Di sela-sela tugas melayani jamaah dan mencari berita, tim jurnalis yang tergabung dalam Media Center Haji (MCH) Daerah Kerja Bandara Jeddah-Madinah melakukan safari ke Masjid Qiblatain.
Saya dan empat anggota tim MCH lainnya diantar oleh pengemudi setia MCH menjelang waktu Ashar.
Jarak Masjid Qiblatain tak terlalu jauh dari Masjid Nabawi. Kira-kira tujuh kilometer. Jalan-jalan di Madinah yang lebar dan kondisi kendaraan yang tak terlalu ramai membuat perjalanan kami terasa singkat.
Sesampainya di Masjid Qiblatain, saya menjumpai banyak jamaah dari berbagai negara yang memenuhi area masjid. Sebagian masih di luar, sebagian berada di dalam. Dari atribut identitas yang dikenakannya, saya dengan mudah mengenali jamaah haji yang sedang berada di Qiblatain saat itu adalah jamaah dari Cina, Irak, Nigeria, dan Turki.
Sama halnya dengan kebiasaan jamaah haji asal Indonesia, jamaah dari negara lain pun datang secara rombongan dengan menggunakan bus-bus sewaan.
Ramainya pengunjung Qiblatain merupakan pemandangan yang biasa ditemui sehari-hari. Bahkan, saat musim haji, pengunjung yang berziarah ke masjid dengan dua arah kiblat ini bisa dikatakan membeludak.
“Kalau seperti sore ini masih belum seberapa, kalau pagi-pagi ke sini tadi sudah susah berjalan di dalam masjid. Penuh oleh pengunjung,” kata Sumardi, mukimin Indonesia yang saya ditemui di Masjid Qiblatain.
Setelah mengambil wudhu dan mendirikan shalat sunat dua rakaat, para jamaah umumnya mengabadikan gambar keberadaan mereka di sana. Pengurus dan penjaga masjid membiarkan para jamaah mengambil foto di dalam masjid. Hanya saja, petugas sesekali memperingati apabila jamaah mulai membuat kebisingan dan membuat kerumuman di depan pintu masuk.
“Ya Hajj… lurus…lurus… masuk ke dalam,” begitu ujar petugas dalam bahasa Arab seraya memberikan kode tangan agar jamaah langsung masuk ke masjid.
Jamaah banyak berkumpul di mulut masjid lantaran di atas dinding tepat di pintu masuk ada isarah atau gambar ukiran menyerupai selembar sajadah. Isarah inilah penanda arah kiblat sebelumnya.
Usai melaksanakan shalat Ashar berjamaah di masjid itu, saya tak langsung meninggalkan masjid. Duduk-duduk santai sambil merekam gambar dengan telepon genggam saya. Saat asyik mengabadikan gambar, saya lihat ada dua orang Arab membawa dua tempat air (termos) dan cangkir kecil-kecil mengambil duduk di bagian belakang masjid.
Tak lama, seorang pengurus masjid bergabung dengan mereka. Pengurus masjid ini duduk dengan kursiportable, sedangkan kedua orang Arab duduk di atas karpet merah masjid.
Menurut Sumardi, ada kebiasaan di Masjid Qiblatain orang Arab Badui membawa minuman dan mengajak pengurus atau jamaah masjid minum bersama. Saya pun memberanikan diri mendekat dan duduk bersama mereka. Dengan bahasa Arab seadanya dan memberikan kode untuk meminta minum, dua orang Arab itu dengan ramah menerima kedatangan saya.
“Qahwah awi syaa?” tanya orang itu pada saya. Kopi atau teh. Saya pun memilih kopi. Kopi yang dituangkan orang Arab ini berbeda sedikit dengan kopi di Indonesia.
Warnanya tidak hitam, tapi cokelat muda seperti rendaman air jahe atau mirip kopi susu. Rasa kopinya enak sekali, menurut saya. Seperti air rempah hangat yang sedikit pahit dan sepat namun menyegarkan.
Sambil menikmati kopi, saya memberanikan diri bertanya mengenai sejarah Masjid Qiblatain. Pengurus masjid yang kemudian saya ketahui bernama Ibrahim Ahmad pun menjelaskan dengan semangat.
Dari keterangannya, saya mengetahui bahwa masjid itu dulu bernama Masjid Bani Salamah. Masjid ini menjadi saksi terjadinya perubahan kiblat shalat.
Semula, Rasulullah Muhammad SAW dan para sahabat menghadapkan wajah mereka ke Baitul Maqdis (Yerusalem, Palestina). Saat shalat di masjid ini pada tahun kedua Hijriyah, Rasulullah menerima wahyu mengenai perintah perubahan kiblat. Ibrahim kemudian mengutip ayat Alquran surat Al-Baqarah ayat 144.
Kedatangan Nabi Muhammad SAW beserta beberapa sahabat ke Salamah untuk menenangkan Ummu Bishr binti al-Bara yang ditinggal mati keluarganya.
Saat wahyu turun, Rasulullah sedang mengimami shalat Dzuhur. Perubahan kiblat terjadi pada awal rakaat ketiga. Pada dua rakaat awal, Rasulullah masih shalat menghadap ke arah Baitul Maqdis yang kini ditandai dengan isarah di atas dinding.
“Setelah menerima wahyu, Rasulullah SAW langsung berbalik badan 180 derajat. Jamaah yang awalnya di shaf pertama menjadi shaf terakhir dan shaf belakang menjadi shaf terdepan,” begitu Ibrahim menjelaskan.
Sejak saat itulah, kiblat umat Islam berpindah dari Baitul Maqdis, Palestina (menghadap ke utara dari Madinah), menuju Masjidil Haram (menghadap arah selatan dari Madinah).
Kendati menjadi tempat bersejarah dalam peribadatan umat Islam, namun Ibrahim menegaskan, tidak ada keistimewaan khusus bagi jamaah yang shalat di masjid ini. Di Madinah, hanya ada empat tempat yang memiliki keistimewaan jika seorang Muslim shalat di tempat itu. Keempatnya adalah Masjid Nabawi, Masjid Quba, Jabal Uhud, dan pemakaman Baqi.
Ibrahim melanjutkan penjelasannya. Pada awalnya, kiblat shalat untuk semua nabi adalah Baitullah di Makkah. Adapun Al Quds (Baitul Maqdis) ditetapkan sebagai kiblat untuk sebagian dari para nabi dari bangsa Israel. Al Quds berada di sebelah utara sedangkan Baitullah (jabah) di Makkah di sebelah Selatan sehingga keduanya saling berhadapan.
Saya kemudian bertanya ke mana arah kiblat masjid pertama Masjid Quba dan Masjid Nabawi saat itu? Sambil menuang qahwah yang kedua, Ibrahim menjawab, sebelum ada perintah untuk mengalihkan kiblat, Masjid Quba sebagai masjid pertama yang didirikan Nabi dan Masjid Nabawi yang saat itu hanya berpagar dari batu tanah masih menghadap Baitul Maqdis, Palestina.
“Setelah turun firman Allah SWT di sini, Rasulullah kemudian memberi tahu bahwa arah kiblat mulai saat itu ke arah Masjidil Haram di Makkah,” ujarnya.
Alhamdulillah, secangkir qahwah/pemberian Arab Badui telah mengantarkan saya pada pengalaman dan ilmu pengetahuan baru mengenai sejarah Islam, terutama Masjid Qiblatain.
sumber: Republika Online