah tindakannya dan jangan tebang pilih.
“Istilah Saracen itu tidak penting untuk dihidupkan kembali. Saya kira jangan terbawa arus permainan media. Sebaiknya fokus ke kejahatannya, kalau dia melakukan kejahatan ya tangkap dan laporkan. Siapapun itu yang melakukannya jangan tebang pilih,” jelas Tiar di ujung perbincangan kami.
Dugaan adanya tebang pilih dalam mengangani kasus serupa dikatakan pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar. Saat ditemui Republika.co.id, ia mengatakan, semua kejahatan serupa dengan yang dilakukan Saracen itu seharusnya ditindak juga.
Selain itu, ia juga berharap Polri mengubah pola dalam penyidikan, khususnya dalam konteks cyber law. Menurut Bambang, pembuktian kasus yang ada di dunia maya tak semudah membuktikan perkara di dunia nyata.
“Jangan sampai dalam menangani masalah-masalah media sosial yang berkembang marak ini salah menuduh tersangka. Terkatung-katungnya beberapa kasus, seperti Buni Yani, Munarman, dan lainnya menunjukkan tidak mudahnya membuktikan soal media sosial,” terang Bambang di Jakarta, Selasa (5/9).
Sehingga, menurut Bambang, sebelum melakukan penangkapan atau dalam melakukan penyidikan, harus ada kejelasan dan ketelitian terlebih dahulu, sehingga jadi tidak terkesan asal tuduh. Objektivitas dan independensi polisi pun harus dikedepankan dalam kasus-kasus seperti itu.
Polisi harus menarik keterangan-keterangan dari tersangka sampai betul-betul keterangannya itu bisa dibuktikan dengan benar. Jadi, lanjut Bambang, jangan keterangan seseorang atau tersangka tadi langsung dipercaya karena bisa saja orang tersebut direkrut atau apa.
“Dipelajari sungguh-sungguh terlebih dahulu dan harus bertindak secara objektif serta independen. Itu kan yang sering merusak (ada kepentingan di baliknya),” sambung dia.
Ia juga mengakui, penangkapan Saracen ini seakan sedang menyudutkan umat Islam. Padahal, mayoritas bangsa Indonesia itu adalah Muslim. Masih banyak pula kaum Muslim di daerah yang fanatik, yang wawasannya belum seluas Muslim di perkotaan.
“Silakan kalau hanya untuk orang kota yang sudah luas wawasannya. Tapi, jangan menyakiti atau mengusik orang yang fanatik ini. Bisa meletup lagi nanti. Polisi harus hati-hati betul,” ujarnya dengan suara yang sedikit ditekankan.
Menurutnya, jangan sampai orang-orang yang fanatik itu merasa tersinggung. Bagaimanapun juga, mereka juga warga negara Indonesia yang sama-sama harus dilindungi. “Mereka kan juga bagian dari bangsa Indonesia, saudara kita,” ungkap Bambang.
Pengamat politik, Denny JA juga angkat bicara terkait kasus Saracen. Ia berkata, pertarungan politik pada tingkat tinggi acapkali terjadi dalam ‘pasar gelap’. Segala permainan bisa terjadi dalam pasar gelap itu, sampai waktu membukanya ke publik.
Dalam pasar gelap, bisa saja A menggunakan jasa B untuk menyerang C. Tapi hal yang biasa pula jika C menggunakan jasa B untuk menyerang dirinya sendiri (C) dalam rangka simpati publik. “Itu namanya Victim Playing,” sebut Denny.
Dalam pasar gelap, bisa saja A mendirikan B untuk menyerang C. Perkembangan kemudian B tumbuh dan berbalik menyerang A. Publik menduga B adalah musuh A sejak awal pendiriannya. Padahal B itu ikut dibesarkan oleh A.
Sebelum segala hal terang benderang, Kasus Saracen yang mengkomersialkan isu SARA, masih berada dalam wilayah pasar gelap. Ia berkata, polisi perlu dipuji karena mengangkat dan menemukan kasus penting itu. Namun polisi harus tuntas hingga menemukan siapa pemakai jasa Saracen agar jelas duduk perkara.
“Jika tidak, kasus Saracen menjadi bensin baru yang bisa membakar kembali luka baik dalam Pilkada DKI 2017 ataupun Pilpres 2014,” sebut dia.
Cukup ketik di google search, sudah muncul pernyataan yang bertentangan. Satu pihak menyatakan Saracen digunakan pihak yang menang Pilkada DKI 2017. Muncul pula kesaksian, Saracen digunakan pihak yang kalah dalam pilkada DKI 2017 untuk membangkitkan simpati.
“Mana yang benar? Itu investigasi polisi yang harus mengusutnya.”
Pria berusia 54 tahun ini melanjutkan, “Saya selaku doktor ilmu politik, sedikit memberi contoh apa yang terjadi dengan pasar gelap politik untuk kasus besar lain di dunia sana, yang kini sudah dibuka oleh pemainnya sendiri.”
Oleh: Ronggo Astungkoro, wartawan Republika